Jujur sikap dingin nya membuat aku bingung, entah apa yang sebenarnya dia pikirkan tentang pernikahan ini, tapi prasangka baik ku selalu mengatakan bahwa dia hanya membutuhkan waktu untuk mencerna semua ini. Dia butuh waktu untuk bisa menerima pernikahan kami yang absurd ini.Dengan alasan itu lah aku selalu berusaha untuk membuka hati nya, mencoba menyentuh perasaan nya, dengan bersikap baik selayaknya seorang isteri yang harus berbakti pada suaminya. Ya walaupun aku belum pernah mendapatkan timbal balik dari Mas Lio atas segala upayaku ini, tapi aku tetap ikhlas melakukan nya demi kebaikan pernikahan kami.Seperti malam ini, saat dia lebih memilih menghabiskan makanan yang sudah di pesan nya di banding mencicipi makanan yang susah payah aku buatkan untuk nya."Ah, mungkin apa yang aku hidangkan tidak sesuai dengan selera nya, aku bisa mencoba menu lain untuk besok dan seterusnya" fitur prasangka baik dalam diriku kembali aku aktifkan demi menjaga hati dari rasa sakit nya. Memperbes
Pagi yang indah telah menampakkan cahaya sang surya, menyeruak memasuki jendela kamar Lio kemudian membangunkan nya dengan kilau sinar yang menusuk netranya. Lio terbangun, mata nya masih terpejam walau tubuhnya sudah dalam posisi duduk. Ia menguap, kemudian menggeliat merelax kan otot-otot nya sejenak. Perlahan ia membuka matanya. "Ya Allah, aku terlalu nyenyak tidur, sampai-sampai melewatkan sholat shubuh." Batin Lio kemudian mengecek Jam di Hp nya. Waktu menunjukkan pukul 06.30. "Masih ada waktu sejam untuk siap-siap, tidur sepuluh menit lagi mungkin masih aman." gumam Lio kemudian kembali menguap. "Akibat kelelahan aku jadi merasa ngantuk berat seperti ini." gumam Lio sembari meletakkan kepalanya kembali ke bantal. Tak lupa memeluk guling disisi nya untuk kembali berkelana ke alam mimpi. Dia lah Lio, lelaki yang sudah menikah tapi lebih memilih memeluk guling di banding memeluk isterinya. Jangan bayangkan bagaimana romantisme malam pertama mereka seperti khayalan di otak Lia,
"Kamu lupa kamu isteri siapa?" tanya Lio sembari memandang kedua mata Lia, membuat Lia deg-degan tak karuan."Isteri Tuan Adelio Mahendra." jawab Lia polos."Nah, itu tau. Jadi kamu ga perlu takut telat masuk kerja, karena walau kamu gak masuk kerja pun tetap akan saya gaji melebihi karyawan saya yang lain." jawab Lio masih memilih warna kemeja apa yang akan di kenakan nya."Ya ga bisa gitu dong, Mas. Ini bukan soal siapa isteri siapa, tapi soal profesionalisme kerja." ucap Lia kesal karena suaminya itu tak kunjung memahami maksud nya."Ya, saya tahu. Dan saya gak akan buat kamu datang telat." ucap Lio tak terbantahkan."Ayo berangkat." ajak Lio yang berhasil membuat Lia kembali melongo, pasalnya suaminya itu masih mengenakan pakaian kebesaran nya. Bahkan sekedar cuci muka dan sikat gigi pun belum dia lakukan. Ia hanya menenteng tas laptop dan membawa pakaian ganti yang baru saja dia siapkan."Kok malah bengong? Ayo berangkat! Katanya gak mau telat?" seru Lio sekali lagi saat melihat
Sejenak suasana menjadi hening, Baik Lia maupun Lio masih terkejut dengan kejadian yang mereka alami. Beruntung Lia segera menginjak Rem, karena kalau tidak mungkin saat ini mereka sedang berguling-guling di dalam mobil karena di hantam oleh kontainer yang melaju cepat dari arah berlawanan."Huuufh" desis Lia sesaat kemudian, kedua tangan nya masih menempel di dada untuk menenangkan keterkejutan nya.Ia menoleh ke sisi nya, disana terdapat Lio yang masih melotot dengan busa belepotan di area mulut dan juga pipi nya, tangan kanan nya masih menggenggam erat sikat gigi yang beberapa detik lalu masih ia gunakan untuk membersihkan mulut nya, sedang tangan kirinya masih memegang botol air mineral yang sebagian isinya telah tumpah membasahi kaos oblong dan jok mobilnya."Astagah, lucu sekali." batin Lia melihat ekspresi suaminya. Masih dengan nafas ngos-ngosan, Ia kemudian melepas selfbeelt lalu mendekat ke arah suaminya, semakin dekat dan dekat, sisi perutnya kini sudah menyentuh lengan Li
