Aku memejamkan mata saat mendengar jeritan yang membekukan jantung. Wanita itu masih menjerit saat aku membuka mata.
Ia menatap Axel tidak percaya. Dengan santai, Axel berjalan menjauh dan mengambil senjata lain.
"Menjeritlah sesukamu, ruangan ini kedap suara, jadi takkan ada yang mendengar suaramu, Sayang."
"K-kau ... kau?" Sambil menahan sakit, wanita itu memegang ulu hatinya, pemecah es itu masih menancap di sana.
"Kenapa?" tanya Axel sambil memiringkan kepalanya. Mengerikan sekaligus menggemaskan. Menampilkan wajah sepolos anak kecil.
"Kau marah sayang? Bukankah sebelumnya kau bilang aku boleh melakukan apa saja padamu?" Axel tersenyum culas, memesona, tapi juga menakutkan.
"Jadi ini yang kulakukan, Sayang! Aku ingin melihat tubuhmu dengan lebih jelas."
Axel melangkah ke arah tubuh wanita itu dengan dua utas tali dan sebuah pisau bedah."Showtime!"
"JANGAN!J--jangan!" teriak wanita itu.
"Ow! Kasihan, sudah terlambat untuk mengatakan itu, aku merasa sedih untuk suamimu yang mendapatkan istri yang suka selingkuh, tapi akan kuhapuskan kesedihannya dengan mencabut nyawamu." Axel menepuk pipi wanita itu beberapa kali.
Ia lalu mengikat kedua tangan dan kaki wanita itu, si wanita tak mampu memberi perlawanan sama sekali. Dengan darah yang begitu banyak keluar dari tubuhnya, ia mulai kehilangan kesadaran. Aku membuang wajah.
"Hey manis, Ow! Jangan begitu, jangan palingkan wajahmu," protes Axel.
Aku memutar kepala, kembali menatap wanita tak berdaya itu.
"Nah! Begitu dong, bagus sekali. Lihat ini! Hari ini aku akan menjelaskan padamu bagian dari tubuh manusia." Ia mengacungkan pisau bedah bersama senyum sinting.
Axel menurunkan rok pendek wanita itu sebatas lutut, lalu mulai mengiris tipis pada kulitnya.
"Kau tidak boleh terlalu kuat mengiris, nanti akan merusak organ dalamnya."Mata wanita itu membelalak, ia mengerang keras sambil menggumamkan sesuatu.
"Stop ... Stop.""Apa sayang?" tanya Axel sambil pura-pura mendekatkan telinganya.
"Hei, Manis! Kurasa ia ingin mengucapkan kata-kata terakhir."
"To-long-ja-jangan ... kumohon ... aku-tidak ingin ma-mati ... a-aku ... aku ... ingin hidup, please ... aku ... ingin hidup." Ia semakin histeris seiring dengan suara tangisan keras, meskipun setiap kalimatnya terbata-bata, menyiratkan tubuh yang sekarat.
"Oh, kasihan. Sudah terlambat, Sayang! Sudah sangat terlambat. Hei, Manis!" Axel menoleh padaku. "Lihat ini baik-baik!"
Ia mengiris lebih dalam lagi, membuat wanita itu melolong kesakitan. Tubuhnya melengkung ke belakang merasakan sakit yang teramat sangat. Bisa kubayangkan tajamnya pisau bedah yang mengiris daging dan kulit bagaikan kertas.
Aku tercekat, seluruh kulitku berkeringat, tetapi tak mampu mengalihkan pandangan dari tubuh wanita itu. Aku tahu sedang mengalami syok, kehilangan kendali atas tubuhku sendiri.
Darah yang merembes membuat cairan perutku ingin keluar. Dengan sadis Axel mengiris si wanita sambil menjelaskan padaku. Ia mengiris dengan rapi layaknya seorang ahli bedah, hingga lapisan lemak di bawah daging tampak.Aku tidak tahu berapa lama si wanita melolong, sampai akhirnya hanya terdengar suara tercekat, dan tubuh yang tersentak-sentak tak terkendali.
