Brak!
Gedoran pintu yang kuat seolah ditabrak oleh banteng membangunkan Axel, mengejutkanku yang hampir saja terlelap.
Axel melompat sigap dari tempat tidur, meraih pisaunya yang masih tergeletak di lantai, dan berjalan dengan waspada ke arah pintu.
"Tetap di sana!" pintanya.
Aku beringsut panik menjauhi tempat tidur, menempel dengan erat ke tembok.
"Siapa?" tanya Axel.
Suara berdeham terdengar dari balik pintu.
"Sial!" maki Axel.
Axel menatapku kalut, seolah ingin menyembunyikanku dari pria di balik pintu.
"Siapa?" tanyaku.
Axel meremas rambutnya sebelum menjawab pelan. "Lewi" ucapnya.
Lewi? Pria yang diperingatkan oleh Madam Gie ... oh, ya ampun!
Mukaku pucat pasi karena takut, melihat reaksi Axel sudah cukup memberitahuku orang seperti apa Lewi itu.
Axel membuka pintu dengan sentakan cepat, pisau masih tersilang di dadanya dalam pose mempertahankan diri.
Seo
"Bagus sekali!" Madam Gie bertepuk tangan dengan puas, entah sudah yang ke berapa kali aku melempar semua belatiku tepat sasaran."Tidak pernah aku mengajari orang semudah ini, rekor tercepat masih tiga hari untuk menguasai melempar dengan tepat ke sasaran. Apa kau sering main lempar dart, Manis?"Aku menggeleng pelan. "Olahraga yang kusuka hanyalah berlari."Madam Gie tertawa renyah."Well ... kau juga akan membutuhkan keahlian itu, berlari secepat mungkin. Sekarang ... ayo serang aku." Madam Gie mencabut belati yang menancap di pohon dan melemparkannya padaku."Serang aku seolah nyawamu dalam bahaya."Aku menghela napas berat, memposisikan kaki kananku ke depan, belatiku mengacung di depan dada. Aku berteriak keras dan menghunjamkan belati ke arah Madam Gie.Madam Gie tertawa terbahak-bahak sampai terduduk. Belatiku berhenti beberapa senti dari wajahnya."Hah? Kenapa? Ada apa?" tanyaku bingung."Oh ... ya
Rasa perih tak tertahankan membuat tubuhku gemetaran. Inikah rasanya dikuliti hidup-hidup.Pisau tajam itu sudah menggores hingga daguku. Rasa syok membuat tubuhku kaku bahkan untuk membela diri pun aku tak mampu. Hidup di antara orang-orang sinting ini, cepat atau lambat aku akan dibunuh jika tidak bisa menjaga diriku sendiri, dan Axel tidak akan selalu berada di sampingku untuk melindungi.Tiru aku dan kau akan hidup.Kalimat Axel terbesit di pikiranku. Dengan sisa kekuatan yang ada—mengalahkan ketakutan yang menguasai tubuhku, aku menggenggam pisau yuki—menghentikan gerakan pisaunya.Ah ... sial ... sakit sekali.Pisau Yuki mengiris daging di telapak tanganku. Rasa sakit yang menusuk membuat tanganku goyah—ingin melepaskan pisau itu, tetapi dengan tekat penuh aku malah menggenggamnya semakin erat.Yuki menatapku terkejut—tak menyangka akan mendapat perlawanan dari mangsanya. Ia menatap ke ba
