Entah kenapa? Di sudut hati yang paling dalam, aku merasa berat meninggalkannya dalam kondisi seperti ini. Aku memukul sisi kepala dengan kuat, bingung oleh kecamuk di hati.
Apa yang akan kulakukan? Aku menatapnya dengan sedih. Betapa kesepiannya hidup pria ini, jika aku meninggalkannya, siapa yang akan merawat luka Axel? Lebih dari semua itu, aku pun merasa berutang budi, dia menyelamatkan kehormatanku. Harga diri bagi seorang gadis polos sepertiku.
Ia kembali berbicara dalam tidur, bergumam, "Jangan dan tolong aku." Secara spontan aku berbalik kembali ke ranjang dan menggenggam tangannya, berusaha menenangkannya dalam tidur. Menepuk lembut lengan si pembunuh sadis itu.
Mungkin kau akan menyebutku wanita paling bodoh sedunia. Ya ... aku bahkan ingin sekali memaki diriku sendiri, seharusnya aku mengikuti akal sehat dan meninggalkan tempat terkutuk ini, tetapi yang kulakukan malah bersimpati pada si pembunuh dan berusaha menolongnya, sementara ia bisa bangun kapan saja untuk membunuhku.
Apa yang kupikirkan? Beberapa kali aku membenturkan kepala ke tembok untuk berpikir jernih, tetapi hatiku tidak mengizinkan langkah kaki menjauhinya.
Apa aku sudah terjerat olehnya? Atau aku ... tidak--tidak--mungkin.
Apa aku telah jatuh cinta padanya ....
Ah ... ini sangat memalukan ....
Memikirkan hal seperti ini pada saat yang tidak tepat, tetapi apalah daya upayaku untuk menolak semua ini, menolak keinginan hatiku. Aku malah dengan senang hati mengompres kepalanya dengan air dan membubuhi obat pada lukanya menggunakan salep yang pernah dioleskannya pada lenganku. Perlahan dan hati-hati, takut pemuda tampan ini mengernyit sakit atau terbangun oleh sentuhan tanganku.
Axel sering mengucapkan kata, "tolong" dalam igauannya. Membuatku merasa aneh, apa yang ditakuti oleh seorang pembunuh sadis seperti Axel?
Mungkin Ia mempunyai masa lalu kelam, yang terus membayangi hidupnya. Sepertiku ...
perasaan bersalah segera menyergapku, bersalah karena kematian adikku .... Aku menggelengkan kepala, berusaha mengusir perasaan itu.
Namun sialnya, setiap perasaan itu mencekam, aku terlena tak berdaya oleh luka hati. Reminisensi mengambil alih. Sakit, setiap helaan napas menjadi duri dalam daging.
Kilasan perjuanganku dari desa menuju kota terukir jelas di balik kelopak yang berkedut, aku memejam, air mata mengalir tanpa bisa kuhentikan.Kedua tanganku bertaut cemas, saling meremas, merasakan betapa kasarnya kulit sebagai seorang wanita, perjuangan sia-sia, ketidakadilan dunia membuat hidupku merana.
“Kenapa bukan kau saja yang meninggal, kenapa harus adikmu?” Kalimat Ibu terngiang, membuatku tersedak tangis pilu.
Apa aku menginginkan semua ini terjadi? Tidak! Apa aku tak pantas hidup? Begitu tak berharganyakah aku di mata Ibu. Hanya anak lelaki yang selalu dihargai dalam keluarga, dianggap sebagai penerus keturunan. Semua perjuangan demi membahagiakan mereka malah berbalik menjadi cambuk yang memecut, meninggalkan derai air mata tak terperi.
Pernahkan mereka memikirkan perasaanku, memikirkan betapa susahnya hidup di ibu kota tanpa siapa pun. Dihina, diperlakukan kasar dan difitnah hingga dipecat. Tak pernah kusampaikan semua kelesah itu.
