Aku melangkah cepat ke ujung jalan. Agak malu dengan penampilanku yang sangat seksi. Mata-mata kurang ajar melemparkan tatapan menjijikkan ketika kaki ini melewati mereka.
Sebelum aku sampai ke tempat pria berjas biru itu, ia sudah menatapku lekat-lekat dari jauh. Ya ... kombinasi dari gaun merah mencolok dan baju seseksi ini, siapa yang tidak melihat kedatanganku. Bahkan kerlipan indah di sepatu mewah ini menarik atensi para wanita.
Aku berjalan ke arahnya perlahan, mengeja langkah lamat-lamat. Tahu dengan pasti Axel sedang memperhatikan kami saat ini."Hallo, Manis! Ada yang bisa kubantu?" ucapnya sambil memicing ke arah pahaku.
Jijik sekali mendengar lelaki itu memanggilku seperti ini. Panggilan serupa dengan yang diberikan Axel padaku."Ya …," jawabku sengaja menggantungkan suara, "kurasa … aku tersesat," tambahku malu-malu dan mengerling padanya.
Ok! Kuakui aktingku sangat memalukan, tidak pernah sekali pun seumur hidup aku menggoda lelaki, yang aku tahu hanya sebatas ini. Itu pun berasal dari drama percintaan yang kutonton di televisi. Kehidupan monoton penuh kerja keras menjeratku hingga aku melajang tanpa punya pengalaman percintaan.
Kurasa pria ini mengerti maksud kalimatku dan tahu aku hanya berpura-pura tersesat. Bodohnya aku, siapa yang sengaja tersesat di pasar malam, aku bahkan bukan turis, wajah lokal terpampang sangat jelas.
"Maukah Bapak mengantarku pulang? Akan kuberikan apa saja sebagai balasan terima kasih." Aku menunduk malu sambil menggigit bibir.
Sangat memalukan ... sangat memalukan, batinku. Andai aku bisa sembunyi di mana saja sekarang ini.
Pria mesum itu langsung tersenyum cerah. "Tentu saja. Ayo! Eh, tapi jangan memanggilku bapak, panggil nama saja, namaku Januar. Di mana rumahmu, Manis?" tanyanya sambil menggandeng lenganku tanpa permisi.
"Di sana!" Tunjukku, berusaha melepaskan gandengannya.
Pria itu menggerak-gerakkan kumis tipis yang serupa misai tikus. "Ah, jangan malu-malu." Ia menepuk bokongku perlahan.
Kurang ajar!
Jijik sekali aku melihat pria ini, tampangnya memang seperti om-om genit, meski tubuhnya lumayan bagus, sangat atletis. Otot dada tampak menyembul dari balik kaus putih polos ketat yang ia kenakan bersama jas biru langit. Gayanya pun sangat necis. Jauh di lubuk hati, kurasa ia lebih pantas mati dibanding anak kecil tak berdosa yang ditunjuk Axel.
Tangan si kurang ajar berusaha menyentuh tubuhku lagi, sebisa mungkin aku menggeser menjauh cukup sopan. Kami mulai menelusuri jalanan pasar malam menuju rumah Axel, hanya satu blok jauhnya dari tempat ini, jika aku tak salah mengingat.
Sesekali lelaki itu melemparkan guyonan garing selama perjalanan kami. Satu belokan simpang lagi, kami akhirnya tiba di rumah Axel. Rumah normal di komplek sunyi, rumah para tetangga berjarak cukup jauh satu sama lain. Terpisah oleh halaman dan pepohonan asri.
"Itu rumahku!" tunjukku.
"Ayo!" ajaknya, Ia semakin bersemangat, entah pikiran kotor apa yang bersemayam di dalam otaknya.
"Emn ... Pak!" ucapku, menghentikan langkahnya. Januar mengernyit tak senang. “Maksudku, Januar,” ralatku.
Aku ingin tahu satu hal, tidak tega membiarkan dia mati begitu saja, bagaimanapun juga, masih tertinggal belas kasihan di hatiku.
