Mohon bijak dalam memilih bacaan Rate 21+++
3. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Kenapa Suamiku Kedua Kakinya Tak Berpijak. Penulis : Lusia Sudarti. Part 3 "Abang merasa tak berguna menjadi seorang Suami dan Bapak!" Bang Hardi meremas jemari tanganku. Aku menggenggamnya erat untuk memberikan sedikit kekuatan kepadanya Bang Hardi akhir-akhir ini selalu melamun, bahkan ia sering kali bangun tengah malam untuk melakukan sholat malam, dan setelahnya ia tak langsung istirahat, ia berzikir begitu lama dan panjang. "Dek, Abang ingin menghabiskan waktu Abang bersama kalian, ayo kita kedepan sambil membantu Fandi belajar," Bang Hardi menarik lembut tanganku. "Abang duluan, Adek mau mencuci piring sebentar," tolakku dengan halus, aku tersenyum manis untuknya. "Oh ya sudah. Abang tunggu di depan ya!" ujar Bang Hardi sembari mencium pipiku, setelah itu ia meninggalkan aku di dapur seorang diri. Aku tertegun menerima perlakuan Bang Hardi, aku menatap punggungnya yang berguncang saat melangkah. Tapi tunggu ... ada yang aneh dengannya, kenapa kedua kakinya seolah tak menapak lantai semen yang ia pijak ... aku mengucek kedua bola mataku. Kembali aku melihat kearah kedua kakinya, namun tetap sama seperti tadi. Bang Hardi telah menghilang di balik almari pakaian yang menjadi sekat antara dapur dan ruang tengah. 'Ah sudahlah mungkin hanya perasaanku saja, atau aku sedang berhalusinasi," gumamku. Aku sadar dari lamunanku dan gegas mencuci piring bekas makan lalu mengelap meja hingga bersih. Aku menyusul Suami dan Anak-anakku keruang tengah, sambil membawa secangkir kopi manis untuknya, aku mendengar mereka bercanda dengan kedua Anak kami. "Kok Emak gak diajak ketawa sih!" ujarku sembari menaruh segelas kopi di atas meja, lalu bergabung bersama mereka. "Ini Mak, Abang kan cerita kalo di sekolah Abang ada guru baru yang sangat cantik, dan Ibu guru itu sangat baik sama Abang," sahut Fandi bercerita dengan riang. "Terus Bapak minta di kenalin sama guru baru Abang Mak. Kata Bapak jangan bilang sama Emak," Fandi senyum-senyum menatap Bang Hardi yang juga mengulum senyum sambil menatapku. "Emmm gitu ya!" aku menggelitik pinggangnya, Bang Hardi tertawa terbahak-bahak menerima gelitikan dariku. "Ampun Dek, Abang cuma bercanda kok hehehe." Aku bersungut kepadanya. Kurnia dan Fandi terkekeh melihat kami berdua. Kemudian aku mengalihkan pembicaraan kearah Fandi. "Oh ya. Siapa namanya?" tanyaku sambil memasang wajah penasaran. "Eemm, namanya Ibu Rika," jawab Fandi. "Namanya cantik ya?" pujiku dengan tulus. "Nama Emak juga cantik seperti Emak," sahut Fandi, ia mengusap lembut pipiku yang membuatku menjadi terharu. "Iya, Emak adalah wanita tercantik yang pernah Bapak temui," ujar Bang Hardi yang membuatku menjadi salah tingkah. Wajahku pasti mirip udang goreng hehehe. "Bapak juga ganteng kok," aku mengamati wajah Bang Hardi yang nampak bersinar, semakin terlihat memesona. "Pastinya gitu lho," sahutnya memamerkan deretan giginya yang rapi dan putih. "Nia, sini Nak ....!" panggilku ketika melihat bungsuku nampak mengantuk. Ia pun beringsut mendekatiku. "Adek ngantuk Mak," katanya dengan pelan, kedua netranya pun sayu. "Anak Bapak udah ngantuk ya." Bang Hardi mengusap lembut pucuk kepala Kurnia, yang telah memejamkan mata. "Abang udah belajarnya?" tanyaku beralih menatap Fandi yang sedang memasukkan bukunya kedalam tas yang telah terdapat banyak jahitan disana-sini. "Iya Mak. Bapak tadi bantuin PR Abang." Aku mengangguk dan tersenyum kepadanya. "Mak, Pak. Abang juga udah ngantuk, hooaamm," ujar Fandi seraya menguap lebar dan kedua bola matanya berair, menandakan ia betul-betul mengantuk. "Ayo Bapak