"Uhuuukk""Ayah, ayah gak papa? Lia carikan air mineral, ya." tawar Lia khawatir melihat mertuanya yang tiba-tiba tersedak."Gak perlu, Lia. Gak perlu. Ayah baik-baik aja, kok." cegah Dr. Mahendra kemudian.Dari kejauhan Lio menyeringai melihat ayahnya yang tiba-tiba tersedak."Ayah pasti kaget dan bingung mendengar pertanyaan Lia." batin Lio.Sesaat kemudian Dr. Mahendra kembali bertanya pada Lia."Kenapa Lia bertanya seperti itu?" "Lia hanya ingin tahu saja, yah. Karena ibu tidak pernah bercerita tentang Ayah sebelumnya. Bahkan sekedar menyebut nama Ayah pun tidak pernah." ucap Lia heran."Mungkin informasi itu di anggap tidak penting untuk kamu ketahui oleh ibumu Lia." Dr. Mahendra mencoba mengalihkan pembicaraan."Tapi menurut Lia tidak seperti itu, Yah. Karena ibu sering menceritakan tentang teman-temannya pada Lia. Kalau sampai ibu menitipkan Lia pada Ayah, itu kan artinya Ayah adalah orang penting dalam hidup Ibu, dan seharusnya, ibu menceritakan hal itu pada Lia. Tapi kenyat
"Lia."Mendengar itu, Lia seketika menghentikan langkahnya. Kemudian berbalik ke arah Bundanya."Iya, Bunda?" sahut Lia saat sudah di hadapan sang Bunda."Bisa kita bicara sebentar?" tanya Arumi pada menantunya."Bisa, Bunda." sahut Lia menyanggupi."Kita cari taman dekat sini, ya." ajak Arumi pada Lia. Kemudian mereka berjalan beriringan mencari taman.***Arumi POV.Hari ini adalah hari ketiga sejak aku mengetahui kabar Lio telah menikahi wanita bernama Lia yang ku tahu putri dari Maharani, seseorang yang begitu spesial di memory masa lalu suamiku.Hari ini, aku merasa kondisi hatiku sudah lebih baik. Emosiku mulai stabil. Sehingga aku memutuskan untuk menemui anak dan menantuku. Aku tak bisa membiarkan mereka terlalu lama larut dalam perasaan bersalah padaku. Karena itu hanya akan membuat pernikahan mereka tak sehat.Cukup aku wanita yang harus menanggung luka di hari-hari sakralnya pernikahan. Di mana hari-hari itu seharusnya diisi dengan memory-memory indah sebagai penguat hubung
Arumi dan Lia kini tengah duduk di Taman depan ruang rawat Mawar. Tepat di bangku tempat Lia dan Ibunya terakhir bercakap-cakap dan berpelukan."Bunda ingin ngobrol apa sama Lia?" tanya Lia mengawali percakapannya.Arumi memandang Lia disisinya. Wajah Lia memang mengingatkannya pada Almarhumah Rani. Namun ketulusan yang terpancar darinya perlahan menghilangkan rasa sakit dan lukanya berganti dengan kebahagiaan."Bunda ingin minta maaf sama Lia, atas sikap Bunda beberapa hari lalu saat Lia baru menginjakkan kaki di kediaman keluarga Mahendra." sesal Arumi pada Lia."Gak apa-apa kok, Bunda. Lia bisa paham. Pasti bunda merasa syok dan kaget lihat anak Bunda pulang-pulang udah bawa istri. Hehe" jawab Lia santai.Arumi tersenyum."Iya, Bunda minta maaf, ya. Saat itu Bunda reflek saja bersikap sesuai kondisi hati Bunda.""It's okey, Bun. Lia mengerti.""Selain minta maaf, Bunda juga ingin tahu bagaimana kehidupan kalian saat ini. Bukan Bunda ingin ikut campur. Tapi Bunda hanya memastikan an
