Pagi pun menjelang. Saat aku membuka mata setelah tertidur selama dua jam, Axel sudah menghilang dari tempat tidur kami.
Apa yang disiapkannya?
Apa yang direncanakannya?
Aku memegang kepalaku dengan takut.
Tanpa sadar kakiku menyentuh sesuatu di bawah ranjang, aku melongok ke bawah.
Sebuah piring berisi makanan diletakkan di sana, beserta segelas besar air dan secarik pesan.Makan pagimu, Axel!
Axel sebelumnya tidak pernah meninggalkanku pada saat pemberian makan, selalu mengawasi gerak-gerikku. Aneh sekali kali ini dia melakukan pengecualian. Dia bahkan menyediakan pispot urinal wanita di samping ranjang. Secara tidak langsung, ini menyiratkan bahwa dia akan pergi dalam waktu lama.
Setelah seharian menanti dengan takut, akhirnya sang pembunuh kembali. Ia masuk ke ruang bawah tanah dengan wajah berseri-seri, lalu melemparkan dua buah bungkusan ke atas kasurku.
"Ayo mandi!" ucapnya sambil membuka borgol, lalu menyampirkan handuk ke bahuku sambal menggiring langkahku ke kamar mandi.
Aku mencuri-curi pandang pada wajah tampan itu, penasaran dengan jalan pikirannya.
Ia bersiul pelan sambil mengamatiku mengguyur tubuh dengan air. Aku tidak bisa menahan diri lagi, tertekan oleh rasa ingin tahu.Jika aku akan mati, maka aku ingin tahu terlebih dahulu sebelum ia tiba-tiba membunuhku.
"Apa yang akan kau lakukan padaku?" tanyaku.
Axel tersenyum memesona. "Sesuatu yang spesial," ucapnya sambil memicing menatap tubuhku.
Aku menjadi jengah, baru teringat! Tubuhku masih tanpa pakaian sehelai pun, tapi malah mengajaknya berbicara.
Cepat-cepat kuselesaikan mandiku, lalu mengenakan handuk ke tubuh.
Axel menarik jemariku, kemudian mendudukkan tubuhku ke ranjang. Tangannya menjangkau bungkusan yang tadi dilemparkan begitu saja.
"Pakai ini, Manis!" Axel menyerahkan bungkusan itu.
Aku membuka bungkusan kantong kertas itu dan mendapati sebuah gaun berwarna merah sebatas paha di hadapanku, gaun halus berbahan elastis yang menyesuaikan dengan bentuk tubuh sang pemakai, di sana juga terdapat set perlengkapan make-up: dari lipstik, foundation, hingga pallet tiga puluh enam warna lengkap.
Aku menatapnya bingung. Selama ini ia hanya memberiku pakaian laki-laki, yang kutebak adalah pakaiannya sendiri, lalu kenapa sekarang Axel memberiku pakaian yang sangat seksi ini?"Pakai saja! Simpan semua pertanyaanmu. Semua akan terjawab nanti." Axel mengedipkan sebelah matanya.
“Ah, iya. Ini sepatumu!” Pria tampan itu kembali menyerahkan kantong kertas kedua ke tanganku. Sebuah sepatu sewarna gaun dengan heel setinggi sepuluh senti dihiasi butiran Swarovski. Indah sekali, berkelap-kelip ditimpa cahaya lampu.
"Rias wajahmu secantik mungkin," tambahnya. Axel menarik kursi, duduk, dan menungguku memulai aksi.
Aku meraih gaun merah, menggenakannya. Ternyata sangat pas di tubuh. Axel bahkan tahu ukuran tubuhku tanpa memastikan terlebih dahulu. Kemudian kurias wajah secantik mungkin, sesuai permintaannya.
Setelah persiapan selesai, ia mematutku dari atas sampai ke bawah dan menampilkan cengiran puas.
"Ayo, Manis! Kita akan pergi jalan-jalan keluar." Axel menggandeng tanganku, menarikku keluar dari ruang bawah tanah itu. Melewati undakan tangga menuju ke lantai atas. Axel membuka pintu depan. Ia mengulurkan tangan dan menautkan jemari kami.
