Pria itu lalu memotong pakaian dalam Lyra, menampilkan sederet halus kulit di dadanya.
Keyakinanku semakin kuat bahwa pria ini akan melakukan hal keji. Kuakui tubuh si pirang sangat seksi, lagi menarik. Kulitnya mulus, seputih susu. Pinggangnya ramping dengan tubuh semampai bak biola. Begitulah dulu ia menjebak atensi pria dengan pesona kecantikan dan mengambil apa yang bukan haknya.Tiba-tiba pria itu menghunjamkan pisaunya dalam-dalam ke dada Lyra. "Dengan hati yang busuk," ucapnya, memutar pisau yang menancap.
Kali ini, tidak ada suara jeritan lagi, yang ada hanya suara berdenguk dari tenggorakan Lyra. Sesaat kemudian tubuh sekarat itu menggelepar liar, kejang-kejang. Lalu berhenti untuk selamanya.
Darah membanjiri lantai, membentuk kubangan merah mengerikan. Sangat kasar, pria itu menarik pisau yang menancap di tubuh tak bernyawa Lyra, lalu membersihkan darah dengan lidahnya.
"Tidak boleh meninggalkan jejak," racaunya.
Ia lalu berbalik ke arahku.
Inilah saatnya, giliranku untuk mati.
"Giliranmu, Manis," ucapnya.
Aku menatapnya tanpa gentar sewaktu ia mendekat, pria itu mulai mengarahkan pisau ke mataku.
"Untuk mata yang cantik."
Pandanganku berlabuh pada gerakannya sesaat, kemudian kembali mematut wajah memesona pria itu.
"Hei! Kau tak ingin menjerit dulu, atau memohon-mohon padaku?" tanyanya.
"Lakukanlah dengan cepat," balasku sarkas.
Ia menatapku tidak percaya, lalu tawanya membahana, menggema ke seluruh ruangan.
"Bagus! Bagus sekali, kau akan kubiarkan hidup, sampai aku melihat sinar di matamu meredup. Akan kutunjukkan cara mati yang bagus."Pria itu menurunkan pisau dan berjalan menjauh.
“Hei!” panggilku.
Si pria tampan menoleh, bahkan dari belakang ia memiliki fitur indah. Tegap, tak terlalu berisi maupun kurus.
"Siapa namamu? Tidak mungkin aku memanggilmu Tuan Pembunuh 'kan?"
"Mm ... aku tidak pernah memberi tahu nama asliku pada mangsaku, kau bisa memanggilku sesuai selera.” Ia berjingkrak senang. “Aku bisa menjadi Kevin, David, Alan, atau nama-nama popular lain.” Ia terkekeh seolah itu adalah guyonan lucu, aku menanggapi dengan tatapan malas.
Melihat reaksiku, tawanya berhenti. Ia berjalan mendekat, berjongkok tepat di hadapanku. “Tapi baiklah! Kau adalah pengecualian." Pria itu mendekatkan mulutnya ke telingaku.
"Kau boleh memanggilku, Axel." Embusan napasnya menggelitik telingaku.
"Axel, namaku adalah ...."
"Shttt!!!" Axel langsung membekap mulutku.
"Aku tidak bertanya dan aku tidak mau tahu siapa nama mangsaku, kau cukup kupanggil, Manis!"
Aku mengangguk pelan.
"Bagus!" ucapnya sambil melepaskan bekapan tangannya.
Aku mungkin sudah gila, karena tahu berhadapan dengan pembunuh sadis tanpa gentar sedikit pun. Mungkin aku hanya belum sadar atau otakku belum berfungsi normal jika aku sedang dalam bahaya.
Ia memperlakukanku sangat baik. Setelah menerima begitu banyak beban dan sakit hati, betapa senangnya aku mendapat perlakuan manusiawi seperti ini, dan aku membuang jauh-jauh kenyataan bahwa Axel adalah seorang pembunuh.
Pria tampan yang bisa membunuhku kapan saja. Hari ini, esok, atau bahkan lusa. Kegamangan intuisi membuatku kehilangan persepsi bahaya. Otakku merespon lamban, terutama terhadap rasa takut. Aku tahu depresi telah mengambil kenormalan sebagai manusia.