"Apa kamu sudah berkeluarga?"
Ia menatapku sejenak, bimbang. Menimbang, apakah ingin memberi tahuku atau tidak. Pria itu lalu menurunkan bibirnya di telingaku, berbisik perlahan, "Sebenarnya ... aku sudah punya istri dan dua orang anak yang lucu." Ia terkekeh. "Tapi tidak apa-apa 'kan? Kita hanya bersenang-senang." Lidahnya terjulur dan menggelitik ujung telingaku.
Aku terkejut, berusaha menjauh. "Januar! Sebaiknya kamu memikirkan istri dan anakmu, pulanglah sekarang!"
“Hei! Apa?” hardiknya marah.
Pulanglah demi dirimu sendiri, kalau tidak ... kau akan mati malam ini.
"Mereka pasti sedang menunggumu pulang. Selamat tinggal, terima kasih sudah mengantarku pulang," ucapku sambil membalikkan badan dan melangkah ke arah pintu. Tanpa menunggu balasannya.
Pergilah dengan cepat sebelum Axel datang ... kumohon ... kasihani keluargamu sendiri ... bila kau tidak pergi, kau akan mati.
Aku membuka pintu dan melangkah masuk. Kukira pria itu sudah pergi, ketika tiba-tiba sebuah tangan membekap mulutku dan menutup pintu di belakang kami.
Axel? Apa dia marah?
Tidak! Ternyata bukan, tangan ini bukan milik Axel. Telapak kulitnya kapalan, Axel tak memiliki itu. Tubuhku dihempaskan dengan kasar ke sofa.
"Apa yang-?" Kalimatku terputus saat tangan itu kembali membekap mulutku. Jemariku menggapai-gapai, berusaha menekan tombol lampu di samping sofa. Tanganku berhasil mencapai tombol lampu dan menghidupkannya. Cahaya menyinari sosok itu.
Kau!!!
Pria mesum itu ternyata tidak pergi, tangannya yang besar mengunci lenganku. Aku berusaha memberontak.
Apa yang akan dia lakukan?
Jemariku berusaha mencakar tubuhnya. Ia tersenyum licik, napasnya memburu di telingaku. Dengan berat tubuh dan tangan kekar berototnya, aku benar-benar tidak bisa berkutik. Ia lalu menurunkan bibir dan mencium leherku
Kurang ajar!
Aku memberontak semakin kuat. Menendang liar.
"Shhhh! Tenanglah, Sayang!" Ia menjulurkan lidah, menjilati bibirnya perlahan.
Tolong ... tolong ... aku!!!
Pria itu mulai merobek gaun merahku dengan sentakan kuat, dan mulai melucuti pakaiannya sendiri dengan tangan kiri, sambil masih mengunci kedua lenganku dengan tangan kanannya. Ia lalu menurunkan bibirnya ke bibirku.
"AXELLL!!! Tolong aku!" jeritku sekuat tenaga.
BUK!!!
Pria itu terhuyung-huyung dan jatuh ke sampingku, di bawah sofa. Ia menggeleng-gelengkan kepala sebentar, sebelum berbalik menghadap kepada penyerangnya.
Masih berlepotan air mata, aku melihat sosok Axel menjulang tinggi di atasku. Wajahnya sangat sulit dilukiskan, begitu marah dan menakutkan.
"Hey ... Mister," ucapnya kemudian, "jangan pernah menyentuh sesuatu yang menjadi milikku." Axel kembali mengayunkan stick golf yang dia pukulkan tadi.
Si pria berteriak perlahan sambil menangkis stick dengan lengannya. Segera saja terdengar bunyi keretak tulang patah diiringi jeritan pilu menyakitkan.
Axel tidak berhenti begitu saja, ia kembali menghantamkan stick itu berkali-kali; ke punggung, kaki, lengan, bahkan kepala pria itu.
Si pria menjerit menakutkan. Axel sudah lupa cara rapinya. Ia membabi buta, bahkan terus menyerang mangsanya bertubi-tubi di ruang tamu, bukan di ruang bawah tanah yang kedap suara.