Udara terbuka begitu segar ketika terhirup sampai ke paru-paruku, beberapa kali aku memejamkan mata menikmati momen ini.
Axel sama sekali tidak peduli dengan apa yang sedang aku lakukan, ia menarik tanganku dengan cepat, tidak membiarkanku berlama-lama menikmati angin malam.
Setelah lama terkurung di ruang bawah tanah yang pengap dan amis, senang sekali rasanya bisa menjejakkan kaki lagi ke dunia luar, lupa dengan apa yang mungkin direncanakan Axel.
Akhirnya kami tiba di sebuah pasar malam. Di sini, jalanan sangat ramai. Tenda-tenda pedangang kaki lima berjamur di mana-mana, menawarkan dagangan dengan teriakan khas masing-masing.Beberapa kali aku bahkan hampir jatuh tersenggol oleh orang lewat, beruntung Axel memegangku kuat-kuat.
Kulihat, banyak sekali gadis-gadis muda yang melewati kami, dan diam-diam mencuri pandang pada Axel. Aku tahu, mata mereka juga menatapku penuh iri.
Kenapa gadis biasa-biasa saja sepertiku bisa digandeng oleh pria setampan Axel? Mungkin mereka berpikir seperti itu. Oh! Andai saja mereka tahu seperti apa kelakuan pemuda itu. Kuyakin seratus persen, mereka akan lari terbirit-birit.
Tiba-tiba Axel menghentikan langkah di belokan jalan, lalu memutar tubuhnya sehingga kami berhadapan, dan menatapku lekat-lekat.
"Pergilah ke pria itu!" tunjuknya pada seorang pria di ujung jalan.
"Ya ... itu! Yang memakai jas biru muda, ajak dia ke rumah kita, Manis."
Aku menatapnya tak mengerti.
"Maksudku, gunakan segala cara untuk membawa dia ke rumah kita, kalau memang perlu, goda dia sedapat mungkin. Tawarkan sesuatu agar dia mau ikut denganmu, apa saja."
Tubuhku gemetar mendengar kalimat pemuda itu. Apa maksud Axel orang itu adalah sasaran berikutnya? Dan dia akan menggunakanku sebagai umpan?
Tawarkan apa saja katanya? Memangnya dia pikir aku wanita seperti apa? Semurahan itukah aku di mata Axel?Aku berusaha menahan air mata; takut, terhina, dan marah. Tanpa sedikitpun bergeming dari tempatku berdiri, menatap pemuda itu lekat-lekat.
"Apa saja?" tanyaku sarkas.
"Termasuk ... ini?" Kuturunkan tali bajuku sebelah, memperlihatkan tulang selangkaku pada si pemuda. Belahan gaun yang rendah bahkan hampir memperlihatkan bagian pribadiku.
Tangan Axel terulur cepat, segera membetulkan tali bajuku.
"Terserah kau saja!" ucapnya sambil memalingkan wajah.
Apa? Apa tadi dia malu?
Aku benar-benar tidak percaya dengan mataku, seolah perubahan mimiknya hanya fatamorgana, tetapi jelas sekali tadi rona merah sempat mewarnai wajah rupawan itu.
"Lakukan saja perintahku." Dalam sekejap saja, roman pemuda tampan itu berubah dingin.
Ow! Dinding pertahanan diri, dia pasti tidak ingin aku menyadari bahwa dia malu barusan.
Aku menggelengkan kepala perlahan. "Tidak mau! Jika kau mau, bawa saja dia sendiri. Aku bukan wanita yang bisa menggoda laki-laki," bantahku takut-takut. Jantungku berdetak tak karuan.
Ekspresinya langsung mengeras, ia mencengkeram bahuku sangat kuat. Menatap tepat ke dalam mataku. Sedingin es.
"Bawa dia ... atau anak itu akan kubunuh menggantikan pria itu, dan itu semua adalah salahmu. Karena kau sudah berani membantahku." Tangan Axel menuding seorang anak kecil tak jauh dari tempat kami berdiri.