Axel membelah perut si wanita, kedua lengan putihnya kini berwarna merah. Matanya membesar dengan alis menukik girang, sungguh! Rupanya serupa topeng dengan senyum abadi mengerikan. Wanita itu kini sediam patung, nyawanya telah terenggut.
"Ow! Lambung dan hatinya tampak jelek. Kau terlalu banyak mengonsumsi makanan yang tidak baik, Sayang."
Axel berdiri, mengambil sebuah gunting raksasa dan memotong rusuk wanita itu.
"Bye ... bye, Honey!"
Suara retakan tulang membuatku ngilu. Axel membuka rusuk dengan kekuatan penuh. Tulang-tulang itu kini menganga lebar mempertonton organ dalam.
"Ah! Paru-parunya juga jelek sekali, terlalu banyak merokok. Hei, Manis! Jangan mencontoh gaya hidupnya ya!" Axel nyengir sambil memamerkan sederet gigi putih tersusun rapi.
Aku sudah tidak tahan lagi, dengan sisa kendali yang ada, kumiringkan kepala ke bawah ranjang, lalu memuntahkan seluruh isi perut."Ow! Jangan begitu. Kau jadi mengotori lantai 'kan?" Axel berteriak tak senang.
Aku mengangkat kepala, menatap takut ke arahnya, ia balas menatapku dengan wajah tanpa ekspresi.
Seluruh tubuhku gemetaran.
"Kau belum melihat pertunjukkan sebenarnya. "Bibir Axel tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman jahat, lalu tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak. Tertawa dengan sangat keras sehingga seluruh ruangan menggema oleh suaranya.
Ia benar-benar sudah gila. Aku tidak bisa menahan diri lagi, sangat ketakutan dengan sosok Axel saat ini, tanpa sadar air mata mengalir deras membanjiri wajahku.
Axel bertindak semakin brutal, mencabik-cabik organ tubuh wanita itu dengan tangannya. Mengeluarkan hati, usus, paru-paru, jantung, bahkan ginjal. Lalu menghamburkan semuanya ke dinding dibarengi tawa keras, seolah-olah dia adalah anak kecil yang sedang melempar mainan baru.
"Sangat menyenangkan Manis ... HAHAHAHAHHA." Ia memutar usus seolah itu adalah laso.
Percikan darah menodai dinding, lantai, hingga mengenai ranjang. Seprai yang semula putih bersih, kini berbercak merah gelap. Bau memuakkan membuat kepalaku berputar pusing.
"Sangat menyenangkan bukan?" Axel menghentikan tawanya dan menatapku dalam-dalam.
Menatap tepat ke dalam bola mataku tanpa berkedip, mencari sesuatu di sana. Kurasakan seluruh tubuhku bergetar hebat. Aku beringsut menjauh, tetapi tertahan oleh ikatan tali.Aku mulai memberontak, kalut. Pikiranku menampilkan opsi mengerikan yang akan pria ini lakukan. Ya Tuhan, bibirnya tertarik membentuk senyum miring.
Inilah saatnya, ia sudah melihatnya, melihat ketakutan di mataku.
Dengan cepat Axel meraih pisau bedah, lalu berjalan ke arahku. Saking takutnya, aku memejamkan mata kuat-kuat, tak berani menatap kedatangan pria itu. Suara dentum langkah Axel seirama dengan detak jantungku yang tak karuan. Berdegup kencang seolah akan melompat keluar.
Tak pernah terpikir olehku akan mati dengan cara yang sangat menyakitkan. Yang kuinginkan hanya mengakhiri hidup dengan cepat, jika bisa dengan rasa sakit seminimal mungkin, tetapi melihat apa yang psikopat ini lakukan pada wanita itu, bagaimana mungkin ia akan membiarkanku mati secara mudah.
"Hei, Manis! Kenapa kau menutup matamu?" Tangannya menyentuh wajahku, lalu perlahan mengangkat daguku ke atas karena aku menunduk dalam-dalam.
