Axel membawa jemariku mendekati netra besar miliknya. Masih bingung dengan reaksi pria ini aku berusaha menarik kembali lenganku.
"Ada apa? Wajahku yang perlu diobati bukannya tangan."
"El," lirihnya. Sklera pria tampan itu seketika memerah, membuat detak jantungku berpacu cepat.
"Eli?" Ia mengecup telapak tanganku. Saat itulah baru kusadari bekas luka lama akibat perbuatan Yuki.
"Bekas luka ini, aku yang menjahitnya sendiri. Bagaimana aku bisa lupa, kau Eli." Axel menatapku sendu.
Lidahku kelu, tak sanggup menyangkal dengan kenyataan yang terpampang sekarang.
"Aku---"
"Please, jangan berbohong lagi." Air mata luruh bersama kalimatnya.
"Bagaimana bisa wajahmu? Apa yang terjadi?" Axel menarik tubuhku ke dalam pelukan erat.
"Lepaskan aku!" pintaku memelas. Rasa sakit semakin mencengkeram tubuh ini dan tak tertahanka
Jika bisa aku ingin menghapus segala ingatan menyakitkan ini. Kenangan yang selalu berakhir menjadi mirip buruk mengerikan. Selalu tentangnya. Hari itu, di atap gedung Laguna. Sosok yang sama berbalik sambil mengucapkan selamat tinggal padaku.Lalu dia jatuh membawa serta jantungku. Terjun bebas menantang kuatnya angin menerpa. Namun, alih-alih tubuhnya terburai menyentuh aspal, tubuh Axel justru melayang ke angkasa, menatapku sembari mencibir dan tertawa keras.Tertawa akan kebodohanku, betapa mudah aku dikecoh, dan cinta yang membuatku terjerat pada kesetiaan. Semua ... adalah kepalsuan.Aku meringkuk setelah terbangun. Bantalku lembap oleh air mata."Hei, Bodoh!" Suara Leona mengejutkanku."Kenapa kau menangis semalaman, sudah kubilang jangan berisik." Ia berdecak kesal.Sialnya, pertahananku kian runtuh. Isakan kecil lolos dari bibirku, seakan seseorang menikam jantungku dan meninggalkan luka menganga yang masih berdara
Terbangun dalam pusing parah membuatku terbatuk-batuk. Udara berbau tak enak, apek dan lembap. Belum lagi ruangan yang gelap gulita.Aku berusaha menggerakkan tangan, tapi tak ada yang terjadi. Tubuhku bergeming. Apa ini? Tanganku terasa seperti diikat oleh tali."Axel?" panggilku parau. "Kau di sini?" Pipiku menyentuh seprai lembut. Dia membaringkanku ke tempat tidur. Kakiku juga terikat kuat dan terhubung pada ranjang."Axel!" teriakku marah. Dia membiusku dan mengikatku layaknya tawanan. Apa maunya pria sialan ini?"Apa maumu? Kuperingatkan kau, lepaskan aku sekarang!" Aku memberontak marah. Hidungku berdenyut nyeri saat aku berteriak.Lampu tiba-tiba dihidupkan. Terang benderang membuatku berkedip tak fokus demi menyesuaikan intensitas cahaya."El, apa ini?" Axel berjalan mendekat. Menatapku lekat-lekat.Ia mengangkat telepon gantungan kunci ke atas su
Aku memberontak, lecetnya kulit tak kuhiraukan sama sekali. Semakin cepat aku membebaskan diri, kemungkinan dirinya selamat lebih besar. Apa pun itu, aku akan melakukannya demi Axel. Betapa bodohnya diriku, aku mengutuk dalam hati, tapi jeratan itu terlalu kuat untuk bisa kubebaskan. Benang takdir yang tak bisa kami putuskan. Cinta semenyakitkan ini. "Kumohon, sekali ini saja, bantu aku!" Aku memohon pada Yang Kuasa. Keajaiban yang kunanti, yang tak kunjung datang seumur hidup. Namun kali ini, keajaiban itu terjadi. Aku melihat lempengan besi kecil bagian dari sparepart jamku terjatuh tak jauh dari jangkauan. Menggunakan kaki aku menggapai benda kecil itu menuju lenganku. Bersyukur, tubuhku sefleksibel itu hingga bisa menjangkaunya. Menggunakan benda kecil itu aku mulai mengerat tali yang mengikatku ke ranjang. Dalam sepuluh menit kemudian semua tali sudah terlepas. Aku berla