Anak itu masih sangat kecil, kira-kira berusia lima tahun. Ia menggandeng lengan sang ibu dengan senyum semringah, balon merah tergenggam erat di jemari mungil itu. Bagaimana mungkin aku akan membiarkan hal itu terjadi. Anak kecil yang tidak bersalah akan mati oleh ketidakpatuhanku.
Axel menarik ujung pistolnya keluar dari balik jaket bajunya, mengancamku, dan membidikkannya tepat ke arah anak itu.
Aku akhirnya mengangguk terpaksa.
"Pergilah!" ujar Axel sambil mengedikkan kepala.
"Satu lagi!" tambahnya sambil menahan lenganku. "Jangan pernah berpaling, Manis. Ok?"
Aku mengangguk lagi, ia tidak ingin lokasinya diketahui, dan tidak ingin orang curiga padanya bila aku selalu menoleh ke belakang.
Tanganku bergerak merapikan rambut akibat tiupan angin malam. Gugup, kutarik gaunku yang pendek. Aku menarik napas panjang sebelum mengembus kuat dan memulai misi ini.
Aku melangkah cepat ke ujung jalan. Agak malu dengan penampilanku yang sangat seksi. Mata-mata kurang ajar melemparkan tatapan menjijikkan ketika kaki ini melewati mereka. Sebelum aku sampai ke tempat pria berjas biru itu, ia sudah menatapku lekat-lekat dari jauh. Ya ... kombinasi dari gaun merah mencolok dan baju seseksi ini, siapa yang tidak melihat kedatanganku. Bahkan kerlipan indah di sepatu mewah ini menarik atensi para wanita.Aku berjalan ke arahnya perlahan, mengeja langkah lamat-lamat. Tahu dengan pasti Axel sedang memperhatikan kami saat ini. "Hallo, Manis! Ada yang bisa kubantu?" ucapnya sambil memicing ke arah pahaku.Jijik sekali mendengar lelaki itu memanggilku seperti ini. Panggilan serupa dengan yang diberikan Axel padaku. "Ya …," jawabku sengaja menggantungkan suara, "kurasa … aku tersesat," tambahku malu-malu dan mengerling padanya. Ok! Kuakui aktingku sangat memalukan, tidak pernah sekali pun seumur hidup aku menggoda lelaki,
Pria itu bangkit kembali seperti zombie. Darah menetes dari lukanya yang menganga lebar. Terutama pada bagian kepala. Layaknya keran bocor, likuid kental memberi tampilan mengerikan di sosoknya. "Brengsek!" makinya sambil menendang Axel sekali lagi. Ia lalu menjambak kemeja Axel dan menghantamkan kepalanya ke kepala pemuda itu. Tubrukan keras menyebabkan Axel terhuyung-huyung, tetapi tidak terjatuh karena si pria mesum masih mencengkeram pemuda itu.Axel berusaha melawan dengan menendangkan kakinya ke sisi tubuh pria itu, membuat si pria melepaskan cengkeramannya. Axel memutar tubuh dan memberi tendangan berputar ke kepala pria itu. Namun sayangnya, si pria sudah bersiap dengan ancang-ancang. Ia berhasil menangkap kaki Axel lalu memelintirnya, membuat Axel menjerit keras, sebelum membanting tubuh pemuda itu ke lantai. Axel terjerembap, kemudian jatuh berguling di tangga menuju ruang bawah tanah. "AXEL!!!" teriakku panik, kudengar ia berteriak kesa