Dengan jantung masih berdegup kencang, aku berusaha merapikan pakaianku yang sudah tidak karuan. Akhirnya pria itu tidak menjerit lagi setelah mendapat serangan bertubi-tubi. Axel menurunkan stick-nya sambil terengah-engah dan mengusap wajah tampannya perlahan. Ekspresi pemuda itu seolah ia baru terbangun dari mimpi buruk.
Axel melemparkan tatapan bingung, terkejut bahwa ia baru saja kehilangan kendali atas kesadarannya. Dengan gontai Axel membalikkan tubuh pria itu, darah mulai merembes dari luka terbuka di kepala. Genangan merah menodai karpet ruang tamu. Tubuhku menggigil ketakutan, sebisa mungkin aku merapat ke dinding, menjauhi mereka berdua.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Axel, mata besarnya menatapku lekat-lekat. Aku hanya bisa menganguk perlahan. Masih syok.
"Baguslah kalau be--ufhhhh!" Tubuh Axel terbanting ke samping diiringi oleh jeritanku.
Pria itu bangkit kembali seperti zombie. Darah menetes dari lukanya yang menganga lebar. Terutama pada bagian kepala. Layaknya keran bocor, likuid kental memberi tampilan mengerikan di sosoknya. "Brengsek!" makinya sambil menendang Axel sekali lagi. Ia lalu menjambak kemeja Axel dan menghantamkan kepalanya ke kepala pemuda itu. Tubrukan keras menyebabkan Axel terhuyung-huyung, tetapi tidak terjatuh karena si pria mesum masih mencengkeram pemuda itu.Axel berusaha melawan dengan menendangkan kakinya ke sisi tubuh pria itu, membuat si pria melepaskan cengkeramannya. Axel memutar tubuh dan memberi tendangan berputar ke kepala pria itu. Namun sayangnya, si pria sudah bersiap dengan ancang-ancang. Ia berhasil menangkap kaki Axel lalu memelintirnya, membuat Axel menjerit keras, sebelum membanting tubuh pemuda itu ke lantai. Axel terjerembap, kemudian jatuh berguling di tangga menuju ruang bawah tanah. "AXEL!!!" teriakku panik, kudengar ia berteriak kesa
Entah kenapa? Di sudut hati yang paling dalam, aku merasa berat meninggalkannya dalam kondisi seperti ini. Aku memukul sisi kepala dengan kuat, bingung oleh kecamuk di hati. Apa yang akan kulakukan? Aku menatapnya dengan sedih. Betapa kesepiannya hidup pria ini, jika aku meninggalkannya, siapa yang akan merawat luka Axel? Lebih dari semua itu, aku pun merasa berutang budi, dia menyelamatkan kehormatanku. Harga diri bagi seorang gadis polos sepertiku. Ia kembali berbicara dalam tidur, bergumam, "Jangan dan tolong aku." Secara spontan aku berbalik kembali ke ranjang dan menggenggam tangannya, berusaha menenangkannya dalam tidur. Menepuk lembut lengan si pembunuh sadis itu. Mungkin kau akan menyebutku wanita paling bodoh sedunia. Ya ... aku bahkan ingin sekali memaki diriku sendiri, seharusnya aku mengikuti akal sehat dan meninggalkan tempat terkutuk ini, tetapi yang kulakukan malah bersimpati pada si pembunuh dan berusaha menolongnya, sementa
