***
Lio mengerjapkan matanya kala cahaya mentari mulai menyilaukan matanya, dan pemandangan pertama yang ia lihat saat matanya terbuka adalah seorang wanita cantik yang tengah tersenyum hangat padanya. Wanita yang belakangan selalu memenuhi pikiran dan hatinya.Lio membalas senyum istrinya, " Lia ..." ucapnya lirih. Ini kali pertama ia mengeluarkan suaranya setelah sadar dari koma, semalam, setelah dipindahkan ke ruang perawatan, Lio segera tertidur hingga pagi ini."Selamat pagi, Mas," sambut Lia dengan ucapan selamat pagi."Aku seneng deh, Mas, akhirnya pagi ini aku bisa melihat kamu membuka mata, setelah sebulan lamanya di setiap pagi aku terus mengharapkannya," ucap Lia penuh bahagia."Maaf, ya, Mas terlalu lama melewatkan waktu bersama kamu," ucap Lio sembari membelai pipi istrinya."Kamu nggak perlu minta maaf, Mas. Dengan kamu kembali sadar seperti ini, aku sudah sangat bahagia. Selamat ulang tahun, ya, Mas. Semua harapan"Udah boleh dibuka belum, Mas?" tanya Lia sembari memegangi kain yang menutupi matanya."Belum, dikit lagi," sahut Lio yang memapahnya dari belakang. Diputarnya tubuh sang istri perlahan."Kamu ini ada-ada aja deh, Mas. Seharusnya kamu yang dapat surprise dari aku, karena kamu kan yang baru pulang dari rumah sakit. Ini kok kebalik, malah kamu yang kasih aku surprise," ungkap Lia sembari suaminya memutar-mutar tubuhnya."Udah ya, kamu nurut aja sama Mas," sahut Lio setelah mendapatkan posisi yang pas."Udah?""Udah, saya buka ya, tapi kamu tetap pejamkan mata sampai hitungan ke-tiga," ucap Lio mengarahkan."Okey."Perlahan Lio membuka kain yang menutupi mata istrinya, lalu mulai berhitung, "Satu ... Dua ... Tiga ... Buka mata kamu, Sayang!" titah Lio. Dan perlahan Lia mulai membuka matanya."Masya Allah," gumam Lia pelan. Ternyata suaminya itu membawanya ke sebuah Villa yang terletak di sebuah tebing, saat ini mereka tengah berada di area kolam renang yang terletak di balkon kamar, den
"Apa sih yang nggak buat kamu?""Ya udah, tolong Mas bilang sama cheffnya, ya suruh ikutin resepnya abang-abang martabak yang biasa di pinggir jalan."Kenapa harus gitu, Sayang? Dah biar resepnya apa kata mereka aja, ya? Pastinya mereka juga lebih tau dan ahli dibanding abang-abang penjual kaki lima.""Tapi Lia pengennya yang gitu, Mas," rengek Lia."Ya udah, ya udah, nanti Mas coba bilangin, kamu doa aja ya semoga cheffnya bisa dan mau.""Amiin."Lio lalu mengantar Lia ke kamar untuk beristirahat, kemudian meninggalkannya ke restoran tempat mereka menginap.Satu jam berlalu, saat Lio dengan penuh semangat membawa martabak manis pesanan istri tercinta. "Sayang, Mas datang ..." ucapnya seraya memasuki kamar, berharap istrinya itu akan menyambutnya dengan mata berbinar-binar.Namun ternyata kenyataan tak semanis yang dibayangkan. Istrinya itu justru tengah terpejam, lelap dalam tidur siangnya, bahkan sampai tak menyadari kehadirannya.Lio tersenyum simpul, diletakkannya piring berisi
"Ke bawahan lagi, Mas ...""Ini?""Dikit lagi, Mas.""Sudah, Pas?""Terlalu ke bawah itu, Mas.""Jadi yang sebelah mana?"Tanya Lio mulai frustasi, itulah rutinitasnya tiap malam di sembilan bulan kehamilan istrinya.Lia yang perutnya semakin membuncit kerap kali mengeluh merasa kesakitan di punggungnya. Mungkin akibat ketidak seimbangan beban dengan pasaknya.Setiap malam, sebelum tidur, Lio selalu menyempatkan diri untuk memijat halus tubuh istrinya, menyampaikan afirmasi positif untuk istri dan juga janin yang ada di dalam kandungannya."Kalian sangat kuat, kalian juga sangat hebat. Papa yakin, Mama dan Dede di perut bisa bekerja sama dengan baik nantinya. Papa selalu berharap, semoga semua prosesnya diberi kelancaran," ucap Lio diikuti ciuman yang mendarat di perut buncit milik istrinya.Saat Lio baru saja mendaratkan bibirnya di sana, tiba-tiba ia merasakan tendangan kuat dari dalam perut Lia tepat mengenai bibirnya."MasyaAllah, kamu menyambut Papa ya, Nak? Papa jadi nggak sabar
"Bukan mancing, Mas ...""Terus?""Tapi minta," sahut Lia dengan senyuman genitnya, membuat Lio tak dapat menahan untuk tak mencubit gemas hidung mungilnya."Dengan senang hati, Sayang ..." sahut Lio sembari mulai membelai pipi Lia yang semakin hari semakin chuby efek kehamilannya.Dan malam itu, mereka kembali menyatu sebagai sepasang suami istri, saling memberikan kehangatan dan kenikmatan, menciptakan peluh dan desahan penuh kenikmatan.Lia dan Lio tertidur sesaat setelah sama-sama mencapai puncak nikmat penyatuan mereka. Kondisi yang melelahkan membuat keduanya begitu mudah terbuai di alam mimpi.Hingga waktu memasuki pertengahan malam, Lia merasakan perutnya begitu mulas, seperti ingin BAB. Dengan terburu-buru Lia berusaha bangun dan beranjak ke kamar mandi. Lio yang merasa kelelahan akibat aktifitas malam mereka, tak merasakan apapun dalam tidurnya, ia begitu terlelap hingga tak menyadari bahwa istrinya tak lagi di sisinya."Mas Lio ...!" tiba-tiba suara Lia yang berteriak di da
