Mati. Kata itu mungkin akan membuat sebagian besar umat manusia ketakutan, tetapi tidak untukku.
Aku berdiri di atas gedung tujuh lantai. Merentangkan kedua tangan untuk merasakan angin yang menerpa tubuh. Bajuku berkibar, menari mengikuti buaian semilir udara. Sejuk, tapi tak menetramkan hati.
Cuaca hari ini cerah, senja menerpa dan membiaskan cahaya jingga indah. Mungkin … ini akan menjadi kali terakhirku menatap cakrawala.
Aku menerka, apa rasanya saat tubuh ini menghantam trotoar di bawah gedung. Apa tubuhku akan terburai? Darah memercik estetik, melengkapi senja dengan rona merahnya?
Aku tersedak tangis, lebih dari itu, adakah yang bersedih untuk kematianku?
Aku rasa tidak ada. Menyedihkan bukan?
Embusan napas terdengar keras, beban menyesakkan dada membuatku kesulitan meraup udara.
Kurasa inilah saatnya.
Menatap dengan hampa ke bawah bangunan lantai tujuh ini.
Bersiap melangkahkan kakiku ke bawah, kupejamkan mata ini.
Bersiap untuk mati.
Saat sebelah kakiku sudah terayun di udara, siap melangkahkan kaki satunya lagi, aku dikejutkan oleh suara isak tangis, antara ada dan tiada, suara yang terbekap.
Aku memutar tubuh dan mendapati seorang wanita terikat di sudut atap gedung.
Sejak kapan dia ada di sana? Aku sama sekali tidak menyadari kehadirannya sedari tadi.
Gadis itu menangis, air mata melunturkan maskara hitamnya, membentuk jalur menakutkan layaknya badut dalam film horror. Mataku mengedip bingung, betapa lambannya otakku bekerja sewaktu menyadari gadis ini adalah Lyra.
Si cantik berambut pirang yang menghancurkan karirku dan membuatku dipecat setelah bertahun-tahun bekerja keras.
Bola mata besarnya menatapku penuh permohonan, kedua tangan dan kaki gadis itu terikat kuat oleh tali dan bibir si jalang ditutup dengan lakban.
Jika kau mengira aku akan terkejut melihat kondisi Lyra, kau salah besar ... hatiku hampa dan pikiranku kosong. Semua menjadi tak bermakna, dunia berputar dalam warna monokrom. Monoton.
Tatapanku tertuju padanya tanpa asa, air mata Lyra semakin deras mengalir bak anak sungai, tetapi hatiku sama sekali tidak tersentuh dan tanganku tak mau bergerak untuk menolongnya.
Dia memang pantas menerima semua ini ... dia pantas diperlakukan buruk. Tawa gadis itu, pandangan meremehkannya dulu, juga kalimat fitnah yang ia lontarkan mengeraskan hatiku.
Namun, siapa yang melakukan semua ini?
Jawabannya datang secepat kedipan mata, pintu atap gedung terbuka. Seorang pria melangkah ke arah Lyra. Memasuki bidang pandang kami.
Dia belum menyadari kehadiranku karena aku berdiri di samping belakangnya, sudut mati pandangan pria itu.
Pria bersetelan kasual dengan kemeja dan celana jeans itu menarik Lyra berdiri diiringi oleh pemberontakan si gadis.
Lyra menolehke arahku, saat itulah sang pria sadar. Ia lalu berbalik ....
Seraut wajah tampan menatapku dengan ekspresi terkejut. Mungkin bisa kukatakan, pertama kali berjumpa dengannya adalah saat paling sial dan paling beruntung dalam hidupku.
Karena dialah ... hidupku benar-benar berubah.
Ia menatapku, kemudian tersenyum culas. Senyum yang tak akan pernah kulupakan seumur hidup, menawan. Menarikku ke dalam dimensi lain penuh pesona memabukkan.
Aku tahu, dan instingku mengatakan bahwa dia bukanlah orang baik-baik. Tapi kadang-kadang, iblis pun bisa terlihat seperti malaikat.