Namun, Axel tidak puas hanya dengan membunuh Lyra, ia sangat ketagihan dengan membunuh, pria itu bercerita padaku dengan bangga bahwa ia sudah mulai membunuh saat usianya baru sepuluh tahun.
Ia membunuh kedua orang tua angkatnya.
Ya .... Dia adalah anak yatim-piatu.
Meski melihat kesintingan di mata Axel saat bercerita, tetapi entah kenapa ... aku merasa iba padanya.
Hidup dalam kegelapan karena dia ditolak oleh semua orang, sama sepertiku.
***
Decitan ban berpadu dengan teriakan manusia, dalam gerak lambat mobil bus menghantam tubuh sesosok remaja, kala kaki kecilnya menyeberangi jalan. Air mataku mengalir bersama teriakan keras.“Tidaaak!” Aku terbangun bersimbah keringat.
Ruangan gelap membuatku semakin tercekik keputusasaan. Sakit. Kenangan mengerikan itu membuatku terisak sedih.
“Hei!” panggil suara sendu di sampingku, aku menoleh.
Perlu waktu sejenak hingga mataku berhasil menyesuaikan intesitas cahaya temaram. Itu Axel. Pria itu bergeming bagai patung manekin. Duduk di lantai, sementara aku menyadari telah tertidur dalam kondisi terikat di kursi.
“Apa?” Aku berharap dapat mengusap keringat yang hampir jatuh mengenai mataku.
Axel beringsut mendekat, menyadari intensiku dengan mengusap lembut kening basah ini.
“Jangan menangis.” Jemarinya turun menjamah wajahku. “pain, pain, go away!” Ia meniup lembut seolah mengusir duka lara yang tersirat dalam romanku. Sialnya, perlakuan kekanakan itu malah membuat air mataku mengalir deras.“Apa yang membuatmu menangis?” Axel membelai kepalaku. “Tanganmu sakit?”
Aku menggeleng, tersedak pilu. “Mereka membenciku,” ujarku lirih.
“Siapa?”
“Orang tuaku.”
“Kenapa?”
“Karena aku menyebabkan adikku meninggal.” Perasaan bersalah itu mencengkeram semakin kuat, mengimpitku erat.
“Bukan salahmu, kecelakaan itu bukan salahmu,” ujarnya.
Aku terbeliak tak percaya. “Bagaimana kau bisa tahu?”
Axel tersenyum ramah, mengusap air mata yang hampir menyentuh bibirku. “Kau berbicara dalam tidur, bagaimana sebuah kecelakaan bisa menjadi kesalahanmu?”
“Karena pertengkaran kami, karena aku dipecat, karena aku tidak bisa membiayai sekolahnya, andai saja … aku ….” Tangisku pecah, berderai keras meruntuhkan pertahanan terakhirku. Betapa lucunya menangis di hadapan orang asing. Bagaimana dia bisa mengerti?
Andai saja hari itu bisa diulang, andai saja adikku tak pergi dalam kemarahan dan berlari menyeberang jalan saat itu, andai saja Lyra tak membuatku dipecat, semua ini … tidak akan pernah terjadi.
Axel menepuk punggungku, berusaha menenangkan mangsanya. Konstan, berirama, membuatku merasa tak sendirian. Aku tenggelam dalam dunia kebaikan yang pembunuh ini ciptakan. Sebuah penerimaan.
Aku, si pendosa yang rapuh.
***
Hari berganti. Di mana ada ketenangan, berikutnya pasti ada kericuhan. Axel membawa seorang pria gemuk ke ruang bawah tanah hari itu, menyiksanya dengan meminta si tambun memohon untuk hidup. Bagai binatang, kedua tangan terikat sementara sang korban merangkak meminta belas kasihan. Namun pada akhirnya, Axel tetap mengiris putus tenggorokan pria itu.
Pembunuhan kali ini memberi efek pada otakku. Mungkin perlahan-lahan otakku mulai sembuh.
Darah yang menggenangi lantai membuat isi perutku bergejolak mual, saat ia menatapku, aku membuang wajah, sebelum balas menatapnya dengan tipuan pandangan hampa.
Namun, sebenarnya aku tahu ia menangkap kilatan dalam mataku.Apakah ia sudah melihat ketakutan di sana?
