Karena tak punya sepeser pun uang pada tubuhku, mau tidak mau aku harus memasang gaya seksi dan menyetop mobil di jalan. Sungguh apes.
Pria baik hati berkacamata tebal memberiku tumpangan dengan imbalan nomor telepon untuk dihubungi, well ... aku memberikan nomor Eve padanya. Siapa tahu wanita itu bisa menemukan jodoh lewat comblangan ini.
Dia mengantarku sampai ke rumah Axel. Aku tak tahu jalan pulang ke Rumah Kayu, hanya ini alternatifnya.
Jalanan malam hari yang lenggang menenangkan pikiran kacau, otakku mulai mensimulasi alibi agar aku tak dicurigai.
Apa aku harus menunggu di luar? Apa Diana menyampaikan pesanku ke mereka?
Bisa jadi gadis itu lupa akibat syok sesudah kejadian mengerikan malam ini.
Pikiran buruk silih berganti menghampiri persepsiku. Ragu, tanganku memutar handel pintu. Di luar dugaan, ternyata tidak terkunci. Saking kagetnya aku malah mematung
Kukira semua telah usai, baik Misi Inisiasi maupun kisah cintaku. Aku lupa, betapa kejamnya para pembunuh dari Rumah Kayu. Lupa, betapa pintarnya mereka. Lupa, jika para ahli berkumpul menjadi satu di tempat ini.Hari ini, mereka mengingatkanku kembali, betapa mengerikannya dunia hitam. Dunia yang tak akan bisa kuterima meskipun sekarang aku bagian dari mereka.Diana digiring layaknya ternak ke halaman depan Rumah Kayu, kami semua dikumpulkan di sana. Walaupun bingung karena tak tahu apa yang terjadi setelah gadis ini pulang dari hotel, aku memilih diam sambil menyaksikan hal yang seharusnya tak terjadi.Tak ada sarapan, tak sempat membersihkan diri, masih dengan pakaian sama yang gadis ini kenakan tadi malam. Wajahnya bengkak oleh tangis berkepanjangan, entahlah semalam dia ditempatkan di mana, jelas ... tidak di kamar Axel karena aku berada di sana semalam."Xi," panggil Diana pilu.Axel
Langkahnya mendekat, matanya terpatri kuat, jemari lentiknya mencengkeram rahangku. "Kau ... Manis?" ulangnya tak yakin. "No, wajahmu berbeda. Tak ada luka di sini." Tangannya turun membelai rahangku."Siapa kau? Kenapa suaramu sama dengan gadis sialan itu?" Ia mendorongku mundur hingga mentok di samping tempat tidur.Senyum miring tersungging bersama cengkeraman tanganku menahan lengan Leona. "Kenapa? Kau takut si Manis akan datang untuk membalasmu?"Wanita itu menghempaskan tanganku. "Kau benar-benar dia?""Mungkin ... aku datang untuk mengambil apa yang menjadi milikku." Jemariku membelai seprai tempat tidur.Leona menggeram marah, menampik tanganku dari seprai. "Jangan main-main denganku, kau bukan dia ... kau pasti bukan gadis lemah itu?""Kau takut? Axel ... akan jatuh ke dalam pelukanku, kuberi tahu satu hal ... kami sudah melakukannya," lirihku.