"Matamu cantik." Adalah kalimat pertama yang diucapkannya saat kami bertemu.
Mungkin ia melihatnya, ketakutan memudar bersama sembilu pilu mencengkeram jiwa rapuh.
Ya! Dia benar ... untuk saat ini ... semua rasa telah diambil dari ragaku, menyisakan kepingan jiwa retak yang akan hancur kapan saja.
"Ikutlah denganku," ajaknya.
Pria itu menarik tanganku, kemudian menyeret Lyra menggunakan troli laundri. Dan aku membiarkan saja semua itu terjadi, seolah kehendak bebas dalam diriku sudah dicabut. Aku bagaikan boneka tanpa kemauan yang bisa dibawa kemana saja.
Aku tahu, otakku sedang sakit dan aku ingin mengakhiri semuanya. Hati kecilku berharap, pria asing ini akan mengakhirinya untukku.
Semua menjadi bayang-bayang semu, dunia terdistorsi sementara anganku melayang bebas, ketika ragaku dijamah tangan asing, aku terpejam pasrah.
Tidak apa-apa, semua akan berakhir, batinku membisikkan kegelapan.
Suara mesin menjadi alunan musik, pepohonan berkejar-kejaran, memintaku berhenti sejenak untuk bernapas, langit berubah gelap sementara mobil sang lelaki membawa kami menuju antah berantah.
Waktu menjadi misteri alam, ketika kesadaranku terkumpul, kami telah tiba di sebuah ruang bawah tanah.
Ruang bawah tanah itu pengap dan bau. Kedua alisku bertaut mengenali bau besi bercampur amis. Bau likuid merah kental yang mengalir dalam pembuluh darah manusia, ya … darah.
Darah? Bagus ... akhiri saja semuanya.
Pria itu melemparkan Lyra begitu saja, si gadis pirang menubruk dinding bagai sekarung sampah. Ia kemudian menarik sebuah kursi dan mendudukkanku dengan lembut.
"Aku suka sekali dengan tatapanmu," ucapnya lagi sambil membelai wajahku. Mata cokelat menawan itu berpendar oleh euforia.
"Tapi kau harus kuikat agar tidak pergi."
Dia mengambil seutas tali di meja satu-satunya dalam ruangan ini, lalu mengikatku ke kursi dengan erat. Dan seperti tadi, kubiarkan ia melakukannya begitu saja, tanpa perlawanan sama sekali.
Mati, mati, mati, otakku memutar kata tunggal itu.
"Lihat baik-baik, Manis! Karena kita punya tatapan yang sama." Pria itu memutar kursiku menghadap ke arah Lyra.
Dengan tangan terikat, Lyra berusaha menyeret tubuhnya menjauh sewaktu pria itu mendatanginya. Si pria berpakaian kasual itu melepas lakban yang membekap mulut Lyra, membuat si gadis langsung menjerit nyaring.
Pria itu bereaksi dengan cepat, menampar Lyra keras hingga gadis itu terdiam. Bisa kulihat, dari sudut bibir Lyra mengalir darah segar karena bibirnya pecah akibat tamparan kuat.
Lyra menangis sambil memohon-mohon, belum pernah aku melihat gadis jahat itu selemah ini.
“Dia menjual rahasia perusahaan pada mereka.” Ingatan suara Lyra kembali menjamah benakku. Aku tertawa sinis. Biasanya gadis ini selalu membuat orang memohon-mohon padanya, tetapi lihat sekarang, keadaan berbalik drastis. Ingin sekali aku menyoraki si pria atas perbuatannya.
Si pria mengeluarkan pisaunya. "Showtime!" ucapnya sambil menoleh ke arahku.
Aku membalas tatapannya dengan hampa, sekali sabetan cepat ia melukai wajah cantik Lyra.
"Ini untuk wajah cantik," ujarnya.
Lyra melolong kesakitan, darah segar membanjiri pipinya, lalu turun menghampiri leher.
