"Kamu baru saja datang seminggu yang lalu, Lio. Lalu sekarang kamu harus pergi meninggalkan bunda dan juga ayah? Tolong lah Lio,tinggal lah di sini bersama kami. Kamu anak semata wayang kami,satu-satu nya penghibur kami di masa tua ini." ucap Bunda yang sempat menggoyahkan niatku untuk memboyong Lia ke apartemen. Namun bayangan bunda yang menangis pilu di malam itu kembali muncul di benakku,membuat ku bersikeras untuk tetap pergi."Bunda dan ayah tenang saja,Lio akan sering-sering main kesini. Lio hanya tak mau merepotkan ayah dan Bunda. Lio juga ingin belajar hidup mandiri bersama Lia."Bohongku pada bunda tadi pagi demi menenangkan hati bunda.Aku menghela nafas berat."Maafkan Lio,Bunda. Lio terpaksa harus melakukan ini." desisiku pelan.Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang berhasil mengganggu lamunanku.Tok tok tok.Aku terperanjat kaget,"bagaimana mungkin pesanan makanan itu datang secepat ini.?"Batin ku merasa aneh.Namun sedetik kemudian aku mensyukuri nya karena aku s
Jujur sikap dingin nya membuat aku bingung, entah apa yang sebenarnya dia pikirkan tentang pernikahan ini, tapi prasangka baik ku selalu mengatakan bahwa dia hanya membutuhkan waktu untuk mencerna semua ini. Dia butuh waktu untuk bisa menerima pernikahan kami yang absurd ini.Dengan alasan itu lah aku selalu berusaha untuk membuka hati nya, mencoba menyentuh perasaan nya, dengan bersikap baik selayaknya seorang isteri yang harus berbakti pada suaminya. Ya walaupun aku belum pernah mendapatkan timbal balik dari Mas Lio atas segala upayaku ini, tapi aku tetap ikhlas melakukan nya demi kebaikan pernikahan kami.Seperti malam ini, saat dia lebih memilih menghabiskan makanan yang sudah di pesan nya di banding mencicipi makanan yang susah payah aku buatkan untuk nya."Ah, mungkin apa yang aku hidangkan tidak sesuai dengan selera nya, aku bisa mencoba menu lain untuk besok dan seterusnya" fitur prasangka baik dalam diriku kembali aku aktifkan demi menjaga hati dari rasa sakit nya. Memperbes
Pagi yang indah telah menampakkan cahaya sang surya, menyeruak memasuki jendela kamar Lio kemudian membangunkan nya dengan kilau sinar yang menusuk netranya. Lio terbangun, mata nya masih terpejam walau tubuhnya sudah dalam posisi duduk. Ia menguap, kemudian menggeliat merelax kan otot-otot nya sejenak. Perlahan ia membuka matanya. "Ya Allah, aku terlalu nyenyak tidur, sampai-sampai melewatkan sholat shubuh." Batin Lio kemudian mengecek Jam di Hp nya. Waktu menunjukkan pukul 06.30. "Masih ada waktu sejam untuk siap-siap, tidur sepuluh menit lagi mungkin masih aman." gumam Lio kemudian kembali menguap. "Akibat kelelahan aku jadi merasa ngantuk berat seperti ini." gumam Lio sembari meletakkan kepalanya kembali ke bantal. Tak lupa memeluk guling disisi nya untuk kembali berkelana ke alam mimpi. Dia lah Lio, lelaki yang sudah menikah tapi lebih memilih memeluk guling di banding memeluk isterinya. Jangan bayangkan bagaimana romantisme malam pertama mereka seperti khayalan di otak Lia,