Dear diary, Aku tahu seharusnya tidak menuliskan semua ini, ya ... aku bahkan tidak ingin menuliskannya.Aku hanya tidak tahan lagi harus menghadapinya sendiri, tiada tempat untuk kubagi rasa sakit ini selain di sini .... Kuharap ... tidak ada yang akan menemukan buku ini kelak .... Karena bila seseorang membacanya, ia akan tahu siapa diriku, isi hatiku, apa yang kurasakan dan bagaimana sifat asliku. Karena aku tahu, cepat atau lambat, aku akan berubah menjadi sesuatu yang mereka ciptakan. Menjadi …. MONSTER. Hatiku berdebar-debar, tanganku mulai gemetar. Kubuka lagi halaman berikut dari buku diari usang itu sambil memastikan Axel masih terlelap di tempat tidur. Tanggal 15 Desember, Sepasang suami istri datang ke panti asuhan tempatku berada dan Ia mengamati semua anak dari usia delapan sampai sepuluh tahun. Usiaku sembilan t
Sebuah halaman yang penuh coretan tinta, terpisah sepuluh lembar dari halaman terakhir yang kubaca.Aku terkejut mendapati halaman itu penuh kata makian dan coretan pen yang menggores dan melubangi buku hingga tembus ke halaman belakang. Kata-kata seperti: kurang ajar, sialan, berengsek, sakit, dan mati. Apa yang telah terjadi padanya? Dalam sekejap kalimat manis telah hilang, berganti kata sakit hati dan penderitaan. Sesaat mataku menatap tulisan di hadapanku dengan aneh, ya memang aneh ... kali ini tulisannya menggunakan tinta biru dan jauh lebih jelek dari tulisan-tulisan sebelumnya. Kubuka kembali halaman pertama , ini dia ... tulisan di halaman awal sama dengan tulisan penuh coretan ini, ya ... menggunakan tinta biru yang sama dengan tulisan yang lebih jelek, jangan-jangan ... tulisan awal baru ditambahkan setelah sesuatu terjadi padanya? Rasa penasaran semakin menyergapku, aku sangat berharap menemukan jawaban di halaman berikutny
Hari itu aku ke sekolah, menemui wali kelasku di kantor guru saat jadwalnya kosong, aku sangat cemas hingga tidak bisa tertidur malam sebelumnya. Guruku—Bu Wilhemina—Menatapku dengan pandangan sinis, ia mengira aku akan meminta penjelasan pelajaran kala ia sedang istirahat. Aku bertanya padanya, bisakah dia menolongku? Bu Wihelmina berkata jika dia tak punya waktu, aku harus kembali setelah jam sekolah usai. Bagaimana mungkin, hanya ini kesempatanku, Mama selalu menjemputku saat pulang sekolah tepat waktu. Mengeraskan tekad, aku membuka baju dan memperlihatkan semua bekas luka di tubuh ini. Betapa terkejutnya wajah Bu Wihelmina, raut kesalnya berganti mimik prihatin, dia berjanji akan menemui Papa dan Mama. Aku pulang ke rumah hari itu penuh harapan. Setidaknya, seseorang akan membantuku kali ini. Lembar berganti. Sia-sia ... semuanya sia-sia .... Meski aku sudah memberitahu guruku dan memperlihatkan
Aku terbangun oleh suara langkah kaki yang menuruni tangga, rupanya aku tertidur tadi, setelah memikirkan segala macam hal di dalam kepala, membuatku letih dan terlelap. Kurasa bukan tubuh ini yang kelelahan, melainkan jiwaku. Aku membalikkan tubuh membelakangi pintu masuk, pura-pura masih terlelap. Jantungku berdegup kencang, malu, senang, dan bingung bercampur jadi satu. Ia membuka pintu perlahan, kurasakan tatapannya terpaku pada punggungku, lalu langkah kakinya berjalan mendekati tempat tidur. Ia mendudukkan diri di sisi lain ranjang. Kami berdua terdiam, Axel tak bergerak lagi. Perlahan kubalikkan tubuhku, menatap punggungnya. Axel menopangkan tangan pada kepalanya dan tertunduk. Ia sedang berpikir, mungkin merencanakan apa yang akan dilakukannya padaku. Aku bergidik ngeri, bagaimanapun juga Axel adalah seorang pembunuh dan aku takkan pernah mampu menyelami jalan pikirannya. Apakah aku yang terlalu berharap, hanya karena perlakuannya yang