"Ow, kurasa aku akan mengiris di sini dan di sini." Ia memainkan pisau bedahnya di bawah mata, beralih ke pangkal hidung. Dinginnya benda tajam itu membuatku bergidik.
"Lalu turun ke sini!" Axel menggeser pisaunya ke bawah leherku.
"Kau akan mati perlahan-lahan karena kehabisan darah, dan sakitnya ... shhh... bisa membuat tubuhmu jungkir-balik." Ia terkekeh. Pisau di tangannya berguncang oleh tawa mengerikannya. Aku tercekat takut.
Aku tahu semua yang diucapkannya benar, air mata semakin deras mengalir dan gigiku gemeletukan karena takut. Aku mengerjap, air mata mengaburkan bidang pandang, sosok Axel memudar.
"Tatap aku!" teriaknya sambil mengguncang tubuhku.
Aku membuka mataku yang berlepotan air mata. Terisak gugup.
"Showtime!" ucapnya sambil menghunjamkan pisau ke arah leherku.
Aku menjerit keras sambil memejamkan mata.
"TADAA! Bohong deh! HAHAHAHAHAHA ...." Ia tertawa terbahak-bahak sampai terbaring di ranjang yang kutempati.Ingin sekali aku memaki dan memukulinya, karena membuatku berpikir akan mati saat ini. Gemetar di seluruh tubuhku tidak mau berhenti dan aku menangis sejadi-jadinya.Ia berhenti tertawa mendengar tangisan keras, lalu mendekatkan wajah padaku. Kukira ia akan berteriak lagi, tetapi tiba-tiba tangannya terulur dan membelai kepalaku dengan lembut. Seolah aku seorang anak kecil.Axel lalu berbisik, "I'm sorry, Sweetheart." Sebelum akhirnya melangkah pergi untuk membereskan kekacauan yang ia buat.Axel menyeret tubuh si wanita. Mencacahnya menjadi potongan-potongan kecil sebelum dimasukkan ke dalam kantung sampah besar. Setelah itu, Axel membawa potongan tubuh ke lantai atas, ia menghilang selama dua jam.Kembali lagi dengan nampan berisi makanan. Mataku terasa bengkak karena tangis berkepanjangan, masih tergugu saat ia mendekat.&
Pagi pun menjelang. Saat aku membuka mata setelah tertidur selama dua jam, Axel sudah menghilang dari tempat tidur kami.Apa yang disiapkannya?Apa yang direncanakannya?Aku memegang kepalaku dengan takut.Tanpa sadar kakiku menyentuh sesuatu di bawah ranjang, aku melongok ke bawah.Sebuah piring berisi makanan diletakkan di sana, beserta segelas besar air dan secarik pesan.Makan pagimu, Axel!Axel sebelumnya tidak pernah meninggalkanku pada saat pemberian makan, selalu mengawasi gerak-gerikku. Aneh sekali kali ini dia melakukan pengecualian. Dia bahkan menyediakan pispot urinal wanita di samping ranjang. Secara tidak langsung, ini menyiratkan bahwa dia akan pergi dalam waktu lama.Setelah seharian menanti dengan takut, akhirnya sang pembunuh kembali. Ia masuk ke ruang bawah tanah dengan wajah berseri-seri, lalu melemparkan dua buah bungkusan ke atas kasurku."Ayo mandi!" ucapnya sambil membuka b
