Aku membalikkan badan ke arah suara tersebut, dan benar sesuai dugaanku, Om Mario lah pemilik suara itu.
Om Mario adalah asisten pribadi Ayah, termasuk salah satu orang kepercayaannya. Badannya tinggi dan kekar. Maklum, dalam memilih asisten pribadinya, Ayah benar-benar selektif. Tidak hanya yang pintar dan berprestasi, tetapi dia juga harus pandai bela diri, karena dia lah yang akan mendampingi dan menjaga Ayah di mana pun beliau pergi.
"Eh, Om Mario. Apa kabar, Om?"
"Alhamdulillah Om sehat, Kamu apa kabar, Lio? Lama tak jumpa sudah makin keren aja dokter muda ini sekarang," puji Om Mario dengan memandangiku dari atas ke bawah.
"Ah, Om bisa aja. Alhamdulilah aku sehat, Om," jawabku basi-basi.
" Oiya, Jam segini udah stand by aja, Om? Bukannya acara masih satu jam lagi, ya?"
"Iya, tadi dr. Mahendra minta Om untuk berangkat lebih awal, karena harus memastikan calon penggantinya sampai di sini dengan selamat."
" Oiya?"
"Of course," jawab Om Mario dengan senyuman khasnya. Beliau lalu melirik Adelia di belakangku.
"Siapa dia, Lio? Sudah punya calon eh rupanya? Cantik lagi. Kamu gak mau kenalin ke Om?"
Ku lirik Adelia di belakangku, Ia tampak canggung berdiri di sana, mungkin karena mendengar pernyataan Om Mario yang cukup frontal. Entah mengapa aku sangat terhibur melihatnya salah tingkah seperti itu. Air wajahnya yang tiba-tiba memerah membuatnya tampak semakin indah.
"Betul, Om," jawabku singkat dengan senyuman penuh pesona. Entah mengapa tiba-tiba terbesit keinginan untuk menjahilinya.
Mendengar jawabanku sontak kedua mata Adelia membulat sempurna. Dan tentu saja pemandangan itu berhasil membuat perutku kaku menahan tawa.
"Maksud Lio dia calon karyawan baru disini, Om," lanjut ku cepat sebelum Adelia merasa semakin tidak nyaman.
Kulihat ia menggaruk-garuk kepalanya yang terbalut hijab.
"Hahaha 10 tahun di USA ternyata tidak merubahmu ya, Lio. Kamu tetap Lio yang humoris yang Om kenal," kekeh Om Mario.
Aku hanya tersenyum sopan.
"Ya sudah, kamu lanjutkan apa yang harus kamu lanjutkan. Om harus melihat dan memastikan semua persiapan acara sudah Ready."
"Oh, iya silahkan, Om."
Om Mario lalu pergi meninggalkan kami berdua. Aku membuka knop pintu dan mempersilahkan Adelia masuk dan duduk di sofa tamu. Kuambil dua minuman dingin dari kulkas dan duduk di hadapan Adelia.
"Silahkan diminum," ucapku seraya meletakkan sebotol kopi kemasan di hadapannya.
"Terima kasih, Pak. Tapi bapak tidak perlu repot-repot begini," sahutnya sungkan.
"Sama sekali tidak repot. Minumlah, kamu pasti haus setelah berdebat dengan Wiraguna tadi."
"Terima kasih," ucapnya kemudian meminum minuman yang aku berikan.
Sesaat suasana menjadi hening. Kupandangi sekeliling, ruangan ini tidak pernah berubah, baik tata letak maupun semua perabotnya yang serba berwarna putih. Hanya warna catnya saja yang selalu diperbarui.
Begitulah Ayah, selera beliau tidak pernah berubah. Ayah memang berpendirian teguh, tak mudah menggoyahkan hatinya jika sudah memiliki tekad.
Seperti keberadaanku di ruangan ini, salah satu contoh keputusan Ayah yang tak bisa dibantah. Ia begitu yakin aku mampu menggantikannya. Penolakanku dengan alasan minim pengalaman pun beliau tolak. Menurutnya, ini adalah cara terbaik untuk aku memulai pengalamanku.
Kulihat Adelia sudah meletakkan minumannya di meja."Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, karena Bapak sudah membantu saya tadi," ucapnya."Sama-sama. Sudah menjadi kewajiban saya sebagai sesama manusia," balasku.
Ia hanya tersenyum sopan.
"Oiya, tadi saya tidak sengaja membaca nama "Adelia Maharani" di antara berkas-berkas kamu. Apa benar itu nama kamu?"
"Iya benar, Pak."
Aku manggut-manggut paham. Sedikit merasa aneh dengan kemiripan nama kita, sungguh kebetulan yang sangat mengganjal di hati.