Jantung kuberdegup cepat mengamati reaksi si pembunuh. Axel terlihat tak tertarik, masih menutup rapat bilah indahnya. Ia lalu menyeret mayat pria gemuk itu pergi.
Bukan darah yang membuatku takut saat otakku sudah mulai sembuh, tetapi permohonan mereka untuk tetap hidup dan jeritan menyayat mereka yang terus membayangi tidurku.
Bagaimana Axel masih bisa tertidur lelap setelah semua yang telah ia lakukan? Apakah hatinya sudah berubah menjadi batu? Atau aku yang terlalu lemah, yang sudah berubah dari niat awal untuk mati.Meski selalu dalam kondisi terikat, aku diberi tempat tidur dan makanan yang cukup. Bahkan setiap satu kali sehari ia melepaskan ikatan dan berdiri mengamatiku mandi.
Walaupun respon otakku masih lambat, tetapi aku merasa malu juga pada awalnya. Namun, karena dia hanya melihat tanpa berbuat macam-macam, bahkan boleh dibilang dia sangat sopan padaku, lambat laun perasaan malu itu hilang dengan sendirinya.Ia memperlakukanku sama, seolah kami adalah sesama pria, tidak pernah terpancar nafsu dalam matanya. Itu yang membuatku merasa aman, meskipun kadang kami tidur berdampingan.
Di luar dari kesintingannya dalam ketagihan membunuh, Axel terlihat seperti manusia pada umumnya.
Ia sering mengajakku berbicara, menceritakan tentang dirinya atau bertanya tentang diriku.
Bahkan mungkin dalam kondisi biasa, aku mungkin akan jatuh cinta padanya.Tidak! Aku mungkin akan tergila-gila padanya.Secara fisik, ia terlihat seperti model atau aktor terkenal yang salah lokasi.
Ya, tipe yang akan membuat iri para pria dan membuat wanita tergila-gila.Kau bisa membayangkannya sendiri bagaimana rupanya, sangat sulit untuk menjabarkannya.
Wajahnya lebih dari 6X kata "sangat" tampan.Ya ... seperti iblis dalam rupa malaikat. Dia beracun, tetapi memikat.
Setelah kira-kira lima hari tinggal bersamanya, lebih tepat disekap olehnya. Aku mulai tahu kalau Axel tidak sembarangan memilih mangsa.Mangsa yang ia pilih adalah orang-orang yang mempunyai kecenderungan untuk berbuat jahat.Seperti pria gemuk itu, yang ternyata sangat suka korupsi.Axel bercerita tentang bagaimana cara menjerat mangsa, dengan pesona yang dimilikinya dan tutur kata halus, setiap mangsa menjadi lengah tanpa tahu bahwa yang sedang mereka hadapi adalah iblis berwajah malaikat.Bisa kubayangkan bagaimana wajah sendu Lyra yang menatap Axel penuh harap, terjerat oleh daya pikatnya. Juga iming-iming uang pada pria gemuk mata duitan itu. Hawa nafsu menjadi racun yang membua tmereka menemui ajal.Seperti laba-laba menjerat mangsanya, sekali terjerat tak akan bisa melepaskan diri. Mungkin ... mungkin saja, perlahan-lahan aku juga mulai terjerat pesonanya.Kadang aku berharap ia berhenti untuk memuaskan keinginan membunuh. Karena aku t
Aku memejamkan mata saat mendengar jeritan yang membekukan jantung. Wanita itu masih menjerit saat aku membuka mata.Ia menatap Axel tidak percaya. Dengan santai, Axel berjalan menjauh dan mengambil senjata lain."Menjeritlah sesukamu, ruangan ini kedap suara, jadi takkan ada yang mendengar suaramu, Sayang.""K-kau ... kau?" Sambil menahan sakit, wanita itu memegang ulu hatinya, pemecah es itu masih menancap di sana."Kenapa?" tanya Axel sambil memiringkan kepalanya. Mengerikan sekaligus menggemaskan. Menampilkan wajah sepolos anak kecil."Kau marah sayang? Bukankah sebelumnya kau bilang aku boleh melakukan apa saja padamu?" Axel tersenyum culas, memesona, tapi juga menakutkan."Jadi ini yang kulakukan, Sayang! Aku ingin melihat tubuhmu dengan lebih jelas." Axel melangkah ke arah tubuh wanita itu dengan dua utas tali dan sebuah pisau bedah."Showtime!""JANGAN!J--jangan!" teriak wanita itu."Ow! Kasihan, s