Entah kenapa? Di sudut hati yang paling dalam, aku merasa berat meninggalkannya dalam kondisi seperti ini. Aku memukul sisi kepala dengan kuat, bingung oleh kecamuk di hati. Apa yang akan kulakukan? Aku menatapnya dengan sedih. Betapa kesepiannya hidup pria ini, jika aku meninggalkannya, siapa yang akan merawat luka Axel? Lebih dari semua itu, aku pun merasa berutang budi, dia menyelamatkan kehormatanku. Harga diri bagi seorang gadis polos sepertiku. Ia kembali berbicara dalam tidur, bergumam, "Jangan dan tolong aku." Secara spontan aku berbalik kembali ke ranjang dan menggenggam tangannya, berusaha menenangkannya dalam tidur. Menepuk lembut lengan si pembunuh sadis itu. Mungkin kau akan menyebutku wanita paling bodoh sedunia. Ya ... aku bahkan ingin sekali memaki diriku sendiri, seharusnya aku mengikuti akal sehat dan meninggalkan tempat terkutuk ini, tetapi yang kulakukan malah bersimpati pada si pembunuh dan berusaha menolongnya, sementa
Dear diary, Aku tahu seharusnya tidak menuliskan semua ini, ya ... aku bahkan tidak ingin menuliskannya.Aku hanya tidak tahan lagi harus menghadapinya sendiri, tiada tempat untuk kubagi rasa sakit ini selain di sini .... Kuharap ... tidak ada yang akan menemukan buku ini kelak .... Karena bila seseorang membacanya, ia akan tahu siapa diriku, isi hatiku, apa yang kurasakan dan bagaimana sifat asliku. Karena aku tahu, cepat atau lambat, aku akan berubah menjadi sesuatu yang mereka ciptakan. Menjadi …. MONSTER. Hatiku berdebar-debar, tanganku mulai gemetar. Kubuka lagi halaman berikut dari buku diari usang itu sambil memastikan Axel masih terlelap di tempat tidur. Tanggal 15 Desember, Sepasang suami istri datang ke panti asuhan tempatku berada dan Ia mengamati semua anak dari usia delapan sampai sepuluh tahun. Usiaku sembilan t
Sebuah halaman yang penuh coretan tinta, terpisah sepuluh lembar dari halaman terakhir yang kubaca.Aku terkejut mendapati halaman itu penuh kata makian dan coretan pen yang menggores dan melubangi buku hingga tembus ke halaman belakang. Kata-kata seperti: kurang ajar, sialan, berengsek, sakit, dan mati. Apa yang telah terjadi padanya? Dalam sekejap kalimat manis telah hilang, berganti kata sakit hati dan penderitaan. Sesaat mataku menatap tulisan di hadapanku dengan aneh, ya memang aneh ... kali ini tulisannya menggunakan tinta biru dan jauh lebih jelek dari tulisan-tulisan sebelumnya. Kubuka kembali halaman pertama , ini dia ... tulisan di halaman awal sama dengan tulisan penuh coretan ini, ya ... menggunakan tinta biru yang sama dengan tulisan yang lebih jelek, jangan-jangan ... tulisan awal baru ditambahkan setelah sesuatu terjadi padanya? Rasa penasaran semakin menyergapku, aku sangat berharap menemukan jawaban di halaman berikutny
Hari itu aku ke sekolah, menemui wali kelasku di kantor guru saat jadwalnya kosong, aku sangat cemas hingga tidak bisa tertidur malam sebelumnya. Guruku—Bu Wilhemina—Menatapku dengan pandangan sinis, ia mengira aku akan meminta penjelasan pelajaran kala ia sedang istirahat. Aku bertanya padanya, bisakah dia menolongku? Bu Wihelmina berkata jika dia tak punya waktu, aku harus kembali setelah jam sekolah usai. Bagaimana mungkin, hanya ini kesempatanku, Mama selalu menjemputku saat pulang sekolah tepat waktu. Mengeraskan tekad, aku membuka baju dan memperlihatkan semua bekas luka di tubuh ini. Betapa terkejutnya wajah Bu Wihelmina, raut kesalnya berganti mimik prihatin, dia berjanji akan menemui Papa dan Mama. Aku pulang ke rumah hari itu penuh harapan. Setidaknya, seseorang akan membantuku kali ini. Lembar berganti. Sia-sia ... semuanya sia-sia .... Meski aku sudah memberitahu guruku dan memperlihatkan
