Share

Pengakuan

Penulis: Nafish Grey
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Matahari terbit dengan sinarnya yang menghangatkan tubuhku, kakiku terasa kram, bajuku lembap oleh gerimis tadi malam.

Pemilik toko roti membuka gerai, matanya menatap aneh padaku, terang saja kondisiku saat ini lebih seperti pengemis daripada seorang pelanggan. Aku mendesah malu, merapikan rambutku dengan tergesa-gesa, berdiri menjauh dari toko roti sebelum diusir oleh pemiliknya.

Kakiku menendang kerikil jalanan, tak tahu apa yang harus aku ucapkan ketika bertemu dengan Axel. Apa dia akan senang saat melihatku masih di sini? Atau ... dia malah berharap aku sudah menyerah dan pergi menjauhinya?

Apa mereka masih bersama? Rasa marah kembali membuncah dalam dadaku.

Ah ... aku benci wanita itu. Penampilannya yang cantik dengan rambut pirang panjang dan tubuh yang ramping, kulit putihnya dan mata besar seperti boneka, aku tidak mau mengakuinya, tetapi dia terlihat sangat cocok dengan Axel. Si cantik dan si tampan.

Kutendang kerikil di hadapanku de

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Shadow Under The Light   Markas Pembunuh

    Aroma kopi yang kuat membangunkanku. "Hmmm." Aku mengendus menikmati baunya.Mataku terbuka melihat ke sekeliling. Aku berada di sebuah kamar yang luas, tempat tidur yang kutempati sangat besar dan terbuat dari kayu. Aku menarik selimut yang menutupi tubuhku.Di mana aku sekarang?Tempat apa ini?"Ah ...." Aku terkejut mendapati tubuhku mengenakan pakaian baru. Kali ini aku menggenakan pakaian wanita, T-shirt pink dan celana pendek cream.Siapa yang mengganti bajuku?Wajahku memerah memikirkannya. Rasa takut juga menyusupiku, aku memeriksa tubuh, ketika tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, aku menghela napas lega.Aku turun dari tempat tidur, mendapati lututku sudah diperban, berjalan tertatih-tatih menuju jendela dan menyingkap tirainya tebal bermotif dedaunan.Pemandangan di luar mengejutkanku. Di mana aku sekarang? Pepohonan terbentang luas sejauh mataku memandang, aku mengalihkan tatapan ke bawah, reru

  • Shadow Under The Light   QAQ

    Perutku tiba-tiba berbunyi keras, mencairkan suasana tegang di antara kami.Aku berdeham canggung sambil mengelus perutku malu. Sebagian diriku takut dengan penuturannya barusan, sebagian lagi tak bisa menahan hasrat untuk mencecap makanan. "Kau lapar?" Axel tersenyum geli, "aku sedang membuat makananmu tadi. Ah ... kuambilkan sekarang." Ia melangkah ke luar kamar dan kembali lagi dengan sepiring makanan. Aku menyantap Ratatouille di depan dengan lahap. Axel duduk menemaniku sambil menyesap kopinya. “Kau suka?” tanyanya sambal mengintipku menyikat sayuran. Aku mengangguk masih mengunyah dengan mulut penuh. Ya, aku bukan pemilih makanan. Selama layak untuk dikonsumsi. Apalagi makanan ini buatan Axel sendiri. Aku meletakkan piring ketika suapan terakhir berhasil ditelan. Setelah perutku kenyang. Aku mulai berpikir jernih lagi. Sekarang saatnya sesi tanya jawab dengan Axel, kondisiku sudah kepalang tanggung di sini. Mati di luar atau

  • Shadow Under The Light   Jadi … Viagra Lagi?