"TADAA! Bohong deh! HAHAHAHAHAHA ...." Ia tertawa terbahak-bahak sampai terbaring di ranjang yang kutempati.Ingin sekali aku memaki dan memukulinya, karena membuatku berpikir akan mati saat ini. Gemetar di seluruh tubuhku tidak mau berhenti dan aku menangis sejadi-jadinya.Ia berhenti tertawa mendengar tangisan keras, lalu mendekatkan wajah padaku. Kukira ia akan berteriak lagi, tetapi tiba-tiba tangannya terulur dan membelai kepalaku dengan lembut. Seolah aku seorang anak kecil.Axel lalu berbisik, "I'm sorry, Sweetheart." Sebelum akhirnya melangkah pergi untuk membereskan kekacauan yang ia buat.Axel menyeret tubuh si wanita. Mencacahnya menjadi potongan-potongan kecil sebelum dimasukkan ke dalam kantung sampah besar. Setelah itu, Axel membawa potongan tubuh ke lantai atas, ia menghilang selama dua jam.Kembali lagi dengan nampan berisi makanan. Mataku terasa bengkak karena tangis berkepanjangan, masih tergugu saat ia mendekat.&
Pagi pun menjelang. Saat aku membuka mata setelah tertidur selama dua jam, Axel sudah menghilang dari tempat tidur kami.Apa yang disiapkannya?Apa yang direncanakannya?Aku memegang kepalaku dengan takut.Tanpa sadar kakiku menyentuh sesuatu di bawah ranjang, aku melongok ke bawah.Sebuah piring berisi makanan diletakkan di sana, beserta segelas besar air dan secarik pesan.Makan pagimu, Axel!Axel sebelumnya tidak pernah meninggalkanku pada saat pemberian makan, selalu mengawasi gerak-gerikku. Aneh sekali kali ini dia melakukan pengecualian. Dia bahkan menyediakan pispot urinal wanita di samping ranjang. Secara tidak langsung, ini menyiratkan bahwa dia akan pergi dalam waktu lama.Setelah seharian menanti dengan takut, akhirnya sang pembunuh kembali. Ia masuk ke ruang bawah tanah dengan wajah berseri-seri, lalu melemparkan dua buah bungkusan ke atas kasurku."Ayo mandi!" ucapnya sambil membuka b
Aku melangkah cepat ke ujung jalan. Agak malu dengan penampilanku yang sangat seksi. Mata-mata kurang ajar melemparkan tatapan menjijikkan ketika kaki ini melewati mereka. Sebelum aku sampai ke tempat pria berjas biru itu, ia sudah menatapku lekat-lekat dari jauh. Ya ... kombinasi dari gaun merah mencolok dan baju seseksi ini, siapa yang tidak melihat kedatanganku. Bahkan kerlipan indah di sepatu mewah ini menarik atensi para wanita.Aku berjalan ke arahnya perlahan, mengeja langkah lamat-lamat. Tahu dengan pasti Axel sedang memperhatikan kami saat ini. "Hallo, Manis! Ada yang bisa kubantu?" ucapnya sambil memicing ke arah pahaku.Jijik sekali mendengar lelaki itu memanggilku seperti ini. Panggilan serupa dengan yang diberikan Axel padaku. "Ya …," jawabku sengaja menggantungkan suara, "kurasa … aku tersesat," tambahku malu-malu dan mengerling padanya. Ok! Kuakui aktingku sangat memalukan, tidak pernah sekali pun seumur hidup aku menggoda lelaki,