Aku terbangun oleh suara langkah kaki yang menuruni tangga, rupanya aku tertidur tadi, setelah memikirkan segala macam hal di dalam kepala, membuatku letih dan terlelap. Kurasa bukan tubuh ini yang kelelahan, melainkan jiwaku. Aku membalikkan tubuh membelakangi pintu masuk, pura-pura masih terlelap. Jantungku berdegup kencang, malu, senang, dan bingung bercampur jadi satu. Ia membuka pintu perlahan, kurasakan tatapannya terpaku pada punggungku, lalu langkah kakinya berjalan mendekati tempat tidur. Ia mendudukkan diri di sisi lain ranjang. Kami berdua terdiam, Axel tak bergerak lagi. Perlahan kubalikkan tubuhku, menatap punggungnya. Axel menopangkan tangan pada kepalanya dan tertunduk. Ia sedang berpikir, mungkin merencanakan apa yang akan dilakukannya padaku. Aku bergidik ngeri, bagaimanapun juga Axel adalah seorang pembunuh dan aku takkan pernah mampu menyelami jalan pikirannya. Apakah aku yang terlalu berharap, hanya karena perlakuannya yang
"Axel?" panggilku. Axel tersenyum menyambutku seperti biasa. Ia menyunggingkan senyum jahatnya yang menawan. Aku menangis bahagia, tanpa malu lagi kupeluk tubuhnya. "Syukurlah kau kembali." Tangisku. Axel tertawa renyah, dilepaskannya pelukanku, lalu ia mundur selangkah, menatapku sambil tersenyum, tetapi kali ini, senyum sedih yang terlihat di wajahnya. "I'm sorry, Sweetheart." Dan ia pun berlalu. "Tidak ... tidak ... AXEL?" Tanganku menggapai-gapai, berusaha menjangkaunya, yang kugenggam hanyalah udara kosong dan aku terpaku menatap tanganku. Memandang sekeliling terkejut. Aku masih di ruang tamu dengan posisi terbaring di sofa dengan tangan terangkat berusaha menjangkau sesuatu. Mimpi ... hanya mimpi .... Namun, kenyataan yang datang mencengkeram jantungku, itu bukan hanya sekadar mimpi, tetapi apa yang aku takuti selama ini dan mimpi ini telah menjadi kenyataan yang pahit ... Axel telah pergi. *** Hari itu
"Apa?" tanya Axel tak percaya."Aku mengandung anakmu, kau ingat waktu itu?" Aku menunduk malu, terlalu takut dengan penolakan dari bibir pria ini."Benarkah, sungguh!" Suaranya berubah penuh sukacita.Aku baru berani menatapnya. "Dokter baru memberitahuku tadi," lirihku."Milikku?""Ya, hanya kau yang melakukannya tanpa proteksi."Senyum merekah, wajah pria tampan itu seketika menguarkan cahaya kebahagiaan."Aku ... akan menjadi ayah?" tanyanya tak percaya."Ya," jawabku pelan.Axel berusaha meraih wajahku dan menanamkan kecupan pada keningku. "Aku mencintaimu, Eli. Kekasihku, separuh jiwaku."Hatiku bergetar, tersentuh oleh pernyataannya. Namun dalam sekejap, kebahagiaan itu sirna ketika Axel menyadari kenyataan di masa depan."Aku ... tidak akan bisa mendampingimu, membelikanmu makanan yang kau inginkan saat ngidam, aku ... tak bisa menggenggam tanganmu saat kau melahirkan bayi kita."