Ibura berjalan mendekatiku, kali ini aku menatapnya tajam. Wajah pria itu bulat sempurna, berkulit putih dan pendek, rambutnya disisir rapi ke belakang menggunakan pomade. Tangannya mengelus wajahku perlahan, aku menghindar. Mata Ibura menyipit, tanda tak suka dengan reaksiku.Aku meremas ujung gaunku gugup, belatiku tersemat di paha, dengan sekali sentakan saja aku bisa menariknya dengan cepat."Apa yang terjadi pada wajahmu?" Ia mengelus bekas luka di rahangku.Aku menelan ludah sebelum menjawab, "Kecelakaan.""Tch ... sayang sekali, ini akan mengurangi nilai jualmu, buka bajumu!" perintahnya.Aku bergeming, tanganku gemetaran.Ayo berpikir ... berpikirlah otakku yang bodoh.Ibura terkekeh. "Semakin kau takut, semakin menarik jadinya, Alice." Ia berjalan perlahan memutari tubuhku.Aku memejamkan mata dengan kalut, jarinya yang gemuk menyentuh punggungku, memainkan jarinya di sana. Ibura menarik ritsleting gaunku
BUK!Ibura terjatuh menindihku, cairan merah dan serpihan kaca bertaburan di sekelilingku. Aku menelengkan kepala, berusaha memfokuskan mata.Via berdiri ketakutan, tangannya masih menggenggam sisa botol wine yang ia hantamkan ke kepala Ibura."Dasar jalang, mati kau!" Ibura bangkit dengan kepala berlumuran darah, ia meraih serpihan kaca besar dan berjalan ke arah Via.Via mundur ketakutan. "Jangan ... ja--jangan ...," gagapnya.Aku berusaha bangkit sambil menopang tubuh, gadis satunya lagi menjerit sambil memohon-mohon, menangis histeris.Telingaku berdenging, aku menggelengkan kepala, berusaha menjernihkan pikiran yang berkabut. Tangan gemetarku menyeka darah yang menutupi penglihatan.Via melempar segala sesuatu yang bisa diraihnya ke arah Ibura, berusaha menghentikan kedatangan pria itu. Aku membungkuk meraih belati keduaku.Fokus ... fokus ... lempar dengan tepat.Aku melenturkan t
"Siapa namamu?" Suara lembut seorang wanita terdengar.Aku menengadah, tersenyum pada wajah cantiknya, Madam Gie memberengut."Manis, ini sudah belasan kali aku bertanya, siapa namamu?"Kenapa dia kesal? Aku terkekeh pelan."Kalau kau tidak mau menjawab, setidaknya makanlah sesuatu." Madam Gie menyodorkan piring berisi makanan ke wajahku, bau makanan yang menerpa indra penciuman seketika membuatku mual. Aku mendorong piring itu, memiringkan kepalaku ke bawah kasur dan muntah cairan asam.Entah sudah yang ke berapa kali aku muntah hari ini. Baskom di bawah tempat tidurku sudah dibersihkan berkali-kali.Madam Gieberdecak kesal, menepuk punggungku perlahan. "Semua mengalami hal ini pada awalnya, kau akan terbiasa, percayalah."Tidak ... aku tidak akan pernah terbiasa ... mimpi itu ... terlalu menakutkan .... Ibura selalu bangkit, walaupun sudah kubunuh berkali-kali.Tok ... tok!Madam Gie mengernyi
(Warning!!! 18+) Kami tiba di sebuah motel kumuh, Axel membunyikan bel di lobi yang tampak sunyi.Seorang Pria kurus kerempeng, dengan mata menonjol cekung melongokkan kepalanya dari bawah meja resepsionis. "Axel?" Ia menatap Axel dengan tidak percaya. Axel menyunggingkan senyum manis. "Hallo, Ed!" Pria yang disapa Ed itu melompati meja dengan mudah, menjabat tangan Axel dan memeluk pemuda itu kuat-kuat seolah bertemu teman baik yang sudah lama hilang. "Apa yang terjadi? Bagaimana kabar rumah kayu?" cerocosnya, ia mendengkus sambil menggosok hidung, persis seperti pecandu obat terlarang. "Eh? Siapa dia?" Ed menyadari kehadiranku, belum sempat Axel menjawab, dia sudah menghampiriku. "Siapa namamu?" Ed membelai wajahku, aku mendengkus jijik. Semua laki-laki sama saja, mereka pantas untuk mati. Axel mencengkeram tangan Ed. "Dia bukan seperti yang kau pikirkan." "Oh! Pacarmu?"