Pria itu bangkit kembali seperti zombie. Darah menetes dari lukanya yang menganga lebar. Terutama pada bagian kepala. Layaknya keran bocor, likuid kental memberi tampilan mengerikan di sosoknya. "Brengsek!" makinya sambil menendang Axel sekali lagi. Ia lalu menjambak kemeja Axel dan menghantamkan kepalanya ke kepala pemuda itu. Tubrukan keras menyebabkan Axel terhuyung-huyung, tetapi tidak terjatuh karena si pria mesum masih mencengkeram pemuda itu.Axel berusaha melawan dengan menendangkan kakinya ke sisi tubuh pria itu, membuat si pria melepaskan cengkeramannya. Axel memutar tubuh dan memberi tendangan berputar ke kepala pria itu. Namun sayangnya, si pria sudah bersiap dengan ancang-ancang. Ia berhasil menangkap kaki Axel lalu memelintirnya, membuat Axel menjerit keras, sebelum membanting tubuh pemuda itu ke lantai. Axel terjerembap, kemudian jatuh berguling di tangga menuju ruang bawah tanah. "AXEL!!!" teriakku panik, kudengar ia berteriak kesa
Entah kenapa? Di sudut hati yang paling dalam, aku merasa berat meninggalkannya dalam kondisi seperti ini. Aku memukul sisi kepala dengan kuat, bingung oleh kecamuk di hati. Apa yang akan kulakukan? Aku menatapnya dengan sedih. Betapa kesepiannya hidup pria ini, jika aku meninggalkannya, siapa yang akan merawat luka Axel? Lebih dari semua itu, aku pun merasa berutang budi, dia menyelamatkan kehormatanku. Harga diri bagi seorang gadis polos sepertiku. Ia kembali berbicara dalam tidur, bergumam, "Jangan dan tolong aku." Secara spontan aku berbalik kembali ke ranjang dan menggenggam tangannya, berusaha menenangkannya dalam tidur. Menepuk lembut lengan si pembunuh sadis itu. Mungkin kau akan menyebutku wanita paling bodoh sedunia. Ya ... aku bahkan ingin sekali memaki diriku sendiri, seharusnya aku mengikuti akal sehat dan meninggalkan tempat terkutuk ini, tetapi yang kulakukan malah bersimpati pada si pembunuh dan berusaha menolongnya, sementa
Dear diary, Aku tahu seharusnya tidak menuliskan semua ini, ya ... aku bahkan tidak ingin menuliskannya.Aku hanya tidak tahan lagi harus menghadapinya sendiri, tiada tempat untuk kubagi rasa sakit ini selain di sini .... Kuharap ... tidak ada yang akan menemukan buku ini kelak .... Karena bila seseorang membacanya, ia akan tahu siapa diriku, isi hatiku, apa yang kurasakan dan bagaimana sifat asliku. Karena aku tahu, cepat atau lambat, aku akan berubah menjadi sesuatu yang mereka ciptakan. Menjadi …. MONSTER. Hatiku berdebar-debar, tanganku mulai gemetar. Kubuka lagi halaman berikut dari buku diari usang itu sambil memastikan Axel masih terlelap di tempat tidur. Tanggal 15 Desember, Sepasang suami istri datang ke panti asuhan tempatku berada dan Ia mengamati semua anak dari usia delapan sampai sepuluh tahun. Usiaku sembilan t
"Apa?" tanya Axel tak percaya."Aku mengandung anakmu, kau ingat waktu itu?" Aku menunduk malu, terlalu takut dengan penolakan dari bibir pria ini."Benarkah, sungguh!" Suaranya berubah penuh sukacita.Aku baru berani menatapnya. "Dokter baru memberitahuku tadi," lirihku."Milikku?""Ya, hanya kau yang melakukannya tanpa proteksi."Senyum merekah, wajah pria tampan itu seketika menguarkan cahaya kebahagiaan."Aku ... akan menjadi ayah?" tanyanya tak percaya."Ya," jawabku pelan.Axel berusaha meraih wajahku dan menanamkan kecupan pada keningku. "Aku mencintaimu, Eli. Kekasihku, separuh jiwaku."Hatiku bergetar, tersentuh oleh pernyataannya. Namun dalam sekejap, kebahagiaan itu sirna ketika Axel menyadari kenyataan di masa depan."Aku ... tidak akan bisa mendampingimu, membelikanmu makanan yang kau inginkan saat ngidam, aku ... tak bisa menggenggam tanganmu saat kau melahirkan bayi kita."