Jika kau mengira aku akan syok melihat darah sebanyak itu, kau salah lagi. Otakku masih sakit, dengan respon yang sangat lambat. Aku sama sekali tidak terpengaruh oleh pemandangan mengerikan di hadapanku.
Pria itu lalu melanjutkan aksinya. Ia merobek kemeja yang dipakai Lyra, kancing-kancing putih berhamburan, mengelinding tanpa daya dan berhenti tepat di dekat kakiku. Lyra menggeleng kuat, ketakutan mengambil alih kehendak tubuh, membuat Lyra mengalami tonic immobility. Ia membeku, pria itu berhasil melepas sisa kain di tubuh Lyra, menampilkan bra hitam bermotif renda dan mutiara.
Mungkin saja … ia akan melakukan hal yang keji dengan memperkosa gadis ini.
Pria itu lalu memotong pakaian dalam Lyra, menampilkan sederet halus kulit di dadanya.Keyakinanku semakin kuat bahwa pria ini akan melakukan hal keji. Kuakui tubuh si pirang sangat seksi, lagi menarik. Kulitnya mulus, seputih susu. Pinggangnya ramping dengan tubuh semampai bak biola. Begitulah dulu ia menjebak atensi pria dengan pesona kecantikan dan mengambil apa yang bukan haknya.Tiba-tiba pria itu menghunjamkan pisaunya dalam-dalam ke dada Lyra. "Dengan hati yang busuk," ucapnya, memutar pisau yang menancap.Kali ini, tidak ada suara jeritan lagi, yang ada hanya suara berdenguk dari tenggorakan Lyra. Sesaat kemudian tubuh sekarat itu menggelepar liar, kejang-kejang. Lalu berhenti untuk selamanya.Darah membanjiri lantai, membentuk kubangan merah mengerikan. Sangat kasar, pria itu menarik pisau yang menancap di tubuh tak bernyawa Lyra, lalu membersihkan darah dengan lidahnya."Tidak boleh meninggalkan jejak," racaunya.Ia lalu berbalik ke
Setelah kira-kira lima hari tinggal bersamanya, lebih tepat disekap olehnya. Aku mulai tahu kalau Axel tidak sembarangan memilih mangsa.Mangsa yang ia pilih adalah orang-orang yang mempunyai kecenderungan untuk berbuat jahat.Seperti pria gemuk itu, yang ternyata sangat suka korupsi.Axel bercerita tentang bagaimana cara menjerat mangsa, dengan pesona yang dimilikinya dan tutur kata halus, setiap mangsa menjadi lengah tanpa tahu bahwa yang sedang mereka hadapi adalah iblis berwajah malaikat.Bisa kubayangkan bagaimana wajah sendu Lyra yang menatap Axel penuh harap, terjerat oleh daya pikatnya. Juga iming-iming uang pada pria gemuk mata duitan itu. Hawa nafsu menjadi racun yang membua tmereka menemui ajal.Seperti laba-laba menjerat mangsanya, sekali terjerat tak akan bisa melepaskan diri. Mungkin ... mungkin saja, perlahan-lahan aku juga mulai terjerat pesonanya.Kadang aku berharap ia berhenti untuk memuaskan keinginan membunuh. Karena aku t
Aku memejamkan mata saat mendengar jeritan yang membekukan jantung. Wanita itu masih menjerit saat aku membuka mata.Ia menatap Axel tidak percaya. Dengan santai, Axel berjalan menjauh dan mengambil senjata lain."Menjeritlah sesukamu, ruangan ini kedap suara, jadi takkan ada yang mendengar suaramu, Sayang.""K-kau ... kau?" Sambil menahan sakit, wanita itu memegang ulu hatinya, pemecah es itu masih menancap di sana."Kenapa?" tanya Axel sambil memiringkan kepalanya. Mengerikan sekaligus menggemaskan. Menampilkan wajah sepolos anak kecil."Kau marah sayang? Bukankah sebelumnya kau bilang aku boleh melakukan apa saja padamu?" Axel tersenyum culas, memesona, tapi juga menakutkan."Jadi ini yang kulakukan, Sayang! Aku ingin melihat tubuhmu dengan lebih jelas." Axel melangkah ke arah tubuh wanita itu dengan dua utas tali dan sebuah pisau bedah."Showtime!""JANGAN!J--jangan!" teriak wanita itu."Ow! Kasihan, s