"Axel?" panggilku. Axel tersenyum menyambutku seperti biasa. Ia menyunggingkan senyum jahatnya yang menawan. Aku menangis bahagia, tanpa malu lagi kupeluk tubuhnya. "Syukurlah kau kembali." Tangisku. Axel tertawa renyah, dilepaskannya pelukanku, lalu ia mundur selangkah, menatapku sambil tersenyum, tetapi kali ini, senyum sedih yang terlihat di wajahnya. "I'm sorry, Sweetheart." Dan ia pun berlalu. "Tidak ... tidak ... AXEL?" Tanganku menggapai-gapai, berusaha menjangkaunya, yang kugenggam hanyalah udara kosong dan aku terpaku menatap tanganku. Memandang sekeliling terkejut. Aku masih di ruang tamu dengan posisi terbaring di sofa dengan tangan terangkat berusaha menjangkau sesuatu. Mimpi ... hanya mimpi .... Namun, kenyataan yang datang mencengkeram jantungku, itu bukan hanya sekadar mimpi, tetapi apa yang aku takuti selama ini dan mimpi ini telah menjadi kenyataan yang pahit ... Axel telah pergi. *** Hari itu
"Hmm ...." Aku mendesah nyaman, merasakan sesuatu yang hangat menyentuh dahiku, mengusap rambut dan wajahku perlahan. Tangan yang hangat. "Axel?" Mataku tertutup, tetapi air mata tetap mengalir ke pipi. "Mnn." aku membuka mata mendengar jawabannya.Sepasang netraku menatap Axel tidak percaya, kukira ini hanya mimpi. "Axel?" tanyaku ragu. "Mnn." Ia mengangguk perlahan. Kupeluk tubuhnya sambil menangis, menyembunyikan wajahku di dadanya.Kumohon jangan bangunkan aku ... jikalau ini hanya mimpi .... "Shhh ... jangan menangis." Axel mengelus kepalaku dengan lembut. Kupukul dadanya. "Kau meninggalkanku ... kau—" Tangisku sesenggukan. "Shhh ...." Axel menghentikan tanganku, bibirnya yang ranum menyentuh bibirku, aku terdiam, terhenyak akan aksinya. kupejamkan mata ini, menikmati kecupan lembutnya, tanganku meraih wajah pemuda tampan itu, membalas ciuman Axel dengan berani, setelah beberapa saat kami memisahkan d
"Apa?" tanya Axel tak percaya."Aku mengandung anakmu, kau ingat waktu itu?" Aku menunduk malu, terlalu takut dengan penolakan dari bibir pria ini."Benarkah, sungguh!" Suaranya berubah penuh sukacita.Aku baru berani menatapnya. "Dokter baru memberitahuku tadi," lirihku."Milikku?""Ya, hanya kau yang melakukannya tanpa proteksi."Senyum merekah, wajah pria tampan itu seketika menguarkan cahaya kebahagiaan."Aku ... akan menjadi ayah?" tanyanya tak percaya."Ya," jawabku pelan.Axel berusaha meraih wajahku dan menanamkan kecupan pada keningku. "Aku mencintaimu, Eli. Kekasihku, separuh jiwaku."Hatiku bergetar, tersentuh oleh pernyataannya. Namun dalam sekejap, kebahagiaan itu sirna ketika Axel menyadari kenyataan di masa depan."Aku ... tidak akan bisa mendampingimu, membelikanmu makanan yang kau inginkan saat ngidam, aku ... tak bisa menggenggam tanganmu saat kau melahirkan bayi kita."
