Aku berlutut, menempatkan bibir di antara kakinya, lalu menanamkan gigi pada benda lunak itu. Seketika Alex menjerit jeri. Mendorong kepalaku menjauh sambil mengumpat keras.
"Kau, wanita jalang, berani-beraninya menggigit pusakaku." Alex memegang benda berharganya yang kini menitikkan darah segar.
Aku tertawa geli, meludahkan sejumput rambut keriting ke lantai. "Rasamu sangat tidak enak."
"Kau! Siapa kau sebenarnya?" Ia mulai mundur, tapi bisa kulihat matanya berlabuh pada nakas di samping tempat tidur, di mana ponselnya tergeletak.
Tanpa peringatan, ia berlari ke sana, berusaha menggapai ponselnya. Namun terlambat, dalam sekali lompatan, aku menyarangkan tendangan berputar ke sisi kepalanya. Pria itu tersungkur, tubuhnya menabrak tempat tidur.
"Aku, malaikat maut yang dikirim untuk menghabisimu." Senyum miringku membuatnya ngeri setengah mati.
Pria itu merangkak mundur, m
Pria itu terlalu kaget untuk bereaksi, aku mendorongnya masuk ke dalam kamar sambil mengerling ke sekeliling ruangan. Tak ada Diana, kasur terlihat acak-acakan.Mendapat serangan mendadak membuat Ed akhirnya berani bereaksi. Ia memegang bagian belakang kepalaku sambil mendorong pintu menutup dengan sebelah tangan lagi. Lidah pria berengsek itu memaksa masuk.Kenapa orang bisa suka memasukkan benda lunak ini untuk berkoalisi cairan. Apakah aku yang aneh? Terlalu lelah menghadapi kejadian penuh nafsu yang menjadikanku korban sehingga akhirnya berujung jijik.Entahlah? Bagiku, tak ada kesenangan dalam sex setelah sekian lama berkutat bersama pria mesum atau yang menyakitkan hati.Aku mengatupkan gigi erat-erat, tak membiarkannya menjelajahi rongga mulutku. Ed menarikku menjauh. Napas kami terengah-engah.Sial, sial, sial. Ciumannya membuatku semakin tak tahan. Fokus, Eli, fokus.
Lift berdenting dan terbuka. Eve membimbing kami ke kamar yang mereka sewa.Wanita itu menyerahkan kartu kunci ke tangan Owen. "Kami menunggu di sini. Gunakan waktumu."Owen kebingungan, balik menatap wajahku. "Cepatlah," ujarku kesal.Hampir saja kartu kunci terjatuh saking paniknya remaja ini. Ia akhirnya berhasil membawaku masuk ke dalam kamar."Bawa aku ke kamar mandi," perintahku.Owen membopongku ke kamar mandi.Segera saja aku melepas semua pakaian yang menempel pada tubuh, juga sepatu. Lalu menghidupkan shower membasahi tubuh ini. Owen terkesiap, berdiri bengong melihat ketelanjanganku."Air membantu lebih cepat calm down," ujarku. "Apa yang kau tunggu?"Ia mengedip lamat-lamat. "Hah?""Bantu aku, lebih cepat lebih baik. Buka bajumu."Barulah anak ingusan ini mengerti. "D
Karena tak punya sepeser pun uang pada tubuhku, mau tidak mau aku harus memasang gaya seksi dan menyetop mobil di jalan. Sungguh apes.Pria baik hati berkacamata tebal memberiku tumpangan dengan imbalan nomor telepon untuk dihubungi, well ... aku memberikan nomor Eve padanya. Siapa tahu wanita itu bisa menemukan jodoh lewat comblangan ini.Dia mengantarku sampai ke rumah Axel. Aku tak tahu jalan pulang ke Rumah Kayu, hanya ini alternatifnya.Jalanan malam hari yang lenggang menenangkan pikiran kacau, otakku mulai mensimulasi alibi agar aku tak dicurigai.Apa aku harus menunggu di luar? Apa Diana menyampaikan pesanku ke mereka?Bisa jadi gadis itu lupa akibat syok sesudah kejadian mengerikan malam ini.Pikiran buruk silih berganti menghampiri persepsiku. Ragu, tanganku memutar handel pintu. Di luar dugaan, ternyata tidak terkunci. Saking kagetnya aku malah mematung
Kukira semua telah usai, baik Misi Inisiasi maupun kisah cintaku. Aku lupa, betapa kejamnya para pembunuh dari Rumah Kayu. Lupa, betapa pintarnya mereka. Lupa, jika para ahli berkumpul menjadi satu di tempat ini.Hari ini, mereka mengingatkanku kembali, betapa mengerikannya dunia hitam. Dunia yang tak akan bisa kuterima meskipun sekarang aku bagian dari mereka.Diana digiring layaknya ternak ke halaman depan Rumah Kayu, kami semua dikumpulkan di sana. Walaupun bingung karena tak tahu apa yang terjadi setelah gadis ini pulang dari hotel, aku memilih diam sambil menyaksikan hal yang seharusnya tak terjadi.Tak ada sarapan, tak sempat membersihkan diri, masih dengan pakaian sama yang gadis ini kenakan tadi malam. Wajahnya bengkak oleh tangis berkepanjangan, entahlah semalam dia ditempatkan di mana, jelas ... tidak di kamar Axel karena aku berada di sana semalam."Xi," panggil Diana pilu.Axel
