Sejenak tampak raut wajah Lia keheranan. Namun tak lama kemudian ia pun menjawab,
"Kamar Mawar No. 3, Pak.""Baiklah, kamu boleh pergi."
Dan beberapa detik kemudian, Lia telah lenyap dari pandanganku.
"Astagfirullah," ucapku lirih.
"Apa yang kamu lakukan, Lio?" batinku seraya menggeleng-gelengkan kepala heran dengan diriku sendiri. Kemudian segera beranjak ke ruang rapat.
"Ayah pasti sudah menunggu," batinku.
***
Adelia POV
Aku melangkahkan kaki keluar dari ruangan pak Lio. Rasanya masih seperti mimpi bisa menginjakkan kaki di lantai 5 dari bangunan megah ini. Bahkan dijamu oleh sang CEO dengan begitu baik. Jujur aku tak menyangka, bahwa CEO dari rumah sakit semegah ini ternyata masih sangat muda dan tampan.
Rumah Sakit dr. Mahendra sudah menjadi tempat yang tak asing lagi bagiku, karena sejak 3 bulan belakangan, aku keluar masuk rumah sakit ini untuk menjaga Ibu.
Ibuku sudah lama mengidap penyakit Leukimia. Kondisinya semakin hari semakin parah, hingga terpaksa harus dirujuk ke rumah sakit ini untuk mendapatkan penanganan dan perawatan terbaik.
Rumah Sakit Dr. Mahendra memang rumah sakit terbesar di Bali. Fasilitasnya lengkap, pelayanannya pun sangat baik. Tapi ibu selalu menolak tiap kali kutawari berobat kemari. Sampai pada akhirnya kondisi lah yang membawanya sampai ke tempat ini.Entah apa alasannya? Padahal untuk biaya pengobatannya sudah ditanggung oleh perusahaan asuransi.
Jujur, melihat kondisi Ibu saat ini sangat menyakitkan bagiku. Beliau satu-satunya yang kumiliki di dunia ini, kini hanya bisa terbaring lemah tak berdaya. Segala upaya telah aku lakukan demi kesembuhan Ibu, tetapi kondisinya tak kunjung membaik.
Bayangan tentang Ibu yang akan menyusul Ayah dan meninggalkanku seorang diri di dunia ini selalu menghantui. Bukan aku berburuk sangka bahwa Tuhan akan segera memanggilnya, tetapi kondisi ibu yang semakin hari semakin menurun membuat aku semakin pesimis dan takut hal yang tak diinginkan itu semakin dekat terjadi.
Terkadang terbesit sebuah penyesalan dalam hati, seandainya Ayah tak meninggalkan kami secepat ini, mungkin kondisi kami akan lebih baik. Setidaknya aku masih memiliki sandaran di saat-saat seperti ini.
Akan tetapi, semua itu tak akan terjadi. Jangankan mengharap bisa bersandar di dadanya, bahkan yang kutahu dari ayah hanya gambar dan tulisan nama di batu nisannya. Tidak ada kenangan indah yang tertinggal di memori. Tidak ada nasihat-nasihat yang dapat menguatkanku ketika menghadapi semua masalah ini seorang diri, karena Ayah meninggalkanku saat masih di dalam kandungan Ibu.
Seringkali ku keluhkan bahwa hidup ini tak adil bagiku. Namun, Ibu selalu mengatakan, " Tuhan tidak akan menguji hambanya melebihi batas kemampuannya." Ah, Ibu. Dialah satu-satunya penguatku di dunia ini.
Aku terus melangkahkan kaki menyusuri koridor rumah sakit, melewati taman-taman di depan ruang rawat yang begitu indah, berbagai macam bunga tertanam rapih di sana. Di taman yang beralaskan rumput hijau itu juga terdapat kolam ikan dengan suara gemericik air yang menenangkan, juga kandang burung yang menghasilkan suara kicauan saling bersahutan. Bangku-bangku dan beberapa gazebo juga tersedia di sana. Benar-benar suasana yang nyaman.
Teringat kemarin sore saat Ibu memaksa ingin dibawa kesana untuk menikmati suasana yang indah sembari saling bercerita.
"Nak, Ibu ingin kamu kembali bekerja seperti sedia kala," pinta Ibu sore itu.
Ya, sebelumnya aku memang bekerja berprofesi sebagai perawat di rumah sakit daerah. Namun, sudah tiga bulan ini aku memutuskan untuk resign dari pekerjaanku agar bisa fokus merawat Ibu.
"Nggak, Bu, Lia ingin fokus merawat Ibu di sini sampai sembuh. Kalau Lia kerja, siapa yang akan merawat Ibu? Lagi pula Lia juga sudah resign, Bu," jawabku.
"Tapi hidup kamu harus terus berjalan, Nak. Kamu butuh biaya untuk melanjutkan hidup," ungkap ibu mengkhawatirkanku.
