Share

Bab 5

5. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku

Penulis : Lusia Sudarti

Part 5

Aku segera menyelesaikan semua pekerjaanku, entah mengapa hati dan perasaanku akhir-akhir ini merasa tak tenang.

Ingin aku segera pulang untuk menemui Bang Hardi suamiku.

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

"Itu Emak Pak ...!" teriakan Fandi menyambut kedatanganku, ia berlarian kearahku bersama Kurnia dan Bang Hardi menyusul di belakang mereka.

Senyum ceria Anak-anakku menjadi pengobat lelah yang aku rasakan saat ini.

Bang Fandi tersenyum mesra ketika menatapku.

"Capek dek ...!" Bang Hardi menyodorkan air minum kepadaku.

"Terimakasih Bang!" aku menerima gelas berisi air lalu aku sesap hingga tandas.

"Hari ini terik sekali Bang."

"Mak, ini baju untuk Fandi?" seru Fandi sembari mengeluarkan isi plastik yang tadi aku taruh sepulang dari rumah Juragan Sekar.

"Iya Sayang, itu buat Fandi. Itu pemberian Juragan Sekar. Untuk Kurnia gak ada, nanti Emak ngumpulin uang untuk beli baju baru buat kalian ya?" aku mengusap pucuk kepala kedua Anakku.

"Maafin Bapak ya, yang belum bisa membuat kalian bahagia," ucap suamiku sembari menunduk dengan raut wajah sedih.

Aku merasa begitu iba melihat suamiku yang tiba-tiba berwajah murung.

"Enggak apa kok Bang!" ucapku sambil membuka plastik berisi lauk dari Juragan Sekar.

"Iya Pak, Fandi gak apa-apa kok. Fandi akan belajar yang rajin agar kelak bisa menjadi Anak kebanggaan Mak dan juga Bapak!" sahut Fandi seraya memeluk Bang Hardi.

Hatiku trenyuh mendengar ucapan Anak seusianya.

"Mak, Adek gak dapat baju," sahut Kurnia sambil cemberut.

Aku dan Bang Hardi saling tatap lalu ia menghampiri Kurnia dan menggendongnya.

Aku hanya tertegun tak mampu menjawab ucapan Kurnia.

"Sabar ya Adek! Maafin Bapak ya, karena belum mampu membuat kalian bahagia!" Bang Hardi menciumi Kurnia putri kami.

"Ayo Sayang kita makan. Mak sudah siapin semuanya," ujarku kepada mereka.

"Hole kita makan enak lagi hari ini!" seru Kurnia sambil turun dari dekapan Bang Hardi.

Aku tersenyum mendengarnya.

Bang Hardi menghampiriku. Wajahnya terlihat sangat bersih dan tampan.

Aku menatapnya dengan rasa yang tak dapat aku ungkapkan.

"Anak-anak, kemarilah sejenak," Bang Hardi memanggil Anak-anaknya dengan lembut, kemudian beralih menatapku yang sedang menata hidangan untuk makan.

Aku bergegas menghampiri suamiku itu yang telah menunggu diatas bale-bale bambu di dapur.

"Sini Adek sama Abang peluk Bapak!" ujar Bang Hardi kepada Anak-anak.

Dengan raut bingung Anak-anak saling pandang namun mereka tetap memeluk Bapak mereka. Aku pun melakukan hal yang sama, memeluk mereka bertiga.

"Maafin Bapak ya Bang, Adek dan Istriku," ucap Bang Hardi dengan wajah sendu, dan kedua netranya berembun.

"Iya Pak. Kan Bapak gak ada salah," sahut Kurnia dengan polos.

Bang Hardi mengangguk seraya mengeratkan pelukannya.

"Kenapa Abang selalu meminta maaf? Bukankah Abang tak pernah melakukan kesalahan sama sekali kepada kami?" tanyaku ketika kami sama-sama melepaskan pelukan.

Bang Hardi menatapku dan menatap Anak-anaknya satu persatu.

"Iya Pak," sahut Fandi si sulung.

Bang Hardi mengulas senyum yang terlihat begitu manis menurutku.

"Bapak belum mampu membuat kalian bahagia. Jika suatu hari nanti terjadi sesuatu terhadap Bapak. Bapak minta maaf kepada kalian, dan ikhlaskan semua, karena semua yang ada di dunia ini milik Allah, termasuk Bapak, Emak, Adek mau pun Abang," ucapan Bang Hardi membuatku tertegun dan perasaanku menjadi sangat tidak tenang.

"Pak, memang Bapak mau pergi kemana? Kok sepertinya Bapak mau pergi jauh!" seru Fandi.