Di tempat lain, Lia sedang berjalan menuju ruang HRD untuk menemui pak Sigit, suasana Rumah Sakit membuat ia teringat akan mending ibu nya, baru saja beberapa hari lalu ia melalui kejadian yang sangat menyedihkan, dimana ia harus berpisah dengan ibu nya untuk selamanya.Langkah Lia terhenti saat ia melewati ruang ICU, dia memandang sejenak ke arah ruangan itu, tampak disana seorang ibu-ibu yang ia taksir berusia sekitar tiga puluh tahunan sedang memeluk puterinya yang berusia sekitar lima tahun, mereka saling berpelukan untuk menyalurkan kekuatan.Mungkin mereka sedang menunggu penentuan takdir mereka, apakah seseorang yang sedang berjuang antara hidup dan mati di dalam ruangan itu akan selamat dan kembali ke dalam pelukan mereka, atau justru akan terpisah dengan mereka untuk selamanya.Pemandangan itu membuat otak Lia kembali memutar memory di saat-saat terakhir ibu nya, di mana saat itu ia merasakan apa yang saat ini di rasakan oleh seseibu dan anak itu, merapal doa sekuat mungkin u
Astagfirullah, Bun. Sejak kapan bunda di sana?" tanya Lio sembari berjalan menghampiri sang bunda kemudian mencium tangan nya."Ya, lumayan lah. Belum terlalu bosan juga, kok. Hanya menunggumu selesai mandi," sindir sang bunda sembari menepuk sofa mempersilahkan putranya duduk di sisinya, Lio pun menurut sembari memberi kecupan di pipi sang Bunda."Memang idealnya pengantin baru itu menghabiskan waktu untuk honeymoon, menikmati masa-masa indah bersama pasangan. Bukan malah memaksakan diri seperti ini.""Maksud bunda apa, sih? Lio gak paham.""Ya seperti kamu ini, memaksakan diri untuk tetap bekerja, padahal masih kelelahan setelah melalui pertempuran semalam. Akhirnya berangkat kerja pun tak sempat mandi, kan?" ucap sang bunda dengan menggerak-gerakkan alisnya terus menggoda putranya."Bunda ngomong apa, sih?" ucap Lio tak suka, raut wajahnya tampak tidak nyaman mendengar pertanyaan bundanya."Boro-boro ada pertempuran yang melelahkan, yang ada udah duluan lelah sebelum bertempur, bu
Lio melangkah cepat menuju ruangan Pak Sigit, ia bahkan sampai mengabaikan beberapa staff nya yang menyapa. Baginya yang terpenting sekarang adalah memastikan Lia tidak mengadu pada sang Ayah.Langkahnya terhenti saat melihat ayah dan isterinya keluar dari ruangan Pak Sigit menuju ke kantin rumah sakit. Ia pun segera mengikuti mereka.Setibanya di Kantiin, Dr. Mahendra dan Lia langsung duduk di salah satu bangku yang relatif sepi, mereka lalu memesan minuman dan mengobrol ringan. Sedang tak jauh dari mereka Lio sedang mencuri dengar apa yang sedang mereka bicarakan."Bagaimana kabarmu, Lia?" tanya Dr. Mahendra membuka obrolan."Alhamdulillah, Lia baik, Yah. Seperti yang ayah lihat." ucap Lia menjelaskan kondisinya."Ya, secara jasmani Ayah bisa melihat kamu tampak sehat. Tapi bagaimana dengan perasaanmu, nak? Apa sudah merasa lebih baik?" tanya Dr. Mahendra ingin memastikan kondisi hati Lia setelah melewati hari-hari beratnya.Lia tersenyum getir."Ya beginilah, Yah. Lia masih mencoba
"Uhuuukk""Ayah, ayah gak papa? Lia carikan air mineral, ya." tawar Lia khawatir melihat mertuanya yang tiba-tiba tersedak."Gak perlu, Lia. Gak perlu. Ayah baik-baik aja, kok." cegah Dr. Mahendra kemudian.Dari kejauhan Lio menyeringai melihat ayahnya yang tiba-tiba tersedak."Ayah pasti kaget dan bingung mendengar pertanyaan Lia." batin Lio.Sesaat kemudian Dr. Mahendra kembali bertanya pada Lia."Kenapa Lia bertanya seperti itu?" "Lia hanya ingin tahu saja, yah. Karena ibu tidak pernah bercerita tentang Ayah sebelumnya. Bahkan sekedar menyebut nama Ayah pun tidak pernah." ucap Lia heran."Mungkin informasi itu di anggap tidak penting untuk kamu ketahui oleh ibumu Lia." Dr. Mahendra mencoba mengalihkan pembicaraan."Tapi menurut Lia tidak seperti itu, Yah. Karena ibu sering menceritakan tentang teman-temannya pada Lia. Kalau sampai ibu menitipkan Lia pada Ayah, itu kan artinya Ayah adalah orang penting dalam hidup Ibu, dan seharusnya, ibu menceritakan hal itu pada Lia. Tapi kenyat