Aku juga manusia, yang bisa terluka dan sakit, bukan robot tanpa hati, atau rasa Lelah. Tak seorang pun mengerti, tak seorang pun ….
Aku mengusap pergi air mata kesedihan, berusahan mengatur napas, menenangkan kecamuk jiwa. Lupakan semua, itu hanya masa lalu, asaku memaksa bangkit. Kembali lagi kulabuhkan pandang pada pemuda tampan itu.
Panas tubuh Axel segera membuat bajunya basah kuyup oleh keringat, perlahan kubuka bajunya. Wajahku memerah saat teringat Ia menghentikan wanita seksi yang dibunuhnya saat si wanita berusaha membuka baju Axel.
Apa Ia akan marah kalau aku melakukan hal yang sama? Tetapi kasihan juga bila bajunya tidak diganti.
Memberanikan diri, aku melanjutkan membuka kancing demi kancing.
Yang penting aku tidak berbuat macam-macam.
Pemandangan berikutnya yang kulihat membuatku terkesiap ngeri. Dada putih Axel tampak tergores-gores, lukanya membekas dalam. Mulai dari bawah tulang selangka, memanjang hingga ke perut ratanya.
Kutelusuri jari di atas bekas luka pemuda itu.
Apa yang terjadi padamu? Apa yang telah kau alami? Sehingga mendapat luka sebanyak ini.
Bekas luka terus mengarah ke punggung. Perlahan kubalikkan tubuhnya. Ia bergumam sebentar, sebelum terdiam kembali.Aku tercekat. Lebih banyak lagi bekas luka di punggungnya, seperti luka karena cambukan yang kulihat di film-film penyiksaan zaman dahulu.
Lukanya besar, memanjang cukup dalam sehingga ada ceruk-ceruk kecil seperti anak sungai.
Semua ini membuatku tak habis pikir, bagaimana rasa sakit yang ditanggung Axel, tergores jari saja rasanya sudah menyakitkan, apalagi hingga membekas dalam. Daging tercukil hilang meninggalkan jejak bergelombang.Pantas saja selama ini dia selalu memakai kemeja meskipun hari sangat panas, tak pernah sekali pun aku melihatnya mengenakan kaus tanpan lengan atau singlet dengan potongan leher rendah, padahal Axel berada di rumah sendiri.
Jadi inikah kenangan masa lalunya, inikah yang menyebabkan ia berkata tolong?
Aku merasa sangat penasaran dengan apa yang telah dialami Axel. Penasaran atas luka yang disandangnya. Aku ingin tahu tentang diri pemuda ini lebih jauh, terutama masa lalunya. Sebelum Ia berubah menjadi Axel yang kejam.
Aku bangkit dari tempat tidur dan melangkah ke arah lemari baju. Kubuka lemari bajunya dan mengeluarkan baju ganti, setelah bersusah payah mengganti baju axel, aku kembali lagi ke lemari itu.
Ada sebuah laci di lemari itu yang menarik perhatianku. Dengan kunci berbentuk aneh yang kurogoh dari saku celananya. Aku memberanikan diri membuka laci itu.
Tanganku bergerak cepat, takut tiba-tiba Ia terbangun dan menemukanku sedang menggeledah barang-barangnya. Di laci itu, aku menemukan sebuah pistol, beberapa pisau beragam bentuk, sekotak peluru, serta sebuah buku.
Dengan tangan gemetar aku mengeluarkan buku itu, kubuka halaman pertama yang isinya adalah nama-nama orang, profesi, serta umur mereka. Kubuka lagi halaman berikutnya, yang berisi tempelan kartu nama perusahaan. Kubuka lagi dengan cepat halaman-halaman berikutnya, tetapi tidak ada yang menyangkut masa lalu Axel. Di sini hanya terdapat catatan nama-nama orang dan kesalahan mereka, yang kuduga adalah nama mangsa-mangsanya.