"Kamu lupa kamu isteri siapa?" tanya Lio sembari memandang kedua mata Lia, membuat Lia deg-degan tak karuan."Isteri Tuan Adelio Mahendra." jawab Lia polos."Nah, itu tau. Jadi kamu ga perlu takut telat masuk kerja, karena walau kamu gak masuk kerja pun tetap akan saya gaji melebihi karyawan saya yang lain." jawab Lio masih memilih warna kemeja apa yang akan di kenakan nya."Ya ga bisa gitu dong, Mas. Ini bukan soal siapa isteri siapa, tapi soal profesionalisme kerja." ucap Lia kesal karena suaminya itu tak kunjung memahami maksud nya."Ya, saya tahu. Dan saya gak akan buat kamu datang telat." ucap Lio tak terbantahkan."Ayo berangkat." ajak Lio yang berhasil membuat Lia kembali melongo, pasalnya suaminya itu masih mengenakan pakaian kebesaran nya. Bahkan sekedar cuci muka dan sikat gigi pun belum dia lakukan. Ia hanya menenteng tas laptop dan membawa pakaian ganti yang baru saja dia siapkan."Kok malah bengong? Ayo berangkat! Katanya gak mau telat?" seru Lio sekali lagi saat melihat
Sejenak suasana menjadi hening, Baik Lia maupun Lio masih terkejut dengan kejadian yang mereka alami. Beruntung Lia segera menginjak Rem, karena kalau tidak mungkin saat ini mereka sedang berguling-guling di dalam mobil karena di hantam oleh kontainer yang melaju cepat dari arah berlawanan."Huuufh" desis Lia sesaat kemudian, kedua tangan nya masih menempel di dada untuk menenangkan keterkejutan nya.Ia menoleh ke sisi nya, disana terdapat Lio yang masih melotot dengan busa belepotan di area mulut dan juga pipi nya, tangan kanan nya masih menggenggam erat sikat gigi yang beberapa detik lalu masih ia gunakan untuk membersihkan mulut nya, sedang tangan kirinya masih memegang botol air mineral yang sebagian isinya telah tumpah membasahi kaos oblong dan jok mobilnya."Astagah, lucu sekali." batin Lia melihat ekspresi suaminya. Masih dengan nafas ngos-ngosan, Ia kemudian melepas selfbeelt lalu mendekat ke arah suaminya, semakin dekat dan dekat, sisi perutnya kini sudah menyentuh lengan Li
Di tempat lain, Lia sedang berjalan menuju ruang HRD untuk menemui pak Sigit, suasana Rumah Sakit membuat ia teringat akan mending ibu nya, baru saja beberapa hari lalu ia melalui kejadian yang sangat menyedihkan, dimana ia harus berpisah dengan ibu nya untuk selamanya.Langkah Lia terhenti saat ia melewati ruang ICU, dia memandang sejenak ke arah ruangan itu, tampak disana seorang ibu-ibu yang ia taksir berusia sekitar tiga puluh tahunan sedang memeluk puterinya yang berusia sekitar lima tahun, mereka saling berpelukan untuk menyalurkan kekuatan.Mungkin mereka sedang menunggu penentuan takdir mereka, apakah seseorang yang sedang berjuang antara hidup dan mati di dalam ruangan itu akan selamat dan kembali ke dalam pelukan mereka, atau justru akan terpisah dengan mereka untuk selamanya.Pemandangan itu membuat otak Lia kembali memutar memory di saat-saat terakhir ibu nya, di mana saat itu ia merasakan apa yang saat ini di rasakan oleh seseibu dan anak itu, merapal doa sekuat mungkin u
Astagfirullah, Bun. Sejak kapan bunda di sana?" tanya Lio sembari berjalan menghampiri sang bunda kemudian mencium tangan nya."Ya, lumayan lah. Belum terlalu bosan juga, kok. Hanya menunggumu selesai mandi," sindir sang bunda sembari menepuk sofa mempersilahkan putranya duduk di sisinya, Lio pun menurut sembari memberi kecupan di pipi sang Bunda."Memang idealnya pengantin baru itu menghabiskan waktu untuk honeymoon, menikmati masa-masa indah bersama pasangan. Bukan malah memaksakan diri seperti ini.""Maksud bunda apa, sih? Lio gak paham.""Ya seperti kamu ini, memaksakan diri untuk tetap bekerja, padahal masih kelelahan setelah melalui pertempuran semalam. Akhirnya berangkat kerja pun tak sempat mandi, kan?" ucap sang bunda dengan menggerak-gerakkan alisnya terus menggoda putranya."Bunda ngomong apa, sih?" ucap Lio tak suka, raut wajahnya tampak tidak nyaman mendengar pertanyaan bundanya."Boro-boro ada pertempuran yang melelahkan, yang ada udah duluan lelah sebelum bertempur, bu