"Abang, gak boleh bicara seperti itu. Bapak gak akan pergi kemana-mana kok, benarkan Bang?" tanyaku sembari menatap Bang Hardi.

"Abang gak akan pergi kemana-mana kok Dek. Namun, jika saatnya tiba Abang harap kalian merelakannya," jawab Bang Hardi lirih, ia tersenyum tulus.

Aku dan Anak-anak hanya mampu mengangguk.

"Ayo makan, Bapak udah lapar nih. Abang sama Adek udah lapar belum?" tanya Bang Hardi seraya mengusap perutnya.

"Lapaar juga Pak," sahut mereka serentak.

Kami melangkah mengekori Bang Hardi.

"Baca doa makan dulu sebelumnya."

"Baik Pak," jawab Fandi dan Kurnia.

"Allauhumma bariiklana fiima rozaqtana waqina adzabanar amiin," Fandi membaca doa makan dan kami semua meng aminkan.

"Amiin."

"Amiin."

Mereka menyantap makanan dengan penuh rasa syukur dan suka cita.

Sedangkan aku masih terfikirkan ucapan Bang Hardi. Hati dan perasaanku semakin tak tenang hingga membuat selera makanku menguap entah kemana.

"Lho Mak, kok nasinya cuma dibolak-balik gak dimakan?" tanya Fandi sembari menautkan kedua alisnya.

Bang Hardi menatapku sambil tersenyum.

"Kenapa Dek? Lepaskan semua beban yang mengganggu fikiran Adek. Istigfar niscaya Allah akan menerangi hati Adek kembali," ujarnya kepadaku.

Aku hanya tersenyum tipis, namun bukan senyuman menurutku. Melainkan lengkungan patah, seperti sayapku yang seolah akan patah sebentar lagi.

"Mak, Adek udah kenyang."

"Abang juga Mak."

Aku tersenyum. "Alhamdulillah nak, nanti Abang bawa masuk semua pakaian dari Juragan Sekar kedalam ya? Biar Emak yang menyusun dilemari," jawabku.

"Iya Mak," sahut Fandi.

"Adek bantuin ya Bang?!" ujar Kurnia sembari meraih kantong plastik.

"Iya Dek, ayo kita angkat!" seru Fandi sembari berdiri.

"Ayo Bang. Aduh ternyata berat ya Bang," sahut Kurnia dengan tubuh sedikit membungkuk menahan beban berat dari kantong plastik yang tak sesuai dengan postur tubuhnya yang kecil.

"Sini Dek biar Abang aja yang angkat!" ujar Fandi sembari membungkukkan tubuhnya untuk mengangkat plastik pakaian.

Fandi melangkah sedikit terseok menuju kekamar mereka.

Kurnia mengiringi Fandi dari belakangnya.

Aku tersenyum melihat mereka. Merekalah penguat dan pengobat dari rasa sedihku selama ini.

"Lihatlah Dek, mereka berdua kelak akan menjadi Anak yang sangat membanggakan buat kita," ujar Bang Hardi sembari menggenggam tanganku dengan erat.

Aku membalas genggaman tangan Bang Hardi.

Aku menatapnya dengan tatapan yang sangat dalam. Aku merasakan setelah hari ini aku tak dapat lagi menatapnya seperti ini. Hatiku terasa pilu, menyusup direlung sanubariku.

Tak terasa air mataku meleleh tanpa bisa di bendung. Namun aku segera menghapus dengan ujung bajuku agar Bang Hardi tak mengetahuinya.

"Bang ...."

"Heemm ...."

"Jangan tinggalin kami Bang," akhirnya luruh juga air mataku setelah Anak-anakku berada di ruang depan. Jadi membuatku leluasa untuk mengungkapkan semua yang mengganjal hatiku.

Semua risalah hati yang selama ini aku pendam.

Karena sekuat apa pun aku menahan semua rasa, tak urung lolos juga dan tak mampu lagi aku tahan.

Aku tak tau, jika aku berpisah dengan Suamiku? Bagaimana aku hidup tanpa-nya disisiku!

"Dek, Abang pun selalu berdoa buat kita semua, agar dipanjangkan umur untuk merawat Anak-anak. Namun kita tak dapat menolak takdir yang kuasa, jika Allah telah menghendakinya," sahut Bang Hardi lembut.

"Bang ....," aku tak mampu lagi mengucapkan kata apapun lagi.

(Bersambung)

Halo Bunda ... apa kabar semua? jangan lupa like komen dan juga dukungannya ya? Aku tak berarti apa-apa tanpa Bunda-Bunda semua! 🥰🙏love u sekebon pokoknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status