Lewi memiringkan kepalanya, tersenyum culas memandang kami."Axel!" Ia mengeluarkan pisau besar bergerigi. Aku bergidik ngeri, semakin merapat ke jendela."Aku ... akan memaafkanmu ... jika ... membunuhnya ... sekarang!" Tangannya menuding ke arahku.Seluruh tubuhku gemetar.Apa yang akan dilakukan Axel? Apa dia akan kembali pada mereka? Aku memang hanya beban baginya selama ini. Keraguan mulai menelusup ke dalam hatiku.Aku memandang ke bawah dengan kalut, berusaha mencari jalan keluar.Bagaimana kami masih bisa berjalan normal setelah loncat dari lantai tiga? Patah kaki sudah pasti, kalau kena kepala? Habislah sudah.Axel menggenggam pisaunya erat-erat, tersenyum miring pada Lewi, lalu mulai berbalik dan melangkah ke arahku."Axel?" panggilku, mulai ketakutan.Axel mengacungkan pisaunya padaku. Ia mulai berlari, aku menjerit ketakutan sambil menutup mata.Prang!Suara pecah
(Warning! 18+)_______________________________________ Tubuhku melonjak oleh rasa sakit, terasa seperti sengatan listrik. Panas mengaliri tubuh dan aku membuka mata sambil berteriak kesakitan. Buram menyapa penglihatan, aku mengerjap beberapa kali, mendapati seraut wajah gemuk berjerawat menyeringai menakutkan. Yuki menggenggam stun gun yang baru saja disengatkan padaku.Aku meronta lemah, melihat tangan dan kakiku terenggang lebar, terikat pada sebuah dipan. Posisi tubuhku vertikal , ditahan oleh tali kulit tebal bersambung rantai. "Ah ... sakit ya?" tanya si gila padaku. Aku menggertakkan gigi, ya ... pergelangan tangan kanan berdenyut menyakitkan, dan kepala ini pusing. Aku meludah ke arah Yuki, tetapi air liur hanya terpercik sedikit, tenggorokanku kering dan panas. "Axel?" lirihku. "Axelku di sini!" Yuki mendorong kepalaku menghadap ke kiri. Mataku terbelalak, melihat Axel yang setengah tela
"Apa?" tanya Axel tak percaya."Aku mengandung anakmu, kau ingat waktu itu?" Aku menunduk malu, terlalu takut dengan penolakan dari bibir pria ini."Benarkah, sungguh!" Suaranya berubah penuh sukacita.Aku baru berani menatapnya. "Dokter baru memberitahuku tadi," lirihku."Milikku?""Ya, hanya kau yang melakukannya tanpa proteksi."Senyum merekah, wajah pria tampan itu seketika menguarkan cahaya kebahagiaan."Aku ... akan menjadi ayah?" tanyanya tak percaya."Ya," jawabku pelan.Axel berusaha meraih wajahku dan menanamkan kecupan pada keningku. "Aku mencintaimu, Eli. Kekasihku, separuh jiwaku."Hatiku bergetar, tersentuh oleh pernyataannya. Namun dalam sekejap, kebahagiaan itu sirna ketika Axel menyadari kenyataan di masa depan."Aku ... tidak akan bisa mendampingimu, membelikanmu makanan yang kau inginkan saat ngidam, aku ... tak bisa menggenggam tanganmu saat kau melahirkan bayi kita."