Asap mengepul dari salah satu pojokan. Aku bisa melihat dari sini rombongan pria memakai rompi khusus sedang membidik ke arah tersebut.Jantungku bertalu semakin kuat. Memohon dalam hati semoga di sana Axel tidak berada. Aku merunduk saat melihat salah seorang dari mereka berbalik."Hei siapa itu?" teriaknya.Sial, dia melihatku. Aku berlari ke salah satu kamar dan menutupnya. Segera bersembunyi ke bawah tempat tidur.Langkah kaki terdengar mengejar di luar kamar. Berdentum seperti irama jantungku.Pergilah, kumohon. Suara tembakan lagi terdengar dari luar pintuku."Periksa setiap kamar!" Teriakan terdengar dari luar."Tidak! Mereka berada di sayap kiri. Lihat, mereka membalas tembakan! Di sini butuh bantuan!" Sahutan terdengar samar-samar."Satu orang memeriksa di sini! Sisanya bantu ke sayap kiri!" perintah sebuah suara berat.
Jeritanku membahana membelah kericuhan di tengah baku tembak. Perlahan, priaku menoleh menatap tangan gemetar ini.Tidak. Bukan aku yang menembak. Kami telah dikelilingi para polisi berseragam anti peluru dari lantai empat. Asad, berikutnya mendapat tembakan setelah Axel, tepat di kepalanya. Pemuda berambut keriting itu jatuh dengan suara berdebum keras."Tenanglah, kau aman sekarang!" Seseorang memelukku dari belakang, menyeretku pergi sementara dalam kegamangan aku melihat Axel terhuyung jatuh bersimbah darah.Jiwaku seakan meninggalkan raga. Hampa. Kosong. Tanpa kehendak tubuhku dibawa pergi. Semua menjadi kesunyian abadi. Berkomat-kamit dalam gerak lambat membuatku berkedip bingung. Otakku tak mau mencerna. Tubuhku gemetar hebat. Dan kegelapan absolut menelanku dalam kedamaian.***Suara dengungan mesin membangunkanku. Aku mengedip bingung mencerna plafon putih di atas kepala.
"Ms. Ellena, ini hasil pemeriksaannya." Dokter itu menatapku dengan senyum terkembang lebar pada bibir tipisnya."Ya," jawabku pelan. Masih merasa pusing setelah terbangun dari pingsan.Dokter melirik kehadiran George, Boni, Jodi, dan juga Eve."Tidak apa-apa, langsung katakan saja, Dok." pintaku."Selamat, Anda sedang mengandung.""Apa?" Seketika keempat rekanku berteriak terkejut."Maksud Dokter?""Ya, kandungan masih sangat kecil. Satu bulan."Apa? Bagaimana mungkin? Seketika bayangan pemaksaan itu kembali hadir dalam benak. Oh ya benar, Axel melakukannya tanpa proteksi waktu itu. Di saat seperti ini, kenapa harus terjadi."Selamat ya. Jaga kondisi, istirahat cukup agar morning sicknes tak semakin parah," pesan dokter itu sebelum pergi.Setelah pintu ditutup, Eve segera mendekatiku. "A
"Apa?" tanya Axel tak percaya."Aku mengandung anakmu, kau ingat waktu itu?" Aku menunduk malu, terlalu takut dengan penolakan dari bibir pria ini."Benarkah, sungguh!" Suaranya berubah penuh sukacita.Aku baru berani menatapnya. "Dokter baru memberitahuku tadi," lirihku."Milikku?""Ya, hanya kau yang melakukannya tanpa proteksi."Senyum merekah, wajah pria tampan itu seketika menguarkan cahaya kebahagiaan."Aku ... akan menjadi ayah?" tanyanya tak percaya."Ya," jawabku pelan.Axel berusaha meraih wajahku dan menanamkan kecupan pada keningku. "Aku mencintaimu, Eli. Kekasihku, separuh jiwaku."Hatiku bergetar, tersentuh oleh pernyataannya. Namun dalam sekejap, kebahagiaan itu sirna ketika Axel menyadari kenyataan di masa depan."Aku ... tidak akan bisa mendampingimu, membelikanmu makanan yang kau inginkan saat ngidam, aku ... tak bisa menggenggam tanganmu saat kau melahirkan bayi kita."