[ Pak Lio, tenang, ya. Dampingi dulu istrinya, saya masuk minta bantuan satpam saja. ][ Baik, Dok. Mohon maaf sebelumnya. ][ Nggak apa-apa, saya mengerti kok, Pak. ]Panggilan berakhir, kemudian Lio segera mendekati Lia, memberi support dan afirmasi positif untuk istri tercintanya."Kamu pasti kuat, Sayang. Kamu pasti bisa."Selang lima menit, dr. Melani datang dan langsung mengambil tindakan. Dengan cekatan dr. Melani mengecek pembukaan jalan lahir."Masih bukaan 4 Pak Lio, tapi kondisi Bu Lia sudah melemah. Bisa tolong bantu saya pasangkan cairan infusnya?" tanya dr. Melani.Dengan cekatan Lio segera melakukan apa yang dr. Melani perintahkan. 10 tahun mengenyam pelajaran kedokteran ternyata tak cukup membuat Lio memahami apa yang harus dilakukannya di saat-saat genting seperti ini. Isi otaknya seakan ngeblank ketika dihadapkan dengan situasi seperti saat ini.Di sisi lain, dr. Melani segera memasang Kardiotokografi di perut Lia, sebuah alat yang merekam denyut nadi janin juga keku
Chapter 1 PerkenalanIni adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di rumah sakit milik Ayah, yang termasuk salah satu rumah sakit terbesar di Bali. Tak banyak yang mengenalku di tempat ini, hanya segelintir orang kepercayaan Ayah saja. Karena Ayah memang tidak pernah mau memperkenalkan kami ke publik. Entah mengapa? Tapi tiap kali aku mempertanyakan soal itu, beliau hanya menjawab,"Ada privasi keluarga yang harus Ayah jaga, dan memperkenalkan kalian di depan publik tanpa tujuan pasti hanya akan mempersulit Ayah menjaga hal itu, akan ada saatnya kamu akan dikenal tanpa harus Ayah perkenalkan.''Ya, aku bisa memahami maksud dan tujuan Ayah. Di sisi lain selama 10 tahun terakhir ini aku menghabiskan waktuku untuk menyelesaikan study di luar negeri, sehingga tempat ini benar benar semakin terasa asing."Adelio Mahendra" itulah nama yang Ayah dan Bunda sematkan padaku saat aku lahir 28 tahun lalu. Bunda selalu bercerita, bahwa Ayahlah yang memberikan nama itu untukku.Aku terus berjalan me
Aku membalikkan badan ke arah suara tersebut, dan benar sesuai dugaanku, Om Mario lah pemilik suara itu.Om Mario adalah asisten pribadi Ayah, termasuk salah satu orang kepercayaannya. Badannya tinggi dan kekar. Maklum, dalam memilih asisten pribadinya, Ayah benar-benar selektif. Tidak hanya yang pintar dan berprestasi, tetapi dia juga harus pandai bela diri, karena dia lah yang akan mendampingi dan menjaga Ayah di mana pun beliau pergi."Eh, Om Mario. Apa kabar, Om?""Alhamdulillah Om sehat, Kamu apa kabar, Lio? Lama tak jumpa sudah makin keren aja dokter muda ini sekarang," puji Om Mario dengan memandangiku dari atas ke bawah."Ah, Om bisa aja. Alhamdulilah aku sehat, Om," jawabku basi-basi." Oiya, Jam segini udah stand by aja, Om? Bukannya acara masih satu jam lagi, ya?""Iya, tadi dr. Mahendra minta Om untuk berangkat lebih awal, karena harus memastikan calon penggantinya sampai di sini dengan selamat."" Oiya?""Of course," jawab Om Mario dengan senyuman khasnya. Beliau lalu m
"Ibu kamu dirawat di ruangan apa?" entah mengapa pertanyaan itu tiba-tiba meluncur dari mulutku.Sejenak tampak raut wajah Lia keheranan. Namun tak lama kemudian ia pun menjawab,"Kamar Mawar No. 3, Pak.""Baiklah, kamu boleh pergi."Dan beberapa detik kemudian, Lia telah lenyap dari pandanganku."Astagfirullah," ucapku lirih."Apa yang kamu lakukan, Lio?" batinku seraya menggeleng-gelengkan kepala heran dengan diriku sendiri. Kemudian segera beranjak ke ruang rapat."Ayah pasti sudah menunggu," batinku.***Adelia POVAku melangkahkan kaki keluar dari ruangan pak Lio. Rasanya masih seperti mimpi bisa menginjakkan kaki di lantai 5 dari bangunan megah ini. Bahkan dijamu oleh sang CEO dengan begitu baik. Jujur aku tak menyangka, bahwa CEO dari rumah sakit semegah ini ternyata masih sangat muda dan tampan.Rumah Sakit dr. Mahendra sudah menjadi tempat yang tak asing lagi bagiku, karena sejak 3 bulan belakangan, aku keluar masuk rumah sakit ini untuk menjaga Ibu.Ibuku sudah lama mengidap