Aku melangkah cepat ke ujung jalan. Agak malu dengan penampilanku yang sangat seksi. Mata-mata kurang ajar melemparkan tatapan menjijikkan ketika kaki ini melewati mereka. Sebelum aku sampai ke tempat pria berjas biru itu, ia sudah menatapku lekat-lekat dari jauh. Ya ... kombinasi dari gaun merah mencolok dan baju seseksi ini, siapa yang tidak melihat kedatanganku. Bahkan kerlipan indah di sepatu mewah ini menarik atensi para wanita.Aku berjalan ke arahnya perlahan, mengeja langkah lamat-lamat. Tahu dengan pasti Axel sedang memperhatikan kami saat ini. "Hallo, Manis! Ada yang bisa kubantu?" ucapnya sambil memicing ke arah pahaku.Jijik sekali mendengar lelaki itu memanggilku seperti ini. Panggilan serupa dengan yang diberikan Axel padaku. "Ya …," jawabku sengaja menggantungkan suara, "kurasa … aku tersesat," tambahku malu-malu dan mengerling padanya. Ok! Kuakui aktingku sangat memalukan, tidak pernah sekali pun seumur hidup aku menggoda lelaki,
Pria itu bangkit kembali seperti zombie. Darah menetes dari lukanya yang menganga lebar. Terutama pada bagian kepala. Layaknya keran bocor, likuid kental memberi tampilan mengerikan di sosoknya. "Brengsek!" makinya sambil menendang Axel sekali lagi. Ia lalu menjambak kemeja Axel dan menghantamkan kepalanya ke kepala pemuda itu. Tubrukan keras menyebabkan Axel terhuyung-huyung, tetapi tidak terjatuh karena si pria mesum masih mencengkeram pemuda itu.Axel berusaha melawan dengan menendangkan kakinya ke sisi tubuh pria itu, membuat si pria melepaskan cengkeramannya. Axel memutar tubuh dan memberi tendangan berputar ke kepala pria itu. Namun sayangnya, si pria sudah bersiap dengan ancang-ancang. Ia berhasil menangkap kaki Axel lalu memelintirnya, membuat Axel menjerit keras, sebelum membanting tubuh pemuda itu ke lantai. Axel terjerembap, kemudian jatuh berguling di tangga menuju ruang bawah tanah. "AXEL!!!" teriakku panik, kudengar ia berteriak kesa
Entah kenapa? Di sudut hati yang paling dalam, aku merasa berat meninggalkannya dalam kondisi seperti ini. Aku memukul sisi kepala dengan kuat, bingung oleh kecamuk di hati. Apa yang akan kulakukan? Aku menatapnya dengan sedih. Betapa kesepiannya hidup pria ini, jika aku meninggalkannya, siapa yang akan merawat luka Axel? Lebih dari semua itu, aku pun merasa berutang budi, dia menyelamatkan kehormatanku. Harga diri bagi seorang gadis polos sepertiku. Ia kembali berbicara dalam tidur, bergumam, "Jangan dan tolong aku." Secara spontan aku berbalik kembali ke ranjang dan menggenggam tangannya, berusaha menenangkannya dalam tidur. Menepuk lembut lengan si pembunuh sadis itu. Mungkin kau akan menyebutku wanita paling bodoh sedunia. Ya ... aku bahkan ingin sekali memaki diriku sendiri, seharusnya aku mengikuti akal sehat dan meninggalkan tempat terkutuk ini, tetapi yang kulakukan malah bersimpati pada si pembunuh dan berusaha menolongnya, sementa
Dear diary, Aku tahu seharusnya tidak menuliskan semua ini, ya ... aku bahkan tidak ingin menuliskannya.Aku hanya tidak tahan lagi harus menghadapinya sendiri, tiada tempat untuk kubagi rasa sakit ini selain di sini .... Kuharap ... tidak ada yang akan menemukan buku ini kelak .... Karena bila seseorang membacanya, ia akan tahu siapa diriku, isi hatiku, apa yang kurasakan dan bagaimana sifat asliku. Karena aku tahu, cepat atau lambat, aku akan berubah menjadi sesuatu yang mereka ciptakan. Menjadi …. MONSTER. Hatiku berdebar-debar, tanganku mulai gemetar. Kubuka lagi halaman berikut dari buku diari usang itu sambil memastikan Axel masih terlelap di tempat tidur. Tanggal 15 Desember, Sepasang suami istri datang ke panti asuhan tempatku berada dan Ia mengamati semua anak dari usia delapan sampai sepuluh tahun. Usiaku sembilan t