"Ibu tenang aja, ya. Tabungan Lia InsyaAllah masih cukup untuk bertahan, kok. Yang terpenting sekarang adalah kesembuhan Ibu, " ucapku menenangkannya sembari menghambur ke pelukannya.
Ibu lalu mencium keningku penuh cinta,
"Terima kasih ya, Nak. Kamu memang anak terbaik Ibu.""Sama-sama, Bu. Ini sudah menjadi kewajiban Lia sebagai anak Ibu," jawabku dengan mengeratkan pelukanku. Sejenak menikmati kehangatan pelukan ibu yang selalu kurindu di kala jauh.
"Tapi menurut ibu tidak ada salahnya kamu mencoba melamar kerja lagi, Nak. Kamu kan bisa melamar kerja di rumah sakit ini. Jadi kamu tetap bisa memantau Ibu."
Ku lepaskan pelukanku dan menatap ibu sejenak,
"Ibu yakin?"
Lalu ibu menganggukkan kepalanya cepat.
"Tapi Lia gak yakin bakal diterima, Bu. Ini kan rumah sakit elite, pasti mereka juga akan sangat selektif dalam memilih tenaga kerjanya. Sedangkan Lia masih sangat minim pengalaman," jelasku ragu.
"Kamu jangan menyerah sebelum berperang dong, nggak ada salahnya kan kalau kamu coba dulu? Ibu akan selalu mendoakan kamu, Nak," ucap ibu menyemangati.
Aku berfikir sejenak, mungkin kali ini harus aku coba saran ibu, siapa tahu keberuntungan sedang berpihak padaku. "
"Oke, Bu. Bismillah, besok Lia akan coba melamar kerja, " jawabku mantap.
"Alhamdulillah," ucap Ibu tersenyum bangga.
Kemudian kami menghabiskan sore bersama, saling bercanda dan tertawa bahagia.
****
Acara peresmian Adelio Mahendra sebagai CEO baru telah usai. dr. Mahendra berpamitan undur diri terlebih dahulu sebab ada urusan yang harus ia selesaikan. Sedang hadirin yang lain bersiap meninggalkan ruangan.
" Oiya, Pak Sigit ikut saya ke ruangan ya, saya ada perlu," ucap Lio kepada Kepala HRD.
"Baik, Pak," jawab Pak Sigit.
"Dan Anda juga pak Wiraguna. Ikut saya ke ruangan, ada hal yang ingin saya sampaikan."
"Baik, Pak," Jawab Wiraguna dengan wajahnya yang pucat pasi. Kejadian pagi tadi membuatnya menciut di hadapan sang pengganti dr. Mahendra. Ia tak eornah menyangka bahwa seseorang yang berhadapan dengannya tadi adalah atasan barunya.
Lio berdiri dan melangkahkan kaki menuju ruangannya, diikuti kepala HRD dan Direktur utama di belakangnya.
Sesampainya di ruangan, Lio mempersilahkan keduanya duduk. Kemudian ia menyerahkan berkas milik Adelia pada kepala HRD.
"Pak Sigit, ini CV salah satu pelamar kerja yang tidak sengaja bertemu dengan saya tadi pagi." Lio menjeda kalimatnya sekejap, lalu melirik ke arah Wiraguna. Tampak Wiraguna hanya menundukkan kepalanya.
"Seharusnya dia ikut interview hari ini, namun karena satu dan lain hal dia gagal hadir," lanjut Lio penuh penekanan membuat Wiraguna semakin ciut.
"Saya sudah sempat interview singkat dengan dia tadi, dan kalau melihat berkasnya sepertinya dia seorang perawat. Secara kepribadian dia sangat baik, tinggal Pak Sigit cek lagi bagaimana pengalaman kerja dia sebelumnya, ya," sambung Lio dengan menyerahkan berkasnya kepada Pak Sigit.
Kepala HRD itu lalu segera mengecek CV yang diberikan atasannya.
"Adelia Maharani, Pak?""Ya, betul"
"Kalau begitu saya tidak perlu mengeceknya secara mendetail, karena nama ini adalah rekomendasi Dr.Mahendra sendiri," jawab Pak Sigit mantap.
"Rekomendasi Ayah?"