Aku menghela napas kecewa, mengembalikan buku itu ke tempat semula. Masih tidak puas, kuobrak-abrik isi laci tersebut hingga bagian terdalamnya, karena terlalu keluar kutarik, menyebabkan laci itu jatuh ke bawah, yang untungnya berhasil kutangkap sebelum jatuh ke lantai.
Untunglah ....
Aku menarik napas lega.
Hampir saja ....
Kalau sampai laci ini jatuh, pasti Axel akan terbangun. Jantungku bertalu semakin cepat.
Huh! Apa itu?
Sebuah benda tampak tergeletak di bawah tempat sanggahan laci, perlahan kuletakkan laci itu ke lantai, lalu aku berdiri melihat benda apa itu.
Sebuah buku tipis berdebu tergeletak di sana, bahkan bagian tepi kertasnya sudah tampak menguning oleh waktu. Kutepuk-tepuk buku itu untuk menghilangkan debu, bau apek menguar dari sampul kulit berwarna cokelatnya, lalu ... kubuka halaman pertama ....
Dear diary, Aku tahu seharusnya tidak menuliskan semua ini, ya ... aku bahkan tidak ingin menuliskannya.Aku hanya tidak tahan lagi harus menghadapinya sendiri, tiada tempat untuk kubagi rasa sakit ini selain di sini .... Kuharap ... tidak ada yang akan menemukan buku ini kelak .... Karena bila seseorang membacanya, ia akan tahu siapa diriku, isi hatiku, apa yang kurasakan dan bagaimana sifat asliku. Karena aku tahu, cepat atau lambat, aku akan berubah menjadi sesuatu yang mereka ciptakan. Menjadi …. MONSTER. Hatiku berdebar-debar, tanganku mulai gemetar. Kubuka lagi halaman berikut dari buku diari usang itu sambil memastikan Axel masih terlelap di tempat tidur. Tanggal 15 Desember, Sepasang suami istri datang ke panti asuhan tempatku berada dan Ia mengamati semua anak dari usia delapan sampai sepuluh tahun. Usiaku sembilan t
Sebuah halaman yang penuh coretan tinta, terpisah sepuluh lembar dari halaman terakhir yang kubaca.Aku terkejut mendapati halaman itu penuh kata makian dan coretan pen yang menggores dan melubangi buku hingga tembus ke halaman belakang. Kata-kata seperti: kurang ajar, sialan, berengsek, sakit, dan mati. Apa yang telah terjadi padanya? Dalam sekejap kalimat manis telah hilang, berganti kata sakit hati dan penderitaan. Sesaat mataku menatap tulisan di hadapanku dengan aneh, ya memang aneh ... kali ini tulisannya menggunakan tinta biru dan jauh lebih jelek dari tulisan-tulisan sebelumnya. Kubuka kembali halaman pertama , ini dia ... tulisan di halaman awal sama dengan tulisan penuh coretan ini, ya ... menggunakan tinta biru yang sama dengan tulisan yang lebih jelek, jangan-jangan ... tulisan awal baru ditambahkan setelah sesuatu terjadi padanya? Rasa penasaran semakin menyergapku, aku sangat berharap menemukan jawaban di halaman berikutny
