Share

Bab 3

Mohon bijak dalam memilih bacaan Rate 21+++

3. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku.

Kenapa Suamiku Kedua Kakinya Tak Berpijak.

Penulis : Lusia Sudarti.

Part 3

"Abang merasa tak berguna menjadi seorang Suami dan Bapak!" Bang Hardi meremas jemari tanganku. Aku menggenggamnya erat untuk memberikan sedikit kekuatan kepadanya

Bang Hardi akhir-akhir ini selalu melamun, bahkan ia sering kali bangun tengah malam untuk melakukan sholat malam, dan setelahnya ia tak langsung istirahat, ia berzikir begitu lama dan panjang.

"Dek, Abang ingin menghabiskan waktu Abang bersama kalian, ayo kita kedepan sambil membantu Fandi belajar," Bang Hardi menarik lembut tanganku.

"Abang duluan, Adek mau mencuci piring sebentar," tolakku dengan halus, aku tersenyum manis untuknya.

"Oh ya sudah. Abang tunggu di depan ya!" ujar Bang Hardi sembari mencium pipiku, setelah itu ia meninggalkan aku di dapur seorang diri.

Aku tertegun menerima perlakuan Bang Hardi, aku menatap punggungnya yang berguncang saat melangkah.

Tapi tunggu ... ada yang aneh dengannya, kenapa kedua kakinya seolah tak menapak lantai semen yang ia pijak ... aku mengucek kedua bola mataku.

Kembali aku melihat kearah kedua kakinya, namun tetap sama seperti tadi.

Bang Hardi telah menghilang di balik almari pakaian yang menjadi sekat antara dapur dan ruang tengah. 'Ah sudahlah mungkin hanya perasaanku saja, atau aku sedang berhalusinasi," gumamku.

Aku sadar dari lamunanku dan gegas mencuci piring bekas makan lalu mengelap meja hingga bersih. Aku menyusul Suami dan Anak-anakku keruang tengah, sambil membawa secangkir kopi manis untuknya, aku mendengar mereka bercanda dengan kedua Anak kami.

"Kok Emak gak diajak ketawa sih!" ujarku sembari menaruh segelas kopi di atas meja, lalu bergabung bersama mereka.

"Ini Mak, Abang kan cerita kalo di sekolah Abang ada guru baru yang sangat cantik, dan Ibu guru itu sangat baik sama Abang," sahut Fandi bercerita dengan riang.

"Terus Bapak minta di kenalin sama guru baru Abang Mak. Kata Bapak jangan bilang sama Emak," Fandi senyum-senyum menatap Bang Hardi yang juga mengulum senyum sambil menatapku.

"Emmm gitu ya!" aku menggelitik pinggangnya, Bang Hardi tertawa terbahak-bahak menerima gelitikan dariku.

"Ampun Dek, Abang cuma bercanda kok hehehe."

Aku bersungut kepadanya.

Kurnia dan Fandi terkekeh melihat kami berdua.

Kemudian aku mengalihkan pembicaraan kearah Fandi.

"Oh ya. Siapa namanya?" tanyaku sambil memasang wajah penasaran.

"Eemm, namanya Ibu Rika," jawab Fandi.

"Namanya cantik ya?" pujiku dengan tulus.

"Nama Emak juga cantik seperti Emak," sahut Fandi, ia mengusap lembut pipiku yang membuatku menjadi terharu.

"Iya, Emak adalah wanita tercantik yang pernah Bapak temui," ujar Bang Hardi yang membuatku menjadi salah tingkah.

Wajahku pasti mirip udang goreng hehehe.

"Bapak juga ganteng kok," aku mengamati wajah Bang Hardi yang nampak bersinar, semakin terlihat memesona.

"Pastinya gitu lho," sahutnya memamerkan deretan giginya yang rapi dan putih.

"Nia, sini Nak ....!" panggilku ketika melihat bungsuku nampak mengantuk.

Ia pun beringsut mendekatiku.

"Adek ngantuk Mak," katanya dengan pelan, kedua netranya pun sayu.

"Anak Bapak udah ngantuk ya."

Bang Hardi mengusap lembut pucuk kepala Kurnia, yang telah memejamkan mata.

"Abang udah belajarnya?" tanyaku beralih menatap Fandi yang sedang memasukkan bukunya kedalam tas yang telah terdapat banyak jahitan disana-sini.

"Iya Mak. Bapak tadi bantuin PR Abang."

Aku mengangguk dan tersenyum kepadanya.

"Mak, Pak. Abang juga udah ngantuk, hooaamm," ujar Fandi seraya menguap lebar dan kedua bola matanya berair, menandakan ia betul-betul mengantuk.

"Ayo Bapak temani bobo!" Bang Hardi menggenggam jemari Fandi lalu menuntunnya memasuki kamar mereka, sementara aku mengangkat Kurnia yang telah pulas dalam tidurnya.

