Sosoknya bergeming, berlutut di tanah dengan buku jari masih mengucurkan darah segar. Betapa menyedihkannya keadaan sekitar pria itu. Batang pohon menjadi sasaran kemarahan Axel.
Retakan ranting renyah di bawah kakiku membuat Axel mengangkat kepala. Matanya masih merah, nyalang menantang, berisi kesintingan dan air mata.
"El?"
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Ia menunduk, mengabaikan kontak mata denganku. "Aku melukaimu."
"Akhirnya kau sadar juga, kau tahu apa yang kau lakukan pagi tadi?"
Ia mengusap wajah, kulihat lututnya memerah dan terluka. Sungguh, hatiku berdenyut nyeri.
"Maaf," bisiknya halus.
"Maaf? Kau kira maaf bisa mengembalikan semua, kau kira maaf bisa menyembuhkan lukaku? Maaf katamu!" teriakku berang.
"Aku--aku ...." Ia menjambak rambut sendiri, tampak sangat menderita.
"Apa hakmu, jika aku t
Seminggu berlalu bagai kedipan mata saja. Semua latihan kami berjalan lancar, tidak terlalu lancar bagi Diana tentunya. Gadis ini memiliki luka jauh lebih banyak daripadaku dulu. Simple-nya, dia tak memiliki sedikit pun kemampuan beladiri. Madam Ghie sering sekali uring-uringan ketika selesai mengajari gadis itu dan Diana biasanya meringkuk di pojokan kamar sambil menangis sesenggukan. Lalu dia akan meminta pelukan kasih sayang dari Axel. Memanggil dengan manis, "Xi, Xi, tolong aku." Yang membuatku hampir muntah. Aku menatap jendela di kamar lantai dua. Membiarkan Madam Ghie mendandani kami malam ini. Gaun pendek berwarna hitam dihiasi kerlap-kerlip manik-manik kecil dan sepatu boot tinggi, juga sarung tangan lace yang membuat penampilanku malah terlihat gothic. Madam Ghie menyebutnya sihir malam pemikat lelaki. Apalah itu. Berbeda denganku, Diana didandani sangat girly. Semua berwarn
Aku berlutut, menempatkan bibir di antara kakinya, lalu menanamkan gigi pada benda lunak itu. Seketika Alex menjerit jeri. Mendorong kepalaku menjauh sambil mengumpat keras."Kau, wanita jalang, berani-beraninya menggigit pusakaku." Alex memegang benda berharganya yang kini menitikkan darah segar.Aku tertawa geli, meludahkan sejumput rambut keriting ke lantai. "Rasamu sangat tidak enak.""Kau! Siapa kau sebenarnya?" Ia mulai mundur, tapi bisa kulihat matanya berlabuh pada nakas di samping tempat tidur, di mana ponselnya tergeletak.Tanpa peringatan, ia berlari ke sana, berusaha menggapai ponselnya. Namun terlambat, dalam sekali lompatan, aku menyarangkan tendangan berputar ke sisi kepalanya. Pria itu tersungkur, tubuhnya menabrak tempat tidur."Aku, malaikat maut yang dikirim untuk menghabisimu." Senyum miringku membuatnya ngeri setengah mati.Pria itu merangkak mundur, m
Pria itu terlalu kaget untuk bereaksi, aku mendorongnya masuk ke dalam kamar sambil mengerling ke sekeliling ruangan. Tak ada Diana, kasur terlihat acak-acakan.Mendapat serangan mendadak membuat Ed akhirnya berani bereaksi. Ia memegang bagian belakang kepalaku sambil mendorong pintu menutup dengan sebelah tangan lagi. Lidah pria berengsek itu memaksa masuk.Kenapa orang bisa suka memasukkan benda lunak ini untuk berkoalisi cairan. Apakah aku yang aneh? Terlalu lelah menghadapi kejadian penuh nafsu yang menjadikanku korban sehingga akhirnya berujung jijik.Entahlah? Bagiku, tak ada kesenangan dalam sex setelah sekian lama berkutat bersama pria mesum atau yang menyakitkan hati.Aku mengatupkan gigi erat-erat, tak membiarkannya menjelajahi rongga mulutku. Ed menarikku menjauh. Napas kami terengah-engah.Sial, sial, sial. Ciumannya membuatku semakin tak tahan. Fokus, Eli, fokus.