Sebuah halaman yang penuh coretan tinta, terpisah sepuluh lembar dari halaman terakhir yang kubaca.Aku terkejut mendapati halaman itu penuh kata makian dan coretan pen yang menggores dan melubangi buku hingga tembus ke halaman belakang. Kata-kata seperti: kurang ajar, sialan, berengsek, sakit, dan mati. Apa yang telah terjadi padanya? Dalam sekejap kalimat manis telah hilang, berganti kata sakit hati dan penderitaan. Sesaat mataku menatap tulisan di hadapanku dengan aneh, ya memang aneh ... kali ini tulisannya menggunakan tinta biru dan jauh lebih jelek dari tulisan-tulisan sebelumnya. Kubuka kembali halaman pertama , ini dia ... tulisan di halaman awal sama dengan tulisan penuh coretan ini, ya ... menggunakan tinta biru yang sama dengan tulisan yang lebih jelek, jangan-jangan ... tulisan awal baru ditambahkan setelah sesuatu terjadi padanya? Rasa penasaran semakin menyergapku, aku sangat berharap menemukan jawaban di halaman berikutny
Hari itu aku ke sekolah, menemui wali kelasku di kantor guru saat jadwalnya kosong, aku sangat cemas hingga tidak bisa tertidur malam sebelumnya. Guruku—Bu Wilhemina—Menatapku dengan pandangan sinis, ia mengira aku akan meminta penjelasan pelajaran kala ia sedang istirahat. Aku bertanya padanya, bisakah dia menolongku? Bu Wihelmina berkata jika dia tak punya waktu, aku harus kembali setelah jam sekolah usai. Bagaimana mungkin, hanya ini kesempatanku, Mama selalu menjemputku saat pulang sekolah tepat waktu. Mengeraskan tekad, aku membuka baju dan memperlihatkan semua bekas luka di tubuh ini. Betapa terkejutnya wajah Bu Wihelmina, raut kesalnya berganti mimik prihatin, dia berjanji akan menemui Papa dan Mama. Aku pulang ke rumah hari itu penuh harapan. Setidaknya, seseorang akan membantuku kali ini. Lembar berganti. Sia-sia ... semuanya sia-sia .... Meski aku sudah memberitahu guruku dan memperlihatkan
"Apa?" tanya Axel tak percaya."Aku mengandung anakmu, kau ingat waktu itu?" Aku menunduk malu, terlalu takut dengan penolakan dari bibir pria ini."Benarkah, sungguh!" Suaranya berubah penuh sukacita.Aku baru berani menatapnya. "Dokter baru memberitahuku tadi," lirihku."Milikku?""Ya, hanya kau yang melakukannya tanpa proteksi."Senyum merekah, wajah pria tampan itu seketika menguarkan cahaya kebahagiaan."Aku ... akan menjadi ayah?" tanyanya tak percaya."Ya," jawabku pelan.Axel berusaha meraih wajahku dan menanamkan kecupan pada keningku. "Aku mencintaimu, Eli. Kekasihku, separuh jiwaku."Hatiku bergetar, tersentuh oleh pernyataannya. Namun dalam sekejap, kebahagiaan itu sirna ketika Axel menyadari kenyataan di masa depan."Aku ... tidak akan bisa mendampingimu, membelikanmu makanan yang kau inginkan saat ngidam, aku ... tak bisa menggenggam tanganmu saat kau melahirkan bayi kita."