Hari itu aku ke sekolah, menemui wali kelasku di kantor guru saat jadwalnya kosong, aku sangat cemas hingga tidak bisa tertidur malam sebelumnya. Guruku—Bu Wilhemina—Menatapku dengan pandangan sinis, ia mengira aku akan meminta penjelasan pelajaran kala ia sedang istirahat. Aku bertanya padanya, bisakah dia menolongku? Bu Wihelmina berkata jika dia tak punya waktu, aku harus kembali setelah jam sekolah usai. Bagaimana mungkin, hanya ini kesempatanku, Mama selalu menjemputku saat pulang sekolah tepat waktu. Mengeraskan tekad, aku membuka baju dan memperlihatkan semua bekas luka di tubuh ini. Betapa terkejutnya wajah Bu Wihelmina, raut kesalnya berganti mimik prihatin, dia berjanji akan menemui Papa dan Mama. Aku pulang ke rumah hari itu penuh harapan. Setidaknya, seseorang akan membantuku kali ini. Lembar berganti. Sia-sia ... semuanya sia-sia .... Meski aku sudah memberitahu guruku dan memperlihatkan
Aku terbangun oleh suara langkah kaki yang menuruni tangga, rupanya aku tertidur tadi, setelah memikirkan segala macam hal di dalam kepala, membuatku letih dan terlelap. Kurasa bukan tubuh ini yang kelelahan, melainkan jiwaku. Aku membalikkan tubuh membelakangi pintu masuk, pura-pura masih terlelap. Jantungku berdegup kencang, malu, senang, dan bingung bercampur jadi satu. Ia membuka pintu perlahan, kurasakan tatapannya terpaku pada punggungku, lalu langkah kakinya berjalan mendekati tempat tidur. Ia mendudukkan diri di sisi lain ranjang. Kami berdua terdiam, Axel tak bergerak lagi. Perlahan kubalikkan tubuhku, menatap punggungnya. Axel menopangkan tangan pada kepalanya dan tertunduk. Ia sedang berpikir, mungkin merencanakan apa yang akan dilakukannya padaku. Aku bergidik ngeri, bagaimanapun juga Axel adalah seorang pembunuh dan aku takkan pernah mampu menyelami jalan pikirannya. Apakah aku yang terlalu berharap, hanya karena perlakuannya yang
"Axel?" panggilku. Axel tersenyum menyambutku seperti biasa. Ia menyunggingkan senyum jahatnya yang menawan. Aku menangis bahagia, tanpa malu lagi kupeluk tubuhnya. "Syukurlah kau kembali." Tangisku. Axel tertawa renyah, dilepaskannya pelukanku, lalu ia mundur selangkah, menatapku sambil tersenyum, tetapi kali ini, senyum sedih yang terlihat di wajahnya. "I'm sorry, Sweetheart." Dan ia pun berlalu. "Tidak ... tidak ... AXEL?" Tanganku menggapai-gapai, berusaha menjangkaunya, yang kugenggam hanyalah udara kosong dan aku terpaku menatap tanganku. Memandang sekeliling terkejut. Aku masih di ruang tamu dengan posisi terbaring di sofa dengan tangan terangkat berusaha menjangkau sesuatu. Mimpi ... hanya mimpi .... Namun, kenyataan yang datang mencengkeram jantungku, itu bukan hanya sekadar mimpi, tetapi apa yang aku takuti selama ini dan mimpi ini telah menjadi kenyataan yang pahit ... Axel telah pergi. *** Hari itu
"Hmm ...." Aku mendesah nyaman, merasakan sesuatu yang hangat menyentuh dahiku, mengusap rambut dan wajahku perlahan. Tangan yang hangat. "Axel?" Mataku tertutup, tetapi air mata tetap mengalir ke pipi. "Mnn." aku membuka mata mendengar jawabannya.Sepasang netraku menatap Axel tidak percaya, kukira ini hanya mimpi. "Axel?" tanyaku ragu. "Mnn." Ia mengangguk perlahan. Kupeluk tubuhnya sambil menangis, menyembunyikan wajahku di dadanya.Kumohon jangan bangunkan aku ... jikalau ini hanya mimpi .... "Shhh ... jangan menangis." Axel mengelus kepalaku dengan lembut. Kupukul dadanya. "Kau meninggalkanku ... kau—" Tangisku sesenggukan. "Shhh ...." Axel menghentikan tanganku, bibirnya yang ranum menyentuh bibirku, aku terdiam, terhenyak akan aksinya. kupejamkan mata ini, menikmati kecupan lembutnya, tanganku meraih wajah pemuda tampan itu, membalas ciuman Axel dengan berani, setelah beberapa saat kami memisahkan d