    Bang!Aku menepuk meja kuat, gelas kopi Axel bergetar hebat dan menumpahkan beberapa tetes cairan ke meja.Axel menatapku bingung, melihat rona kemerahan di wajahku."Kau—kau—" Aku tak mampu mengucapkan kata selanjutnya, bingung harus mengutarakannya dengan kata-kata yang tidak memalukan.Ya ... Bagaimana bilangnya. Aku si manusia viagra?"Kau menjadikanku sebagai alat bantu pembayaranmu?" ucapku kemudian, tak mampu mengucapkan kata viagra yang kurasa terlalu vulgar."Ah!" Axel meringis, mengerti dengan kemarahanku barusan. "Sorry, Sweetheart." Ia menurunkan pandangan mata, lalu mengerling perlahan padaku.Dang! Ia tidak tahu jantungku hampir berhenti berdetak melihat kelakuannya barusan. Apa dia berusaha menggodaku dengan padangan matanya? Apa dia sadar kerlingan matanya adalah godaan maut bagi kaum hawa?"Kenapa bisa aku?" Kemarahanku perlahan surut."Aku tidak ta

  • Shadow Under The Light   The Power of Kiss

    [Warning 18+]"Tch!" Leona bangkit berdiri, menjauhi Axel, matanya menatapku dengan kilatan cemburu."Cepat!" ucapnya sambil membelakangi Axel. Ia sendiri mulai melepaskan pakaiannya.Axel berjalan menghampiriku yang masih berdiri di sudut ruangan, kedua tangannya terulur dan memerangkap tubuhku ke tembok."Bolehkah aku?" izinnya.Aku menelan ludah, bagaimana aku bisa bilang tidak, mataku sudah sangat silau saat melihat tubuh Axel. Belum lagi rasa panas dalam tubuh sedari tadi sudah menyiksaku. Wajahku mulai merona merah.Aku menganggukkan kepala. Bibir Axel yang lembut dan basah menyentuh bibirku ... bau maskulin menerpa indra penciumanku ... aku merasa meleleh.Tanganku bergerak menyentuh wajahnya, memegang kedua sisi kepalanya agar tidak ada jarak yang memisahkan kami. Aku menginginkan dirinya. Axel menciumiku lama ... aku membuka bibir berusaha memasukkan lidahku ke mulut Axel, meniru cara Leona. Axel menerimaku, men

  • Shadow Under The Light   Madam Gie

    Tengah malam Aku merasakan tubuhku diangkat ke tempat tidur, rupanya aku tertidur di lantai kamar. Bau tubuh Axel sangat menenangkan. Ia menyelimutiku dan beranjak pergi. "Axel." Aku menarik tangannya. "Mn." "Temani aku." "Pipimu?" Tangannya membelai pipiku. Ah ... aku baru teringat, tamparan Leona yang keras, apa meninggalkan bekas merah di sana? "Tidak apa-apa," bisikku, Axel menyipitkan matanya mendengar nada takut dalam suaraku. "Aku tidak mau tidur sendiri, temani aku ... mn?" "Mn." Axel masuk ke bawah selimut bersamaku. Aku melingkarkan lengan ke tubuhnya. Axel membelai kepalaku. Tubuhnya sangat hangat, terutama tangannya. Setiap kali aku menyentuh telapak tangan Axel, aku selalu mengira dia sedang demam, tetapi itu adalah suhu tubuhnya yang biasa. Memeluk tubuh Axel saat ini membuatku sangat bahagia, dengan cepat aku terlelap lagi. *** Apa ini? Aku terbangun karena menyentuh ses

  • Shadow Under The Light   Masa Lalu Leona

    "Ah ... aku lupa." Madam Gie kembali berjalan ke arah pintu kamar dan memungut sesuatu di luar sana. "Makananmu, Manis!" Ia meletakkan sepiring makanan di meja. Jadi tujuannya datang adalah untuk mengantarkan makanan? Aku menatapnya marah. Haruskah membuatku serangan jantung hanya untuk mengantarkan makanan ... bagaimana aku bisa punya selera makan sekarang? "Makan!" perintah Madam Gie, menunjuk piring dengan pisaunya. Piring berisi roti dan daging panggang menguarkan bau harum. Aku memungut sendok dengan tangan yang masih gemetar, mencoba menyuap sesendok daging yang dipotong dadu ke mulut, makananku terasa hambar oleh rasa takut. "Emh ... enak tidak?" tanyanya. "Enak," jawabku bohong. Ia bertepuk tangan. "Ah ... senang rasanya bisa masak lagi, mereka semua selalu sibuk, tidak ada yang memakan masakanku lagi." "Mereka?" "Axel, Leona, Vin, Lewi dan Yuki. Ah ... Lewi dan yuki sedang dalam misi, tidak lama lagi ka