"TADAA! Bohong deh! HAHAHAHAHAHA ...." Ia tertawa terbahak-bahak sampai terbaring di ranjang yang kutempati.Ingin sekali aku memaki dan memukulinya, karena membuatku berpikir akan mati saat ini. Gemetar di seluruh tubuhku tidak mau berhenti dan aku menangis sejadi-jadinya.Ia berhenti tertawa mendengar tangisan keras, lalu mendekatkan wajah padaku. Kukira ia akan berteriak lagi, tetapi tiba-tiba tangannya terulur dan membelai kepalaku dengan lembut. Seolah aku seorang anak kecil.Axel lalu berbisik, "I'm sorry, Sweetheart." Sebelum akhirnya melangkah pergi untuk membereskan kekacauan yang ia buat.Axel menyeret tubuh si wanita. Mencacahnya menjadi potongan-potongan kecil sebelum dimasukkan ke dalam kantung sampah besar. Setelah itu, Axel membawa potongan tubuh ke lantai atas, ia menghilang selama dua jam.Kembali lagi dengan nampan berisi makanan. Mataku terasa bengkak karena tangis berkepanjangan, masih tergugu saat ia mendekat.&
Pagi pun menjelang. Saat aku membuka mata setelah tertidur selama dua jam, Axel sudah menghilang dari tempat tidur kami.Apa yang disiapkannya?Apa yang direncanakannya?Aku memegang kepalaku dengan takut.Tanpa sadar kakiku menyentuh sesuatu di bawah ranjang, aku melongok ke bawah.Sebuah piring berisi makanan diletakkan di sana, beserta segelas besar air dan secarik pesan.Makan pagimu, Axel!Axel sebelumnya tidak pernah meninggalkanku pada saat pemberian makan, selalu mengawasi gerak-gerikku. Aneh sekali kali ini dia melakukan pengecualian. Dia bahkan menyediakan pispot urinal wanita di samping ranjang. Secara tidak langsung, ini menyiratkan bahwa dia akan pergi dalam waktu lama.Setelah seharian menanti dengan takut, akhirnya sang pembunuh kembali. Ia masuk ke ruang bawah tanah dengan wajah berseri-seri, lalu melemparkan dua buah bungkusan ke atas kasurku."Ayo mandi!" ucapnya sambil membuka b
Aku melangkah cepat ke ujung jalan. Agak malu dengan penampilanku yang sangat seksi. Mata-mata kurang ajar melemparkan tatapan menjijikkan ketika kaki ini melewati mereka. Sebelum aku sampai ke tempat pria berjas biru itu, ia sudah menatapku lekat-lekat dari jauh. Ya ... kombinasi dari gaun merah mencolok dan baju seseksi ini, siapa yang tidak melihat kedatanganku. Bahkan kerlipan indah di sepatu mewah ini menarik atensi para wanita.Aku berjalan ke arahnya perlahan, mengeja langkah lamat-lamat. Tahu dengan pasti Axel sedang memperhatikan kami saat ini. "Hallo, Manis! Ada yang bisa kubantu?" ucapnya sambil memicing ke arah pahaku.Jijik sekali mendengar lelaki itu memanggilku seperti ini. Panggilan serupa dengan yang diberikan Axel padaku. "Ya …," jawabku sengaja menggantungkan suara, "kurasa … aku tersesat," tambahku malu-malu dan mengerling padanya. Ok! Kuakui aktingku sangat memalukan, tidak pernah sekali pun seumur hidup aku menggoda lelaki,