Lio melangkah cepat menuju ruangan Pak Sigit, ia bahkan sampai mengabaikan beberapa staff nya yang menyapa. Baginya yang terpenting sekarang adalah memastikan Lia tidak mengadu pada sang Ayah.Langkahnya terhenti saat melihat ayah dan isterinya keluar dari ruangan Pak Sigit menuju ke kantin rumah sakit. Ia pun segera mengikuti mereka.Setibanya di Kantiin, Dr. Mahendra dan Lia langsung duduk di salah satu bangku yang relatif sepi, mereka lalu memesan minuman dan mengobrol ringan. Sedang tak jauh dari mereka Lio sedang mencuri dengar apa yang sedang mereka bicarakan."Bagaimana kabarmu, Lia?" tanya Dr. Mahendra membuka obrolan."Alhamdulillah, Lia baik, Yah. Seperti yang ayah lihat." ucap Lia menjelaskan kondisinya."Ya, secara jasmani Ayah bisa melihat kamu tampak sehat. Tapi bagaimana dengan perasaanmu, nak? Apa sudah merasa lebih baik?" tanya Dr. Mahendra ingin memastikan kondisi hati Lia setelah melewati hari-hari beratnya.Lia tersenyum getir."Ya beginilah, Yah. Lia masih mencoba
[ Pak Lio, tenang, ya. Dampingi dulu istrinya, saya masuk minta bantuan satpam saja. ][ Baik, Dok. Mohon maaf sebelumnya. ][ Nggak apa-apa, saya mengerti kok, Pak. ]Panggilan berakhir, kemudian Lio segera mendekati Lia, memberi support dan afirmasi positif untuk istri tercintanya."Kamu pasti kuat, Sayang. Kamu pasti bisa."Selang lima menit, dr. Melani datang dan langsung mengambil tindakan. Dengan cekatan dr. Melani mengecek pembukaan jalan lahir."Masih bukaan 4 Pak Lio, tapi kondisi Bu Lia sudah melemah. Bisa tolong bantu saya pasangkan cairan infusnya?" tanya dr. Melani.Dengan cekatan Lio segera melakukan apa yang dr. Melani perintahkan. 10 tahun mengenyam pelajaran kedokteran ternyata tak cukup membuat Lio memahami apa yang harus dilakukannya di saat-saat genting seperti ini. Isi otaknya seakan ngeblank ketika dihadapkan dengan situasi seperti saat ini.Di sisi lain, dr. Melani segera memasang Kardiotokografi di perut Lia, sebuah alat yang merekam denyut nadi janin juga keku
"Bukan mancing, Mas ...""Terus?""Tapi minta," sahut Lia dengan senyuman genitnya, membuat Lio tak dapat menahan untuk tak mencubit gemas hidung mungilnya."Dengan senang hati, Sayang ..." sahut Lio sembari mulai membelai pipi Lia yang semakin hari semakin chuby efek kehamilannya.Dan malam itu, mereka kembali menyatu sebagai sepasang suami istri, saling memberikan kehangatan dan kenikmatan, menciptakan peluh dan desahan penuh kenikmatan.Lia dan Lio tertidur sesaat setelah sama-sama mencapai puncak nikmat penyatuan mereka. Kondisi yang melelahkan membuat keduanya begitu mudah terbuai di alam mimpi.Hingga waktu memasuki pertengahan malam, Lia merasakan perutnya begitu mulas, seperti ingin BAB. Dengan terburu-buru Lia berusaha bangun dan beranjak ke kamar mandi. Lio yang merasa kelelahan akibat aktifitas malam mereka, tak merasakan apapun dalam tidurnya, ia begitu terlelap hingga tak menyadari bahwa istrinya tak lagi di sisinya."Mas Lio ...!" tiba-tiba suara Lia yang berteriak di da