Matahari terbit dengan sinarnya yang menghangatkan tubuhku, kakiku terasa kram, bajuku lembap oleh gerimis tadi malam. Pemilik toko roti membuka gerai, matanya menatap aneh padaku, terang saja kondisiku saat ini lebih seperti pengemis daripada seorang pelanggan. Aku mendesah malu, merapikan rambutku dengan tergesa-gesa, berdiri menjauh dari toko roti sebelum diusir oleh pemiliknya. Kakiku menendang kerikil jalanan, tak tahu apa yang harus aku ucapkan ketika bertemu dengan Axel. Apa dia akan senang saat melihatku masih di sini? Atau ... dia malah berharap aku sudah menyerah dan pergi menjauhinya? Apa mereka masih bersama? Rasa marah kembali membuncah dalam dadaku. Ah ... aku benci wanita itu. Penampilannya yang cantik dengan rambut pirang panjang dan tubuh yang ramping, kulit putihnya dan mata besar seperti boneka, aku tidak mau mengakuinya, tetapi dia terlihat sangat cocok dengan Axel. Si cantik dan si tampan. Kutendang kerikil di hadapanku de
Aroma kopi yang kuat membangunkanku. "Hmmm." Aku mengendus menikmati baunya.Mataku terbuka melihat ke sekeliling. Aku berada di sebuah kamar yang luas, tempat tidur yang kutempati sangat besar dan terbuat dari kayu. Aku menarik selimut yang menutupi tubuhku.Di mana aku sekarang?Tempat apa ini?"Ah ...." Aku terkejut mendapati tubuhku mengenakan pakaian baru. Kali ini aku menggenakan pakaian wanita, T-shirt pink dan celana pendek cream.Siapa yang mengganti bajuku?Wajahku memerah memikirkannya. Rasa takut juga menyusupiku, aku memeriksa tubuh, ketika tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, aku menghela napas lega.Aku turun dari tempat tidur, mendapati lututku sudah diperban, berjalan tertatih-tatih menuju jendela dan menyingkap tirainya tebal bermotif dedaunan.Pemandangan di luar mengejutkanku. Di mana aku sekarang? Pepohonan terbentang luas sejauh mataku memandang, aku mengalihkan tatapan ke bawah, reru
"Apa?" tanya Axel tak percaya."Aku mengandung anakmu, kau ingat waktu itu?" Aku menunduk malu, terlalu takut dengan penolakan dari bibir pria ini."Benarkah, sungguh!" Suaranya berubah penuh sukacita.Aku baru berani menatapnya. "Dokter baru memberitahuku tadi," lirihku."Milikku?""Ya, hanya kau yang melakukannya tanpa proteksi."Senyum merekah, wajah pria tampan itu seketika menguarkan cahaya kebahagiaan."Aku ... akan menjadi ayah?" tanyanya tak percaya."Ya," jawabku pelan.Axel berusaha meraih wajahku dan menanamkan kecupan pada keningku. "Aku mencintaimu, Eli. Kekasihku, separuh jiwaku."Hatiku bergetar, tersentuh oleh pernyataannya. Namun dalam sekejap, kebahagiaan itu sirna ketika Axel menyadari kenyataan di masa depan."Aku ... tidak akan bisa mendampingimu, membelikanmu makanan yang kau inginkan saat ngidam, aku ... tak bisa menggenggam tanganmu saat kau melahirkan bayi kita."