Pria itu bangkit kembali seperti zombie. Darah menetes dari lukanya yang menganga lebar. Terutama pada bagian kepala. Layaknya keran bocor, likuid kental memberi tampilan mengerikan di sosoknya. "Brengsek!" makinya sambil menendang Axel sekali lagi. Ia lalu menjambak kemeja Axel dan menghantamkan kepalanya ke kepala pemuda itu. Tubrukan keras menyebabkan Axel terhuyung-huyung, tetapi tidak terjatuh karena si pria mesum masih mencengkeram pemuda itu.Axel berusaha melawan dengan menendangkan kakinya ke sisi tubuh pria itu, membuat si pria melepaskan cengkeramannya. Axel memutar tubuh dan memberi tendangan berputar ke kepala pria itu. Namun sayangnya, si pria sudah bersiap dengan ancang-ancang. Ia berhasil menangkap kaki Axel lalu memelintirnya, membuat Axel menjerit keras, sebelum membanting tubuh pemuda itu ke lantai. Axel terjerembap, kemudian jatuh berguling di tangga menuju ruang bawah tanah. "AXEL!!!" teriakku panik, kudengar ia berteriak kesa
Entah kenapa? Di sudut hati yang paling dalam, aku merasa berat meninggalkannya dalam kondisi seperti ini. Aku memukul sisi kepala dengan kuat, bingung oleh kecamuk di hati. Apa yang akan kulakukan? Aku menatapnya dengan sedih. Betapa kesepiannya hidup pria ini, jika aku meninggalkannya, siapa yang akan merawat luka Axel? Lebih dari semua itu, aku pun merasa berutang budi, dia menyelamatkan kehormatanku. Harga diri bagi seorang gadis polos sepertiku. Ia kembali berbicara dalam tidur, bergumam, "Jangan dan tolong aku." Secara spontan aku berbalik kembali ke ranjang dan menggenggam tangannya, berusaha menenangkannya dalam tidur. Menepuk lembut lengan si pembunuh sadis itu. Mungkin kau akan menyebutku wanita paling bodoh sedunia. Ya ... aku bahkan ingin sekali memaki diriku sendiri, seharusnya aku mengikuti akal sehat dan meninggalkan tempat terkutuk ini, tetapi yang kulakukan malah bersimpati pada si pembunuh dan berusaha menolongnya, sementa
"Apa?" tanya Axel tak percaya."Aku mengandung anakmu, kau ingat waktu itu?" Aku menunduk malu, terlalu takut dengan penolakan dari bibir pria ini."Benarkah, sungguh!" Suaranya berubah penuh sukacita.Aku baru berani menatapnya. "Dokter baru memberitahuku tadi," lirihku."Milikku?""Ya, hanya kau yang melakukannya tanpa proteksi."Senyum merekah, wajah pria tampan itu seketika menguarkan cahaya kebahagiaan."Aku ... akan menjadi ayah?" tanyanya tak percaya."Ya," jawabku pelan.Axel berusaha meraih wajahku dan menanamkan kecupan pada keningku. "Aku mencintaimu, Eli. Kekasihku, separuh jiwaku."Hatiku bergetar, tersentuh oleh pernyataannya. Namun dalam sekejap, kebahagiaan itu sirna ketika Axel menyadari kenyataan di masa depan."Aku ... tidak akan bisa mendampingimu, membelikanmu makanan yang kau inginkan saat ngidam, aku ... tak bisa menggenggam tanganmu saat kau melahirkan bayi kita."