  • Shadow Under The Light   Rasanya Rindu

    Hari berganti hari kujalani di kamar ini. Tidak berani melangkah keluar sama sekali.Madam Gie memberitahuku terdapat enam buah kamar di rumah ini. Setiap kamar memiliki privasi pemiliknya dan peraturan tidak tertulis berlaku di rumah kayu ini:• Tidak boleh ada yang masuk ke kamar orang lain.• Yang melanggar harus kehilangan salah satu anggota tubuhnya.• Si pemilik kamar yang akan memutuskan bagian tubuh mana yang akan dia potong.Selama aku tidak keluar kamar atau membiarkan salah seorang dari mereka masuk, aku akan aman. Tidak ada yang akan berani menyentuhku. Beberapa kali Vin berusaha memancingku untuk ke luar, tetapi pelajaran yang diberikan Madam Gie membekas di ingatanku. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.Axel sangat sibuk belakangan ini, pergi pagi dan pulang larut malam. Kami bahkan hampir tidak berkomunikasi. Setiap malam dia akan masuk ke kamar lewat jendela yang tidak kukunci. Seperti kucing, dia memanjat

  • Shadow Under The Light   Lewi

    Brak!Gedoran pintu yang kuat seolah ditabrak oleh banteng membangunkan Axel, mengejutkanku yang hampir saja terlelap.Axel melompat sigap dari tempat tidur, meraih pisaunya yang masih tergeletak di lantai, dan berjalan dengan waspada ke arah pintu."Tetap di sana!" pintanya.Aku beringsut panik menjauhi tempat tidur, menempel dengan erat ke tembok."Siapa?" tanya Axel.Suara berdeham terdengar dari balik pintu."Sial!" maki Axel.Axel menatapku kalut, seolah ingin menyembunyikanku dari pria di balik pintu."Siapa?" tanyaku.Axel meremas rambutnya sebelum menjawab pelan. "Lewi" ucapnya.Lewi? Pria yang diperingatkan oleh Madam Gie ... oh, ya ampun!Mukaku pucat pasi karena takut, melihat reaksi Axel sudah cukup memberitahuku orang seperti apa Lewi itu.Axel membuka pintu dengan sentakan cepat, pisau masih tersilang di dadanya dalam pose mempertahankan diri.Seo

Bab terbaru

  • Shadow Under The Light   Perpisahan

    "Apa?" tanya Axel tak percaya."Aku mengandung anakmu, kau ingat waktu itu?" Aku menunduk malu, terlalu takut dengan penolakan dari bibir pria ini."Benarkah, sungguh!" Suaranya berubah penuh sukacita.Aku baru berani menatapnya. "Dokter baru memberitahuku tadi," lirihku."Milikku?""Ya, hanya kau yang melakukannya tanpa proteksi."Senyum merekah, wajah pria tampan itu seketika menguarkan cahaya kebahagiaan."Aku ... akan menjadi ayah?" tanyanya tak percaya."Ya," jawabku pelan.Axel berusaha meraih wajahku dan menanamkan kecupan pada keningku. "Aku mencintaimu, Eli. Kekasihku, separuh jiwaku."Hatiku bergetar, tersentuh oleh pernyataannya. Namun dalam sekejap, kebahagiaan itu sirna ketika Axel menyadari kenyataan di masa depan."Aku ... tidak akan bisa mendampingimu, membelikanmu makanan yang kau inginkan saat ngidam, aku ... tak bisa menggenggam tanganmu saat kau melahirkan bayi kita."

  • Shadow Under The Light   Kabar Tak Terduga

    "Ms. Ellena, ini hasil pemeriksaannya." Dokter itu menatapku dengan senyum terkembang lebar pada bibir tipisnya."Ya," jawabku pelan. Masih merasa pusing setelah terbangun dari pingsan.Dokter melirik kehadiran George, Boni, Jodi, dan juga Eve."Tidak apa-apa, langsung katakan saja, Dok." pintaku."Selamat, Anda sedang mengandung.""Apa?" Seketika keempat rekanku berteriak terkejut."Maksud Dokter?""Ya, kandungan masih sangat kecil. Satu bulan."Apa? Bagaimana mungkin? Seketika bayangan pemaksaan itu kembali hadir dalam benak. Oh ya benar, Axel melakukannya tanpa proteksi waktu itu. Di saat seperti ini, kenapa harus terjadi."Selamat ya. Jaga kondisi, istirahat cukup agar morning sicknes tak semakin parah," pesan dokter itu sebelum pergi.Setelah pintu ditutup, Eve segera mendekatiku. "A

