Pria tampan itu masuk ke dalam kamar saat otakku masih ruwet memikirkan alasan.
"El," lirihnya. Ia duduk di sampingku, netra besar berbulu mata lebat itu menatapku lekat-lekat.
"Ya." Aku menelan ludah teramat gugup.
Ia menunduk, menautkan jemari penuh kegalauan. Lalu tiba-tiba tubuhnya mendekat, menanamkan ciuman ke bibirku. Cukup terkejut, reaksi alamiku adalah mendorong tubuhnya menjauh.
"El, aku ingin ...." Ia menggantung kalimat, suaranya mendesah pelan membuatku merinding mendengarnya. Meskipun berwajah tampan ke imut, tapi suara Axel sangat berbeda jauh dari rupanya. Rendahnya suara pria ini membuatmu seperti mendengar kerenyahan sebuah keripik, decapan kepuasan, atau embusan angin menggesek dedaunan. Menenangkan sekaligus membangkitkan sisi liar dalam dirimu.
"Apa?" Bagai tersihir aku mendekat kembali.
"Menyentuhmu ... memelukmu dan merasakan eksistensimu." Ia mende
"Kalian puas? Apa kau menyuruhnya masuk untuk mempermalukanku?" tanyaku setelah keheningan panjang di antara kami."Tidak!" sanggah Axel, pria itu berdiri terburu-buru dan meraih selimut untukku.Namun hatiku terlanjur terluka, lebih lagi perasaan malu menggelayuti saat pandangan iba Axel jatuh ke bekas lukaku. Ya, saking banyaknya bekas luka ini menyamarkan bekas luka lama akibat tusukan Leona.Sangat menyakitkan di mana luka yang ingin kau sembunyikan dipertontonkan begitu saja.Axel membalut tubuhku dengan selimut. "Keluarlah!" perintahnya pada Leona. "Untuk berikutnya kau tidak boleh masuk lewat jendela lagi, aku akan menguncinya mulai sekarang.""Axel! Hanya karena dia kau--" Leona mengentak kesal pada lantai."Pergilah!" Aku menutup mata, ingin bersembunyi ke mana pun selain di sini."Cepat keluar," pinta Axel."Kau juga, Axel," ujar
Mr. Lanish mengelus pundak terbukaku sembari menuntunku menuju ke lantai atas. Ia menggesek kartu di sebuah suite room.Betapa terpananya aku saat melangkah masuk, ruangan ini sangat besar berisi pantri kecil, meja makan, juga tempat tidur king size."Mau minum?" tanyanya, mulai melepaskan jas hitam yang ia kenakan. Mr. Lanis berjalan ke arah pantri dan menuang air untuk dia minum."Tidak, wah pemandangan dari sini sangat indah." Aku menyibak gorden dan memandang keluar jendela. Kelap-kelip lampu kota terlihat bagai cahaya bintang."Kau mau mandi dulu?" Mr. Lanish mendekat, memeluk tubuhku dari belakang."Akan memakan waktu jika kita mandi terpisah, mau mandi bersama?" godaku, mengelus kulit lengannya perlahan.Pria tinggi ini setuju, bahkan dengan sengaja menggendong tubuhku ala bridal style. Kami masuk ke kamar mandi yang tak kalah mewahnya. Bathtub besar dan kl
"Bunuh dia!" Madam Ghie turut memberi dorongan."Ayolah, ini tidak akan sulit, kau sudah membunuh berulang kali bukan? Jika tidak suka melihat darah, kau bisa mematahkan lehernya, tapi hati-hati bisa saja salah cara dan membuat dia kesakitan sebelum mati." Asad terkekeh geli, seolah kalimat yang dia ucapkan barusan adalah lelucon.Lewi berdecak tak senang, janggut tebal pria besar itu bergoyang. "Kau ... mata-mata?" Tangan berbulunya mulai masuk ke balik pakaian melihat keraguanku.Aku tak diberi kesempatan untuk berpikir atau pilihan, jika ingin hidup, aku harus membunuh Otniel sekarang juga.Lewat separuh kelopak yang terpejam Otniel menatapku tak percaya sewaktu tungkaiku mulai melangkah mendekatinya. Ia memberontak mati-matian, tetapi tangan Asad menekan kepalanya agar tetap mendongak ke atas. Seprofesional apa pun bidang yang kau geluti, saat kematian mendekat insting alami manusia akan mengambil alih
Berkali-kali kutanamkan di hati, tak hanya anggota Rumah Kayu, tapi Axel juga bagian yang ikut andil dalam menyakitiku. Namun sialnya, jika berhadapan dengan pria tampan ini ... aku selalu menjadi pihak yang tak berdaya.Cinta sungguh menjeratku pada derita. Meskipun kenyataan dia membuangku, aku masih saja memikirkan masa depan Axel. Terlebih di atas semua itu, aku menginginkan kebahagiaan untuknya.Hari-hari berlanjut dengan tekad penuh dari hatiku, jika bisa, aku ingin memenangkan pertarungan dan membeli kebebasan Axel. Namun, entah lawan seperti apa yang akan kuhadapi.Aku meminta Madam Ghie melatihku dengan Asad sekaligus, kami bertiga bertarung di hutan samping Rumah Kayu. Setiap hari, sampai tubuhku lelah dan tak sanggup lagi."El, aku sudah tak sanggup lagi." Asad mengeluh sambil memegang lututnya, pemuda ini terduduk di atas rerumputan. Peluh banjir membasahi seluruh pakaiannya. Beberapa bagian tu