Langkahnya mendekat, matanya terpatri kuat, jemari lentiknya mencengkeram rahangku. "Kau ... Manis?" ulangnya tak yakin. "No, wajahmu berbeda. Tak ada luka di sini." Tangannya turun membelai rahangku."Siapa kau? Kenapa suaramu sama dengan gadis sialan itu?" Ia mendorongku mundur hingga mentok di samping tempat tidur.Senyum miring tersungging bersama cengkeraman tanganku menahan lengan Leona. "Kenapa? Kau takut si Manis akan datang untuk membalasmu?"Wanita itu menghempaskan tanganku. "Kau benar-benar dia?""Mungkin ... aku datang untuk mengambil apa yang menjadi milikku." Jemariku membelai seprai tempat tidur.Leona menggeram marah, menampik tanganku dari seprai. "Jangan main-main denganku, kau bukan dia ... kau pasti bukan gadis lemah itu?""Kau takut? Axel ... akan jatuh ke dalam pelukanku, kuberi tahu satu hal ... kami sudah melakukannya," lirihku.
Pria tampan itu masuk ke dalam kamar saat otakku masih ruwet memikirkan alasan."El," lirihnya. Ia duduk di sampingku, netra besar berbulu mata lebat itu menatapku lekat-lekat."Ya." Aku menelan ludah teramat gugup.Ia menunduk, menautkan jemari penuh kegalauan. Lalu tiba-tiba tubuhnya mendekat, menanamkan ciuman ke bibirku. Cukup terkejut, reaksi alamiku adalah mendorong tubuhnya menjauh."El, aku ingin ...." Ia menggantung kalimat, suaranya mendesah pelan membuatku merinding mendengarnya. Meskipun berwajah tampan ke imut, tapi suara Axel sangat berbeda jauh dari rupanya. Rendahnya suara pria ini membuatmu seperti mendengar kerenyahan sebuah keripik, decapan kepuasan, atau embusan angin menggesek dedaunan. Menenangkan sekaligus membangkitkan sisi liar dalam dirimu."Apa?" Bagai tersihir aku mendekat kembali."Menyentuhmu ... memelukmu dan merasakan eksistensimu." Ia mende
"Kalian puas? Apa kau menyuruhnya masuk untuk mempermalukanku?" tanyaku setelah keheningan panjang di antara kami."Tidak!" sanggah Axel, pria itu berdiri terburu-buru dan meraih selimut untukku.Namun hatiku terlanjur terluka, lebih lagi perasaan malu menggelayuti saat pandangan iba Axel jatuh ke bekas lukaku. Ya, saking banyaknya bekas luka ini menyamarkan bekas luka lama akibat tusukan Leona.Sangat menyakitkan di mana luka yang ingin kau sembunyikan dipertontonkan begitu saja.Axel membalut tubuhku dengan selimut. "Keluarlah!" perintahnya pada Leona. "Untuk berikutnya kau tidak boleh masuk lewat jendela lagi, aku akan menguncinya mulai sekarang.""Axel! Hanya karena dia kau--" Leona mengentak kesal pada lantai."Pergilah!" Aku menutup mata, ingin bersembunyi ke mana pun selain di sini."Cepat keluar," pinta Axel."Kau juga, Axel," ujar
Mr. Lanish mengelus pundak terbukaku sembari menuntunku menuju ke lantai atas. Ia menggesek kartu di sebuah suite room.Betapa terpananya aku saat melangkah masuk, ruangan ini sangat besar berisi pantri kecil, meja makan, juga tempat tidur king size."Mau minum?" tanyanya, mulai melepaskan jas hitam yang ia kenakan. Mr. Lanis berjalan ke arah pantri dan menuang air untuk dia minum."Tidak, wah pemandangan dari sini sangat indah." Aku menyibak gorden dan memandang keluar jendela. Kelap-kelip lampu kota terlihat bagai cahaya bintang."Kau mau mandi dulu?" Mr. Lanish mendekat, memeluk tubuhku dari belakang."Akan memakan waktu jika kita mandi terpisah, mau mandi bersama?" godaku, mengelus kulit lengannya perlahan.Pria tinggi ini setuju, bahkan dengan sengaja menggendong tubuhku ala bridal style. Kami masuk ke kamar mandi yang tak kalah mewahnya. Bathtub besar dan kl