"Ngomong-ngomong ternyata nama kita mirip, lho. Perkenalkan, nama saya Adelio Mahendra. Kamu bisa panggil saya, Lio."
"Baik Pak Lio, senang bisa mengenal Anda. Anda juga bisa memanggil saya Lia."
"Oke Lia, Jadi apa tujuanmu datang ke rumah sakit ini? " Tanyaku memulai obrolan.
"Saya datang hari ini dengan tujuan untuk melamar kerja, Pak. Sebenarnya pagi ini saya ada jadwal interview dengan pihak HRD. Tetapi, karena satu dan lain hal saya gagal menghadiri undangan interview tersebut."
"Oh, maaf. Itu pasti karena saya mengajak kamu ke ruangan saya, ya? Kalau begitu kamu boleh pergi sekarang, sebelum semakin terlambat," titahku merasa bersalah telah mengajaknya kemari.
"Tidak kok, Pak. Saya memang datang terlambat karena saya harus mampir ke ruangan ibu saya terlebih dahulu untuk menyelesaikan hajatnya, karena itu saya tadi terburu-buru sampai tak sengaja menabrak pak Wiraguna," jelasnya.
Aku manggut-manggut faham.
"Oh, Jadi apakah ibu kamu juga bekerja di rumah sakit ini?""Tidak, Pak. Ibu saya sedang dirawat di sini," Jawab Lia dengan raut wajah yang tiba-tiba berubah. Tampak sekali ia tengah mengemban beban yang berat.
"Maaf, saya tidak tahu, Lia," sesalku.
"Tidak apa-apa, Pak," jawab Lia sembari tersenyum manis.
Kulirik jam di tanganku, sudah menunjukkan pukul 8.20. Lalu terdengar suara notifikasi dari hpku. Ternyata pesan dari Ayah.
[Kamu sudah siap, Lio? Ayah baru sampai. Sepertinya langsung menuju ruang rapat, karena acara perkenalan kamu akan dimulai 10 menit lagi. Kita ketemu di sana, ya.]
Kubaca pesan dari Ayah.Aku menghela nafas sejenak, sebelum kemudian mengetikkan balasan untuk pesan dari Ayah.
[Oke, Yah.] balasku singkat. Lalu meletakkan kembali Hpku di saku celana yang kukenakan.
"Maaf, Lia,"
"Maaf, Pak,"
Ucapku dan Adelia bersamaan.
"Ehem," aku berdehem salah tingkah.
"Silakan bapak dulu," ucapnya mempersilahkan.
" Oh iya, maaf sebelumnya, sepertinya saya harus pergi karena ada suatu urusan."
"Baik, Pak. Saya juga harus ke ruangan ibu saya," pamit Lia.
"Baiklah, kalau begitu kamu tinggal saja CV kamu di sini. Nanti biar saya periksa. Kebetulan hari ini saya juga ada pertemuan dengan kepala HRD."
"Wah, terima kasih banyak, Pak. Rasanya saya sangat bersyukur hari ini dipertemukan dengan orang sebaik Bapak," ucap Lia dengan senyuman bahagia. Sangat menenangkan dan indah dipandang.
Aku tersenyum melihatnya,
"Sama-sama," jawabku singkat."Kalau begitu saya permisi, Pak."
"Silahkan. Salam untuk ibu kamu, ya. Semoga lekas sembuh."
"Baik, Pak. Pasti akan saya sampaikan."
Kemudian Lia beranjak dari tempatnya, dan pandanganku tak lepas mengikuti langkahnya. Sampai ketika ia hendak meraih knop pintu ruanganku, entah mengapa aku begitu ingin menahannya.
"Eh, Lia," panggilku menghentikan langkah Lia.
"Iya, Pak? " Jawab Lia seraya berbalik ke arahku.
Aku terdiam, merutuki diri sendiri yang tiba-tiba mencegah Lia keluar tanpa tujuan.
"Ada apa, Pak?" Tanya Lia menegaskan.
'Astaga, apa yang harus kukatakan?'