Lift berdenting dan terbuka. Eve membimbing kami ke kamar yang mereka sewa.Wanita itu menyerahkan kartu kunci ke tangan Owen. "Kami menunggu di sini. Gunakan waktumu."Owen kebingungan, balik menatap wajahku. "Cepatlah," ujarku kesal.Hampir saja kartu kunci terjatuh saking paniknya remaja ini. Ia akhirnya berhasil membawaku masuk ke dalam kamar."Bawa aku ke kamar mandi," perintahku.Owen membopongku ke kamar mandi.Segera saja aku melepas semua pakaian yang menempel pada tubuh, juga sepatu. Lalu menghidupkan shower membasahi tubuh ini. Owen terkesiap, berdiri bengong melihat ketelanjanganku."Air membantu lebih cepat calm down," ujarku. "Apa yang kau tunggu?"Ia mengedip lamat-lamat. "Hah?""Bantu aku, lebih cepat lebih baik. Buka bajumu."Barulah anak ingusan ini mengerti. "D
Karena tak punya sepeser pun uang pada tubuhku, mau tidak mau aku harus memasang gaya seksi dan menyetop mobil di jalan. Sungguh apes.Pria baik hati berkacamata tebal memberiku tumpangan dengan imbalan nomor telepon untuk dihubungi, well ... aku memberikan nomor Eve padanya. Siapa tahu wanita itu bisa menemukan jodoh lewat comblangan ini.Dia mengantarku sampai ke rumah Axel. Aku tak tahu jalan pulang ke Rumah Kayu, hanya ini alternatifnya.Jalanan malam hari yang lenggang menenangkan pikiran kacau, otakku mulai mensimulasi alibi agar aku tak dicurigai.Apa aku harus menunggu di luar? Apa Diana menyampaikan pesanku ke mereka?Bisa jadi gadis itu lupa akibat syok sesudah kejadian mengerikan malam ini.Pikiran buruk silih berganti menghampiri persepsiku. Ragu, tanganku memutar handel pintu. Di luar dugaan, ternyata tidak terkunci. Saking kagetnya aku malah mematung
Kukira semua telah usai, baik Misi Inisiasi maupun kisah cintaku. Aku lupa, betapa kejamnya para pembunuh dari Rumah Kayu. Lupa, betapa pintarnya mereka. Lupa, jika para ahli berkumpul menjadi satu di tempat ini.Hari ini, mereka mengingatkanku kembali, betapa mengerikannya dunia hitam. Dunia yang tak akan bisa kuterima meskipun sekarang aku bagian dari mereka.Diana digiring layaknya ternak ke halaman depan Rumah Kayu, kami semua dikumpulkan di sana. Walaupun bingung karena tak tahu apa yang terjadi setelah gadis ini pulang dari hotel, aku memilih diam sambil menyaksikan hal yang seharusnya tak terjadi.Tak ada sarapan, tak sempat membersihkan diri, masih dengan pakaian sama yang gadis ini kenakan tadi malam. Wajahnya bengkak oleh tangis berkepanjangan, entahlah semalam dia ditempatkan di mana, jelas ... tidak di kamar Axel karena aku berada di sana semalam."Xi," panggil Diana pilu.Axel
Langkahnya mendekat, matanya terpatri kuat, jemari lentiknya mencengkeram rahangku. "Kau ... Manis?" ulangnya tak yakin. "No, wajahmu berbeda. Tak ada luka di sini." Tangannya turun membelai rahangku."Siapa kau? Kenapa suaramu sama dengan gadis sialan itu?" Ia mendorongku mundur hingga mentok di samping tempat tidur.Senyum miring tersungging bersama cengkeraman tanganku menahan lengan Leona. "Kenapa? Kau takut si Manis akan datang untuk membalasmu?"Wanita itu menghempaskan tanganku. "Kau benar-benar dia?""Mungkin ... aku datang untuk mengambil apa yang menjadi milikku." Jemariku membelai seprai tempat tidur.Leona menggeram marah, menampik tanganku dari seprai. "Jangan main-main denganku, kau bukan dia ... kau pasti bukan gadis lemah itu?""Kau takut? Axel ... akan jatuh ke dalam pelukanku, kuberi tahu satu hal ... kami sudah melakukannya," lirihku.