"Ke bawahan lagi, Mas ...""Ini?""Dikit lagi, Mas.""Sudah, Pas?""Terlalu ke bawah itu, Mas.""Jadi yang sebelah mana?"Tanya Lio mulai frustasi, itulah rutinitasnya tiap malam di sembilan bulan kehamilan istrinya.Lia yang perutnya semakin membuncit kerap kali mengeluh merasa kesakitan di punggungnya. Mungkin akibat ketidak seimbangan beban dengan pasaknya.Setiap malam, sebelum tidur, Lio selalu menyempatkan diri untuk memijat halus tubuh istrinya, menyampaikan afirmasi positif untuk istri dan juga janin yang ada di dalam kandungannya."Kalian sangat kuat, kalian juga sangat hebat. Papa yakin, Mama dan Dede di perut bisa bekerja sama dengan baik nantinya. Papa selalu berharap, semoga semua prosesnya diberi kelancaran," ucap Lio diikuti ciuman yang mendarat di perut buncit milik istrinya.Saat Lio baru saja mendaratkan bibirnya di sana, tiba-tiba ia merasakan tendangan kuat dari dalam perut Lia tepat mengenai bibirnya."MasyaAllah, kamu menyambut Papa ya, Nak? Papa jadi nggak sabar
"Apa sih yang nggak buat kamu?""Ya udah, tolong Mas bilang sama cheffnya, ya suruh ikutin resepnya abang-abang martabak yang biasa di pinggir jalan."Kenapa harus gitu, Sayang? Dah biar resepnya apa kata mereka aja, ya? Pastinya mereka juga lebih tau dan ahli dibanding abang-abang penjual kaki lima.""Tapi Lia pengennya yang gitu, Mas," rengek Lia."Ya udah, ya udah, nanti Mas coba bilangin, kamu doa aja ya semoga cheffnya bisa dan mau.""Amiin."Lio lalu mengantar Lia ke kamar untuk beristirahat, kemudian meninggalkannya ke restoran tempat mereka menginap.Satu jam berlalu, saat Lio dengan penuh semangat membawa martabak manis pesanan istri tercinta. "Sayang, Mas datang ..." ucapnya seraya memasuki kamar, berharap istrinya itu akan menyambutnya dengan mata berbinar-binar.Namun ternyata kenyataan tak semanis yang dibayangkan. Istrinya itu justru tengah terpejam, lelap dalam tidur siangnya, bahkan sampai tak menyadari kehadirannya.Lio tersenyum simpul, diletakkannya piring berisi
"Udah boleh dibuka belum, Mas?" tanya Lia sembari memegangi kain yang menutupi matanya."Belum, dikit lagi," sahut Lio yang memapahnya dari belakang. Diputarnya tubuh sang istri perlahan."Kamu ini ada-ada aja deh, Mas. Seharusnya kamu yang dapat surprise dari aku, karena kamu kan yang baru pulang dari rumah sakit. Ini kok kebalik, malah kamu yang kasih aku surprise," ungkap Lia sembari suaminya memutar-mutar tubuhnya."Udah ya, kamu nurut aja sama Mas," sahut Lio setelah mendapatkan posisi yang pas."Udah?""Udah, saya buka ya, tapi kamu tetap pejamkan mata sampai hitungan ke-tiga," ucap Lio mengarahkan."Okey."Perlahan Lio membuka kain yang menutupi mata istrinya, lalu mulai berhitung, "Satu ... Dua ... Tiga ... Buka mata kamu, Sayang!" titah Lio. Dan perlahan Lia mulai membuka matanya."Masya Allah," gumam Lia pelan. Ternyata suaminya itu membawanya ke sebuah Villa yang terletak di sebuah tebing, saat ini mereka tengah berada di area kolam renang yang terletak di balkon kamar, den
***Lio mengerjapkan matanya kala cahaya mentari mulai menyilaukan matanya, dan pemandangan pertama yang ia lihat saat matanya terbuka adalah seorang wanita cantik yang tengah tersenyum hangat padanya. Wanita yang belakangan selalu memenuhi pikiran dan hatinya.Lio membalas senyum istrinya, " Lia ..." ucapnya lirih. Ini kali pertama ia mengeluarkan suaranya setelah sadar dari koma, semalam, setelah dipindahkan ke ruang perawatan, Lio segera tertidur hingga pagi ini."Selamat pagi, Mas," sambut Lia dengan ucapan selamat pagi."Aku seneng deh, Mas, akhirnya pagi ini