Setelah masa tiga bulan bunda lalui hanya dengan tangisan, akhirnya Bunda bangkit, Bunda merasa harus melakukan sesuatu, karena jika hal ini dibiarkan hanya akan membuat pernikahan ayah dan bunda menjadi tidak sehat.Akhirnya bunda memutuskan untuk membuat sebuah perjanjian. Dimana Bunda memberi waktu untuk Ayahmu selama satu tahun untuk fokus mencari tahu keberadaan mantan kekasihnya kemudian menuntaskan rasa bersalah nya. Dengan catatan Bunda diajak ikut serta dalam misi pencarian itu. Karena bunda berpikir, hanya itulah cara satu satunya untuk bunda bisa selalu dekat dengan Ayah, bisa terus bersama dengan Ayah. walau rasanya begitu menyakitkan harus menemani suami sendiri mencari mantan kekasihnya, namun Bunda tetap menjalani nya.Dari situlah awal cinta diantara Bunda dan Ayah mulai terjalin. Benih-benih cinta itu mulai tumbuh seiring berjalannya waktu. Bunda berhasil membuat Ayah menyadari ketulusan yang Bunda berikan. Sehingga kita bisa hidup bersama saling mencintai dan harmoni
Ya Ampun, kamu mau ngajak aku dinner, Mas?" tanya Lia dengan binar bahagianya."Kalau ada orang nanya tuh di jawab, bukan malah di tanya balik." protes Lio pada Lia. Sejujurnya ia gengsi mengakui rencananya untuk mengajak isterinya dinner."Iya, iya, maaf. Lagian aku terlalu bersemangat aja, Mas di ajakin kamu dinner berdua." sanggah Lia polos dengan tatapan manja pada suaminya."Siapa juga yang mau ngajak kamu dinner? Gak usah kege-eran." ucap Lio terus mengelak."Lah, itu barusan nanya cafe yang recommended buat dinner untuk apa tujuannya kalau bukan untuk ngajak Lia dinner?" tanya Lia memastikan ."Ya, itu karena saya ingin makan aja, karena kebetulan saya lagi sama kamu, makanya saya ajak kamu. " jawab Lio menjelaskan."Ih, sama aja tau, Mas." jawab Lia dengan tertawa renyah."Yaudah, jadi dimana cafe yang recommended? Saya benar-benar masih asing dengan segala sesuatu di Bali." ucap Lio apa adanya.Lia kemudian menyebutkan sejumlah cafe ternama yang recomended. Ia memang sangat h
"Saya kan sudah bilang, kita makan di ruang privat aja. Malah ngeyel." ucap Lio penuh penekanan, kemudian meraih tangan Lia beranjak menuju ruang privat. Sepertinya amarah Lio belum tuntas.Lio melempar tubuhnya kasar ke sofa yang tersedia di ruang privat dari cafe Falling in Love. Sedang Lia perlahan duduk di sisi suaminya.Lio menghela nafasnya berat, ia lepas jasnya asal-asalan, lalu di bukannya kedua kancing tangannya dan melipat kemejanya sampai ke siku. Dasi yang ia kenakan pun di tariknya kasar, melonggarkan bagian lehernya yang mungkin tiba-tiba terasa sesak sebab otot-otonya yang menegang. Dibukanya dua kancing teratas kemejanya, menampilkan bagian atas dada bidangnya yang berkulit putih dengan bulu-bulu halus bertumbuh diatasnya.Lia meneguk saliva memandang Lio dengan tampilan berantakannya namun semakin tampak mempesona. Suaminya itu sepertinya telah salah paham melihat kedatangan dua lelaki di hadapannya tadi."Kamu kenapa malah ngusir mereka, Mas?" ucap Lia membuka pembi
"Ya Bunda cerita Mas, kalau dulu Bunda dan Ayah menikah juga karena dijodohkan. Sama seperti kita yang tidak saling kenal dan mencintai awalnya. Tapi setelah melalui proses yang panjang akhirnya mereka bisa saling mencintai bahkan sangat romantis seperti yang kita lihat sekarang." Lia menceritakan secara ringkas pada Lio.Lio hanya mengangguk-anggukkan kepala."Bunda itu sosok yang sangat kuat ya, Mas. Aku bener-bener salut dengan perjuangannya mendapatkan hati Ayah. Bahkan walau Ayah sempat mengabaikannyya karena gagal move on sama pacarnya pun Bunda gak menyerahkan gitu aja. Bunda justru bangkit dan terus berjuang. Padahal sebagai sesama wanita aku bisa merasakan bagaimana sakitnya Bunda saat itu, di abaikan keberadaannya sebagai isteri karena suami yang gagal move on. Beruntung sekarang Bunda sudah bahagia. Mungkin itulah hasil dari perjuangannya yang berdarah-darah selama ini." ucap Lia penuh kakaguman pada Bunda Lio.Sedang Lio yang mendengar cerita Lia mendadak kehilangan mood n