"Ms. Ellena, ini hasil pemeriksaannya." Dokter itu menatapku dengan senyum terkembang lebar pada bibir tipisnya."Ya," jawabku pelan. Masih merasa pusing setelah terbangun dari pingsan.Dokter melirik kehadiran George, Boni, Jodi, dan juga Eve."Tidak apa-apa, langsung katakan saja, Dok." pintaku."Selamat, Anda sedang mengandung.""Apa?" Seketika keempat rekanku berteriak terkejut."Maksud Dokter?""Ya, kandungan masih sangat kecil. Satu bulan."Apa? Bagaimana mungkin? Seketika bayangan pemaksaan itu kembali hadir dalam benak. Oh ya benar, Axel melakukannya tanpa proteksi waktu itu. Di saat seperti ini, kenapa harus terjadi."Selamat ya. Jaga kondisi, istirahat cukup agar morning sicknes tak semakin parah," pesan dokter itu sebelum pergi.Setelah pintu ditutup, Eve segera mendekatiku. "A
Jeritanku membahana membelah kericuhan di tengah baku tembak. Perlahan, priaku menoleh menatap tangan gemetar ini.Tidak. Bukan aku yang menembak. Kami telah dikelilingi para polisi berseragam anti peluru dari lantai empat. Asad, berikutnya mendapat tembakan setelah Axel, tepat di kepalanya. Pemuda berambut keriting itu jatuh dengan suara berdebum keras."Tenanglah, kau aman sekarang!" Seseorang memelukku dari belakang, menyeretku pergi sementara dalam kegamangan aku melihat Axel terhuyung jatuh bersimbah darah.Jiwaku seakan meninggalkan raga. Hampa. Kosong. Tanpa kehendak tubuhku dibawa pergi. Semua menjadi kesunyian abadi. Berkomat-kamit dalam gerak lambat membuatku berkedip bingung. Otakku tak mau mencerna. Tubuhku gemetar hebat. Dan kegelapan absolut menelanku dalam kedamaian.***Suara dengungan mesin membangunkanku. Aku mengedip bingung mencerna plafon putih di atas kepala.
Asap mengepul dari salah satu pojokan. Aku bisa melihat dari sini rombongan pria memakai rompi khusus sedang membidik ke arah tersebut.Jantungku bertalu semakin kuat. Memohon dalam hati semoga di sana Axel tidak berada. Aku merunduk saat melihat salah seorang dari mereka berbalik."Hei siapa itu?" teriaknya.Sial, dia melihatku. Aku berlari ke salah satu kamar dan menutupnya. Segera bersembunyi ke bawah tempat tidur.Langkah kaki terdengar mengejar di luar kamar. Berdentum seperti irama jantungku.Pergilah, kumohon. Suara tembakan lagi terdengar dari luar pintuku."Periksa setiap kamar!" Teriakan terdengar dari luar."Tidak! Mereka berada di sayap kiri. Lihat, mereka membalas tembakan! Di sini butuh bantuan!" Sahutan terdengar samar-samar."Satu orang memeriksa di sini! Sisanya bantu ke sayap kiri!" perintah sebuah suara berat.
Aku memberontak, lecetnya kulit tak kuhiraukan sama sekali. Semakin cepat aku membebaskan diri, kemungkinan dirinya selamat lebih besar. Apa pun itu, aku akan melakukannya demi Axel. Betapa bodohnya diriku, aku mengutuk dalam hati, tapi jeratan itu terlalu kuat untuk bisa kubebaskan. Benang takdir yang tak bisa kami putuskan. Cinta semenyakitkan ini. "Kumohon, sekali ini saja, bantu aku!" Aku memohon pada Yang Kuasa. Keajaiban yang kunanti, yang tak kunjung datang seumur hidup. Namun kali ini, keajaiban itu terjadi. Aku melihat lempengan besi kecil bagian dari sparepart jamku terjatuh tak jauh dari jangkauan. Menggunakan kaki aku menggapai benda kecil itu menuju lenganku. Bersyukur, tubuhku sefleksibel itu hingga bisa menjangkaunya. Menggunakan benda kecil itu aku mulai mengerat tali yang mengikatku ke ranjang. Dalam sepuluh menit kemudian semua tali sudah terlepas. Aku berla