Mati. Kata itu mungkin akan membuat sebagian besar umat manusia ketakutan, tetapi tidak untukku.Aku berdiri di atas gedung tujuh lantai. Merentangkan kedua tangan untuk merasakan angin yang menerpa tubuh. Bajuku berkibar, menari mengikuti buaian semilir udara. Sejuk, tapi tak menetramkan hati.Cuaca hari ini cerah, senja menerpa dan membiaskan cahaya jingga indah. Mungkin … ini akan menjadi kali terakhirku menatap cakrawala.Aku menerka, apa rasanya saat tubuh ini menghantam trotoar di bawah gedung. Apa tubuhku akan terburai? Darah memercik estetik, melengkapi senja dengan rona merahnya?Aku tersedak tangis, lebih dari itu, adakah yang bersedih untuk kematianku?Aku rasa tidak ada. Menyedihkan bukan?Embusan napas terdengar keras, beban menyesakkan dada membuatku kesulitan meraup udara.Kurasa inilah saatnya.Menatap dengan hampa ke bawah bangunan lantai tujuh ini.Bersiap melangkahkan kakiku ke bawah, kupejamkan
"Apa?" tanya Axel tak percaya."Aku mengandung anakmu, kau ingat waktu itu?" Aku menunduk malu, terlalu takut dengan penolakan dari bibir pria ini."Benarkah, sungguh!" Suaranya berubah penuh sukacita.Aku baru berani menatapnya. "Dokter baru memberitahuku tadi," lirihku."Milikku?""Ya, hanya kau yang melakukannya tanpa proteksi."Senyum merekah, wajah pria tampan itu seketika menguarkan cahaya kebahagiaan."Aku ... akan menjadi ayah?" tanyanya tak percaya."Ya," jawabku pelan.Axel berusaha meraih wajahku dan menanamkan kecupan pada keningku. "Aku mencintaimu, Eli. Kekasihku, separuh jiwaku."Hatiku bergetar, tersentuh oleh pernyataannya. Namun dalam sekejap, kebahagiaan itu sirna ketika Axel menyadari kenyataan di masa depan."Aku ... tidak akan bisa mendampingimu, membelikanmu makanan yang kau inginkan saat ngidam, aku ... tak bisa menggenggam tanganmu saat kau melahirkan bayi kita."