"Ms. Ellena, ini hasil pemeriksaannya." Dokter itu menatapku dengan senyum terkembang lebar pada bibir tipisnya."Ya," jawabku pelan. Masih merasa pusing setelah terbangun dari pingsan.Dokter melirik kehadiran George, Boni, Jodi, dan juga Eve."Tidak apa-apa, langsung katakan saja, Dok." pintaku."Selamat, Anda sedang mengandung.""Apa?" Seketika keempat rekanku berteriak terkejut."Maksud Dokter?""Ya, kandungan masih sangat kecil. Satu bulan."Apa? Bagaimana mungkin? Seketika bayangan pemaksaan itu kembali hadir dalam benak. Oh ya benar, Axel melakukannya tanpa proteksi waktu itu. Di saat seperti ini, kenapa harus terjadi."Selamat ya. Jaga kondisi, istirahat cukup agar morning sicknes tak semakin parah," pesan dokter itu sebelum pergi.Setelah pintu ditutup, Eve segera mendekatiku. "A
Jeritanku membahana membelah kericuhan di tengah baku tembak. Perlahan, priaku menoleh menatap tangan gemetar ini.Tidak. Bukan aku yang menembak. Kami telah dikelilingi para polisi berseragam anti peluru dari lantai empat. Asad, berikutnya mendapat tembakan setelah Axel, tepat di kepalanya. Pemuda berambut keriting itu jatuh dengan suara berdebum keras."Tenanglah, kau aman sekarang!" Seseorang memelukku dari belakang, menyeretku pergi sementara dalam kegamangan aku melihat Axel terhuyung jatuh bersimbah darah.Jiwaku seakan meninggalkan raga. Hampa. Kosong. Tanpa kehendak tubuhku dibawa pergi. Semua menjadi kesunyian abadi. Berkomat-kamit dalam gerak lambat membuatku berkedip bingung. Otakku tak mau mencerna. Tubuhku gemetar hebat. Dan kegelapan absolut menelanku dalam kedamaian.***Suara dengungan mesin membangunkanku. Aku mengedip bingung mencerna plafon putih di atas kepala.
Asap mengepul dari salah satu pojokan. Aku bisa melihat dari sini rombongan pria memakai rompi khusus sedang membidik ke arah tersebut.Jantungku bertalu semakin kuat. Memohon dalam hati semoga di sana Axel tidak berada. Aku merunduk saat melihat salah seorang dari mereka berbalik."Hei siapa itu?" teriaknya.Sial, dia melihatku. Aku berlari ke salah satu kamar dan menutupnya. Segera bersembunyi ke bawah tempat tidur.Langkah kaki terdengar mengejar di luar kamar. Berdentum seperti irama jantungku.Pergilah, kumohon. Suara tembakan lagi terdengar dari luar pintuku."Periksa setiap kamar!" Teriakan terdengar dari luar."Tidak! Mereka berada di sayap kiri. Lihat, mereka membalas tembakan! Di sini butuh bantuan!" Sahutan terdengar samar-samar."Satu orang memeriksa di sini! Sisanya bantu ke sayap kiri!" perintah sebuah suara berat.
Aku memberontak, lecetnya kulit tak kuhiraukan sama sekali. Semakin cepat aku membebaskan diri, kemungkinan dirinya selamat lebih besar. Apa pun itu, aku akan melakukannya demi Axel. Betapa bodohnya diriku, aku mengutuk dalam hati, tapi jeratan itu terlalu kuat untuk bisa kubebaskan. Benang takdir yang tak bisa kami putuskan. Cinta semenyakitkan ini. "Kumohon, sekali ini saja, bantu aku!" Aku memohon pada Yang Kuasa. Keajaiban yang kunanti, yang tak kunjung datang seumur hidup. Namun kali ini, keajaiban itu terjadi. Aku melihat lempengan besi kecil bagian dari sparepart jamku terjatuh tak jauh dari jangkauan. Menggunakan kaki aku menggapai benda kecil itu menuju lenganku. Bersyukur, tubuhku sefleksibel itu hingga bisa menjangkaunya. Menggunakan benda kecil itu aku mulai mengerat tali yang mengikatku ke ranjang. Dalam sepuluh menit kemudian semua tali sudah terlepas. Aku berla