"Ibu, selama ini ibu tidak pernah mengecewakan Lia. Ibu selalu membahagiakan Lia. Nasihat-nasihat Ibu selalu membawa Lia pada kesuksesan dan keberhasilan. Pilihan ibu untuk Lia tidak pernah salah, semua berujung pada kebaikan untuk Lia. Karena itu, saat ibu memilihkan mas Lio untuk Lia, Lia juga yakin, bahwa itu lah yang terbaik untuk Lia. Lia yakin, inilah jalan yang harus Lia tempuh untuk mendapatkan kebahagiaan. Ibu doain Lia terus, ya? Supaya Lia kuat menjalani semua ini. Sampai bahagia itu tiba di waktu yang tepat." ucap Lia lirih sembari terus memandang wajah ibunya.Kemudian ia memeluk erat pigura di tangannya. Sejenak memejamkan mata, membayangkan jika saat ini ia tengah berada dalam pelukan ibunya. Tiba-tiba air mata mengalir dari kedua matanya. "Ibu, Lia rindu." ucapnya lirih dan sukses menyayat hati Lio yang sedari tadi hanya terdiam menyaksikannya.Tak ingin keberadaannya diketahui oleh Lia, Lio pun segera beranjak pergi meninggalkan kamar utama."Maafkan saya, Lia." bati
[ Pak Lio, tenang, ya. Dampingi dulu istrinya, saya masuk minta bantuan satpam saja. ][ Baik, Dok. Mohon maaf sebelumnya. ][ Nggak apa-apa, saya mengerti kok, Pak. ]Panggilan berakhir, kemudian Lio segera mendekati Lia, memberi support dan afirmasi positif untuk istri tercintanya."Kamu pasti kuat, Sayang. Kamu pasti bisa."Selang lima menit, dr. Melani datang dan langsung mengambil tindakan. Dengan cekatan dr. Melani mengecek pembukaan jalan lahir."Masih bukaan 4 Pak Lio, tapi kondisi Bu Lia sudah melemah. Bisa tolong bantu saya pasangkan cairan infusnya?" tanya dr. Melani.Dengan cekatan Lio segera melakukan apa yang dr. Melani perintahkan. 10 tahun mengenyam pelajaran kedokteran ternyata tak cukup membuat Lio memahami apa yang harus dilakukannya di saat-saat genting seperti ini. Isi otaknya seakan ngeblank ketika dihadapkan dengan situasi seperti saat ini.Di sisi lain, dr. Melani segera memasang Kardiotokografi di perut Lia, sebuah alat yang merekam denyut nadi janin juga keku
"Bukan mancing, Mas ...""Terus?""Tapi minta," sahut Lia dengan senyuman genitnya, membuat Lio tak dapat menahan untuk tak mencubit gemas hidung mungilnya."Dengan senang hati, Sayang ..." sahut Lio sembari mulai membelai pipi Lia yang semakin hari semakin chuby efek kehamilannya.Dan malam itu, mereka kembali menyatu sebagai sepasang suami istri, saling memberikan kehangatan dan kenikmatan, menciptakan peluh dan desahan penuh kenikmatan.Lia dan Lio tertidur sesaat setelah sama-sama mencapai puncak nikmat penyatuan mereka. Kondisi yang melelahkan membuat keduanya begitu mudah terbuai di alam mimpi.Hingga waktu memasuki pertengahan malam, Lia merasakan perutnya begitu mulas, seperti ingin BAB. Dengan terburu-buru Lia berusaha bangun dan beranjak ke kamar mandi. Lio yang merasa kelelahan akibat aktifitas malam mereka, tak merasakan apapun dalam tidurnya, ia begitu terlelap hingga tak menyadari bahwa istrinya tak lagi di sisinya."Mas Lio ...!" tiba-tiba suara Lia yang berteriak di da