"Ms. Ellena, ini hasil pemeriksaannya." Dokter itu menatapku dengan senyum terkembang lebar pada bibir tipisnya."Ya," jawabku pelan. Masih merasa pusing setelah terbangun dari pingsan.Dokter melirik kehadiran George, Boni, Jodi, dan juga Eve."Tidak apa-apa, langsung katakan saja, Dok." pintaku."Selamat, Anda sedang mengandung.""Apa?" Seketika keempat rekanku berteriak terkejut."Maksud Dokter?""Ya, kandungan masih sangat kecil. Satu bulan."Apa? Bagaimana mungkin? Seketika bayangan pemaksaan itu kembali hadir dalam benak. Oh ya benar, Axel melakukannya tanpa proteksi waktu itu. Di saat seperti ini, kenapa harus terjadi."Selamat ya. Jaga kondisi, istirahat cukup agar morning sicknes tak semakin parah," pesan dokter itu sebelum pergi.Setelah pintu ditutup, Eve segera mendekatiku. "A
Jeritanku membahana membelah kericuhan di tengah baku tembak. Perlahan, priaku menoleh menatap tangan gemetar ini.Tidak. Bukan aku yang menembak. Kami telah dikelilingi para polisi berseragam anti peluru dari lantai empat. Asad, berikutnya mendapat tembakan setelah Axel, tepat di kepalanya. Pemuda berambut keriting itu jatuh dengan suara berdebum keras."Tenanglah, kau aman sekarang!" Seseorang memelukku dari belakang, menyeretku pergi sementara dalam kegamangan aku melihat Axel terhuyung jatuh bersimbah darah.Jiwaku seakan meninggalkan raga. Hampa. Kosong. Tanpa kehendak tubuhku dibawa pergi. Semua menjadi kesunyian abadi. Berkomat-kamit dalam gerak lambat membuatku berkedip bingung. Otakku tak mau mencerna. Tubuhku gemetar hebat. Dan kegelapan absolut menelanku dalam kedamaian.***Suara dengungan mesin membangunkanku. Aku mengedip bingung mencerna plafon putih di atas kepala.
Asap mengepul dari salah satu pojokan. Aku bisa melihat dari sini rombongan pria memakai rompi khusus sedang membidik ke arah tersebut.Jantungku bertalu semakin kuat. Memohon dalam hati semoga di sana Axel tidak berada. Aku merunduk saat melihat salah seorang dari mereka berbalik."Hei siapa itu?" teriaknya.Sial, dia melihatku. Aku berlari ke salah satu kamar dan menutupnya. Segera bersembunyi ke bawah tempat tidur.Langkah kaki terdengar mengejar di luar kamar. Berdentum seperti irama jantungku.Pergilah, kumohon. Suara tembakan lagi terdengar dari luar pintuku."Periksa setiap kamar!" Teriakan terdengar dari luar."Tidak! Mereka berada di sayap kiri. Lihat, mereka membalas tembakan! Di sini butuh bantuan!" Sahutan terdengar samar-samar."Satu orang memeriksa di sini! Sisanya bantu ke sayap kiri!" perintah sebuah suara berat.
Aku memberontak, lecetnya kulit tak kuhiraukan sama sekali. Semakin cepat aku membebaskan diri, kemungkinan dirinya selamat lebih besar. Apa pun itu, aku akan melakukannya demi Axel. Betapa bodohnya diriku, aku mengutuk dalam hati, tapi jeratan itu terlalu kuat untuk bisa kubebaskan. Benang takdir yang tak bisa kami putuskan. Cinta semenyakitkan ini. "Kumohon, sekali ini saja, bantu aku!" Aku memohon pada Yang Kuasa. Keajaiban yang kunanti, yang tak kunjung datang seumur hidup. Namun kali ini, keajaiban itu terjadi. Aku melihat lempengan besi kecil bagian dari sparepart jamku terjatuh tak jauh dari jangkauan. Menggunakan kaki aku menggapai benda kecil itu menuju lenganku. Bersyukur, tubuhku sefleksibel itu hingga bisa menjangkaunya. Menggunakan benda kecil itu aku mulai mengerat tali yang mengikatku ke ranjang. Dalam sepuluh menit kemudian semua tali sudah terlepas. Aku berla