"Ms. Ellena, ini hasil pemeriksaannya." Dokter itu menatapku dengan senyum terkembang lebar pada bibir tipisnya."Ya," jawabku pelan. Masih merasa pusing setelah terbangun dari pingsan.Dokter melirik kehadiran George, Boni, Jodi, dan juga Eve."Tidak apa-apa, langsung katakan saja, Dok." pintaku."Selamat, Anda sedang mengandung.""Apa?" Seketika keempat rekanku berteriak terkejut."Maksud Dokter?""Ya, kandungan masih sangat kecil. Satu bulan."Apa? Bagaimana mungkin? Seketika bayangan pemaksaan itu kembali hadir dalam benak. Oh ya benar, Axel melakukannya tanpa proteksi waktu itu. Di saat seperti ini, kenapa harus terjadi."Selamat ya. Jaga kondisi, istirahat cukup agar morning sicknes tak semakin parah," pesan dokter itu sebelum pergi.Setelah pintu ditutup, Eve segera mendekatiku. "A
Jeritanku membahana membelah kericuhan di tengah baku tembak. Perlahan, priaku menoleh menatap tangan gemetar ini.Tidak. Bukan aku yang menembak. Kami telah dikelilingi para polisi berseragam anti peluru dari lantai empat. Asad, berikutnya mendapat tembakan setelah Axel, tepat di kepalanya. Pemuda berambut keriting itu jatuh dengan suara berdebum keras."Tenanglah, kau aman sekarang!" Seseorang memelukku dari belakang, menyeretku pergi sementara dalam kegamangan aku melihat Axel terhuyung jatuh bersimbah darah.Jiwaku seakan meninggalkan raga. Hampa. Kosong. Tanpa kehendak tubuhku dibawa pergi. Semua menjadi kesunyian abadi. Berkomat-kamit dalam gerak lambat membuatku berkedip bingung. Otakku tak mau mencerna. Tubuhku gemetar hebat. Dan kegelapan absolut menelanku dalam kedamaian.***Suara dengungan mesin membangunkanku. Aku mengedip bingung mencerna plafon putih di atas kepala.
Asap mengepul dari salah satu pojokan. Aku bisa melihat dari sini rombongan pria memakai rompi khusus sedang membidik ke arah tersebut.Jantungku bertalu semakin kuat. Memohon dalam hati semoga di sana Axel tidak berada. Aku merunduk saat melihat salah seorang dari mereka berbalik."Hei siapa itu?" teriaknya.Sial, dia melihatku. Aku berlari ke salah satu kamar dan menutupnya. Segera bersembunyi ke bawah tempat tidur.Langkah kaki terdengar mengejar di luar kamar. Berdentum seperti irama jantungku.Pergilah, kumohon. Suara tembakan lagi terdengar dari luar pintuku."Periksa setiap kamar!" Teriakan terdengar dari luar."Tidak! Mereka berada di sayap kiri. Lihat, mereka membalas tembakan! Di sini butuh bantuan!" Sahutan terdengar samar-samar."Satu orang memeriksa di sini! Sisanya bantu ke sayap kiri!" perintah sebuah suara berat.
Aku memberontak, lecetnya kulit tak kuhiraukan sama sekali. Semakin cepat aku membebaskan diri, kemungkinan dirinya selamat lebih besar. Apa pun itu, aku akan melakukannya demi Axel. Betapa bodohnya diriku, aku mengutuk dalam hati, tapi jeratan itu terlalu kuat untuk bisa kubebaskan. Benang takdir yang tak bisa kami putuskan. Cinta semenyakitkan ini. "Kumohon, sekali ini saja, bantu aku!" Aku memohon pada Yang Kuasa. Keajaiban yang kunanti, yang tak kunjung datang seumur hidup. Namun kali ini, keajaiban itu terjadi. Aku melihat lempengan besi kecil bagian dari sparepart jamku terjatuh tak jauh dari jangkauan. Menggunakan kaki aku menggapai benda kecil itu menuju lenganku. Bersyukur, tubuhku sefleksibel itu hingga bisa menjangkaunya. Menggunakan benda kecil itu aku mulai mengerat tali yang mengikatku ke ranjang. Dalam sepuluh menit kemudian semua tali sudah terlepas. Aku berla