"Ms. Ellena, ini hasil pemeriksaannya." Dokter itu menatapku dengan senyum terkembang lebar pada bibir tipisnya."Ya," jawabku pelan. Masih merasa pusing setelah terbangun dari pingsan.Dokter melirik kehadiran George, Boni, Jodi, dan juga Eve."Tidak apa-apa, langsung katakan saja, Dok." pintaku."Selamat, Anda sedang mengandung.""Apa?" Seketika keempat rekanku berteriak terkejut."Maksud Dokter?""Ya, kandungan masih sangat kecil. Satu bulan."Apa? Bagaimana mungkin? Seketika bayangan pemaksaan itu kembali hadir dalam benak. Oh ya benar, Axel melakukannya tanpa proteksi waktu itu. Di saat seperti ini, kenapa harus terjadi."Selamat ya. Jaga kondisi, istirahat cukup agar morning sicknes tak semakin parah," pesan dokter itu sebelum pergi.Setelah pintu ditutup, Eve segera mendekatiku. "A
Jeritanku membahana membelah kericuhan di tengah baku tembak. Perlahan, priaku menoleh menatap tangan gemetar ini.Tidak. Bukan aku yang menembak. Kami telah dikelilingi para polisi berseragam anti peluru dari lantai empat. Asad, berikutnya mendapat tembakan setelah Axel, tepat di kepalanya. Pemuda berambut keriting itu jatuh dengan suara berdebum keras."Tenanglah, kau aman sekarang!" Seseorang memelukku dari belakang, menyeretku pergi sementara dalam kegamangan aku melihat Axel terhuyung jatuh bersimbah darah.Jiwaku seakan meninggalkan raga. Hampa. Kosong. Tanpa kehendak tubuhku dibawa pergi. Semua menjadi kesunyian abadi. Berkomat-kamit dalam gerak lambat membuatku berkedip bingung. Otakku tak mau mencerna. Tubuhku gemetar hebat. Dan kegelapan absolut menelanku dalam kedamaian.***Suara dengungan mesin membangunkanku. Aku mengedip bingung mencerna plafon putih di atas kepala.
Asap mengepul dari salah satu pojokan. Aku bisa melihat dari sini rombongan pria memakai rompi khusus sedang membidik ke arah tersebut.Jantungku bertalu semakin kuat. Memohon dalam hati semoga di sana Axel tidak berada. Aku merunduk saat melihat salah seorang dari mereka berbalik."Hei siapa itu?" teriaknya.Sial, dia melihatku. Aku berlari ke salah satu kamar dan menutupnya. Segera bersembunyi ke bawah tempat tidur.Langkah kaki terdengar mengejar di luar kamar. Berdentum seperti irama jantungku.Pergilah, kumohon. Suara tembakan lagi terdengar dari luar pintuku."Periksa setiap kamar!" Teriakan terdengar dari luar."Tidak! Mereka berada di sayap kiri. Lihat, mereka membalas tembakan! Di sini butuh bantuan!" Sahutan terdengar samar-samar."Satu orang memeriksa di sini! Sisanya bantu ke sayap kiri!" perintah sebuah suara berat.
Aku memberontak, lecetnya kulit tak kuhiraukan sama sekali. Semakin cepat aku membebaskan diri, kemungkinan dirinya selamat lebih besar. Apa pun itu, aku akan melakukannya demi Axel. Betapa bodohnya diriku, aku mengutuk dalam hati, tapi jeratan itu terlalu kuat untuk bisa kubebaskan. Benang takdir yang tak bisa kami putuskan. Cinta semenyakitkan ini. "Kumohon, sekali ini saja, bantu aku!" Aku memohon pada Yang Kuasa. Keajaiban yang kunanti, yang tak kunjung datang seumur hidup. Namun kali ini, keajaiban itu terjadi. Aku melihat lempengan besi kecil bagian dari sparepart jamku terjatuh tak jauh dari jangkauan. Menggunakan kaki aku menggapai benda kecil itu menuju lenganku. Bersyukur, tubuhku sefleksibel itu hingga bisa menjangkaunya. Menggunakan benda kecil itu aku mulai mengerat tali yang mengikatku ke ranjang. Dalam sepuluh menit kemudian semua tali sudah terlepas. Aku berla