Terbangun dalam pusing parah membuatku terbatuk-batuk. Udara berbau tak enak, apek dan lembap. Belum lagi ruangan yang gelap gulita.Aku berusaha menggerakkan tangan, tapi tak ada yang terjadi. Tubuhku bergeming. Apa ini? Tanganku terasa seperti diikat oleh tali."Axel?" panggilku parau. "Kau di sini?" Pipiku menyentuh seprai lembut. Dia membaringkanku ke tempat tidur. Kakiku juga terikat kuat dan terhubung pada ranjang."Axel!" teriakku marah. Dia membiusku dan mengikatku layaknya tawanan. Apa maunya pria sialan ini?"Apa maumu? Kuperingatkan kau, lepaskan aku sekarang!" Aku memberontak marah. Hidungku berdenyut nyeri saat aku berteriak.Lampu tiba-tiba dihidupkan. Terang benderang membuatku berkedip tak fokus demi menyesuaikan intensitas cahaya."El, apa ini?" Axel berjalan mendekat. Menatapku lekat-lekat.Ia mengangkat telepon gantungan kunci ke atas su
Jika bisa aku ingin menghapus segala ingatan menyakitkan ini. Kenangan yang selalu berakhir menjadi mirip buruk mengerikan. Selalu tentangnya. Hari itu, di atap gedung Laguna. Sosok yang sama berbalik sambil mengucapkan selamat tinggal padaku.Lalu dia jatuh membawa serta jantungku. Terjun bebas menantang kuatnya angin menerpa. Namun, alih-alih tubuhnya terburai menyentuh aspal, tubuh Axel justru melayang ke angkasa, menatapku sembari mencibir dan tertawa keras.Tertawa akan kebodohanku, betapa mudah aku dikecoh, dan cinta yang membuatku terjerat pada kesetiaan. Semua ... adalah kepalsuan.Aku meringkuk setelah terbangun. Bantalku lembap oleh air mata."Hei, Bodoh!" Suara Leona mengejutkanku."Kenapa kau menangis semalaman, sudah kubilang jangan berisik." Ia berdecak kesal.Sialnya, pertahananku kian runtuh. Isakan kecil lolos dari bibirku, seakan seseorang menikam jantungku dan meninggalkan luka menganga yang masih berdara
Axel membawa jemariku mendekati netra besar miliknya. Masih bingung dengan reaksi pria ini aku berusaha menarik kembali lenganku."Ada apa? Wajahku yang perlu diobati bukannya tangan.""El," lirihnya. Sklera pria tampan itu seketika memerah, membuat detak jantungku berpacu cepat."Eli?" Ia mengecup telapak tanganku. Saat itulah baru kusadari bekas luka lama akibat perbuatan Yuki."Bekas luka ini, aku yang menjahitnya sendiri. Bagaimana aku bisa lupa, kau Eli." Axel menatapku sendu.Lidahku kelu, tak sanggup menyangkal dengan kenyataan yang terpampang sekarang."Aku---""Please, jangan berbohong lagi." Air mata luruh bersama kalimatnya."Bagaimana bisa wajahmu? Apa yang terjadi?" Axel menarik tubuhku ke dalam pelukan erat."Lepaskan aku!" pintaku memelas. Rasa sakit semakin mencengkeram tubuh ini dan tak tertahanka
"El, ayolah!" teriakan Asad di tepi arena menyadarkanku kembali, aku berusaha berlutut. Wajah-wajah sekeliling menjadi buram, langkah kaki pria besar itu mendekat lagi.Tepukan heboh bersama suara penonton mulai berteriak, "Habisi dia! Habisi dia!" Bercampur denging melengking dari kedua telingaku.Darah merembes membuat lantai di bawah kakiku menjadi merah dan licin."Eli, kau bisa, kau bisa!" Suara Dayana menarikku kembali ke dunia nyata. Gadis cantik itulah yang selalu menyemangatiku saat pertarungan dengan sesama PPS.Aku menutup mata, mengatur napas susah payah. Rasa nyeri mendekam kuat membuatku hampir muntah.Ini saatnya, kala pria itu mencapai arahku, ia bersiap menyarangkan tinju. Aku melompat mundur seketika, Toby yang terlanjur menyerang tak bisa membatalkan langkah dan terjerembap meninju angin. Darah licinku membuat pria itu jatuh dengan suara berdebum.