Terbangun dalam pusing parah membuatku terbatuk-batuk. Udara berbau tak enak, apek dan lembap. Belum lagi ruangan yang gelap gulita.Aku berusaha menggerakkan tangan, tapi tak ada yang terjadi. Tubuhku bergeming. Apa ini? Tanganku terasa seperti diikat oleh tali."Axel?" panggilku parau. "Kau di sini?" Pipiku menyentuh seprai lembut. Dia membaringkanku ke tempat tidur. Kakiku juga terikat kuat dan terhubung pada ranjang."Axel!" teriakku marah. Dia membiusku dan mengikatku layaknya tawanan. Apa maunya pria sialan ini?"Apa maumu? Kuperingatkan kau, lepaskan aku sekarang!" Aku memberontak marah. Hidungku berdenyut nyeri saat aku berteriak.Lampu tiba-tiba dihidupkan. Terang benderang membuatku berkedip tak fokus demi menyesuaikan intensitas cahaya."El, apa ini?" Axel berjalan mendekat. Menatapku lekat-lekat.Ia mengangkat telepon gantungan kunci ke atas su
Jika bisa aku ingin menghapus segala ingatan menyakitkan ini. Kenangan yang selalu berakhir menjadi mirip buruk mengerikan. Selalu tentangnya. Hari itu, di atap gedung Laguna. Sosok yang sama berbalik sambil mengucapkan selamat tinggal padaku.Lalu dia jatuh membawa serta jantungku. Terjun bebas menantang kuatnya angin menerpa. Namun, alih-alih tubuhnya terburai menyentuh aspal, tubuh Axel justru melayang ke angkasa, menatapku sembari mencibir dan tertawa keras.Tertawa akan kebodohanku, betapa mudah aku dikecoh, dan cinta yang membuatku terjerat pada kesetiaan. Semua ... adalah kepalsuan.Aku meringkuk setelah terbangun. Bantalku lembap oleh air mata."Hei, Bodoh!" Suara Leona mengejutkanku."Kenapa kau menangis semalaman, sudah kubilang jangan berisik." Ia berdecak kesal.Sialnya, pertahananku kian runtuh. Isakan kecil lolos dari bibirku, seakan seseorang menikam jantungku dan meninggalkan luka menganga yang masih berdara
Axel membawa jemariku mendekati netra besar miliknya. Masih bingung dengan reaksi pria ini aku berusaha menarik kembali lenganku."Ada apa? Wajahku yang perlu diobati bukannya tangan.""El," lirihnya. Sklera pria tampan itu seketika memerah, membuat detak jantungku berpacu cepat."Eli?" Ia mengecup telapak tanganku. Saat itulah baru kusadari bekas luka lama akibat perbuatan Yuki."Bekas luka ini, aku yang menjahitnya sendiri. Bagaimana aku bisa lupa, kau Eli." Axel menatapku sendu.Lidahku kelu, tak sanggup menyangkal dengan kenyataan yang terpampang sekarang."Aku---""Please, jangan berbohong lagi." Air mata luruh bersama kalimatnya."Bagaimana bisa wajahmu? Apa yang terjadi?" Axel menarik tubuhku ke dalam pelukan erat."Lepaskan aku!" pintaku memelas. Rasa sakit semakin mencengkeram tubuh ini dan tak tertahanka
"El, ayolah!" teriakan Asad di tepi arena menyadarkanku kembali, aku berusaha berlutut. Wajah-wajah sekeliling menjadi buram, langkah kaki pria besar itu mendekat lagi.Tepukan heboh bersama suara penonton mulai berteriak, "Habisi dia! Habisi dia!" Bercampur denging melengking dari kedua telingaku.Darah merembes membuat lantai di bawah kakiku menjadi merah dan licin."Eli, kau bisa, kau bisa!" Suara Dayana menarikku kembali ke dunia nyata. Gadis cantik itulah yang selalu menyemangatiku saat pertarungan dengan sesama PPS.Aku menutup mata, mengatur napas susah payah. Rasa nyeri mendekam kuat membuatku hampir muntah.Ini saatnya, kala pria itu mencapai arahku, ia bersiap menyarangkan tinju. Aku melompat mundur seketika, Toby yang terlanjur menyerang tak bisa membatalkan langkah dan terjerembap meninju angin. Darah licinku membuat pria itu jatuh dengan suara berdebum.