"Ms. Ellena, ini hasil pemeriksaannya." Dokter itu menatapku dengan senyum terkembang lebar pada bibir tipisnya."Ya," jawabku pelan. Masih merasa pusing setelah terbangun dari pingsan.Dokter melirik kehadiran George, Boni, Jodi, dan juga Eve."Tidak apa-apa, langsung katakan saja, Dok." pintaku."Selamat, Anda sedang mengandung.""Apa?" Seketika keempat rekanku berteriak terkejut."Maksud Dokter?""Ya, kandungan masih sangat kecil. Satu bulan."Apa? Bagaimana mungkin? Seketika bayangan pemaksaan itu kembali hadir dalam benak. Oh ya benar, Axel melakukannya tanpa proteksi waktu itu. Di saat seperti ini, kenapa harus terjadi."Selamat ya. Jaga kondisi, istirahat cukup agar morning sicknes tak semakin parah," pesan dokter itu sebelum pergi.Setelah pintu ditutup, Eve segera mendekatiku. "A
Jeritanku membahana membelah kericuhan di tengah baku tembak. Perlahan, priaku menoleh menatap tangan gemetar ini.Tidak. Bukan aku yang menembak. Kami telah dikelilingi para polisi berseragam anti peluru dari lantai empat. Asad, berikutnya mendapat tembakan setelah Axel, tepat di kepalanya. Pemuda berambut keriting itu jatuh dengan suara berdebum keras."Tenanglah, kau aman sekarang!" Seseorang memelukku dari belakang, menyeretku pergi sementara dalam kegamangan aku melihat Axel terhuyung jatuh bersimbah darah.Jiwaku seakan meninggalkan raga. Hampa. Kosong. Tanpa kehendak tubuhku dibawa pergi. Semua menjadi kesunyian abadi. Berkomat-kamit dalam gerak lambat membuatku berkedip bingung. Otakku tak mau mencerna. Tubuhku gemetar hebat. Dan kegelapan absolut menelanku dalam kedamaian.***Suara dengungan mesin membangunkanku. Aku mengedip bingung mencerna plafon putih di atas kepala.
Asap mengepul dari salah satu pojokan. Aku bisa melihat dari sini rombongan pria memakai rompi khusus sedang membidik ke arah tersebut.Jantungku bertalu semakin kuat. Memohon dalam hati semoga di sana Axel tidak berada. Aku merunduk saat melihat salah seorang dari mereka berbalik."Hei siapa itu?" teriaknya.Sial, dia melihatku. Aku berlari ke salah satu kamar dan menutupnya. Segera bersembunyi ke bawah tempat tidur.Langkah kaki terdengar mengejar di luar kamar. Berdentum seperti irama jantungku.Pergilah, kumohon. Suara tembakan lagi terdengar dari luar pintuku."Periksa setiap kamar!" Teriakan terdengar dari luar."Tidak! Mereka berada di sayap kiri. Lihat, mereka membalas tembakan! Di sini butuh bantuan!" Sahutan terdengar samar-samar."Satu orang memeriksa di sini! Sisanya bantu ke sayap kiri!" perintah sebuah suara berat.