"Ms. Ellena, ini hasil pemeriksaannya." Dokter itu menatapku dengan senyum terkembang lebar pada bibir tipisnya."Ya," jawabku pelan. Masih merasa pusing setelah terbangun dari pingsan.Dokter melirik kehadiran George, Boni, Jodi, dan juga Eve."Tidak apa-apa, langsung katakan saja, Dok." pintaku."Selamat, Anda sedang mengandung.""Apa?" Seketika keempat rekanku berteriak terkejut."Maksud Dokter?""Ya, kandungan masih sangat kecil. Satu bulan."Apa? Bagaimana mungkin? Seketika bayangan pemaksaan itu kembali hadir dalam benak. Oh ya benar, Axel melakukannya tanpa proteksi waktu itu. Di saat seperti ini, kenapa harus terjadi."Selamat ya. Jaga kondisi, istirahat cukup agar morning sicknes tak semakin parah," pesan dokter itu sebelum pergi.Setelah pintu ditutup, Eve segera mendekatiku. "A
Jeritanku membahana membelah kericuhan di tengah baku tembak. Perlahan, priaku menoleh menatap tangan gemetar ini.Tidak. Bukan aku yang menembak. Kami telah dikelilingi para polisi berseragam anti peluru dari lantai empat. Asad, berikutnya mendapat tembakan setelah Axel, tepat di kepalanya. Pemuda berambut keriting itu jatuh dengan suara berdebum keras."Tenanglah, kau aman sekarang!" Seseorang memelukku dari belakang, menyeretku pergi sementara dalam kegamangan aku melihat Axel terhuyung jatuh bersimbah darah.Jiwaku seakan meninggalkan raga. Hampa. Kosong. Tanpa kehendak tubuhku dibawa pergi. Semua menjadi kesunyian abadi. Berkomat-kamit dalam gerak lambat membuatku berkedip bingung. Otakku tak mau mencerna. Tubuhku gemetar hebat. Dan kegelapan absolut menelanku dalam kedamaian.***Suara dengungan mesin membangunkanku. Aku mengedip bingung mencerna plafon putih di atas kepala.
Asap mengepul dari salah satu pojokan. Aku bisa melihat dari sini rombongan pria memakai rompi khusus sedang membidik ke arah tersebut.Jantungku bertalu semakin kuat. Memohon dalam hati semoga di sana Axel tidak berada. Aku merunduk saat melihat salah seorang dari mereka berbalik."Hei siapa itu?" teriaknya.Sial, dia melihatku. Aku berlari ke salah satu kamar dan menutupnya. Segera bersembunyi ke bawah tempat tidur.Langkah kaki terdengar mengejar di luar kamar. Berdentum seperti irama jantungku.Pergilah, kumohon. Suara tembakan lagi terdengar dari luar pintuku."Periksa setiap kamar!" Teriakan terdengar dari luar."Tidak! Mereka berada di sayap kiri. Lihat, mereka membalas tembakan! Di sini butuh bantuan!" Sahutan terdengar samar-samar."Satu orang memeriksa di sini! Sisanya bantu ke sayap kiri!" perintah sebuah suara berat.
Aku memberontak, lecetnya kulit tak kuhiraukan sama sekali. Semakin cepat aku membebaskan diri, kemungkinan dirinya selamat lebih besar. Apa pun itu, aku akan melakukannya demi Axel. Betapa bodohnya diriku, aku mengutuk dalam hati, tapi jeratan itu terlalu kuat untuk bisa kubebaskan. Benang takdir yang tak bisa kami putuskan. Cinta semenyakitkan ini. "Kumohon, sekali ini saja, bantu aku!" Aku memohon pada Yang Kuasa. Keajaiban yang kunanti, yang tak kunjung datang seumur hidup. Namun kali ini, keajaiban itu terjadi. Aku melihat lempengan besi kecil bagian dari sparepart jamku terjatuh tak jauh dari jangkauan. Menggunakan kaki aku menggapai benda kecil itu menuju lenganku. Bersyukur, tubuhku sefleksibel itu hingga bisa menjangkaunya. Menggunakan benda kecil itu aku mulai mengerat tali yang mengikatku ke ranjang. Dalam sepuluh menit kemudian semua tali sudah terlepas. Aku berla