Pria tampan itu masuk ke dalam kamar saat otakku masih ruwet memikirkan alasan."El," lirihnya. Ia duduk di sampingku, netra besar berbulu mata lebat itu menatapku lekat-lekat."Ya." Aku menelan ludah teramat gugup.Ia menunduk, menautkan jemari penuh kegalauan. Lalu tiba-tiba tubuhnya mendekat, menanamkan ciuman ke bibirku. Cukup terkejut, reaksi alamiku adalah mendorong tubuhnya menjauh."El, aku ingin ...." Ia menggantung kalimat, suaranya mendesah pelan membuatku merinding mendengarnya. Meskipun berwajah tampan ke imut, tapi suara Axel sangat berbeda jauh dari rupanya. Rendahnya suara pria ini membuatmu seperti mendengar kerenyahan sebuah keripik, decapan kepuasan, atau embusan angin menggesek dedaunan. Menenangkan sekaligus membangkitkan sisi liar dalam dirimu."Apa?" Bagai tersihir aku mendekat kembali."Menyentuhmu ... memelukmu dan merasakan eksistensimu." Ia mende
"Apa?" tanya Axel tak percaya."Aku mengandung anakmu, kau ingat waktu itu?" Aku menunduk malu, terlalu takut dengan penolakan dari bibir pria ini."Benarkah, sungguh!" Suaranya berubah penuh sukacita.Aku baru berani menatapnya. "Dokter baru memberitahuku tadi," lirihku."Milikku?""Ya, hanya kau yang melakukannya tanpa proteksi."Senyum merekah, wajah pria tampan itu seketika menguarkan cahaya kebahagiaan."Aku ... akan menjadi ayah?" tanyanya tak percaya."Ya," jawabku pelan.Axel berusaha meraih wajahku dan menanamkan kecupan pada keningku. "Aku mencintaimu, Eli. Kekasihku, separuh jiwaku."Hatiku bergetar, tersentuh oleh pernyataannya. Namun dalam sekejap, kebahagiaan itu sirna ketika Axel menyadari kenyataan di masa depan."Aku ... tidak akan bisa mendampingimu, membelikanmu makanan yang kau inginkan saat ngidam, aku ... tak bisa menggenggam tanganmu saat kau melahirkan bayi kita."