Terbangun dalam pusing parah membuatku terbatuk-batuk. Udara berbau tak enak, apek dan lembap. Belum lagi ruangan yang gelap gulita.Aku berusaha menggerakkan tangan, tapi tak ada yang terjadi. Tubuhku bergeming. Apa ini? Tanganku terasa seperti diikat oleh tali."Axel?" panggilku parau. "Kau di sini?" Pipiku menyentuh seprai lembut. Dia membaringkanku ke tempat tidur. Kakiku juga terikat kuat dan terhubung pada ranjang."Axel!" teriakku marah. Dia membiusku dan mengikatku layaknya tawanan. Apa maunya pria sialan ini?"Apa maumu? Kuperingatkan kau, lepaskan aku sekarang!" Aku memberontak marah. Hidungku berdenyut nyeri saat aku berteriak.Lampu tiba-tiba dihidupkan. Terang benderang membuatku berkedip tak fokus demi menyesuaikan intensitas cahaya."El, apa ini?" Axel berjalan mendekat. Menatapku lekat-lekat.Ia mengangkat telepon gantungan kunci ke atas su
Jika bisa aku ingin menghapus segala ingatan menyakitkan ini. Kenangan yang selalu berakhir menjadi mirip buruk mengerikan. Selalu tentangnya. Hari itu, di atap gedung Laguna. Sosok yang sama berbalik sambil mengucapkan selamat tinggal padaku.Lalu dia jatuh membawa serta jantungku. Terjun bebas menantang kuatnya angin menerpa. Namun, alih-alih tubuhnya terburai menyentuh aspal, tubuh Axel justru melayang ke angkasa, menatapku sembari mencibir dan tertawa keras.Tertawa akan kebodohanku, betapa mudah aku dikecoh, dan cinta yang membuatku terjerat pada kesetiaan. Semua ... adalah kepalsuan.Aku meringkuk setelah terbangun. Bantalku lembap oleh air mata."Hei, Bodoh!" Suara Leona mengejutkanku."Kenapa kau menangis semalaman, sudah kubilang jangan berisik." Ia berdecak kesal.Sialnya, pertahananku kian runtuh. Isakan kecil lolos dari bibirku, seakan seseorang menikam jantungku dan meninggalkan luka menganga yang masih berdara
Axel membawa jemariku mendekati netra besar miliknya. Masih bingung dengan reaksi pria ini aku berusaha menarik kembali lenganku."Ada apa? Wajahku yang perlu diobati bukannya tangan.""El," lirihnya. Sklera pria tampan itu seketika memerah, membuat detak jantungku berpacu cepat."Eli?" Ia mengecup telapak tanganku. Saat itulah baru kusadari bekas luka lama akibat perbuatan Yuki."Bekas luka ini, aku yang menjahitnya sendiri. Bagaimana aku bisa lupa, kau Eli." Axel menatapku sendu.Lidahku kelu, tak sanggup menyangkal dengan kenyataan yang terpampang sekarang."Aku---""Please, jangan berbohong lagi." Air mata luruh bersama kalimatnya."Bagaimana bisa wajahmu? Apa yang terjadi?" Axel menarik tubuhku ke dalam pelukan erat."Lepaskan aku!" pintaku memelas. Rasa sakit semakin mencengkeram tubuh ini dan tak tertahanka
"El, ayolah!" teriakan Asad di tepi arena menyadarkanku kembali, aku berusaha berlutut. Wajah-wajah sekeliling menjadi buram, langkah kaki pria besar itu mendekat lagi.Tepukan heboh bersama suara penonton mulai berteriak, "Habisi dia! Habisi dia!" Bercampur denging melengking dari kedua telingaku.Darah merembes membuat lantai di bawah kakiku menjadi merah dan licin."Eli, kau bisa, kau bisa!" Suara Dayana menarikku kembali ke dunia nyata. Gadis cantik itulah yang selalu menyemangatiku saat pertarungan dengan sesama PPS.Aku menutup mata, mengatur napas susah payah. Rasa nyeri mendekam kuat membuatku hampir muntah.Ini saatnya, kala pria itu mencapai arahku, ia bersiap menyarangkan tinju. Aku melompat mundur seketika, Toby yang terlanjur menyerang tak bisa membatalkan langkah dan terjerembap meninju angin. Darah licinku membuat pria itu jatuh dengan suara berdebum.