Rekomendasi Ayah?" Tanya Lio memastikan."Iya benar, Pak." Beberapa waktu lalu Dr.Mahendra menginfokan kepada saya.Lio manggut-manggut tanda mengerti.'Aneh, kalau memang Lia adalah rekomendasi Ayah, kenapa tidak langsung dipekerjakan saja? Mengapa harus melalui proses sesuai SOP? Ah, mungkin ini salah satu bentuk profesionalisme kerja Ayah,' Batin Lio."Baik lah kalau begitu tolong segera dihubungi ya, Pak. Supaya dia secepatnya bisa memulai kerja," titah Lio."Baik, Pak Lio. Ada lagi yang bisa saya bantu? ""Oh, tidak ada. Silakan Bapak boleh pergi.''" Baiklah, kalau begitu saya permisi, Pak.""Silakan."Pak Sigit pergi meninggalkan ruangan, meninggalkan Lio berdua bersama Wiraguna.''Adelia Maharani, nama yang direkomendasikan Ayah. Siapa dia sebenarnya?"Dalam hati ia masih bertanya-tanya,Lio lalu memandang Wiraguna penuh intimidasi. "Ada yang ingin anda sampaikan pada saya bapak Wiraguna yang terhormat!?" tanya Lio penuh penekanan pada Wiraguna."Saya minta maaf atas kejadian
"Ayah ...?""Lio, Kamu?"Ucap keduanya bersamaan."Ayah ngapain di sini?"Nanti Ayah jelaskan," jawab dr. Mahendra singkat, sejenak ia melirik ke arah Adelia di sisi putranya, lalu segera memasuki ruang ICU. Tampak raut wajahnya begitu khawatir.'Siapa sebenarnya Ibu Lia? Kenapa Ayah sampai turun tangan sendiri untuk menanganinya? Ayah juga tampak sangat khawatir,' batin Lio bertanya-tanya.'Siapa lelaki itu? Apa beliau seorang dokter sehingga bisa masuk ke ruang ICU untuk menangani Ibu? Dan sebentar, tadi pak Lio memanggilnya dengan sebutan Ayah, apakah beliau dr. Mahendra pemilik rumah sakit ini? Apa hubungan beliau dengan Ibu, ya? Ah, apapun itu, aku harap Ibu bisa diselamatkan dalam penanganannya,' batin Lia juga bertanya-tanya.Di ruang ICU, dr. Mahendra tengah berjuang melakukan pertolongan terbaik pada Maharani."Please, kamu harus kuat, Rani. Masih banyak hal yang harus kita selesaikan bersama," lirih dr. Mahendra berkali-kali.Wajahnya tampak sangat mengkhawatirkan wanita yan
MAHENDRA POV**FLASH BACK**Sore itu aku berjalan melewati komplek ruang rawat "Mawar". Seperti biasa, setiap sehari dalam seminggu aku selalu turun lapangan untuk melihat sendiri kinerja para tenaga kerja di rumah sakit yang sudah kubangun ini.Hari itu kebetulan jadwalku untuk mengecek komplek Mawar dan Melati. Aku sengaja membuat jadwalnya secara acak, agar apa yang aku lihat dari kinerja mereka adalah sebuah spontanitas. Bukan suatu hal yang di buat-buat.Ku langkahkan kaki melewati ruang mawar, hingga tak sengaja netraku menangkap pemandangan yang tak asing.Tampak seorang suster tengah membantu pasien wanita kembali tidur ke ranjangnya, mungkin dia dari kamar mandi, tebakku kala itu.Tapi yang menjadi fokusku adalah wajah pucat pasien itu, seperti tak asing bagiku."Rani? Apa benar dia Rani? Seseorang yang selama ini aku cari tahu keberadaannya," batinku.Aku terus memperhatikannya dari kejauhan. Sepertinya memang benar itu Rani. Dia sudah sangat berubah, bahkan hampir saja aku
"Oiya? Padahal aku nggak kemana-mana loh, Hen. Buktinya kamu menemukan aku begitu dekat denganmu, kan?" Aku hanya terdiam mendengar jawaban Rani. "Lagi pula untuk apa lagi kamu mencariku, Hen? bukan kah kamu sudah memiliki kehidupan yang lebih baik?" lanjut Rani terus terang. Entah mengapa jawabannya begitu menyakitkan bagiku. Aku memang bersalah telah meninggalkannya saat itu. "Maafkan aku, Ran," sesalku. Rani tersenyum tipis. "Kamu tidak perlu meminta maaf, Hen. Permintaan maaf hanya untuk orang-orang yang menyesal. Sedang kamu tak pernah menyesali keputusanmu, kan?" jawabnya tenang. Ya Allah, perih sekali hati ini mendengarnya. Lagi-lagi aku tak menyangkal jawaban Rani, karena apa yang dia katakan memang benar adanya. Justru aku sangat mensyukuri pernikahanku dengan Arumi. "Lagipula tak ada yang perlu dimaafkan darimu, Hen. Kamu sudah mengambil keputusan yang tepat. Justru aku bangga sama kamu yang selalu berbakti pada orang tuamu, " Lanjut Rani. Aku memang meninggalkannya d