"Ms. Ellena, ini hasil pemeriksaannya." Dokter itu menatapku dengan senyum terkembang lebar pada bibir tipisnya."Ya," jawabku pelan. Masih merasa pusing setelah terbangun dari pingsan.Dokter melirik kehadiran George, Boni, Jodi, dan juga Eve."Tidak apa-apa, langsung katakan saja, Dok." pintaku."Selamat, Anda sedang mengandung.""Apa?" Seketika keempat rekanku berteriak terkejut."Maksud Dokter?""Ya, kandungan masih sangat kecil. Satu bulan."Apa? Bagaimana mungkin? Seketika bayangan pemaksaan itu kembali hadir dalam benak. Oh ya benar, Axel melakukannya tanpa proteksi waktu itu. Di saat seperti ini, kenapa harus terjadi."Selamat ya. Jaga kondisi, istirahat cukup agar morning sicknes tak semakin parah," pesan dokter itu sebelum pergi.Setelah pintu ditutup, Eve segera mendekatiku. "A
Jeritanku membahana membelah kericuhan di tengah baku tembak. Perlahan, priaku menoleh menatap tangan gemetar ini.Tidak. Bukan aku yang menembak. Kami telah dikelilingi para polisi berseragam anti peluru dari lantai empat. Asad, berikutnya mendapat tembakan setelah Axel, tepat di kepalanya. Pemuda berambut keriting itu jatuh dengan suara berdebum keras."Tenanglah, kau aman sekarang!" Seseorang memelukku dari belakang, menyeretku pergi sementara dalam kegamangan aku melihat Axel terhuyung jatuh bersimbah darah.Jiwaku seakan meninggalkan raga. Hampa. Kosong. Tanpa kehendak tubuhku dibawa pergi. Semua menjadi kesunyian abadi. Berkomat-kamit dalam gerak lambat membuatku berkedip bingung. Otakku tak mau mencerna. Tubuhku gemetar hebat. Dan kegelapan absolut menelanku dalam kedamaian.***Suara dengungan mesin membangunkanku. Aku mengedip bingung mencerna plafon putih di atas kepala.
Asap mengepul dari salah satu pojokan. Aku bisa melihat dari sini rombongan pria memakai rompi khusus sedang membidik ke arah tersebut.Jantungku bertalu semakin kuat. Memohon dalam hati semoga di sana Axel tidak berada. Aku merunduk saat melihat salah seorang dari mereka berbalik."Hei siapa itu?" teriaknya.Sial, dia melihatku. Aku berlari ke salah satu kamar dan menutupnya. Segera bersembunyi ke bawah tempat tidur.Langkah kaki terdengar mengejar di luar kamar. Berdentum seperti irama jantungku.Pergilah, kumohon. Suara tembakan lagi terdengar dari luar pintuku."Periksa setiap kamar!" Teriakan terdengar dari luar."Tidak! Mereka berada di sayap kiri. Lihat, mereka membalas tembakan! Di sini butuh bantuan!" Sahutan terdengar samar-samar."Satu orang memeriksa di sini! Sisanya bantu ke sayap kiri!" perintah sebuah suara berat.
Aku memberontak, lecetnya kulit tak kuhiraukan sama sekali. Semakin cepat aku membebaskan diri, kemungkinan dirinya selamat lebih besar. Apa pun itu, aku akan melakukannya demi Axel. Betapa bodohnya diriku, aku mengutuk dalam hati, tapi jeratan itu terlalu kuat untuk bisa kubebaskan. Benang takdir yang tak bisa kami putuskan. Cinta semenyakitkan ini. "Kumohon, sekali ini saja, bantu aku!" Aku memohon pada Yang Kuasa. Keajaiban yang kunanti, yang tak kunjung datang seumur hidup. Namun kali ini, keajaiban itu terjadi. Aku melihat lempengan besi kecil bagian dari sparepart jamku terjatuh tak jauh dari jangkauan. Menggunakan kaki aku menggapai benda kecil itu menuju lenganku. Bersyukur, tubuhku sefleksibel itu hingga bisa menjangkaunya. Menggunakan benda kecil itu aku mulai mengerat tali yang mengikatku ke ranjang. Dalam sepuluh menit kemudian semua tali sudah terlepas. Aku berla