aku bisa melihat kamu membuka mata, setelah sebulan lamanya di setiap pagi aku terus mengharapkannya," ucap Lia penuh bahagia."Maaf, ya, Mas terlalu lama melewatkan waktu bersama kamu," ucap Lio sembari membelai pipi istrinya."Kamu nggak perlu minta maaf, Mas. Dengan kamu kembali sadar seperti ini, aku sudah sangat bahagia. Selamat ulang tahun, ya, Mas. Semua harapan
Satu bulan berlalu dan Lio masih belum sadar dari komanya. Selama itu pula Lia selalu berada di sisinya, melangitkan doa-doa agar keajaiban datang memberi kesembuhan pada suaminya, memohon pada Allah agar ia diberi kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki segala kesalahan yang sempat ia lakukan sebelumnya."Lio sangat beruntung memiliki kamu, Lia," ucap Arumi saat baru saja memasuki ruang rawat anaknya. Lia baru saja selesai sholat isya' saat mertuanya itu datang dan masuk ke ruangan."Eh, Bunda? Ayah mana?" sapa Lia sembari mencium punggung tangan mertuanya."Ayah masih ada urusan sebentar, bentar lagi juga kesini," jelas Arumi sembari mendekati putranya yang masih terbaring koma.Arumi meraih tangan Lio, kemudian mengecupnya beberapa kali, "Bagaimana kabarmu hari ini, Nak? Bunda selalu berharap kamu segera pulih, lihatlah, kita semua menunggumu, Lio. Kita semua merindukanmu.Lihatlah Lia, setiap hari istrimu itu selalu mengurusmu dengan begitu baik, bahkan sampai tak sempat mengur
Waktu menunjukkan pukul 07.00 pagi, namun Lio tak kunjung datang menjemput Lia. Sedari tadi Lia tampak gelisah, langkahnya tak berhenti mengitari rumah, mondar-mandir tak tentu arah."Tumben sih Mas Lio datang telat? Apa dia lupa ya kalau harus jemput aku? Mana dihubungi dari tadi susah banget lagi. Suka begini deh kalau lagi genting,'' gerutu Lia dalam hati. Walau begitu ia sangat mengkhawatirkan kondisi suaminya yang tak kunjung datang.Waktu terus berlalu, hingga menunjukkan pukul 07.30, tapi Lio tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Perasaan Lia semakin resah, disamping ia kepikiran suaminya, kini ia juga tak dapat terlalu lama menunggu, karena ia akan datang terlambat jika tidak segera berangkat.Segera Lia membuka aplikasi hijau, dan memesan sebuah taxi online. Namun tiba-tiba sebuah panggilan dari Vino masuk.Sejenak Lia ragu untuk mengangkatnya, mengingat suaminya yang begitu sensitif jika ia berhubungan dengan Vino. Lia sengaja mengabaikan panggilan itu dan lanjut memesan
Tok ... Tok ... Tok ..."Lia, buka pintunya, Nak!" Lia mendengar suara ketukan dari pintu kamarnya, perlahan ia berjalan dan membukanya."Ibu?" tanya Lia sedikit terkejut."Boleh Ibu masuk?""Boleh dong, Bu. Ayo," ucap Lia bersemangat."Ibu, Lia kangen banget ...," ucap Lia sesaat setelah duduk di tepi ranjang lalu memeluk ibunya."Ibu juga kangen sama, Lia," sahut Ibunya membalas pelukan. "Lia kenapa di sini? Bukankah seharusnya Lia ada di rumah suami Lia?" tanya Ibunya sembari perlahan melepas pelukannya." Lia kangen sama Ibu," jawab Lia sembari memandang wajah teduh Ibunya, wajah itu kini tampak semakin segar dan cantik, berbeda dengan yang Lia lihat saat terakhir bertemu."Ibu sudah sehat?" tanya Lia ingin mengetahui kondisi ibunya.Rani tersenyum, anak perempuannya itu tidak pernah berubah, selalu mencari pelukannya setiap kali menghadapi masalah, juga selalu memperhatikan kesehatannya."Ibu sehat, Nak. Ibu sudah tidak sakit lagi, seperti yang kamu lihat," jelas Rani pada putr