Aku memberontak, lecetnya kulit tak kuhiraukan sama sekali. Semakin cepat aku membebaskan diri, kemungkinan dirinya selamat lebih besar. Apa pun itu, aku akan melakukannya demi Axel. Betapa bodohnya diriku, aku mengutuk dalam hati, tapi jeratan itu terlalu kuat untuk bisa kubebaskan. Benang takdir yang tak bisa kami putuskan. Cinta semenyakitkan ini. "Kumohon, sekali ini saja, bantu aku!" Aku memohon pada Yang Kuasa. Keajaiban yang kunanti, yang tak kunjung datang seumur hidup. Namun kali ini, keajaiban itu terjadi. Aku melihat lempengan besi kecil bagian dari sparepart jamku terjatuh tak jauh dari jangkauan. Menggunakan kaki aku menggapai benda kecil itu menuju lenganku. Bersyukur, tubuhku sefleksibel itu hingga bisa menjangkaunya. Menggunakan benda kecil itu aku mulai mengerat tali yang mengikatku ke ranjang. Dalam sepuluh menit kemudian semua tali sudah terlepas. Aku berla
Terbangun dalam pusing parah membuatku terbatuk-batuk. Udara berbau tak enak, apek dan lembap. Belum lagi ruangan yang gelap gulita.Aku berusaha menggerakkan tangan, tapi tak ada yang terjadi. Tubuhku bergeming. Apa ini? Tanganku terasa seperti diikat oleh tali."Axel?" panggilku parau. "Kau di sini?" Pipiku menyentuh seprai lembut. Dia membaringkanku ke tempat tidur. Kakiku juga terikat kuat dan terhubung pada ranjang."Axel!" teriakku marah. Dia membiusku dan mengikatku layaknya tawanan. Apa maunya pria sialan ini?"Apa maumu? Kuperingatkan kau, lepaskan aku sekarang!" Aku memberontak marah. Hidungku berdenyut nyeri saat aku berteriak.Lampu tiba-tiba dihidupkan. Terang benderang membuatku berkedip tak fokus demi menyesuaikan intensitas cahaya."El, apa ini?" Axel berjalan mendekat. Menatapku lekat-lekat.Ia mengangkat telepon gantungan kunci ke atas su
Jika bisa aku ingin menghapus segala ingatan menyakitkan ini. Kenangan yang selalu berakhir menjadi mirip buruk mengerikan. Selalu tentangnya. Hari itu, di atap gedung Laguna. Sosok yang sama berbalik sambil mengucapkan selamat tinggal padaku.Lalu dia jatuh membawa serta jantungku. Terjun bebas menantang kuatnya angin menerpa. Namun, alih-alih tubuhnya terburai menyentuh aspal, tubuh Axel justru melayang ke angkasa, menatapku sembari mencibir dan tertawa keras.Tertawa akan kebodohanku, betapa mudah aku dikecoh, dan cinta yang membuatku terjerat pada kesetiaan. Semua ... adalah kepalsuan.Aku meringkuk setelah terbangun. Bantalku lembap oleh air mata."Hei, Bodoh!" Suara Leona mengejutkanku."Kenapa kau menangis semalaman, sudah kubilang jangan berisik." Ia berdecak kesal.Sialnya, pertahananku kian runtuh. Isakan kecil lolos dari bibirku, seakan seseorang menikam jantungku dan meninggalkan luka menganga yang masih berdara
Axel membawa jemariku mendekati netra besar miliknya. Masih bingung dengan reaksi pria ini aku berusaha menarik kembali lenganku."Ada apa? Wajahku yang perlu diobati bukannya tangan.""El," lirihnya. Sklera pria tampan itu seketika memerah, membuat detak jantungku berpacu cepat."Eli?" Ia mengecup telapak tanganku. Saat itulah baru kusadari bekas luka lama akibat perbuatan Yuki."Bekas luka ini, aku yang menjahitnya sendiri. Bagaimana aku bisa lupa, kau Eli." Axel menatapku sendu.Lidahku kelu, tak sanggup menyangkal dengan kenyataan yang terpampang sekarang."Aku---""Please, jangan berbohong lagi." Air mata luruh bersama kalimatnya."Bagaimana bisa wajahmu? Apa yang terjadi?" Axel menarik tubuhku ke dalam pelukan erat."Lepaskan aku!" pintaku memelas. Rasa sakit semakin mencengkeram tubuh ini dan tak tertahanka
"El, ayolah!" teriakan Asad di tepi arena menyadarkanku kembali, aku berusaha berlutut. Wajah-wajah sekeliling menjadi buram, langkah kaki pria besar itu mendekat lagi.Tepukan heboh bersama suara penonton mulai berteriak, "Habisi dia! Habisi dia!" Bercampur denging melengking dari kedua telingaku.Darah merembes membuat lantai di bawah kakiku menjadi merah dan licin."Eli, kau bisa, kau bisa!" Suara Dayana menarikku kembali ke dunia nyata. Gadis cantik itulah yang selalu menyemangatiku saat pertarungan dengan sesama PPS.Aku menutup mata, mengatur napas susah payah. Rasa nyeri mendekam kuat membuatku hampir muntah.Ini saatnya, kala pria itu mencapai arahku, ia bersiap menyarangkan tinju. Aku melompat mundur seketika, Toby yang terlanjur menyerang tak bisa membatalkan langkah dan terjerembap meninju angin. Darah licinku membuat pria itu jatuh dengan suara berdebum.