Pria tampan itu masuk ke dalam kamar saat otakku masih ruwet memikirkan alasan."El," lirihnya. Ia duduk di sampingku, netra besar berbulu mata lebat itu menatapku lekat-lekat."Ya." Aku menelan ludah teramat gugup.Ia menunduk, menautkan jemari penuh kegalauan. Lalu tiba-tiba tubuhnya mendekat, menanamkan ciuman ke bibirku. Cukup terkejut, reaksi alamiku adalah mendorong tubuhnya menjauh."El, aku ingin ...." Ia menggantung kalimat, suaranya mendesah pelan membuatku merinding mendengarnya. Meskipun berwajah tampan ke imut, tapi suara Axel sangat berbeda jauh dari rupanya. Rendahnya suara pria ini membuatmu seperti mendengar kerenyahan sebuah keripik, decapan kepuasan, atau embusan angin menggesek dedaunan. Menenangkan sekaligus membangkitkan sisi liar dalam dirimu."Apa?" Bagai tersihir aku mendekat kembali."Menyentuhmu ... memelukmu dan merasakan eksistensimu." Ia mende
"Kalian puas? Apa kau menyuruhnya masuk untuk mempermalukanku?" tanyaku setelah keheningan panjang di antara kami."Tidak!" sanggah Axel, pria itu berdiri terburu-buru dan meraih selimut untukku.Namun hatiku terlanjur terluka, lebih lagi perasaan malu menggelayuti saat pandangan iba Axel jatuh ke bekas lukaku. Ya, saking banyaknya bekas luka ini menyamarkan bekas luka lama akibat tusukan Leona.Sangat menyakitkan di mana luka yang ingin kau sembunyikan dipertontonkan begitu saja.Axel membalut tubuhku dengan selimut. "Keluarlah!" perintahnya pada Leona. "Untuk berikutnya kau tidak boleh masuk lewat jendela lagi, aku akan menguncinya mulai sekarang.""Axel! Hanya karena dia kau--" Leona mengentak kesal pada lantai."Pergilah!" Aku menutup mata, ingin bersembunyi ke mana pun selain di sini."Cepat keluar," pinta Axel."Kau juga, Axel," ujar
Mr. Lanish mengelus pundak terbukaku sembari menuntunku menuju ke lantai atas. Ia menggesek kartu di sebuah suite room.Betapa terpananya aku saat melangkah masuk, ruangan ini sangat besar berisi pantri kecil, meja makan, juga tempat tidur king size."Mau minum?" tanyanya, mulai melepaskan jas hitam yang ia kenakan. Mr. Lanis berjalan ke arah pantri dan menuang air untuk dia minum."Tidak, wah pemandangan dari sini sangat indah." Aku menyibak gorden dan memandang keluar jendela. Kelap-kelip lampu kota terlihat bagai cahaya bintang."Kau mau mandi dulu?" Mr. Lanish mendekat, memeluk tubuhku dari belakang."Akan memakan waktu jika kita mandi terpisah, mau mandi bersama?" godaku, mengelus kulit lengannya perlahan.Pria tinggi ini setuju, bahkan dengan sengaja menggendong tubuhku ala bridal style. Kami masuk ke kamar mandi yang tak kalah mewahnya. Bathtub besar dan kl
"Bunuh dia!" Madam Ghie turut memberi dorongan."Ayolah, ini tidak akan sulit, kau sudah membunuh berulang kali bukan? Jika tidak suka melihat darah, kau bisa mematahkan lehernya, tapi hati-hati bisa saja salah cara dan membuat dia kesakitan sebelum mati." Asad terkekeh geli, seolah kalimat yang dia ucapkan barusan adalah lelucon.Lewi berdecak tak senang, janggut tebal pria besar itu bergoyang. "Kau ... mata-mata?" Tangan berbulunya mulai masuk ke balik pakaian melihat keraguanku.Aku tak diberi kesempatan untuk berpikir atau pilihan, jika ingin hidup, aku harus membunuh Otniel sekarang juga.Lewat separuh kelopak yang terpejam Otniel menatapku tak percaya sewaktu tungkaiku mulai melangkah mendekatinya. Ia memberontak mati-matian, tetapi tangan Asad menekan kepalanya agar tetap mendongak ke atas. Seprofesional apa pun bidang yang kau geluti, saat kematian mendekat insting alami manusia akan mengambil alih