"Fandi udah bobo Bang?" tanyaku sambil merebahkan Kurnia di sisi Fandi dan kutaruh bantal guling diantara mereka.

"Ssstttt ... Bang Hardi memberikan kode agar aku tak bicara, takut mengganggu Anak-anak tertidur.

Aku dan Bang Hardi keluar dengan berjingkat, lalu menutup pintu dengan perlahan.

Kami menuju ketempat semula, Bang Hardi menyesap kopinya yang telah menghangat.

"Kita keteras yuk dek!" ajak Bang Hardi sambil menggamit lenganku.

"Ayo Bang."

Kami melangkah perlahan menuju teras yang terdapat bale-bale bambu tempat biasa kami bercengkrama.

Bale-bale yang di bentuk seperti kursi, namun tetap bisa untuk rebahan atau sekedar bermalas-malasan.

"Sini Dek," Bang Hardi menepuk sebelah tangannya untuk bersandar. Aku mengikuti permintaannya. Kami menatap langit yang nampak cerah, karena bertaburan bintang yang gemerlap.

"Bang, Adek ingin menjadi bintang yang selalu bersinar, tak perduli meskipun tertutup awan dan sinarnya menghilang karena sinar rembulan yang meneranginya," ujarku sambil tersenyum.

"Dek, Abang akan selalu mencintaimu dan Anak-anak. Meskipun Abang kelak tak akan lagi bersama kalian," ujar Bang Hardi lirih, aku memalingkan wajah dan menatapnya. Bang Hardi menatap langit yang begitu indah malam ini.

Aku mengusap wajahnya yang semakin membuatku menggilainya.

"Abang bicara apa sih. Abang semakin bicara ngelantur aja," seruku.

Jemariku diraihnya, lalu diciumnya perlahan.

Kemudian ia memelukku dengan sangat erat, hingga aku kesulitan untuk bernafas.

"Bang, susah bernafas nih," aku berontak sambil sedikit cemberut.

Bukannya dilepaskan, Bang Hardi menghujani wajahku dengan kecvpan bertubi-tubi.

Semakin lama semakin memanas, aku merasakan jantungku berdetak sedikit lebih kencang, menerima semua sentuhan-sentuhan yang membuat seluruh urat nadiku bergetar.

"Dek, kita masuk yuk," bisiknya ditelingaku, nafasnya memburu.

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Kegiatan panas yang menuntut sebuah pelampiasan berlanjut di dalam kamar yang sangat sederhana.

Rintihan demi rintihan yang berpadu dengan kenikmatan pernikahan dalam penyatuan berlangsungnya secara berulang-ulang.

Bang Hardi seolah tak merasa lelah.

Aku hampir kewalahan dibuatnya.

Menjelang subuh Bang Hardi terkulai disisiku, keringat membanjiri tubuhnya juga tubuhku.

"Terimakasih Sayang, Abang sangat mencintaimu lebih dari hidup Abang sendiri," ucapnya sambil mencium keningku lalu memelukku erat di bawah selimut.

"Adek juga mencintai Abang. Hanya Abang dan Anak-anak yang Adek punya saat ini," aku membenamkan wajahku diceruk lehernya.

"Ssstt, jangan nangis Sayang. Jangan membuat hati Abang menjadi sedih. Ayo istirahat karena hari hampir pagi," Bang Hardi membelai rambutku yang terurai hingga pinggang.

Aku mencoba memejamkan mata yang tiba-tiba tak merasa mengantuk. Fikiranku berkelana, tak merasakan ketenangan sedikitpun.

Aku merasakan Bang Hardi akan meninggalkan aku untuk selamanya.

Gema adzan membuatku terbangun, perasaan aku belum terlelap. Tubuhku serasa remuk.

Terbayang pergumulan dengan Bang Hardi semalam, ia begitu perkasa malam ini. Aku malu jika mengingatnya.

Kubelai wajahnya yang nampak sekali jejak letihnya. Ia menggeliat lalu membuka kedua netranya. "Udah subuh Dek," tanyanya sambil mengulas senyum.

"Iya Bang," jawabku.

Aku memutar tubuh hendak meraih pakaian yang berserakan di lantai, namun tangan kekarnya menarikku dalam pelukannya.

"Sekali lagi yuk Dek," bisiknya ditelingaku, aku meremang mendengarnya.

"Udah subuh, ayo sholat yuk Bang," tolakku halus.

"Sebentaaarrr aja Dek," ujarnya.

Aku melihat pergerakan juniornya di bawah sana.

Jantungku berdetak sangat kencang. Dengan satu gerakan Bang Hardi telah mengunci tubuhku yang kini telah berada dalam Kungkungannya.

D3sahan demi d3sahan mengiringi aktivitas kami, hingga tubuh Bang Hardi kembali terkulai disisiku. Ia tersenyum puas sambil menatapku.