"Ms. Ellena, ini hasil pemeriksaannya." Dokter itu menatapku dengan senyum terkembang lebar pada bibir tipisnya."Ya," jawabku pelan. Masih merasa pusing setelah terbangun dari pingsan.Dokter melirik kehadiran George, Boni, Jodi, dan juga Eve."Tidak apa-apa, langsung katakan saja, Dok." pintaku."Selamat, Anda sedang mengandung.""Apa?" Seketika keempat rekanku berteriak terkejut."Maksud Dokter?""Ya, kandungan masih sangat kecil. Satu bulan."Apa? Bagaimana mungkin? Seketika bayangan pemaksaan itu kembali hadir dalam benak. Oh ya benar, Axel melakukannya tanpa proteksi waktu itu. Di saat seperti ini, kenapa harus terjadi."Selamat ya. Jaga kondisi, istirahat cukup agar morning sicknes tak semakin parah," pesan dokter itu sebelum pergi.Setelah pintu ditutup, Eve segera mendekatiku. "A
Jeritanku membahana membelah kericuhan di tengah baku tembak. Perlahan, priaku menoleh menatap tangan gemetar ini.Tidak. Bukan aku yang menembak. Kami telah dikelilingi para polisi berseragam anti peluru dari lantai empat. Asad, berikutnya mendapat tembakan setelah Axel, tepat di kepalanya. Pemuda berambut keriting itu jatuh dengan suara berdebum keras."Tenanglah, kau aman sekarang!" Seseorang memelukku dari belakang, menyeretku pergi sementara dalam kegamangan aku melihat Axel terhuyung jatuh bersimbah darah.Jiwaku seakan meninggalkan raga. Hampa. Kosong. Tanpa kehendak tubuhku dibawa pergi. Semua menjadi kesunyian abadi. Berkomat-kamit dalam gerak lambat membuatku berkedip bingung. Otakku tak mau mencerna. Tubuhku gemetar hebat. Dan kegelapan absolut menelanku dalam kedamaian.***Suara dengungan mesin membangunkanku. Aku mengedip bingung mencerna plafon putih di atas kepala.
Asap mengepul dari salah satu pojokan. Aku bisa melihat dari sini rombongan pria memakai rompi khusus sedang membidik ke arah tersebut.Jantungku bertalu semakin kuat. Memohon dalam hati semoga di sana Axel tidak berada. Aku merunduk saat melihat salah seorang dari mereka berbalik."Hei siapa itu?" teriaknya.Sial, dia melihatku. Aku berlari ke salah satu kamar dan menutupnya. Segera bersembunyi ke bawah tempat tidur.Langkah kaki terdengar mengejar di luar kamar. Berdentum seperti irama jantungku.Pergilah, kumohon. Suara tembakan lagi terdengar dari luar pintuku."Periksa setiap kamar!" Teriakan terdengar dari luar."Tidak! Mereka berada di sayap kiri. Lihat, mereka membalas tembakan! Di sini butuh bantuan!" Sahutan terdengar samar-samar."Satu orang memeriksa di sini! Sisanya bantu ke sayap kiri!" perintah sebuah suara berat.
Aku memberontak, lecetnya kulit tak kuhiraukan sama sekali. Semakin cepat aku membebaskan diri, kemungkinan dirinya selamat lebih besar. Apa pun itu, aku akan melakukannya demi Axel. Betapa bodohnya diriku, aku mengutuk dalam hati, tapi jeratan itu terlalu kuat untuk bisa kubebaskan. Benang takdir yang tak bisa kami putuskan. Cinta semenyakitkan ini. "Kumohon, sekali ini saja, bantu aku!" Aku memohon pada Yang Kuasa. Keajaiban yang kunanti, yang tak kunjung datang seumur hidup. Namun kali ini, keajaiban itu terjadi. Aku melihat lempengan besi kecil bagian dari sparepart jamku terjatuh tak jauh dari jangkauan. Menggunakan kaki aku menggapai benda kecil itu menuju lenganku. Bersyukur, tubuhku sefleksibel itu hingga bisa menjangkaunya. Menggunakan benda kecil itu aku mulai mengerat tali yang mengikatku ke ranjang. Dalam sepuluh menit kemudian semua tali sudah terlepas. Aku berla