Terbangun dalam pusing parah membuatku terbatuk-batuk. Udara berbau tak enak, apek dan lembap. Belum lagi ruangan yang gelap gulita.Aku berusaha menggerakkan tangan, tapi tak ada yang terjadi. Tubuhku bergeming. Apa ini? Tanganku terasa seperti diikat oleh tali."Axel?" panggilku parau. "Kau di sini?" Pipiku menyentuh seprai lembut. Dia membaringkanku ke tempat tidur. Kakiku juga terikat kuat dan terhubung pada ranjang."Axel!" teriakku marah. Dia membiusku dan mengikatku layaknya tawanan. Apa maunya pria sialan ini?"Apa maumu? Kuperingatkan kau, lepaskan aku sekarang!" Aku memberontak marah. Hidungku berdenyut nyeri saat aku berteriak.Lampu tiba-tiba dihidupkan. Terang benderang membuatku berkedip tak fokus demi menyesuaikan intensitas cahaya."El, apa ini?" Axel berjalan mendekat. Menatapku lekat-lekat.Ia mengangkat telepon gantungan kunci ke atas su
Jika bisa aku ingin menghapus segala ingatan menyakitkan ini. Kenangan yang selalu berakhir menjadi mirip buruk mengerikan. Selalu tentangnya. Hari itu, di atap gedung Laguna. Sosok yang sama berbalik sambil mengucapkan selamat tinggal padaku.Lalu dia jatuh membawa serta jantungku. Terjun bebas menantang kuatnya angin menerpa. Namun, alih-alih tubuhnya terburai menyentuh aspal, tubuh Axel justru melayang ke angkasa, menatapku sembari mencibir dan tertawa keras.Tertawa akan kebodohanku, betapa mudah aku dikecoh, dan cinta yang membuatku terjerat pada kesetiaan. Semua ... adalah kepalsuan.Aku meringkuk setelah terbangun. Bantalku lembap oleh air mata."Hei, Bodoh!" Suara Leona mengejutkanku."Kenapa kau menangis semalaman, sudah kubilang jangan berisik." Ia berdecak kesal.Sialnya, pertahananku kian runtuh. Isakan kecil lolos dari bibirku, seakan seseorang menikam jantungku dan meninggalkan luka menganga yang masih berdara
Axel membawa jemariku mendekati netra besar miliknya. Masih bingung dengan reaksi pria ini aku berusaha menarik kembali lenganku."Ada apa? Wajahku yang perlu diobati bukannya tangan.""El," lirihnya. Sklera pria tampan itu seketika memerah, membuat detak jantungku berpacu cepat."Eli?" Ia mengecup telapak tanganku. Saat itulah baru kusadari bekas luka lama akibat perbuatan Yuki."Bekas luka ini, aku yang menjahitnya sendiri. Bagaimana aku bisa lupa, kau Eli." Axel menatapku sendu.Lidahku kelu, tak sanggup menyangkal dengan kenyataan yang terpampang sekarang."Aku---""Please, jangan berbohong lagi." Air mata luruh bersama kalimatnya."Bagaimana bisa wajahmu? Apa yang terjadi?" Axel menarik tubuhku ke dalam pelukan erat."Lepaskan aku!" pintaku memelas. Rasa sakit semakin mencengkeram tubuh ini dan tak tertahanka
"El, ayolah!" teriakan Asad di tepi arena menyadarkanku kembali, aku berusaha berlutut. Wajah-wajah sekeliling menjadi buram, langkah kaki pria besar itu mendekat lagi.Tepukan heboh bersama suara penonton mulai berteriak, "Habisi dia! Habisi dia!" Bercampur denging melengking dari kedua telingaku.Darah merembes membuat lantai di bawah kakiku menjadi merah dan licin."Eli, kau bisa, kau bisa!" Suara Dayana menarikku kembali ke dunia nyata. Gadis cantik itulah yang selalu menyemangatiku saat pertarungan dengan sesama PPS.Aku menutup mata, mengatur napas susah payah. Rasa nyeri mendekam kuat membuatku hampir muntah.Ini saatnya, kala pria itu mencapai arahku, ia bersiap menyarangkan tinju. Aku melompat mundur seketika, Toby yang terlanjur menyerang tak bisa membatalkan langkah dan terjerembap meninju angin. Darah licinku membuat pria itu jatuh dengan suara berdebum.