  • Shadow Under The Light   Koma

    Jeritanku membahana membelah kericuhan di tengah baku tembak. Perlahan, priaku menoleh menatap tangan gemetar ini.Tidak. Bukan aku yang menembak. Kami telah dikelilingi para polisi berseragam anti peluru dari lantai empat. Asad, berikutnya mendapat tembakan setelah Axel, tepat di kepalanya. Pemuda berambut keriting itu jatuh dengan suara berdebum keras."Tenanglah, kau aman sekarang!" Seseorang memelukku dari belakang, menyeretku pergi sementara dalam kegamangan aku melihat Axel terhuyung jatuh bersimbah darah.Jiwaku seakan meninggalkan raga. Hampa. Kosong. Tanpa kehendak tubuhku dibawa pergi. Semua menjadi kesunyian abadi. Berkomat-kamit dalam gerak lambat membuatku berkedip bingung. Otakku tak mau mencerna. Tubuhku gemetar hebat. Dan kegelapan absolut menelanku dalam kedamaian.***Suara dengungan mesin membangunkanku. Aku mengedip bingung mencerna plafon putih di atas kepala.

  • Shadow Under The Light   Dia Terluka

    Asap mengepul dari salah satu pojokan. Aku bisa melihat dari sini rombongan pria memakai rompi khusus sedang membidik ke arah tersebut.Jantungku bertalu semakin kuat. Memohon dalam hati semoga di sana Axel tidak berada. Aku merunduk saat melihat salah seorang dari mereka berbalik."Hei siapa itu?" teriaknya.Sial, dia melihatku. Aku berlari ke salah satu kamar dan menutupnya. Segera bersembunyi ke bawah tempat tidur.Langkah kaki terdengar mengejar di luar kamar. Berdentum seperti irama jantungku.Pergilah, kumohon. Suara tembakan lagi terdengar dari luar pintuku."Periksa setiap kamar!" Teriakan terdengar dari luar."Tidak! Mereka berada di sayap kiri. Lihat, mereka membalas tembakan! Di sini butuh bantuan!" Sahutan terdengar samar-samar."Satu orang memeriksa di sini! Sisanya bantu ke sayap kiri!" perintah sebuah suara berat.

  • Shadow Under The Light   Mengancam

    Aku memberontak, lecetnya kulit tak kuhiraukan sama sekali. Semakin cepat aku membebaskan diri, kemungkinan dirinya selamat lebih besar. Apa pun itu, aku akan melakukannya demi Axel. Betapa bodohnya diriku, aku mengutuk dalam hati, tapi jeratan itu terlalu kuat untuk bisa kubebaskan. Benang takdir yang tak bisa kami putuskan. Cinta semenyakitkan ini. "Kumohon, sekali ini saja, bantu aku!" Aku memohon pada Yang Kuasa. Keajaiban yang kunanti, yang tak kunjung datang seumur hidup. Namun kali ini, keajaiban itu terjadi. Aku melihat lempengan besi kecil bagian dari sparepart jamku terjatuh tak jauh dari jangkauan. Menggunakan kaki aku menggapai benda kecil itu menuju lenganku. Bersyukur, tubuhku sefleksibel itu hingga bisa menjangkaunya. Menggunakan benda kecil itu aku mulai mengerat tali yang mengikatku ke ranjang. Dalam sepuluh menit kemudian semua tali sudah terlepas. Aku berla