temani bobo!" Bang Hardi menggenggam jemari Fandi lalu menuntunnya memasuki kamar mereka, sementara aku mengangkat Kurnia yang telah pulas dalam tidurnya. "Fandi udah bobo Bang?" tanyaku sambil merebahkan Kurnia di sisi Fandi dan kutaruh bantal guling diantara mereka. "Ssstttt ... Bang Hardi memberikan kode agar aku tak bicara, takut mengganggu Anak-anak tertidur. Aku dan Bang Hardi keluar dengan berjingkat, lalu menutup pintu dengan perlahan. Kami menuju ketempat semula, Bang Hardi menyesap kopinya yang telah menghangat. "Kita keteras yuk dek!" ajak Bang Hardi sambil menggamit lenganku. "Ayo Bang." Kami melangkah perlahan menuju teras yang terdapat bale-bale bambu tempat biasa kami bercengkrama. Bale-bale yang di bentuk seperti kursi, namun tetap bisa untuk rebahan atau sekedar bermalas-malasan. "Sini Dek," Bang Hardi menepuk sebelah tangannya untuk bersandar. Aku mengikuti permintaannya. Kami menatap langit yang nampak cerah, karena bertaburan bintang yang gemerlap. "Bang, Adek ingin menjadi bintang yang selalu bersinar, tak perduli meskipun tertutup awan dan sinarnya menghilang karena sinar rembulan yang meneranginya," ujarku sambil tersenyum. "Dek, Abang akan selalu mencintaimu dan Anak-anak. Meskipun Abang kelak tak akan lagi bersama kalian," ujar Bang Hardi lirih, aku memalingkan wajah dan menatapnya. Bang Hardi menatap langit yang begitu indah malam ini. Aku mengusap wajahnya yang semakin membuatku menggilainya. "Abang bicara apa sih. Abang semakin bicara ngelantur aja," seruku. Jemariku diraihnya, lalu diciumnya perlahan. Kemudian ia memelukku dengan sangat erat, hingga aku kesulitan untuk bernafas. "Bang, susah bernafas nih," aku berontak sambil sedikit cemberut. Bukannya dilepaskan, Bang Hardi menghujani wajahku dengan kecvpan bertubi-tubi. Semakin lama semakin memanas, aku merasakan jantungku berdetak sedikit lebih kencang, menerima semua sentuhan-sentuhan yang membuat seluruh urat nadiku bergetar. "Dek, kita masuk yuk," bisiknya ditelingaku, nafasnya memburu. 🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷 Kegiatan panas yang menuntut sebuah pelampiasan berlanjut di dalam kamar yang sangat sederhana. Rintihan demi rintihan yang berpadu dengan kenikmatan pernikahan dalam penyatuan berlangsungnya secara berulang-ulang. Bang Hardi seolah tak merasa lelah. Aku hampir kewalahan dibuatnya. Menjelang subuh Bang Hardi terkulai disisiku, keringat membanjiri tubuhnya juga tubuhku. "Terimakasih Sayang, Abang sangat mencintaimu lebih dari hidup Abang sendiri," ucapnya sambil mencium keningku lalu memelukku erat di bawah selimut. "Adek juga mencintai Abang. Hanya Abang dan Anak-anak yang Adek punya saat ini," aku membenamkan wajahku diceruk lehernya. "Ssstt, jangan nangis Sayang. Jangan membuat hati Abang menjadi sedih. Ayo istirahat karena hari hampir pagi," Bang Hardi membelai rambutku yang terurai hingga pinggang. Aku mencoba memejamkan mata yang tiba-tiba tak merasa mengantuk. Fikiranku berkelana, tak merasakan ketenangan sedikitpun. Aku merasakan Bang Hardi akan meninggalkan aku untuk selamanya. Gema adzan membuatku terbangun, perasaan aku belum terlelap. Tubuhku serasa remuk. Terbayang pergumulan dengan Bang Hardi semalam, ia begitu perkasa malam ini. Aku malu jika mengingatnya. Kubelai wajahnya yang nampak sekali jejak letihnya. Ia menggeliat lalu membuka kedua netranya. "Udah subuh Dek," tanyanya sambil mengulas senyum. "Iya Bang," jawabku. Aku memutar tubuh hendak meraih pakaian yang berserakan di lantai, namun tangan kekarnya menarikku dalam pelukannya. "Sekali lagi yuk Dek," bisiknya ditelingaku, aku meremang mendengarnya. "Udah subuh, ayo sholat yuk