Berkali-kali kutanamkan di hati, tak hanya anggota Rumah Kayu, tapi Axel juga bagian yang ikut andil dalam menyakitiku. Namun sialnya, jika berhadapan dengan pria tampan ini ... aku selalu menjadi pihak yang tak berdaya.Cinta sungguh menjeratku pada derita. Meskipun kenyataan dia membuangku, aku masih saja memikirkan masa depan Axel. Terlebih di atas semua itu, aku menginginkan kebahagiaan untuknya.Hari-hari berlanjut dengan tekad penuh dari hatiku, jika bisa, aku ingin memenangkan pertarungan dan membeli kebebasan Axel. Namun, entah lawan seperti apa yang akan kuhadapi.Aku meminta Madam Ghie melatihku dengan Asad sekaligus, kami bertiga bertarung di hutan samping Rumah Kayu. Setiap hari, sampai tubuhku lelah dan tak sanggup lagi."El, aku sudah tak sanggup lagi." Asad mengeluh sambil memegang lututnya, pemuda ini terduduk di atas rerumputan. Peluh banjir membasahi seluruh pakaiannya. Beberapa bagian tu
Setelahnya adegan menjadi tak terkendali, Axel menanamkan ciuman di mana pun bibirnya bisa menjangkau. Setiap jengkal tubuhku tak lepas dari jamahan pria tampan ini.Napas kami memburu, melebur menjadi satu. Seolah haus dan lapar akan hasrat yang terlampau lama tak terpuaskan. Gila, berkali-kali aku memaki dalam hati, meminta tubuhku tak merespon, tetapi malah sebaliknya. Semua menjadi di luar kontrol.Ia mulai merambah ke balik pakaian. Melepas helai demi helai agar tak ada penghalang di antara kami."Lukamu." Cegatku.Axel menggeleng pelan, menggigit bibir bawah, entah karena sakit atau hal lain. Ia terus melanjutkan aksi. Namun, pakaiannya sendiri hanya setengah telanjang. Bajunya masih terpasang, tapi celananya jatuh di bawah tempat tidur.Sebenarnya ada rasa bangga di hatiku ketika tanganku menyentuh bagian pribadi Axel yang mengeras. Bagaimana tidak, dari pengakuan yang lain, hanya aku seorang yang bisa membangkitkan hasrat pemuda tampan ini.
"Apa?" tanya Axel tak percaya."Aku mengandung anakmu, kau ingat waktu itu?" Aku menunduk malu, terlalu takut dengan penolakan dari bibir pria ini."Benarkah, sungguh!" Suaranya berubah penuh sukacita.Aku baru berani menatapnya. "Dokter baru memberitahuku tadi," lirihku."Milikku?""Ya, hanya kau yang melakukannya tanpa proteksi."Senyum merekah, wajah pria tampan itu seketika menguarkan cahaya kebahagiaan."Aku ... akan menjadi ayah?" tanyanya tak percaya."Ya," jawabku pelan.Axel berusaha meraih wajahku dan menanamkan kecupan pada keningku. "Aku mencintaimu, Eli. Kekasihku, separuh jiwaku."Hatiku bergetar, tersentuh oleh pernyataannya. Namun dalam sekejap, kebahagiaan itu sirna ketika Axel menyadari kenyataan di masa depan."Aku ... tidak akan bisa mendampingimu, membelikanmu makanan yang kau inginkan saat ngidam, aku ... tak bisa menggenggam tanganmu saat kau melahirkan bayi kita."