"Ke bawahan lagi, Mas ...""Ini?""Dikit lagi, Mas.""Sudah, Pas?""Terlalu ke bawah itu, Mas.""Jadi yang sebelah mana?"Tanya Lio mulai frustasi, itulah rutinitasnya tiap malam di sembilan bulan kehamilan istrinya.Lia yang perutnya semakin membuncit kerap kali mengeluh merasa kesakitan di punggungnya. Mungkin akibat ketidak seimbangan beban dengan pasaknya.Setiap malam, sebelum tidur, Lio selalu menyempatkan diri untuk memijat halus tubuh istrinya, menyampaikan afirmasi positif untuk istri dan juga janin yang ada di dalam kandungannya."Kalian sangat kuat, kalian juga sangat hebat. Papa yakin, Mama dan Dede di perut bisa bekerja sama dengan baik nantinya. Papa selalu berharap, semoga semua prosesnya diberi kelancaran," ucap Lio diikuti ciuman yang mendarat di perut buncit milik istrinya.Saat Lio baru saja mendaratkan bibirnya di sana, tiba-tiba ia merasakan tendangan kuat dari dalam perut Lia tepat mengenai bibirnya."MasyaAllah, kamu menyambut Papa ya, Nak? Papa jadi nggak sabar
"Apa sih yang nggak buat kamu?""Ya udah, tolong Mas bilang sama cheffnya, ya suruh ikutin resepnya abang-abang martabak yang biasa di pinggir jalan."Kenapa harus gitu, Sayang? Dah biar resepnya apa kata mereka aja, ya? Pastinya mereka juga lebih tau dan ahli dibanding abang-abang penjual kaki lima.""Tapi Lia pengennya yang gitu, Mas," rengek Lia."Ya udah, ya udah, nanti Mas coba bilangin, kamu doa aja ya semoga cheffnya bisa dan mau.""Amiin."Lio lalu mengantar Lia ke kamar untuk beristirahat, kemudian meninggalkannya ke restoran tempat mereka menginap.Satu jam berlalu, saat Lio dengan penuh semangat membawa martabak manis pesanan istri tercinta. "Sayang, Mas datang ..." ucapnya seraya memasuki kamar, berharap istrinya itu akan menyambutnya dengan mata berbinar-binar.Namun ternyata kenyataan tak semanis yang dibayangkan. Istrinya itu justru tengah terpejam, lelap dalam tidur siangnya, bahkan sampai tak menyadari kehadirannya.Lio tersenyum simpul, diletakkannya piring berisi
"Udah boleh dibuka belum, Mas?" tanya Lia sembari memegangi kain yang menutupi matanya."Belum, dikit lagi," sahut Lio yang memapahnya dari belakang. Diputarnya tubuh sang istri perlahan."Kamu ini ada-ada aja deh, Mas. Seharusnya kamu yang dapat surprise dari aku, karena kamu kan yang baru pulang dari rumah sakit. Ini kok kebalik, malah kamu yang kasih aku surprise," ungkap Lia sembari suaminya memutar-mutar tubuhnya."Udah ya, kamu nurut aja sama Mas," sahut Lio setelah mendapatkan posisi yang pas."Udah?""Udah, saya buka ya, tapi kamu tetap pejamkan mata sampai hitungan ke-tiga," ucap Lio mengarahkan."Okey."Perlahan Lio membuka kain yang menutupi mata istrinya, lalu mulai berhitung, "Satu ... Dua ... Tiga ... Buka mata kamu, Sayang!" titah Lio. Dan perlahan Lia mulai membuka matanya."Masya Allah," gumam Lia pelan. Ternyata suaminya itu membawanya ke sebuah Villa yang terletak di sebuah tebing, saat ini mereka tengah berada di area kolam renang yang terletak di balkon kamar, den
***Lio mengerjapkan matanya kala cahaya mentari mulai menyilaukan matanya, dan pemandangan pertama yang ia lihat saat matanya terbuka adalah seorang wanita cantik yang tengah tersenyum hangat padanya. Wanita yang belakangan selalu memenuhi pikiran dan hatinya.Lio membalas senyum istrinya, " Lia ..." ucapnya lirih. Ini kali pertama ia mengeluarkan suaranya setelah sadar dari koma, semalam, setelah dipindahkan ke ruang perawatan, Lio segera tertidur hingga pagi ini."Selamat pagi, Mas," sambut Lia dengan ucapan selamat pagi."Aku seneng deh, Mas, akhirnya pagi ini aku