Share

Bab 7

7. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku.

Bang Hardi Pamit Untuk Bekerja.

Penulis : Lusia Sudarti

Part 7

Ia melambaikan tangannya, dikedua netranya nampak genangan air mata yang siap tumpah.

"Bapaakk ... jangan pergiii, jangan tinggalin Adeekk ...!" Kurnia berteriak histeris sembari mengejar Bang Hardi, ia berlari sangat kencang setelah terlepas dari rengkuhanku.

"Adeek, jangan dek. Bapak kerja Sayang!" Fandi berteriak seraya mengejar sang Adik, saat itu kesadaranku seolah menghilang. Aku berteriak saat telah menyadari kedua Anakku berlarian.

"Adeeek ..!" teriakku dan segera menyusul kedua Anakku yang telah berdiri di tepi jalan raya sembari menangis menatap kepergian sang Bapak, yaitu Suamiku yang telah menjauh bersama mobil pick up yang menjemputnya.

"Sayang ...!" aku pun mendekap mereka berdua dengan tangis yang tak dapat lagi aku bendung.

"Mak, Bapak pergi meninggalkan kita Mak," isak Kurnia semakin membuat hatiku begitu pilu.

Aku mengangguk dan mencoba tegar untuk memberikan kekuatan kepada Anak-anakku karena harus ditinggalkan bapaknya untuk mengadu nasib di desa lain.

"Bapak cari uang Sayang. Adek juga kelak mau sekolah kan?" tanyaku sembari merenggangkan pelukan dan mensejajari mereka dengan berjongkok.

Kurnia mengangguk, sedang Fandi lebih tegar dan mampu menguasai kesedihannya.

"Iya Mak," sahut Kurnia yang telah mampu sedikit merelakan kepergian Bapaknya.

"Ayo kita pulang Sayang!" ujarku sambil meraih tangan kedua Anakku.

Plok! Plok! Plok!

"Wah-wah sungguh drama yang sangat-sangat menyedihkan."

Aku terlonjak kaget mendengar suara seseorang yang berada di belakangku.

Selvi berdiri seraya tersenyum sinis menatapku.

"Heh, cengeng banget sih Anak-anak kamu Num! Denger ya bocil-bocil kucel, Bapak kalian itu gak akan pernah pulang. Karena apa coba tebak? Karena bapak kalian itu sudah bosan hidup bersama Mak kalian yang juga kucel begitu!" ujar Selvi membungkuk kan tubuhnya kearah kedua Anakku, lalu berdiri kembali sembari menatapku.

"Hei Tante. Hati-hati kalo bicara! Bapak Fandi itu begitu sayang kepada Emak," teriak Fandi dengan suara lantang. Aku tertegun mendengar ucapannya bagai Anak dewasa.

Tentu saja Selvi terkejut dan seketika kedua bola matanya membeliak tak percaya jika Anak sekecil Fandi membentaknya.

"Heehh dasar bocil tak tau diri dan tak punya sopan santun terhadap orang yang lebih tua. Aku tau, pasti ini adalah didikan kamu!" hardiknya marah sambil menuding wajahku.

Aku pun tertawa mendengar ucapan Selvi yang ingin dihargai.

"Hahaha, apa aku gak salah dengar nih Sel? Ingin dihargai ... denger Sel, hidupmu saja tak pernah menghargai orang di sekitarmu. Bagaimana ceritanya kamu ingin dihargai!" jawabku tak kalah sengit dari semua ucapannya.

"Ayo Mak kita pulang!" Fandi menarik tanganku perlahan.

"Ayo Sayang," aku menuruti ajakan dari Fandi.

"Heh perempuan la*ur, mau kemana kamu? Jangan harap suami kamu akan kembali lagi. Karena aku akan menyusulnya kesana!" teriak Selvi, dan sontak aku memutar kembali tubuhku menghadap kearah Selvi yang berdiri dengan angkuhnya sambil tersenyum sinis penuh kemenangan.

"Kamu jangan macam-macam Sel, karena aku tak akan membiarkan orang yang berani mengusik kehidupanku! Camkan itu!" ancamku sembari menghampirinya. Raut wajahnya terlihat tegang mendengar ucapanku.

Aku bergegas meninggalkan Selvi yang masih berdiri terpaku di tempatnya semula, kedua tangannya terkepal.

Aku membawa Anak-anakku kembali kerumah. Aku takut jika terus meladeni Selvi, Fandi akan telat ke sekolah dan aku pun terlambat bekerja.