Bang," tolakku halus. "Sebentaaarrr aja Dek," ujarnya. Aku melihat pergerakan juniornya di bawah sana. Jantungku berdetak sangat kencang. Dengan satu gerakan Bang Hardi telah mengunci tubuhku yang kini telah berada dalam Kungkungannya. D3sahan demi d3sahan mengiringi aktivitas kami, hingga tubuh Bang Hardi kembali terkulai disisiku. Ia tersenyum puas sambil menatapku. "Adek hebat, mampu membuat Abang tak berdaya," bisiknya. Seketika hawa hangat mengaliri wajahku, aku memalingkan wajah dengan senyum yang aku tahan. "Ayo Bang mandi lalu sholat," ajakku. Kami berdua mandi bersama dan entah Bang Hardi mendapatkan kekuatan dari mana ia seolah tak merasakan lelah, di kamar mandi pun ia menginginkannya kembali. Setelah benar-benar merasa lelah kami pun mengakhiri semua lalu melakukan sholat berjamaah. Hari ini adalah hari libur. Anak-anak sengaja tak kubangunkan, biarlah mereka menikmati hari ini untuk bangun sedikit siang. Aku selesai menyiapkan sarapan ditemani Bang Hardi sambil menikmati secangkir kopi. "Sebentar Bang, mau bangunin Anak-anak dulu!" aku bangkit tanpa menunggu jawaban darinya. Dengan rambut yang masih terlilit handuk aku membangunkan Anak-anak untuk sarapan. "Abang kerja di mana hari ini?" tanyaku ketika kami menyantap nasi goreng buatanku. "Di sawah Juragan Darta, Dek," jawabnya sambil menikmati sepiring nasi goreng. "Oh iya Bang." "Mak, nasi gorengnya enak banget," seru Kurnia. Aku menatapnya dengan tersenyum. "Jelas dong, masakan Emak selalu juara," sahut Fandi. "Betul sekali. Seandainya kita punya modal, Emak pasti akan Bapak minta membuka warung nasi. Masakan Emak kalian, meskipun sederhana namun terasa nikmat," puji Bang Hardi membuatku tersipu malu. "Ah Abang bisa aja." "Ya udah Abang berangkat dulu ya!" pamit Bang Hardi, ia mengulurkan tangan untuk kucium seperti biasa, kemudian ia beralih kepada Anak-anaknya. "Assalamu'alaikum." "Waalaikum salam, hati-hati Bang," jawabku. Ia tersenyum dan menatapku sangat lama. Kemudian ia melangkah dengan langkah sedikit berat. Aku tertegun menatap punggungnya yang perlahan menjauh. 'Apa sebenarnya yang akan terjadi dengan Bang Hardi?" batinku berbisik. Seperti biasa aku bekerja sebagai buruh cuci dan setrika dari rumah kerumah. Hari ini aku kerumah juragan Darta untuk mencuci pakaian lalu menyetrika. "Assalamu'alaikum Bu," aku mengucapkan salam saat telah berada di teras kediaman Juragan Darta yang terbilang megah. "Waalaikum salam. Oh kamu Num," sapanya ramah sambil mempersilahkan aku masuk. Istri Juragan Darta berwajah ayu, meskipun usianya telah menua. "Iya Juragan." Aku memasuki ruang cuci dan setrika yang terletak di samping dapur. Dengan cekatan aku merendam pakaian kotor dalam mesin cuci. Sembari menunggu beberapa menit, aku membalik pakaian yang akan disetrika. "Num, hari ini Suami kamu yang bekerja. Pardi gak masuk karena harus mengantarkan istrinya mau melahirkan," ujar Juragan Sekar, istri dari Juragan Darta. "Iya Juragan, tadi pagi Bang Hardi bilang kalo hari ini bekerja di sawah Juragan. Tetapi bang Hardi tak bercerita apa pun tentang Istrinya Pardi!" sahutku sambil memutar mesin cuci. "Num, kamu itu sebetulnya berwajah cantik lho, sayangnya tak terawat," ujar juragan Sekar sembari menatapku dari ujung kaki hingga ujung rambut. "Ah enggak kok Juragan, wajah saya pas-pasan aja kok," ujarkan merendah. "Orang yang menilai Num," debatnya. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Juragan Sekar. Aku masih tetap dengan pekerjaanku. "Num, jangan tersinggung ya. Kamu mau gak saya kasih baju-baju Andri waktu seusia Fandi Anak kamu, bukan apa-apa Num. Saya sayang kalo pakaian bekas Andi dibuang karena masih sangat bagus," ujar beliau. Aku menatap Juragan Sekar dengan rasa bahagia, mau Juragan," jawabku spontan, aku merasa bahagia karena Fandi sudah gak punya pakaian layak. "Alhamdulilah. Nanti saya pilih dulu ya Num!" ujar Juragan Sekar sembari menuju keluar dari ruang setrika. Hatiku amat senang mendengarnya. Sudah lama sekali aku tak pernah mampu untuk membelikan pakaian baru untuk Anak-anakku. Dengan cekatan aku menyelesaikan pekerjaanku. Selepas dari sini aku harus kerumah Juragan Agung. Karena istri juragan Agung yang terkenal judes. (Bersambung) novel baruku bundsay🥰 jangan lupa dukungannya ya??4. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku Mencoba Untuk Tegar Penulis : Lusia Sudarti Part 4 Dengan cekatan aku menyelesaikan pekerjaanku. Selepas dari sini aku harus kerumah Juragan Agung. Karena istri Juragan Agung yang terkenal judes. 🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀 "Num, ini baju untuk Fandi Anakmu, untuk Kurnia gak ada karena Anak saya cowok!" ujar Juragan Sekar sembari menaruh sekantong plastik yang lumayan besar. Beliau menyunggingkan senyum ramah yang menyejukkan hatiku. "Terima kasih Juragan. Anak saya pasti suka ...!" jawabku sambil meraih sepotong kaos putih yang berbahan tebal dan bagus. "Maaf ya Num, jangan berprasangka buruk kepada saya karena memberi barang bekas, bukan saya menghina keluargamu!" juragan Sekar melipat kedua tangannya. "Enggak apa Juragan," jawabku tersenyum. "Justru saya sangat berterima kasih, Fandi pasti suka sekali," imbuhku lagi. "Oh iya Num, ini ada sayuran segar dan sayur mateng, dari pada gak ada yang makan lebih baik buat kamu aja. Karena nant
5. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku Penulis : Lusia Sudarti Part 5 Aku segera menyelesaikan semua pekerjaanku, entah mengapa hati dan perasaanku akhir-akhir ini merasa tak tenang. Ingin aku segera pulang untuk menemui Bang Hardi suamiku. 🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹 "Itu Emak Pak ...!" teriakan Fandi menyambut kedatanganku, ia berlarian kearahku bersama Kurnia dan Bang Hardi menyusul di belakang mereka. Senyum ceria Anak-anakku menjadi pengobat lelah yang aku rasakan saat ini. Bang Fandi tersenyum mesra ketika menatapku. "Capek dek ...!" Bang Hardi menyodorkan air minum kepadaku. "Terimakasih Bang!" aku menerima gelas berisi air lalu aku sesap hingga tandas. "Hari ini terik sekali Bang." "Mak, ini baju untuk Fandi?" seru Fandi sembari mengeluarkan isi plastik yang tadi aku taruh sepulang dari rumah Juragan Sekar. "Iya Sayang, itu buat Fandi. Itu pemberian Juragan Sekar. Untuk Kurnia gak ada, nanti Emak ngumpulin uang untuk beli baju baru buat kalian ya?"
6. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Mendapatkan Pekerjaan. Penulis : Lusia Sudarti Part 6"Bang ...," aku tak mampu lagi mengucapkan apa pun lagi. 🥀🥀🥀🥀🥀🥀Malam menggantikan siang yang begitu terik, rembulan menyembul menampakkan diri dengan malu-malu. Ia mengintip dari sela-sela awan putih yang berarak mengikuti arah angin membawanya. Aku termenung seorang diri, sedang Bang Hardi menemani Anaknya tidur di dalam kamar mereka. "Assalamualaikum." Aku terperanjat saat ada seseorang bertamu kegubukku. "Waalaikumsalam. Eh Juragan Agung, silahkan duduk!" ujarku sembari beranjak untuk mempersilahkan Juragan Agung duduk diatas bale-bale. "Terima kasih Num. Oh iya, Hardinya ada?" tanyanya sambil menatapku dengan tatapan liar, ia memindai tubuhku dengan tatapan kedua bola matanya.Aku pun menjadi bergidik karenanya. Segera aku menjauh dari bale-bale. "Ada Juragan, sedang menemani Anak-anak tidur di kamarnya. Kalau boleh tau, ada keperluan apa hingga Juragan datang kemari?"
7. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Bang Hardi Pamit Untuk Bekerja. Penulis : Lusia SudartiPart 7Ia melambaikan tangannya, dikedua netranya nampak genangan air mata yang siap tumpah. "Bapaakk ... jangan pergiii, jangan tinggalin Adeekk ...!" Kurnia berteriak histeris sembari mengejar Bang Hardi, ia berlari sangat kencang setelah terlepas dari rengkuhanku. "Adeek, jangan dek. Bapak kerja Sayang!" Fandi berteriak seraya mengejar sang Adik, saat itu kesadaranku seolah menghilang. Aku berteriak saat telah menyadari kedua Anakku berlarian. "Adeeek ..!" teriakku dan segera menyusul kedua Anakku yang telah berdiri di tepi jalan raya sembari menangis menatap kepergian sang Bapak, yaitu Suamiku yang telah menjauh bersama mobil pick up yang menjemputnya. "Sayang ...!" aku pun mendekap mereka berdua dengan tangis yang tak dapat lagi aku bendung. "Mak, Bapak pergi meninggalkan kita Mak," isak Kurnia semakin membuat hatiku begitu pilu. Aku mengangguk dan mencoba tegar untuk memberi
8. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Lauk Nasi. Bertemu Mantan. Penulis : Lusia Sudarti Part 8 "Tunggu Num ..." Aku tak menghiraukan panggilannya.Karena aku tak ingin orang salah menilai yang kelak akan menimbulkan fitnah.Belum lagi aku harus segera bekerja. Aku setengah berlari untuk menghindari Indra, ia adalah teman semasa SMA dan ia adalah seseorang yang pernah hadir dalam hatiku. Kebaikannya tak pernah pudar meskipun aku dan dia telah mengakhiri hubungan diantara kami. "Eh Num kok jalan kamu kayak dikejar se*an gitu sih!" suara Siti sahabatku satu-satunya tiba-tiba muncul dihadapanku.Aku yang melangkah tergesa sangat terkejut di buatnya. "Astagfirullah Siti!" pekikku, aku sampai terlonjak karenanya. "Lho kok aku!" sungutnya sambil mengarahkan jari telunjuk kedadanya. "Habis kamu ngagetin aku," ujarku tak mau kalah. "Yee, kamunya yang gak fokus kali." "Oh maafkanlah aku. Sekarang aku mau melanjutkan perjalananku menuju ke kediaman Ani. Aku sudah terlambat." Aku menin
9. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Satu Minggu Berlalu, Namun Belum Ada Kabar Dari Bang Hardi. Penulis : Lusia Sudarti Part 9Beruntung tempat tinggal Juragan Darta tak terlalu jauh, hingga aku tak berlama-lama di bawah teriknya matahari. 🥀🥀🥀🥀🥀🥀"Assalamualaikum," aku berdiri di teras Juragan Darta sambil menunggu pemilik rumah membuka pintu, peluhku masih terus membanjiri wajah dan tubuhku. Ceklek! "Waalaikumsalam, kamu Num.""Iya Juragan!" jawabku sambil mengekori langkahnya. Aku langsung menuju ruang pakaian dan segera melakukan pekerjaanku hingga selesai.Tak membutuhkan waktu lama aku mengerjakan semua, hanya butuh 40 menit untuk menyelesaikannya. Entah mengapa, hatiku benar-benar tak tenang dan kepikiran Bang Hardi yang baru saja merantau untuk bekerja di luar kota kecil kami, tepatnya di pinggiran kota. Desa Kali Sari ....!Aku pun tak ingin membuang waktu lama."Num, kilat sekali kamu bekerja. Dan sepertinya kamu seperti sedang memikirkan sesuatu?" tanya j
10. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Penderitaanku. Penulis : Lusia Sudarti Part 10"Num, keluar ...." Brakk! Dubraakk! Braakk! Suara pintu digedor-gedor dan digebrak-gebrak dengan keras. Ceklek! "Heh Num ... bayar hutang kamu! Enak saja kamu gak mau bayar-bayar! Emang modalku dari daun!" hardik bude Sinta sembari berdiri dengan angkuh sembari mengipas wajahnya. "Duduk dulu bude, gak baik bicara sambil berdiri!" aku mengajak bude Sinta untuk duduk di bale bambu. "Halah, gak sudi aku duduk di bale bambu, pastinya kotor dan penuh kuman hiiyyy," bude Sinta mencemooh tempat tinggalku. Aku hanya mampu beristigfar dalam hati. "Eh Hanum, gak usah berbelit-belit kamu! Cepat bayar hutang mu! Enak saja gak mau bayar hutang!" cibirnya sambil menengadahkan tangan di depan wajahku. "Maaf bude saya belum punya uang sekarang. Bang Hardi pun belum ada kabarnya, sedangkan saya hanya bekerja disatu orang," jawabku lirih sembari menunduk. "Halah alasan aja kamu! Mana sini biar aku y
11. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Juragan Agung melecehkan Aku. Penulis : Lusia Sudarti Part 11 Aku hanya pasrah dengan semua yang telah ditakdirkan untukku. "Ampun Juragan, Jangan lakukan itu Juragan! Jangaaaan .... !" Dengan kasar dan tanpa perasaan Juragan Agung menggagahiku. Hidupku hancur berkeping-keping, duniaku runtuh seketika. Air mataku tak terbendung lagi. Aku kotor, aku hina ....!Manusia laknat itu tertawa puas melihatku tak berdaya. "Heh jal4n9 ... awas jika kamu berani mengadu! Aku pastikan hidupmu akan lebih menderita dari ini!" ancamnya sembari mengenakan celananya kembali, lalu melepaskan ikatan tanganku dan melenggang santai meninggalkan kamarku. "Bunuh saja aku b4j1ng4n ... ! Hidupku kini telah hancur. Tak ada lagi yang tersisa dalam hidupku ini ... !" tubuhku luruh kembali. Manusia iblis itu tak menggubris semua ucapanku. Brraaaakk! Ia berlalu sembari menutup pintu kamarku dengan keras. Aku terlonjak karena terkejut. 'Oh Tuhan, apakah salah d
85. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku.Mendapat Kabar Tentang Meninggalnya Kedua Mertuaku.Penulis : Lusia Sudarti Part 85"Iya Mbak! Kalau begitu saya ijin kembali bekerja," jawab Mbok Narti sembari tersenyum.🥀🥀🥀🥀🥀🥀"Baik! Saya akan segera menuju ke lokasi target, amankan lokasi!" Mas Indra sedang berbicara melalui headsetnya. "Sayang, Mas tinggal dulu ya? Pak saya ada tugas menangkap anggota pembelot. Titip keluarga saya ya Pak?" pamit Mas Indra kepada kami. Disaat kami sedang bersantai diruang tamu, setelah sarapan pagi. Bapak mengangguk. "Iya Nak, hati-hati selalu ya?" jawabnya. Mas Indra mengangguk, aku mencium punggung tangannya, kemudian keningku di kecupnya lembut. Mas Indra pun mencium punggung tangan Bapak dengan takzim. 'Ya Allah, selamatkan suamiku dimanapun berada! Amiiinn," gumamku pelan. "Pak, jika Bapak merasa bosan. Jalan-jalan Pak, di kebun belakang banyak terdapat pohon buah-buahan lho Pak!" kataku kepada Bapak yang nampak sedikit gelisah. "Iya Ne
84. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Aku Tak Ingin Menyakiti Mu Lagi Mas. Penulis : Lusia Sudarti Aku mendengarkan cerita Mas Indra dengan seksama, sementara fikiranku melanglang buana dan membayangkan perbuatan tak terpuji yang Ratna lakukan. Part 84🥀🥀🥀🥀🥀"Sebetulnya, saat Mas Indra koma, Ratna pernah mengancam Hanum. Saat itu, berada di mushola rumah sakit." Mas Indra masih memelukku, aku berada di pangkuannya. "Oh iya ... benarkah?" tanya Mas Indra. "Iya, namun saat itu tak aku hiraukan semua kata-kata pedas yang terlontar darinya. Karena bagiku saat itu yang paling penting adalah Mas Indra," jawabku pelan. "Yah, Mas tahu bagaimana Adek." "Rupanya, Ratna selama ini merasa sakit hati terhadap Mas dan akhirnya dia membelot. Kemudian bekerja sama dengan pemberontak." "Hanum tahu tentang itu. Makanya Mas di pindahkan ke ruang rahasia." "Sekarang ini, tim pasukan inteligen sedang menyebar mata-mata untuk menangkap anggota yang melarikan diri! Jika Mas menghilang, i
83. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Mas Indra Menghilang Lagi, Demi Sebuah Tugas. Penulis : Lusia Sudarti Part 83Kami berdua akhirnya tertidur dengan lelap di bawah selimut di atas pembaringan.🥀🥀🥀🥀🥀Allahu akbar! Allahu Akbar ...! Aku terjaga saat mendengar adzan subuh berkumandang dari kejauhan. Terdengar sayup-sayup terbawa angin.Tanganku menggapai sisi kiri pembaringan, namun aku tak menemukan siapapun disana. Hanya bantal guling berada di tengahnya. Segera aku beringsut bangun dan mencari-cari keberadaan Mas Indra di sekitar kamar. Tetapi tak ada siapa-siapa. "Mas ..." Aku memanggilnya sembari menurunkan kedua kaki ke atas lantai dan menyibak selimut yang membalut tubuhku. "Astaga ... ternyata aku belum memakai pakaianku," gumamku pelan. Gegas aku meraih handuk yang tergantung di tempatnya.Segera aku menuju ke kamar mandi untuk memversihkan tubuhku, lalu mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat subuh. Dalam sujudku, aku berdoa agar diberikan kesehatan da
82. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Terpaksa Mengungsi Karena darurat. Penulis : Lusia Sudarti Part 82"Selamat datang Mbak, Bapak dan Adik-adik. Saya Mbok Narti yang menjaga villa Mas Indra."🥀🥀🥀🥀🥀Mbok Narti menyambut kami dengan hangat dan menjamu kami dengan makanan lezat. Selepas makan malam, kami berbincang sebentar di ruang keluarga. Sementara Mbok Narti menyiapkan minuman hangat dan beberapa macam cemilan untuk menemani berbincang. "Jadi, bagaimana keadaan rumah, Nak Indra?" tanya Bapak sedikit khawatir. "Bapak dan Teteh tenang saja, saya sudah memperketat keamanan untuk menjaga rumah dengan pasukan khusus," jawab Mas Indra. Kami tertegun mendengar ucapan Mas Indra. "Bagaimana dengan warung Hanum dan Bapak Mas? Kok jadi rumit begini ya?" ucapku. "Sabar Sayang! Percayalah, ini semua tak akan berlangsung lama!" kata Mas Indra menenangkan hatiku. Kami bercerita hingga larut malam. Becanda bersama kedua Anakku, juga Mbok Narti. Fandi dan Kurnia becanda bersam
81. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Penulis : Lusia Sudarti Part 81Aku, Bapak dan Teh Wulan tersenyum bahagia. 🥀🥀🥀🥀🥀 Kami melakukan perjalanan ke makam Bang Hardi. Bapak dan Teh Wulan pun demikian. "Ayah, habis ziarah kita jalan-jalan kemana?" tanya Fandi saat sedang dalam perjalanan. "Abang, jangan ganggu Ayah yang sedang mengemudi ya?" ujar Hanum sambil mengusap kepala Fandi dengan lembut. "Enggak apa-apa kok. Kita jalan-jalan kemana ya ..." Mas Indra pura-pura sedang berfikir. " ke pantai ... setuju?" sambungnya setelah terdiam beberapa saat. "Setuju ..." Kurnia dan Fandi menjawab serentak.Bapak, Teh Wulan dan aku hanya geleng-geleng kepala seraya tersenyum. "Tetapi pantai lumayan jauh Nak Indra! Sebaiknya di tunda dulu ke pantainya. Bapak khawatir sama kesehatan Nak Ibdra yang baru saja pulih!" sahut Bapak. "Iya Mas, kita cari tempat yang jaraknya tidak terlalu jauh!" imbuhku. Mas Indra tersenyum. "Enggak apa-apa kok Pak! Indra ingin membahagiakan kalia
80. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Secarik Kertas Pesan Dari Mas Indra Penulis: Lusia Sudarti Part 80"Bagus juga tuh saran Bapak Sayang. Agar Adek enggak capek, apalagi jika perut Adek membesar, tentu sangat kerepotan bukan?" imbuh Mas Indra. Aku mempertimbangkan saran mereka berdua. 🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀"Abang kalau sudah besar cita-citanya mau jadi apa?" tanya Mama mertuaku. "Abang cita-citanya mau jadi tentara seperti Ayah, Opa!" jawab Fandi. "Oh ya ... apa Abang enggak takut kena tembak?" "Enggak takut Opa! Abang ingin melindungi negara seperti Ayah!" Fandi menjawab dengan semangat. Teh Wulan tersenyum. "Bagus Bang, menjadi tentara memang mulia." Mama mertuaku menambahkan. "Tapi jangan lupa ya Sayang, pendidikan itu lebih penting. Ayah ingin kamu menjadi tentara yang pintar." Aku tersenyum bahagia mempunyai keluarga yang harmonis dan penuh kehangatan. "Tentara yang pintar dan tampan seperti Ayah!" Mas Indra menambahkan, dan membuat kami semua tertawa mendengarnya.
79. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Malam Yang Di Nanti. Penulis : Lusia Sudarti Part 79Aku menutup mulut karena terkejut.Sedangkan Mas Indra kembali berdiri dan pura-pura membaca slip gaji untuk pegawaiku.🥀🥀🥀🥀🥀🥀Aku merasa wajahku memanas menatap Mas Indra dengan mata terbelalak. "Mas Indra jangan begini dong. Aku kan jadi malu!" ucapku dengan menyembunyikan senyum bahagia dihatiku. "Kenapa memangnya Sayang, heemm! Mas telah begitu lama menantikan malam ini!" katanya sembari tersenyum nakal. Aku merasakan bulu romaku meremang mendengar ucapan dan melihat ekspresi Mas Indra yang menggodaku. "Heemm mulai deh nakalnya ya?" sungutku sembari mencubit hidungnya yang mancung. Tanganku di raih Mas Indra ketika hendak menyentuh hidungnya. "Mas sangat merindukan kamu Sayang!" Mas Indra menatap lekat kearah kedua bola mataku, tatapan syahdu yang juga selama ini aku rindukan. Malam syahdu membuatku larut dalam suasana yang indah yang dinantikan oleh setiap pasangan. "Seh
78. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Pujian Mas Indra Membuat Hatiku Meleleh. Penulis : Lusia Sudarti Part 78Aku dan Mbak Murti kembali meneruskan memasak hingga selesai. 🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀Tujuh hari berlalu dan kondisi luka suamiku telah membaik, meskipun belum sepenuhnya mengering di bagian dalamnya. Hari ini Mas Indra akan melakukan serangkaian pemeriksaan, tim Dokter akan bertolak kerumah demi keamanan. Dihalaman depan terdengar deru mesin kendaraan yang lebih dari satu dan berhenti tepat di depan rumahku. Aku bergegas keluar dari kamar dan membuka pintu depan. "Silahkan masuk Dokter! Sudah ditunggu dikamar." "Baik Bu, terima kasih." Aku melebarkan daun pintu untuk memberi jalan pada Dokter Iqbal dan beberapa lelaki tinggi tegap berpakaian serba hitam. Aku melihat keluar halaman dan mendapati beberapa orang yang juga berpakaian hitam berjaga diluar. Aku segera menutup pintu dan masuk kedalam kamar.Diluar kamar tepatnya disisi kanan dan kiri pintu dua orang berjaga,
77. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Akhirnya Mas Indra Kembali Pulang. Penulis : Lusia Sudarti Part 77Aku terharu dengan apa yang aku alami.Syukur aku panjatkan kepada Allah SWT, karena telah mengirimkan suami dan mertua yang begitu menyayangiku. 🥀🥀🥀🥀🥀🥀 Tiga hari kemudian ... Keadaan mulai kondusif namun pengawalan tetap ketat demi menghindari sesuatu yang tak di inginkan. Dan hari ini Mas Indra diperbolehkan untuk pulang. Kami bersiap untuk pulang kerumah namun memakai penutup berupa masker dan yang lain-nya untuk menghindari segala kemungkinan. "Mas, Hanum bahagia akhirnya kita bisa pulang kerumah lagi. Aku takut sekali jika Mas akan meninggalkan kami." "Alhamdulillah itu semua pertolongan Allah SWT. Mulai saat ini Mas akan merubah identitas agar tak terendus oleh musuh yang mungkin sedang mengintai," tukas Mas Indra sambil membantuku menyusun pakaian ke dalam koper. Aku menatapnya penuh rasa khawatir!"Apakah kita semua akan aman Mas?" tanyaku bimbang. "Te