"Ms. Ellena, ini hasil pemeriksaannya." Dokter itu menatapku dengan senyum terkembang lebar pada bibir tipisnya."Ya," jawabku pelan. Masih merasa pusing setelah terbangun dari pingsan.Dokter melirik kehadiran George, Boni, Jodi, dan juga Eve."Tidak apa-apa, langsung katakan saja, Dok." pintaku."Selamat, Anda sedang mengandung.""Apa?" Seketika keempat rekanku berteriak terkejut."Maksud Dokter?""Ya, kandungan masih sangat kecil. Satu bulan."Apa? Bagaimana mungkin? Seketika bayangan pemaksaan itu kembali hadir dalam benak. Oh ya benar, Axel melakukannya tanpa proteksi waktu itu. Di saat seperti ini, kenapa harus terjadi."Selamat ya. Jaga kondisi, istirahat cukup agar morning sicknes tak semakin parah," pesan dokter itu sebelum pergi.Setelah pintu ditutup, Eve segera mendekatiku. "A
Jeritanku membahana membelah kericuhan di tengah baku tembak. Perlahan, priaku menoleh menatap tangan gemetar ini.Tidak. Bukan aku yang menembak. Kami telah dikelilingi para polisi berseragam anti peluru dari lantai empat. Asad, berikutnya mendapat tembakan setelah Axel, tepat di kepalanya. Pemuda berambut keriting itu jatuh dengan suara berdebum keras."Tenanglah, kau aman sekarang!" Seseorang memelukku dari belakang, menyeretku pergi sementara dalam kegamangan aku melihat Axel terhuyung jatuh bersimbah darah.Jiwaku seakan meninggalkan raga. Hampa. Kosong. Tanpa kehendak tubuhku dibawa pergi. Semua menjadi kesunyian abadi. Berkomat-kamit dalam gerak lambat membuatku berkedip bingung. Otakku tak mau mencerna. Tubuhku gemetar hebat. Dan kegelapan absolut menelanku dalam kedamaian.***Suara dengungan mesin membangunkanku. Aku mengedip bingung mencerna plafon putih di atas kepala.
Asap mengepul dari salah satu pojokan. Aku bisa melihat dari sini rombongan pria memakai rompi khusus sedang membidik ke arah tersebut.Jantungku bertalu semakin kuat. Memohon dalam hati semoga di sana Axel tidak berada. Aku merunduk saat melihat salah seorang dari mereka berbalik."Hei siapa itu?" teriaknya.Sial, dia melihatku. Aku berlari ke salah satu kamar dan menutupnya. Segera bersembunyi ke bawah tempat tidur.Langkah kaki terdengar mengejar di luar kamar. Berdentum seperti irama jantungku.Pergilah, kumohon. Suara tembakan lagi terdengar dari luar pintuku."Periksa setiap kamar!" Teriakan terdengar dari luar."Tidak! Mereka berada di sayap kiri. Lihat, mereka membalas tembakan! Di sini butuh bantuan!" Sahutan terdengar samar-samar."Satu orang memeriksa di sini! Sisanya bantu ke sayap kiri!" perintah sebuah suara berat.
Aku memberontak, lecetnya kulit tak kuhiraukan sama sekali. Semakin cepat aku membebaskan diri, kemungkinan dirinya selamat lebih besar. Apa pun itu, aku akan melakukannya demi Axel. Betapa bodohnya diriku, aku mengutuk dalam hati, tapi jeratan itu terlalu kuat untuk bisa kubebaskan. Benang takdir yang tak bisa kami putuskan. Cinta semenyakitkan ini. "Kumohon, sekali ini saja, bantu aku!" Aku memohon pada Yang Kuasa. Keajaiban yang kunanti, yang tak kunjung datang seumur hidup. Namun kali ini, keajaiban itu terjadi. Aku melihat lempengan besi kecil bagian dari sparepart jamku terjatuh tak jauh dari jangkauan. Menggunakan kaki aku menggapai benda kecil itu menuju lenganku. Bersyukur, tubuhku sefleksibel itu hingga bisa menjangkaunya. Menggunakan benda kecil itu aku mulai mengerat tali yang mengikatku ke ranjang. Dalam sepuluh menit kemudian semua tali sudah terlepas. Aku berla