Hari masih sangat pagi, waktu menunjukkan pukul 06:00.

Aku menyiapkan keperluan sekolah Fandi dengan sedikit tak bersemangat.

Kemudian aku memandikan Kurnia dengan air hangat dan menyiapkan keperluan Kurnia selama aku bekerja.

Sesungguhnya aku tak tega meninggalkan dia seorang diri di rumah, namun Fandi tak mempunyai teman jika nanti ia pulang sekolah.

"Mak, sepatu Abang sudah sobek Mak," Fandi membawa sepatunya yang telah robek dikedua sisinya.

"Sini Bang coba Mak liat, masih bisa dijahit apa enggak!" kuraih sepatu dari tangan Fandi.

"Nanti malam Mak jahit ya Bang, ini masih bisa dipakai untuk hari ini!" ujarku sambil memasangkannya dikedua kaki mungilnya.

"Iya Mak."

"Mak Adek takut di rumah seorang diri," seru Kurnia, sepertinya hari ini aku tak bisa meninggalkannya seorang diri dirumah.

"Abang kan pulangnya gak lama Dek. Tunggu Abang di rumah aja, biasanya Adek juga seorang diri di rumah," sahut Fandi.

"Iya Bang, tapi Abang langsung pulang ya?" jawab Kurnia sembari menatap Fandi.

Aku hanya tertegun mendengar percakapan kedua Anakku.

Ternyata selama ini mereka saling menjaga, saling melengkapi.

Tak terasa kembali luruh bening dari kedua kelopak netraku.

Aku bersyukur karena di tengah kemiskinanku aku dikarunia kedua Anak yang baik dan soleh juga soleha.

"Jadi Adek berani di rumah seperti biasa?" tanyaku sembari menangkup wajahnya yang imut.

"Iya Mak," ia mengulas senyumnya.

"Kalau begitu Emak berangkat dulu sambil anter Abang sekolah ya Sayang. Main sama boneka Adek seperti biasa ya? Jangan keluar ...!" pesanku sambil memeluknya.

"Iya Mak."

Kurnia menutup pintu dari dalam aku bergegas meraih tangan mungil Fandi menuju ke sekolahnya.

"Bang belajar yang pinter, jangan nakal ingat pesan Ibu Guru di sekolah."

"Iya Mak."

Kami melangkah perlahan karena sekolahan Fandi hanya berjarak 500 meter.

Fandi mencium punggung tanganku, aku tersenyum sembari mengusap rambut dan mencium pipinya. Aku bergegas menuju kekediaman juragan Ayu, setelah Fandi memasuki pintu gerbang.

Langkahku tergesa agar segera sampai. Aku ingin segera menyelesaikan pekerjaanku hari ini dan harus berada di rumah sebelum petang.

"Hanum."

Aku mendengar seseorang memanggil namaku, ingatanku berkelana semasa mengenakan seragam putih abu-abu dahulu, disaat mendengar suaranya.

Aku berhenti dan mencari arah sumber suara. Aku memutar tubuh berbalik arah dan melihat sosok yang pernah aku kenal.

Aku terkesiap kala mengenalinya. Aku tak menyangka jika akan bertemu kembali.

"Indra. Betulkah itu kamu?" tanyaku seraya menatapnya. Aku memberanikan diri untuk menyapanya.

Ia tersenyum kepadaku, senyum itu tak pernah berubah, lembut dan manis.

Indra mengulurkan tangannya untuk menjabat tanganku, namun aku segera menangkup jemariku di depan dada.

Indra menurunkan tangannya lalu melakukan hal yang sama sepertiku sembari tersenyum.

"Ternyata ingatan kamu masih tajam Num. Kamu apa kabar, dan juga keluargamu," tanyanya ramah. Aku bingung dan gelisah karena aku harus segera bekerja.

Aku tersenyum mendengar pertanyaannya.

"Alhamdulillah aku dan keluargaku baik-baik saja. Kamu apa kabar dan kenapa sampai berada disini?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan kesekeliling.

"Sama aku juga alhamdulillah baik. Aku berada disini karena aku dinas disini," jawabnya seraya tersenyum.

"Oh ... oh iya aku pamit dulu In, aku ada pekerjaan!" jawabku, dan bergegas meninggalkan Indra tanpa menunggu jawaban darinya.

"Tunggu Num."

Aku tak menghiraukan panggilannya.

Karena aku tak ingin orang salah menilai yang kelak akan menimbulkan fitnah.

Belum lagi aku harus segera bekerja.

(Bersambung)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status