"Dijdohkan?""Iya, kita jodohkan.""Tapi apa mereka mau? Ini kan sudah bukan zaman kita lagi, Hen.""Kita buat perjodohan ini senatural mungkin, kita pertemukan mereka diam-diam, dan membuat mereka saling mencintai. Masih ada waktu satu bulan untuk kita menjalankan rencana ini. Bagaimana menurutmu?""Oke, aku setuju, harapanku semoga aku bisa menyaksikan mereka menikah sebelum tubuh ini di lalap tanah," jawab Rani bersemangat."Amiin."Kemudian aku dan Rani pun menyusun rencana perjodohan anak-anak kami.______Lia dan Lio kini duduk berdampingan di hadapan penghulu, di sisi mereka terdapat keranda yang siap mengantarkan Ibu Lia ke peristirahatan terakhirnya.Seperti wasiat Ibu Lia,Dengan terpaksa mereka akhirnya melakukan ijab qobul sesaat sebelum Ibu Lia di kebumikan.Tidak ada gaun pengantin, tidak ada texudo, tidak ada dekorasi, tidak ada jamuan dan hiburan seperti pesta pernikahan pada umum nya. Justru pernikahan ini di gelar dengan linangan air mata dan dalam lingkup kedukaan y
Lia hanya mengangguk pasrah. Di liriknya suami yang sedang duduk di sisi nya. Sedari tadi ia hanya diam membisu. Kepalanya memandang ke sisi jendela. Pandangan nya menerawang jauh,entah apa yang tengah memenuhi pikiran nya. Mungkin semua kejadian di hari ini masih belum bisa ia terima begitu saja."Kamu ikut tinggal bersama kami, Lia. Status kamu sekarang wanita bersuami,jadi kamu harus ikut kemanapun suami kamu tinggal." titah Ayah mertuanya tak terbantahkan.Apa yang mertuanya katakan itu benar,saat ini dia telah bersuami, ia memiliki hak dan kewajiban sebagai istri yang harus ia prioritaskan sejak kini. Kehidupan nya tak lagi sama, semua hal yang akan dia lakukan harus berlandaskan keridhoan suaminya. Walau pernikahan ini terjadi di luar rencana nya, namun Lia cukup memahami apa yang menjadi tugas nya saat ini.Tak berselang lama mobil sudah terparkir di halaman rumah Lia. Lia bergegas turun untuk menyiapkan segala keperluan nya, ia tak mau mertua dan suami nya menunggu terlalu lam
"Siapa gadis itu, Mas?" tanya Arumi pada suaminya dengan tatapan penuh selidik. Sejenak suasana menjadi hening. "Lio, dia siapa?" Tanya Arumi pada puteranya setelah tak kunjung mendapatkan Jawaban dari suaminya. Kemudian pandangan nya mengarah pada koper yang sedang di bawa Lio. "Dan kamu? Kenapa kamu bawa koper? Bukan nya kamu dari Rumah Sakit?" tanya Arumi penuh selidik. Namun Lio hanya diam membisu. "Ini kenapa pada diem gini sih, ga ada yang mau jawab Bunda?" Arumi semakin tidak sabar. "Mas, jawab aku dong ,Mas" pinta Arumi sekali lagi. Dr. Mahendra tampak menghela nafas berat sebelum kemudian memutuskan untuk menjawab pertanyaan isterinya. "Dia isteri Lio" Jawab Dr. Mahendra singkat,padat dan jelas. Arumi tertawa hambar."Ga usah bercanda deh kamu, Mas. Lio anak kita kan belum menikah, dia baru datang dari USA." ucap Arumi yang justru merasa suaminya sedang melawak. "Mas serius,Arumi. Dia Lia,Isteri Lio anak kita. Merka baru melaksanakan pernikahan sore tadi. Ucapan Ma
" Tapi kenapa harus dia,Mas? Kenapa harus anaknya Rani ?Kamu kan tahu, Mas .Rani adalah wanita yang paling aku cemburu selama ini. "Suara Bundanya Terdengar sangat parau di telinga Lio." Arumi Please, Rani sudah Tiada. biarkan dia tenang di alamnya, apa yang terjadi di masa lalu tolong lupakanlah." pinta Dr.Mahendra."Bagaimana bisa aku melupakan wanita yang pernah mengisi ruang di hati suamiku begitu mendalam?bahkan sampai menyebabkan kamu mengabaikanku di awal pernikahan kita,Mas. Apa kamu lupa semua itu?Tiga bulan Mas ,tiga bulan lamanya kamu mengbaikanku, tidak sudi menyentuhku sebagai istrimu, karena kamu yang masih saja dihantui dengan rasa bersalahmu pada Rani. aku sudah cukup menderita di awal-awal pernikahan kita, namun aku tetap bersabar. lalu sekarang kamu mau menambah penderitaanku lagi?" Ucap Arumi dengan deraian air mata."Maafkan aku, Arumi, aku tahu saat itu aku memang salah, aku salah telah mengabaikanmu, aku salah telah menyakiti dan melukai hatimu begitu dala