Terbangun dalam pusing parah membuatku terbatuk-batuk. Udara berbau tak enak, apek dan lembap. Belum lagi ruangan yang gelap gulita.Aku berusaha menggerakkan tangan, tapi tak ada yang terjadi. Tubuhku bergeming. Apa ini? Tanganku terasa seperti diikat oleh tali."Axel?" panggilku parau. "Kau di sini?" Pipiku menyentuh seprai lembut. Dia membaringkanku ke tempat tidur. Kakiku juga terikat kuat dan terhubung pada ranjang."Axel!" teriakku marah. Dia membiusku dan mengikatku layaknya tawanan. Apa maunya pria sialan ini?"Apa maumu? Kuperingatkan kau, lepaskan aku sekarang!" Aku memberontak marah. Hidungku berdenyut nyeri saat aku berteriak.Lampu tiba-tiba dihidupkan. Terang benderang membuatku berkedip tak fokus demi menyesuaikan intensitas cahaya."El, apa ini?" Axel berjalan mendekat. Menatapku lekat-lekat.Ia mengangkat telepon gantungan kunci ke atas su
Jika bisa aku ingin menghapus segala ingatan menyakitkan ini. Kenangan yang selalu berakhir menjadi mirip buruk mengerikan. Selalu tentangnya. Hari itu, di atap gedung Laguna. Sosok yang sama berbalik sambil mengucapkan selamat tinggal padaku.Lalu dia jatuh membawa serta jantungku. Terjun bebas menantang kuatnya angin menerpa. Namun, alih-alih tubuhnya terburai menyentuh aspal, tubuh Axel justru melayang ke angkasa, menatapku sembari mencibir dan tertawa keras.Tertawa akan kebodohanku, betapa mudah aku dikecoh, dan cinta yang membuatku terjerat pada kesetiaan. Semua ... adalah kepalsuan.Aku meringkuk setelah terbangun. Bantalku lembap oleh air mata."Hei, Bodoh!" Suara Leona mengejutkanku."Kenapa kau menangis semalaman, sudah kubilang jangan berisik." Ia berdecak kesal.Sialnya, pertahananku kian runtuh. Isakan kecil lolos dari bibirku, seakan seseorang menikam jantungku dan meninggalkan luka menganga yang masih berdara
Axel membawa jemariku mendekati netra besar miliknya. Masih bingung dengan reaksi pria ini aku berusaha menarik kembali lenganku."Ada apa? Wajahku yang perlu diobati bukannya tangan.""El," lirihnya. Sklera pria tampan itu seketika memerah, membuat detak jantungku berpacu cepat."Eli?" Ia mengecup telapak tanganku. Saat itulah baru kusadari bekas luka lama akibat perbuatan Yuki."Bekas luka ini, aku yang menjahitnya sendiri. Bagaimana aku bisa lupa, kau Eli." Axel menatapku sendu.Lidahku kelu, tak sanggup menyangkal dengan kenyataan yang terpampang sekarang."Aku---""Please, jangan berbohong lagi." Air mata luruh bersama kalimatnya."Bagaimana bisa wajahmu? Apa yang terjadi?" Axel menarik tubuhku ke dalam pelukan erat."Lepaskan aku!" pintaku memelas. Rasa sakit semakin mencengkeram tubuh ini dan tak tertahanka
"El, ayolah!" teriakan Asad di tepi arena menyadarkanku kembali, aku berusaha berlutut. Wajah-wajah sekeliling menjadi buram, langkah kaki pria besar itu mendekat lagi.Tepukan heboh bersama suara penonton mulai berteriak, "Habisi dia! Habisi dia!" Bercampur denging melengking dari kedua telingaku.Darah merembes membuat lantai di bawah kakiku menjadi merah dan licin."Eli, kau bisa, kau bisa!" Suara Dayana menarikku kembali ke dunia nyata. Gadis cantik itulah yang selalu menyemangatiku saat pertarungan dengan sesama PPS.Aku menutup mata, mengatur napas susah payah. Rasa nyeri mendekam kuat membuatku hampir muntah.Ini saatnya, kala pria itu mencapai arahku, ia bersiap menyarangkan tinju. Aku melompat mundur seketika, Toby yang terlanjur menyerang tak bisa membatalkan langkah dan terjerembap meninju angin. Darah licinku membuat pria itu jatuh dengan suara berdebum.