"Adek hebat, mampu membuat Abang tak berdaya," bisiknya. Seketika hawa hangat mengaliri wajahku, aku memalingkan wajah dengan senyum yang aku tahan.

"Ayo Bang mandi lalu sholat," ajakku.

Kami berdua mandi bersama dan entah Bang Hardi mendapatkan kekuatan dari mana ia seolah tak merasakan lelah, di kamar mandi pun ia menginginkannya kembali.

Setelah benar-benar merasa lelah kami pun mengakhiri semua lalu melakukan sholat berjamaah.

Hari ini adalah hari libur.

Anak-anak sengaja tak kubangunkan, biarlah mereka menikmati hari ini untuk bangun sedikit siang.

Aku selesai menyiapkan sarapan ditemani Bang Hardi sambil menikmati secangkir kopi.

"Sebentar Bang, mau bangunin Anak-anak dulu!" aku bangkit tanpa menunggu jawaban darinya.

Dengan rambut yang masih terlilit handuk aku membangunkan Anak-anak untuk sarapan.

"Abang kerja di mana hari ini?" tanyaku ketika kami menyantap nasi goreng buatanku.

"Di sawah Juragan Darta, Dek," jawabnya sambil menikmati sepiring nasi goreng.

"Oh iya Bang."

"Mak, nasi gorengnya enak banget," seru Kurnia. Aku menatapnya dengan tersenyum.

"Jelas dong, masakan Emak selalu juara," sahut Fandi.

"Betul sekali. Seandainya kita punya modal, Emak pasti akan Bapak minta membuka warung nasi. Masakan Emak kalian, meskipun sederhana namun terasa nikmat," puji Bang Hardi membuatku tersipu malu.

"Ah Abang bisa aja."

"Ya udah Abang berangkat dulu ya!" pamit Bang Hardi, ia mengulurkan tangan untuk kucium seperti biasa, kemudian ia beralih kepada Anak-anaknya.

"Assalamu'alaikum."

"Waalaikum salam, hati-hati Bang," jawabku.

Ia tersenyum dan menatapku sangat lama.

Kemudian ia melangkah dengan langkah sedikit berat.

Aku tertegun menatap punggungnya yang perlahan menjauh.

'Apa sebenarnya yang akan terjadi dengan Bang Hardi?" batinku berbisik.

Seperti biasa aku bekerja sebagai buruh cuci dan setrika dari rumah kerumah.

Hari ini aku kerumah juragan Darta untuk mencuci pakaian lalu menyetrika.

"Assalamu'alaikum Bu," aku mengucapkan salam saat telah berada di teras kediaman Juragan Darta yang terbilang megah.

"Waalaikum salam. Oh kamu Num," sapanya ramah sambil mempersilahkan aku masuk. Istri Juragan Darta berwajah ayu, meskipun usianya telah menua.

"Iya Juragan."

Aku memasuki ruang cuci dan setrika yang terletak di samping dapur. Dengan cekatan aku merendam pakaian kotor dalam mesin cuci.

Sembari menunggu beberapa menit, aku membalik pakaian yang akan disetrika.

"Num, hari ini Suami kamu yang bekerja. Pardi gak masuk karena harus mengantarkan istrinya mau melahirkan," ujar Juragan Sekar, istri dari Juragan Darta.

"Iya Juragan, tadi pagi Bang Hardi bilang kalo hari ini bekerja di sawah Juragan. Tetapi bang Hardi tak bercerita apa pun tentang Istrinya Pardi!" sahutku sambil memutar mesin cuci.

"Num, kamu itu sebetulnya berwajah cantik lho, sayangnya tak terawat," ujar juragan Sekar sembari menatapku dari ujung kaki hingga ujung rambut.

"Ah enggak kok Juragan, wajah saya pas-pasan aja kok," ujarkan merendah.

"Orang yang menilai Num," debatnya. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Juragan Sekar. Aku masih tetap dengan pekerjaanku.

"Num, jangan tersinggung ya. Kamu mau gak saya kasih baju-baju Andri waktu seusia Fandi Anak kamu, bukan apa-apa Num. Saya sayang kalo pakaian bekas Andi dibuang karena masih sangat bagus," ujar beliau.

Aku menatap Juragan Sekar dengan rasa bahagia, mau Juragan," jawabku spontan, aku merasa bahagia karena Fandi sudah gak punya pakaian layak.

"Alhamdulilah. Nanti saya pilih dulu ya Num!" ujar Juragan Sekar sembari menuju keluar dari ruang setrika.

Hatiku amat senang mendengarnya. Sudah lama sekali aku tak pernah mampu untuk membelikan pakaian baru untuk Anak-anakku.

Dengan cekatan aku menyelesaikan pekerjaanku. Selepas dari sini aku harus kerumah Juragan Agung. Karena istri juragan Agung yang terkenal judes.

(Bersambung)

novel baruku bundsay🥰 jangan lupa dukungannya ya??

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status