"Ibu kamu dirawat di ruangan apa?" entah mengapa pertanyaan itu tiba-tiba meluncur dari mulutku.Sejenak tampak raut wajah Lia keheranan. Namun tak lama kemudian ia pun menjawab,"Kamar Mawar No. 3, Pak.""Baiklah, kamu boleh pergi."Dan beberapa detik kemudian, Lia telah lenyap dari pandanganku."Astagfirullah," ucapku lirih."Apa yang kamu lakukan, Lio?" batinku seraya menggeleng-gelengkan kepala heran dengan diriku sendiri. Kemudian segera beranjak ke ruang rapat."Ayah pasti sudah menunggu," batinku.***Adelia POVAku melangkahkan kaki keluar dari ruangan pak Lio. Rasanya masih seperti mimpi bisa menginjakkan kaki di lantai 5 dari bangunan megah ini. Bahkan dijamu oleh sang CEO dengan begitu baik. Jujur aku tak menyangka, bahwa CEO dari rumah sakit semegah ini ternyata masih sangat muda dan tampan.Rumah Sakit dr. Mahendra sudah menjadi tempat yang tak asing lagi bagiku, karena sejak 3 bulan belakangan, aku keluar masuk rumah sakit ini untuk menjaga Ibu.Ibuku sudah lama mengidap
Rekomendasi Ayah?" Tanya Lio memastikan."Iya benar, Pak." Beberapa waktu lalu Dr.Mahendra menginfokan kepada saya.Lio manggut-manggut tanda mengerti.'Aneh, kalau memang Lia adalah rekomendasi Ayah, kenapa tidak langsung dipekerjakan saja? Mengapa harus melalui proses sesuai SOP? Ah, mungkin ini salah satu bentuk profesionalisme kerja Ayah,' Batin Lio."Baik lah kalau begitu tolong segera dihubungi ya, Pak. Supaya dia secepatnya bisa memulai kerja," titah Lio."Baik, Pak Lio. Ada lagi yang bisa saya bantu? ""Oh, tidak ada. Silakan Bapak boleh pergi.''" Baiklah, kalau begitu saya permisi, Pak.""Silakan."Pak Sigit pergi meninggalkan ruangan, meninggalkan Lio berdua bersama Wiraguna.''Adelia Maharani, nama yang direkomendasikan Ayah. Siapa dia sebenarnya?"Dalam hati ia masih bertanya-tanya,Lio lalu memandang Wiraguna penuh intimidasi. "Ada yang ingin anda sampaikan pada saya bapak Wiraguna yang terhormat!?" tanya Lio penuh penekanan pada Wiraguna."Saya minta maaf atas kejadian
"Ayah ...?""Lio, Kamu?"Ucap keduanya bersamaan."Ayah ngapain di sini?"Nanti Ayah jelaskan," jawab dr. Mahendra singkat, sejenak ia melirik ke arah Adelia di sisi putranya, lalu segera memasuki ruang ICU. Tampak raut wajahnya begitu khawatir.'Siapa sebenarnya Ibu Lia? Kenapa Ayah sampai turun tangan sendiri untuk menanganinya? Ayah juga tampak sangat khawatir,' batin Lio bertanya-tanya.'Siapa lelaki itu? Apa beliau seorang dokter sehingga bisa masuk ke ruang ICU untuk menangani Ibu? Dan sebentar, tadi pak Lio memanggilnya dengan sebutan Ayah, apakah beliau dr. Mahendra pemilik rumah sakit ini? Apa hubungan beliau dengan Ibu, ya? Ah, apapun itu, aku harap Ibu bisa diselamatkan dalam penanganannya,' batin Lia juga bertanya-tanya.Di ruang ICU, dr. Mahendra tengah berjuang melakukan pertolongan terbaik pada Maharani."Please, kamu harus kuat, Rani. Masih banyak hal yang harus kita selesaikan bersama," lirih dr. Mahendra berkali-kali.Wajahnya tampak sangat mengkhawatirkan wanita yan
MAHENDRA POV**FLASH BACK**Sore itu aku berjalan melewati komplek ruang rawat "Mawar". Seperti biasa, setiap sehari dalam seminggu aku selalu turun lapangan untuk melihat sendiri kinerja para tenaga kerja di rumah sakit yang sudah kubangun ini.Hari itu kebetulan jadwalku untuk mengecek komplek Mawar dan Melati. Aku sengaja membuat jadwalnya secara acak, agar apa yang aku lihat dari kinerja mereka adalah sebuah spontanitas. Bukan suatu hal yang di buat-buat.Ku langkahkan kaki melewati ruang mawar, hingga tak sengaja netraku menangkap pemandangan yang tak asing.Tampak seorang suster tengah membantu pasien wanita kembali tidur ke ranjangnya, mungkin dia dari kamar mandi, tebakku kala itu.Tapi yang menjadi fokusku adalah wajah pucat pasien itu, seperti tak asing bagiku."Rani? Apa benar dia Rani? Seseorang yang selama ini aku cari tahu keberadaannya," batinku.Aku terus memperhatikannya dari kejauhan. Sepertinya memang benar itu Rani. Dia sudah sangat berubah, bahkan hampir saja aku