Terbangun dalam pusing parah membuatku terbatuk-batuk. Udara berbau tak enak, apek dan lembap. Belum lagi ruangan yang gelap gulita.Aku berusaha menggerakkan tangan, tapi tak ada yang terjadi. Tubuhku bergeming. Apa ini? Tanganku terasa seperti diikat oleh tali."Axel?" panggilku parau. "Kau di sini?" Pipiku menyentuh seprai lembut. Dia membaringkanku ke tempat tidur. Kakiku juga terikat kuat dan terhubung pada ranjang."Axel!" teriakku marah. Dia membiusku dan mengikatku layaknya tawanan. Apa maunya pria sialan ini?"Apa maumu? Kuperingatkan kau, lepaskan aku sekarang!" Aku memberontak marah. Hidungku berdenyut nyeri saat aku berteriak.Lampu tiba-tiba dihidupkan. Terang benderang membuatku berkedip tak fokus demi menyesuaikan intensitas cahaya."El, apa ini?" Axel berjalan mendekat. Menatapku lekat-lekat.Ia mengangkat telepon gantungan kunci ke atas su
Jika bisa aku ingin menghapus segala ingatan menyakitkan ini. Kenangan yang selalu berakhir menjadi mirip buruk mengerikan. Selalu tentangnya. Hari itu, di atap gedung Laguna. Sosok yang sama berbalik sambil mengucapkan selamat tinggal padaku.Lalu dia jatuh membawa serta jantungku. Terjun bebas menantang kuatnya angin menerpa. Namun, alih-alih tubuhnya terburai menyentuh aspal, tubuh Axel justru melayang ke angkasa, menatapku sembari mencibir dan tertawa keras.Tertawa akan kebodohanku, betapa mudah aku dikecoh, dan cinta yang membuatku terjerat pada kesetiaan. Semua ... adalah kepalsuan.Aku meringkuk setelah terbangun. Bantalku lembap oleh air mata."Hei, Bodoh!" Suara Leona mengejutkanku."Kenapa kau menangis semalaman, sudah kubilang jangan berisik." Ia berdecak kesal.Sialnya, pertahananku kian runtuh. Isakan kecil lolos dari bibirku, seakan seseorang menikam jantungku dan meninggalkan luka menganga yang masih berdara
Axel membawa jemariku mendekati netra besar miliknya. Masih bingung dengan reaksi pria ini aku berusaha menarik kembali lenganku."Ada apa? Wajahku yang perlu diobati bukannya tangan.""El," lirihnya. Sklera pria tampan itu seketika memerah, membuat detak jantungku berpacu cepat."Eli?" Ia mengecup telapak tanganku. Saat itulah baru kusadari bekas luka lama akibat perbuatan Yuki."Bekas luka ini, aku yang menjahitnya sendiri. Bagaimana aku bisa lupa, kau Eli." Axel menatapku sendu.Lidahku kelu, tak sanggup menyangkal dengan kenyataan yang terpampang sekarang."Aku---""Please, jangan berbohong lagi." Air mata luruh bersama kalimatnya."Bagaimana bisa wajahmu? Apa yang terjadi?" Axel menarik tubuhku ke dalam pelukan erat."Lepaskan aku!" pintaku memelas. Rasa sakit semakin mencengkeram tubuh ini dan tak tertahanka
"El, ayolah!" teriakan Asad di tepi arena menyadarkanku kembali, aku berusaha berlutut. Wajah-wajah sekeliling menjadi buram, langkah kaki pria besar itu mendekat lagi.Tepukan heboh bersama suara penonton mulai berteriak, "Habisi dia! Habisi dia!" Bercampur denging melengking dari kedua telingaku.Darah merembes membuat lantai di bawah kakiku menjadi merah dan licin."Eli, kau bisa, kau bisa!" Suara Dayana menarikku kembali ke dunia nyata. Gadis cantik itulah yang selalu menyemangatiku saat pertarungan dengan sesama PPS.Aku menutup mata, mengatur napas susah payah. Rasa nyeri mendekam kuat membuatku hampir muntah.Ini saatnya, kala pria itu mencapai arahku, ia bersiap menyarangkan tinju. Aku melompat mundur seketika, Toby yang terlanjur menyerang tak bisa membatalkan langkah dan terjerembap meninju angin. Darah licinku membuat pria itu jatuh dengan suara berdebum.