Terbangun dalam pusing parah membuatku terbatuk-batuk. Udara berbau tak enak, apek dan lembap. Belum lagi ruangan yang gelap gulita.Aku berusaha menggerakkan tangan, tapi tak ada yang terjadi. Tubuhku bergeming. Apa ini? Tanganku terasa seperti diikat oleh tali."Axel?" panggilku parau. "Kau di sini?" Pipiku menyentuh seprai lembut. Dia membaringkanku ke tempat tidur. Kakiku juga terikat kuat dan terhubung pada ranjang."Axel!" teriakku marah. Dia membiusku dan mengikatku layaknya tawanan. Apa maunya pria sialan ini?"Apa maumu? Kuperingatkan kau, lepaskan aku sekarang!" Aku memberontak marah. Hidungku berdenyut nyeri saat aku berteriak.Lampu tiba-tiba dihidupkan. Terang benderang membuatku berkedip tak fokus demi menyesuaikan intensitas cahaya."El, apa ini?" Axel berjalan mendekat. Menatapku lekat-lekat.Ia mengangkat telepon gantungan kunci ke atas su
Jika bisa aku ingin menghapus segala ingatan menyakitkan ini. Kenangan yang selalu berakhir menjadi mirip buruk mengerikan. Selalu tentangnya. Hari itu, di atap gedung Laguna. Sosok yang sama berbalik sambil mengucapkan selamat tinggal padaku.Lalu dia jatuh membawa serta jantungku. Terjun bebas menantang kuatnya angin menerpa. Namun, alih-alih tubuhnya terburai menyentuh aspal, tubuh Axel justru melayang ke angkasa, menatapku sembari mencibir dan tertawa keras.Tertawa akan kebodohanku, betapa mudah aku dikecoh, dan cinta yang membuatku terjerat pada kesetiaan. Semua ... adalah kepalsuan.Aku meringkuk setelah terbangun. Bantalku lembap oleh air mata."Hei, Bodoh!" Suara Leona mengejutkanku."Kenapa kau menangis semalaman, sudah kubilang jangan berisik." Ia berdecak kesal.Sialnya, pertahananku kian runtuh. Isakan kecil lolos dari bibirku, seakan seseorang menikam jantungku dan meninggalkan luka menganga yang masih berdara
Axel membawa jemariku mendekati netra besar miliknya. Masih bingung dengan reaksi pria ini aku berusaha menarik kembali lenganku."Ada apa? Wajahku yang perlu diobati bukannya tangan.""El," lirihnya. Sklera pria tampan itu seketika memerah, membuat detak jantungku berpacu cepat."Eli?" Ia mengecup telapak tanganku. Saat itulah baru kusadari bekas luka lama akibat perbuatan Yuki."Bekas luka ini, aku yang menjahitnya sendiri. Bagaimana aku bisa lupa, kau Eli." Axel menatapku sendu.Lidahku kelu, tak sanggup menyangkal dengan kenyataan yang terpampang sekarang."Aku---""Please, jangan berbohong lagi." Air mata luruh bersama kalimatnya."Bagaimana bisa wajahmu? Apa yang terjadi?" Axel menarik tubuhku ke dalam pelukan erat."Lepaskan aku!" pintaku memelas. Rasa sakit semakin mencengkeram tubuh ini dan tak tertahanka
"El, ayolah!" teriakan Asad di tepi arena menyadarkanku kembali, aku berusaha berlutut. Wajah-wajah sekeliling menjadi buram, langkah kaki pria besar itu mendekat lagi.Tepukan heboh bersama suara penonton mulai berteriak, "Habisi dia! Habisi dia!" Bercampur denging melengking dari kedua telingaku.Darah merembes membuat lantai di bawah kakiku menjadi merah dan licin."Eli, kau bisa, kau bisa!" Suara Dayana menarikku kembali ke dunia nyata. Gadis cantik itulah yang selalu menyemangatiku saat pertarungan dengan sesama PPS.Aku menutup mata, mengatur napas susah payah. Rasa nyeri mendekam kuat membuatku hampir muntah.Ini saatnya, kala pria itu mencapai arahku, ia bersiap menyarangkan tinju. Aku melompat mundur seketika, Toby yang terlanjur menyerang tak bisa membatalkan langkah dan terjerembap meninju angin. Darah licinku membuat pria itu jatuh dengan suara berdebum.