  • Shadow Under The Light   Penculikan

    Terbangun dalam pusing parah membuatku terbatuk-batuk. Udara berbau tak enak, apek dan lembap. Belum lagi ruangan yang gelap gulita.Aku berusaha menggerakkan tangan, tapi tak ada yang terjadi. Tubuhku bergeming. Apa ini? Tanganku terasa seperti diikat oleh tali."Axel?" panggilku parau. "Kau di sini?" Pipiku menyentuh seprai lembut. Dia membaringkanku ke tempat tidur. Kakiku juga terikat kuat dan terhubung pada ranjang."Axel!" teriakku marah. Dia membiusku dan mengikatku layaknya tawanan. Apa maunya pria sialan ini?"Apa maumu? Kuperingatkan kau, lepaskan aku sekarang!" Aku memberontak marah. Hidungku berdenyut nyeri saat aku berteriak.Lampu tiba-tiba dihidupkan. Terang benderang membuatku berkedip tak fokus demi menyesuaikan intensitas cahaya."El, apa ini?" Axel berjalan mendekat. Menatapku lekat-lekat.Ia mengangkat telepon gantungan kunci ke atas su

  • Shadow Under The Light   Pertarungan Kedua

    Jika bisa aku ingin menghapus segala ingatan menyakitkan ini. Kenangan yang selalu berakhir menjadi mirip buruk mengerikan. Selalu tentangnya. Hari itu, di atap gedung Laguna. Sosok yang sama berbalik sambil mengucapkan selamat tinggal padaku.Lalu dia jatuh membawa serta jantungku. Terjun bebas menantang kuatnya angin menerpa. Namun, alih-alih tubuhnya terburai menyentuh aspal, tubuh Axel justru melayang ke angkasa, menatapku sembari mencibir dan tertawa keras.Tertawa akan kebodohanku, betapa mudah aku dikecoh, dan cinta yang membuatku terjerat pada kesetiaan. Semua ... adalah kepalsuan.Aku meringkuk setelah terbangun. Bantalku lembap oleh air mata."Hei, Bodoh!" Suara Leona mengejutkanku."Kenapa kau menangis semalaman, sudah kubilang jangan berisik." Ia berdecak kesal.Sialnya, pertahananku kian runtuh. Isakan kecil lolos dari bibirku, seakan seseorang menikam jantungku dan meninggalkan luka menganga yang masih berdara

  • Shadow Under The Light   Bekas Luka

    Axel membawa jemariku mendekati netra besar miliknya. Masih bingung dengan reaksi pria ini aku berusaha menarik kembali lenganku."Ada apa? Wajahku yang perlu diobati bukannya tangan.""El," lirihnya. Sklera pria tampan itu seketika memerah, membuat detak jantungku berpacu cepat."Eli?" Ia mengecup telapak tanganku. Saat itulah baru kusadari bekas luka lama akibat perbuatan Yuki."Bekas luka ini, aku yang menjahitnya sendiri. Bagaimana aku bisa lupa, kau Eli." Axel menatapku sendu.Lidahku kelu, tak sanggup menyangkal dengan kenyataan yang terpampang sekarang."Aku---""Please, jangan berbohong lagi." Air mata luruh bersama kalimatnya."Bagaimana bisa wajahmu? Apa yang terjadi?" Axel menarik tubuhku ke dalam pelukan erat."Lepaskan aku!" pintaku memelas. Rasa sakit semakin mencengkeram tubuh ini dan tak tertahanka

  • Shadow Under The Light   Menunjukkan Kemampuan

    "El, ayolah!" teriakan Asad di tepi arena menyadarkanku kembali, aku berusaha berlutut. Wajah-wajah sekeliling menjadi buram, langkah kaki pria besar itu mendekat lagi.Tepukan heboh bersama suara penonton mulai berteriak, "Habisi dia! Habisi dia!" Bercampur denging melengking dari kedua telingaku.Darah merembes membuat lantai di bawah kakiku menjadi merah dan licin."Eli, kau bisa, kau bisa!" Suara Dayana menarikku kembali ke dunia nyata. Gadis cantik itulah yang selalu menyemangatiku saat pertarungan dengan sesama PPS.Aku menutup mata, mengatur napas susah payah. Rasa nyeri mendekam kuat membuatku hampir muntah.Ini saatnya, kala pria itu mencapai arahku, ia bersiap menyarangkan tinju. Aku melompat mundur seketika, Toby yang terlanjur menyerang tak bisa membatalkan langkah dan terjerembap meninju angin. Darah licinku membuat pria itu jatuh dengan suara berdebum.

DMCA.com Protection Status