Terbangun dalam pusing parah membuatku terbatuk-batuk. Udara berbau tak enak, apek dan lembap. Belum lagi ruangan yang gelap gulita.Aku berusaha menggerakkan tangan, tapi tak ada yang terjadi. Tubuhku bergeming. Apa ini? Tanganku terasa seperti diikat oleh tali."Axel?" panggilku parau. "Kau di sini?" Pipiku menyentuh seprai lembut. Dia membaringkanku ke tempat tidur. Kakiku juga terikat kuat dan terhubung pada ranjang."Axel!" teriakku marah. Dia membiusku dan mengikatku layaknya tawanan. Apa maunya pria sialan ini?"Apa maumu? Kuperingatkan kau, lepaskan aku sekarang!" Aku memberontak marah. Hidungku berdenyut nyeri saat aku berteriak.Lampu tiba-tiba dihidupkan. Terang benderang membuatku berkedip tak fokus demi menyesuaikan intensitas cahaya."El, apa ini?" Axel berjalan mendekat. Menatapku lekat-lekat.Ia mengangkat telepon gantungan kunci ke atas su
Jika bisa aku ingin menghapus segala ingatan menyakitkan ini. Kenangan yang selalu berakhir menjadi mirip buruk mengerikan. Selalu tentangnya. Hari itu, di atap gedung Laguna. Sosok yang sama berbalik sambil mengucapkan selamat tinggal padaku.Lalu dia jatuh membawa serta jantungku. Terjun bebas menantang kuatnya angin menerpa. Namun, alih-alih tubuhnya terburai menyentuh aspal, tubuh Axel justru melayang ke angkasa, menatapku sembari mencibir dan tertawa keras.Tertawa akan kebodohanku, betapa mudah aku dikecoh, dan cinta yang membuatku terjerat pada kesetiaan. Semua ... adalah kepalsuan.Aku meringkuk setelah terbangun. Bantalku lembap oleh air mata."Hei, Bodoh!" Suara Leona mengejutkanku."Kenapa kau menangis semalaman, sudah kubilang jangan berisik." Ia berdecak kesal.Sialnya, pertahananku kian runtuh. Isakan kecil lolos dari bibirku, seakan seseorang menikam jantungku dan meninggalkan luka menganga yang masih berdara
Axel membawa jemariku mendekati netra besar miliknya. Masih bingung dengan reaksi pria ini aku berusaha menarik kembali lenganku."Ada apa? Wajahku yang perlu diobati bukannya tangan.""El," lirihnya. Sklera pria tampan itu seketika memerah, membuat detak jantungku berpacu cepat."Eli?" Ia mengecup telapak tanganku. Saat itulah baru kusadari bekas luka lama akibat perbuatan Yuki."Bekas luka ini, aku yang menjahitnya sendiri. Bagaimana aku bisa lupa, kau Eli." Axel menatapku sendu.Lidahku kelu, tak sanggup menyangkal dengan kenyataan yang terpampang sekarang."Aku---""Please, jangan berbohong lagi." Air mata luruh bersama kalimatnya."Bagaimana bisa wajahmu? Apa yang terjadi?" Axel menarik tubuhku ke dalam pelukan erat."Lepaskan aku!" pintaku memelas. Rasa sakit semakin mencengkeram tubuh ini dan tak tertahanka
"El, ayolah!" teriakan Asad di tepi arena menyadarkanku kembali, aku berusaha berlutut. Wajah-wajah sekeliling menjadi buram, langkah kaki pria besar itu mendekat lagi.Tepukan heboh bersama suara penonton mulai berteriak, "Habisi dia! Habisi dia!" Bercampur denging melengking dari kedua telingaku.Darah merembes membuat lantai di bawah kakiku menjadi merah dan licin."Eli, kau bisa, kau bisa!" Suara Dayana menarikku kembali ke dunia nyata. Gadis cantik itulah yang selalu menyemangatiku saat pertarungan dengan sesama PPS.Aku menutup mata, mengatur napas susah payah. Rasa nyeri mendekam kuat membuatku hampir muntah.Ini saatnya, kala pria itu mencapai arahku, ia bersiap menyarangkan tinju. Aku melompat mundur seketika, Toby yang terlanjur menyerang tak bisa membatalkan langkah dan terjerembap meninju angin. Darah licinku membuat pria itu jatuh dengan suara berdebum.