Setelahnya adegan menjadi tak terkendali, Axel menanamkan ciuman di mana pun bibirnya bisa menjangkau. Setiap jengkal tubuhku tak lepas dari jamahan pria tampan ini.Napas kami memburu, melebur menjadi satu. Seolah haus dan lapar akan hasrat yang terlampau lama tak terpuaskan. Gila, berkali-kali aku memaki dalam hati, meminta tubuhku tak merespon, tetapi malah sebaliknya. Semua menjadi di luar kontrol.Ia mulai merambah ke balik pakaian. Melepas helai demi helai agar tak ada penghalang di antara kami."Lukamu." Cegatku.Axel menggeleng pelan, menggigit bibir bawah, entah karena sakit atau hal lain. Ia terus melanjutkan aksi. Namun, pakaiannya sendiri hanya setengah telanjang. Bajunya masih terpasang, tapi celananya jatuh di bawah tempat tidur.Sebenarnya ada rasa bangga di hatiku ketika tanganku menyentuh bagian pribadi Axel yang mengeras. Bagaimana tidak, dari pengakuan yang lain, hanya aku seorang yang bisa membangkitkan hasrat pemuda tampan ini.
"Axel, keluar!" Gedoran kuat di pintu kamar membangunkan kami."Axel, Axel, bangun!" Suara Leona terdengar sangat marah.Aku mengucek mata, melepaskan diri dari Axel dan berniat untuk membuka pintu. Pemuda tampan itu menghentikan aksiku, kembali memeluk erat sambil menyarangkan ciuman di pipi."Biarkan dia," lirih Axel."Aku tak tahan mendengar keributan.""Dia hanya cemburu." Tangannya membelai rambutku.Kadang aku berpikir perlakuan Axel pada Leona sangat kejam. Berkali-kali dia membawa wanita lain ke dalam hidupnya, tahu pasti hal itu akan menyakiti Leona.Namun, ada satu sisi aku mendukung keputusan Axel. Leona memang pantas diperlakukan begini, wanita seksi itu tak mengenal kata menyerah, jelas dia sudah ditolak, tetapi tetap menempel ketat pada Axel.Cinta membutakan Leona, sama sepertiku. Hanya saja sepertinya aku lebih beruntung se
Manusia-manusia mengerikan dari tua ke muda, besar hingga kerempeng, semua memiliki mata menakutkan penuh kesintingan.Kami meniti langkah memasuki ruangan dipandu oleh Lewi. Pria besar itu tersenyum senang dan menyambut uluran hi-five dari pembunuh-pembunuh lain yang kami lewati."Lewi dari Rumah Kayu, selamat datang!" Seorang pria bersetelan rapi layaknya sedang berada di pesta VIP memeluk Lewi akrab. Ia bahkan mengenakan sepatu mengkilap berwarna cokelat tua. Sangat kontras dengan hadirin di tempat ini yang kebanyakan berpakaian kasual."Roney Lincoln ... dari ... Kotak Kardus," sapa Lewi.Roney tertawa terbahak-bahak. "Kau membuatnya kedengaran lucu, apa mereka anak baru?" Roney menunjuk ke arahku dan Asad."Yep!" Pria berjanggut itu mengangguk bersemangat sembari mendorong aku dan Asad ke depan Roney."Hallo, namaku Asad dan ini Ellena." Asad berinisiatif mem
"Batalkan keikutsertaanmu sekarang juga!" perintah Axel."Sorry guys, kalian tidak bisa membatalkan keikutsertaan jika sudah terdaftar, peraturan baru untuk tahun ini." Seorang pemuda besar di sampingku menyela Axel."Aku akan bicara pada Roney, tunggu di sini." Ia memijit pelipis sejenak."Tidak usah!" cegahku, "Apa hakmu melarangku, ini hidupku, bukan milikmu."Pria tampan itu berlutut di hadapanku untuk menyejajarkan tatapan kami. "Apakah aku harus menyeretmu ke dalam kamar lalu mengikatmu di ranjang supaya kau menghentikan aksi tidak masuk akal ini?" bisiknya parau."Kau tidak akan bisa," tantangku."Mau coba?" Axel mendengkus kesal."Kau lupa perutmu masih terluka? Apa kau ingin merasakan bantinganku lagi?""El, jangan mencobai batas emosiku." Rahangnya mengeras, "aku akan kembali setelah menghubungi Roney." Pria tampan itu berdiri, berjalan cepat menuju ke dalam gudang."Kau pacarnya Axel?" Gadis kekar di