Terbangun dalam pusing parah membuatku terbatuk-batuk. Udara berbau tak enak, apek dan lembap. Belum lagi ruangan yang gelap gulita.Aku berusaha menggerakkan tangan, tapi tak ada yang terjadi. Tubuhku bergeming. Apa ini? Tanganku terasa seperti diikat oleh tali."Axel?" panggilku parau. "Kau di sini?" Pipiku menyentuh seprai lembut. Dia membaringkanku ke tempat tidur. Kakiku juga terikat kuat dan terhubung pada ranjang."Axel!" teriakku marah. Dia membiusku dan mengikatku layaknya tawanan. Apa maunya pria sialan ini?"Apa maumu? Kuperingatkan kau, lepaskan aku sekarang!" Aku memberontak marah. Hidungku berdenyut nyeri saat aku berteriak.Lampu tiba-tiba dihidupkan. Terang benderang membuatku berkedip tak fokus demi menyesuaikan intensitas cahaya."El, apa ini?" Axel berjalan mendekat. Menatapku lekat-lekat.Ia mengangkat telepon gantungan kunci ke atas su
Jika bisa aku ingin menghapus segala ingatan menyakitkan ini. Kenangan yang selalu berakhir menjadi mirip buruk mengerikan. Selalu tentangnya. Hari itu, di atap gedung Laguna. Sosok yang sama berbalik sambil mengucapkan selamat tinggal padaku.Lalu dia jatuh membawa serta jantungku. Terjun bebas menantang kuatnya angin menerpa. Namun, alih-alih tubuhnya terburai menyentuh aspal, tubuh Axel justru melayang ke angkasa, menatapku sembari mencibir dan tertawa keras.Tertawa akan kebodohanku, betapa mudah aku dikecoh, dan cinta yang membuatku terjerat pada kesetiaan. Semua ... adalah kepalsuan.Aku meringkuk setelah terbangun. Bantalku lembap oleh air mata."Hei, Bodoh!" Suara Leona mengejutkanku."Kenapa kau menangis semalaman, sudah kubilang jangan berisik." Ia berdecak kesal.Sialnya, pertahananku kian runtuh. Isakan kecil lolos dari bibirku, seakan seseorang menikam jantungku dan meninggalkan luka menganga yang masih berdara
Axel membawa jemariku mendekati netra besar miliknya. Masih bingung dengan reaksi pria ini aku berusaha menarik kembali lenganku."Ada apa? Wajahku yang perlu diobati bukannya tangan.""El," lirihnya. Sklera pria tampan itu seketika memerah, membuat detak jantungku berpacu cepat."Eli?" Ia mengecup telapak tanganku. Saat itulah baru kusadari bekas luka lama akibat perbuatan Yuki."Bekas luka ini, aku yang menjahitnya sendiri. Bagaimana aku bisa lupa, kau Eli." Axel menatapku sendu.Lidahku kelu, tak sanggup menyangkal dengan kenyataan yang terpampang sekarang."Aku---""Please, jangan berbohong lagi." Air mata luruh bersama kalimatnya."Bagaimana bisa wajahmu? Apa yang terjadi?" Axel menarik tubuhku ke dalam pelukan erat."Lepaskan aku!" pintaku memelas. Rasa sakit semakin mencengkeram tubuh ini dan tak tertahanka
"El, ayolah!" teriakan Asad di tepi arena menyadarkanku kembali, aku berusaha berlutut. Wajah-wajah sekeliling menjadi buram, langkah kaki pria besar itu mendekat lagi.Tepukan heboh bersama suara penonton mulai berteriak, "Habisi dia! Habisi dia!" Bercampur denging melengking dari kedua telingaku.Darah merembes membuat lantai di bawah kakiku menjadi merah dan licin."Eli, kau bisa, kau bisa!" Suara Dayana menarikku kembali ke dunia nyata. Gadis cantik itulah yang selalu menyemangatiku saat pertarungan dengan sesama PPS.Aku menutup mata, mengatur napas susah payah. Rasa nyeri mendekam kuat membuatku hampir muntah.Ini saatnya, kala pria itu mencapai arahku, ia bersiap menyarangkan tinju. Aku melompat mundur seketika, Toby yang terlanjur menyerang tak bisa membatalkan langkah dan terjerembap meninju angin. Darah licinku membuat pria itu jatuh dengan suara berdebum.