"Oiya? Padahal aku nggak kemana-mana loh, Hen. Buktinya kamu menemukan aku begitu dekat denganmu, kan?" Aku hanya terdiam mendengar jawaban Rani. "Lagi pula untuk apa lagi kamu mencariku, Hen? bukan kah kamu sudah memiliki kehidupan yang lebih baik?" lanjut Rani terus terang. Entah mengapa jawabannya begitu menyakitkan bagiku. Aku memang bersalah telah meninggalkannya saat itu. "Maafkan aku, Ran," sesalku. Rani tersenyum tipis. "Kamu tidak perlu meminta maaf, Hen. Permintaan maaf hanya untuk orang-orang yang menyesal. Sedang kamu tak pernah menyesali keputusanmu, kan?" jawabnya tenang. Ya Allah, perih sekali hati ini mendengarnya. Lagi-lagi aku tak menyangkal jawaban Rani, karena apa yang dia katakan memang benar adanya. Justru aku sangat mensyukuri pernikahanku dengan Arumi. "Lagipula tak ada yang perlu dimaafkan darimu, Hen. Kamu sudah mengambil keputusan yang tepat. Justru aku bangga sama kamu yang selalu berbakti pada orang tuamu, " Lanjut Rani. Aku memang meninggalkannya d
"Dijdohkan?""Iya, kita jodohkan.""Tapi apa mereka mau? Ini kan sudah bukan zaman kita lagi, Hen.""Kita buat perjodohan ini senatural mungkin, kita pertemukan mereka diam-diam, dan membuat mereka saling mencintai. Masih ada waktu satu bulan untuk kita menjalankan rencana ini. Bagaimana menurutmu?""Oke, aku setuju, harapanku semoga aku bisa menyaksikan mereka menikah sebelum tubuh ini di lalap tanah," jawab Rani bersemangat."Amiin."Kemudian aku dan Rani pun menyusun rencana perjodohan anak-anak kami.______Lia dan Lio kini duduk berdampingan di hadapan penghulu, di sisi mereka terdapat keranda yang siap mengantarkan Ibu Lia ke peristirahatan terakhirnya.Seperti wasiat Ibu Lia,Dengan terpaksa mereka akhirnya melakukan ijab qobul sesaat sebelum Ibu Lia di kebumikan.Tidak ada gaun pengantin, tidak ada texudo, tidak ada dekorasi, tidak ada jamuan dan hiburan seperti pesta pernikahan pada umum nya. Justru pernikahan ini di gelar dengan linangan air mata dan dalam lingkup kedukaan y
Lia hanya mengangguk pasrah. Di liriknya suami yang sedang duduk di sisi nya. Sedari tadi ia hanya diam membisu. Kepalanya memandang ke sisi jendela. Pandangan nya menerawang jauh,entah apa yang tengah memenuhi pikiran nya. Mungkin semua kejadian di hari ini masih belum bisa ia terima begitu saja."Kamu ikut tinggal bersama kami, Lia. Status kamu sekarang wanita bersuami,jadi kamu harus ikut kemanapun suami kamu tinggal." titah Ayah mertuanya tak terbantahkan.Apa yang mertuanya katakan itu benar,saat ini dia telah bersuami, ia memiliki hak dan kewajiban sebagai istri yang harus ia prioritaskan sejak kini. Kehidupan nya tak lagi sama, semua hal yang akan dia lakukan harus berlandaskan keridhoan suaminya. Walau pernikahan ini terjadi di luar rencana nya, namun Lia cukup memahami apa yang menjadi tugas nya saat ini.Tak berselang lama mobil sudah terparkir di halaman rumah Lia. Lia bergegas turun untuk menyiapkan segala keperluan nya, ia tak mau mertua dan suami nya menunggu terlalu lam
"Siapa gadis itu, Mas?" tanya Arumi pada suaminya dengan tatapan penuh selidik. Sejenak suasana menjadi hening. "Lio, dia siapa?" Tanya Arumi pada puteranya setelah tak kunjung mendapatkan Jawaban dari suaminya. Kemudian pandangan nya mengarah pada koper yang sedang di bawa Lio. "Dan kamu? Kenapa kamu bawa koper? Bukan nya kamu dari Rumah Sakit?" tanya Arumi penuh selidik. Namun Lio hanya diam membisu. "Ini kenapa pada diem gini sih, ga ada yang mau jawab Bunda?" Arumi semakin tidak sabar. "Mas, jawab aku dong ,Mas" pinta Arumi sekali lagi. Dr. Mahendra tampak menghela nafas berat sebelum kemudian memutuskan untuk menjawab pertanyaan isterinya. "Dia isteri Lio" Jawab Dr. Mahendra singkat,padat dan jelas. Arumi tertawa hambar."Ga usah bercanda deh kamu, Mas. Lio anak kita kan belum menikah, dia baru datang dari USA." ucap Arumi yang justru merasa suaminya sedang melawak. "Mas serius,Arumi. Dia Lia,Isteri Lio anak kita. Merka baru melaksanakan pernikahan sore tadi. Ucapan Ma