bisa melihat kamu membuka mata, setelah sebulan lamanya di setiap pagi aku terus mengharapkannya," ucap Lia penuh bahagia."Maaf, ya, Mas terlalu lama melewatkan waktu bersama kamu," ucap Lio sembari membelai pipi istrinya."Kamu nggak perlu minta maaf, Mas. Dengan kamu kembali sadar seperti ini, aku sudah sangat bahagia. Selamat ulang tahun, ya, Mas. Semua harapan
Satu bulan berlalu dan Lio masih belum sadar dari komanya. Selama itu pula Lia selalu berada di sisinya, melangitkan doa-doa agar keajaiban datang memberi kesembuhan pada suaminya, memohon pada Allah agar ia diberi kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki segala kesalahan yang sempat ia lakukan sebelumnya."Lio sangat beruntung memiliki kamu, Lia," ucap Arumi saat baru saja memasuki ruang rawat anaknya. Lia baru saja selesai sholat isya' saat mertuanya itu datang dan masuk ke ruangan."Eh, Bunda? Ayah mana?" sapa Lia sembari mencium punggung tangan mertuanya."Ayah masih ada urusan sebentar, bentar lagi juga kesini," jelas Arumi sembari mendekati putranya yang masih terbaring koma.Arumi meraih tangan Lio, kemudian mengecupnya beberapa kali, "Bagaimana kabarmu hari ini, Nak? Bunda selalu berharap kamu segera pulih, lihatlah, kita semua menunggumu, Lio. Kita semua merindukanmu.Lihatlah Lia, setiap hari istrimu itu selalu mengurusmu dengan begitu baik, bahkan sampai tak sempat mengur
Waktu menunjukkan pukul 07.00 pagi, namun Lio tak kunjung datang menjemput Lia. Sedari tadi Lia tampak gelisah, langkahnya tak berhenti mengitari rumah, mondar-mandir tak tentu arah."Tumben sih Mas Lio datang telat? Apa dia lupa ya kalau harus jemput aku? Mana dihubungi dari tadi susah banget lagi. Suka begini deh kalau lagi genting,'' gerutu Lia dalam hati. Walau begitu ia sangat mengkhawatirkan kondisi suaminya yang tak kunjung datang.Waktu terus berlalu, hingga menunjukkan pukul 07.30, tapi Lio tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Perasaan Lia semakin resah, disamping ia kepikiran suaminya, kini ia juga tak dapat terlalu lama menunggu, karena ia akan datang terlambat jika tidak segera berangkat.Segera Lia membuka aplikasi hijau, dan memesan sebuah taxi online. Namun tiba-tiba sebuah panggilan dari Vino masuk.Sejenak Lia ragu untuk mengangkatnya, mengingat suaminya yang begitu sensitif jika ia berhubungan dengan Vino. Lia sengaja mengabaikan panggilan itu dan lanjut memesan
Tok ... Tok ... Tok ..."Lia, buka pintunya, Nak!" Lia mendengar suara ketukan dari pintu kamarnya, perlahan ia berjalan dan membukanya."Ibu?" tanya Lia sedikit terkejut."Boleh Ibu masuk?""Boleh dong, Bu. Ayo," ucap Lia bersemangat."Ibu, Lia kangen banget ...," ucap Lia sesaat setelah duduk di tepi ranjang lalu memeluk ibunya."Ibu juga kangen sama, Lia," sahut Ibunya membalas pelukan. "Lia kenapa di sini? Bukankah seharusnya Lia ada di rumah suami Lia?" tanya Ibunya sembari perlahan melepas pelukannya." Lia kangen sama Ibu," jawab Lia sembari memandang wajah teduh Ibunya, wajah itu kini tampak semakin segar dan cantik, berbeda dengan yang Lia lihat saat terakhir bertemu."Ibu sudah sehat?" tanya Lia ingin mengetahui kondisi ibunya.Rani tersenyum, anak perempuannya itu tidak pernah berubah, selalu mencari pelukannya setiap kali menghadapi masalah, juga selalu memperhatikan kesehatannya."Ibu sehat, Nak. Ibu sudah tidak sakit lagi, seperti yang kamu lihat," jelas Rani pada putr