Share

Bab 4

4. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku

Mencoba Untuk Tegar

Penulis : Lusia Sudarti

Part 4

Dengan cekatan aku menyelesaikan pekerjaanku. Selepas dari sini aku harus kerumah Juragan Agung. Karena istri Juragan Agung yang terkenal judes.

🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀

"Num, ini baju untuk Fandi Anakmu, untuk Kurnia gak ada karena Anak saya cowok!" ujar Juragan Sekar sembari menaruh sekantong plastik yang lumayan besar.

Beliau menyunggingkan senyum ramah yang menyejukkan hatiku.

"Terima kasih Juragan. Anak saya pasti suka ...!" jawabku sambil meraih sepotong kaos putih yang berbahan tebal dan bagus.

"Maaf ya Num, jangan berprasangka buruk kepada saya karena memberi barang bekas, bukan saya menghina keluargamu!" juragan Sekar melipat kedua tangannya.

"Enggak apa Juragan," jawabku tersenyum.

"Justru saya sangat berterima kasih, Fandi pasti suka sekali," imbuhku lagi.

"Oh iya Num, ini ada sayuran segar dan sayur mateng, dari pada gak ada yang makan lebih baik buat kamu aja. Karena nanti malam kami ada acara keluarga di rumah Ibu!" Juragan Sekar memberi dua kantong plastik berisi sayuran mentah dan mateng kepadaku.

Aku tertegun menatap kantong plastik yang berisi sayuran ditanganku, dalam hati aku sangat bersyukur karena Anak-anakku bisa makan enak.

"Terimakasih banyak Juragan. Juragan Sekar begitu baik terhadap saya," ujarku sembari menitikkan air mata.

"Enggak usah kamu risau Num, saya ikhlas kok. Toh berbagi itu gak salah kan," sahut juragan Sekar sambil tersenyum.

"Kalau begitu saya pamit dulu Juragan," ujarku sambil menunduk.

"Iya Num, silahkan. Kamu juga masih harus ketempat Pak Agung kan ...?" tanya beliau sambil menatapku.

"Iya Juragan dan saya ucapkan terimakasih banyak atas semua ini."

"Sama-sama Num," Juragan Sekar tersenyum sembari mengantarkan aku hingga ke teras.

Aku melangkah dengan sedikit tertatih karena aku membawa beberapa kantong plastik berukuran besar dan kecil dikedua tanganku.

Sembari melangkah aku berfikir, mungkin sebaiknya aku pulang dulu kerumah menaruh semua plastik yang aku bawa.

Teriknya matahari tak membuatku menyerah, meskipun keringat bercucuran membasahi tubuh dan wajahku.

"Wah hebat ya, selain jadi babu kamu juga pandai menjilat! Banyak sekali barang-barang dari hasil menjilat."

Aku terkejut saat mendengar ucapan seseorang dibelakangku dengan nada hinaan.

Sontak ....!

Aku memutar tubuh hingga 90°.

Bude Sinta berdiri tegak tepat dibelakangku, ia melipat kedua tangannya bersilang didada.

Hatiku menjadi sangat geram mendengar hinaan-nya yang menurutku telah berada diluar batas.

"Apa maksud bude bicara seperti itu!" jawabku dengan suara sedikit lantang.

Aku tak peduli dengan keadaan sekitar dan tatapan orang-orang kepadaku.

"Kenapa kamu sewot! Bukankah semua yang saya katakan itu adalah kenyataan, kalo tidak mana mungkin kamu mendapatkan begitu banyak barang," jawabnya dengan seringai yang menghias bibirnya yang tebal.

"Bude, jika ingin dihargai oleh orang lain! Setidaknya jagalah lisan saat berbicara dengan orang. Dan jika tak ingin membantu kesulitan orang lain, hendaknya jangan menghina.

Roda itu berputar Bude, sekarang ini Bude berada diatas angin. Mungkin esok atau lusa, angin itu memporak-porandakan kekayaan yang bude miliki," jawabku dengan tenang.

Raut wajah bude Sinta seketika berubah merah padam mendengar ucapanku.

"Kamu menyumpahin saya ya! Kurang aj@r sekali kamu berani mendoakan yang buruk untuk saya," jawabnya dengan wajah berang.

"Saya tidak mendoakan. Saya hanya mengingatkan bahwa azab itu nyata!" aku segera bergegas meninggalkan Bude Sinta yang semakin dibakar amarah.

"Awas ya kamu! Aku tak akan memberi hutangan lagi kepadamu dan keluargamu."

Aku tak menanggapi semua ocehannya, hatiku terasa begitu nyeri karena selalu mendapatkan hinaan dan cemoohan dari Bude Sinta yang tak mempunyai perasaan sama sekali.

'Apa salahku ya Allah, hingga Engkau menimpakan semua ujian ini kepadaku dan keluargaku," lirih bathinku.

Setiap berpapasan dengan pengguna jalan, mereka memperhatikanku tanpa berkedip. Entah apa yang ada difikiran mereka, aku tak peduli.

Aku menyadari keadaanku yang serba kekurangan, namun aku tak pernah meminta atau pun mengemis kepada siapa pun.

Aku masih sanggup untuk bekerja membantu suamiku. Meskipun hanya seorang pembantu.

Namun itu adalah pekerjaan yang halal.

Aku memotong jalan melalui jalan setapak di perkebunan warga. Aku tak ingin waktuku terbuang karena melewati jalan utama yang lumayan jauh.

Melewati jalan setapak ini lebih mempersingkat waktu.

Seandainya tadi tak berjumpa dengan Bude Sinta mungkin saat ini aku telah berada di kediaman Juragan Agung.

Dari kejauhan gubukku telah nampak, gubuk yang telah reot, namun seperti surga buatku dan keluargaku. Perlahan namun pasti, langkah telah membawaku kedapur dan aku membuka pintu yang memang tak terkunci.

Krieeett!

Aku melangkah masuk menuju meja makan dan menaruh semua plastik lalu melangkah keluar kembali untuk melanjutkan pekerjaan di rumah Juragan Agung.

Anak-anakku saat ini pasti sedang terlelap. Dan aku tak ingin mengganggu istirahat mereka.

"Eh Hanum. Mau kerja ya?" aku mendongak kearah sumber suara yang berada disamping kiriku.

"Iya Sel, mau kerumah Juragan Agung," sahutku kepada Selvi yang sedang menatapku dengan tatapan sinis.

"Num wajah kamu kok semakin kusam begitu ya ... kira-kira Bang Hardi apa betah melihatnya."

Aku hanya diam dan mempercepat langkahku agar menjauh dari janda genit yang terkenal suka menggoda suami orang. Aku merasa sakit hati dengan semua hinaan Selvi kepadaku, namun aku berusaha untuk mengobatinya.

"Eh Num ... jaga lakimu supaya tak tergoda cewek yang lebih pandai merawat diri ....!" teriak Selvi. Aku tak menghiraukan teriakannya.

'Kamu tak pernah mengalami apa yang aku alami. Dan aku bukan perempuan sepertimu," lirihku dalam hati.

🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀

"Assalamualaikum ...!" aku mengucap salam saat tiba dikediaman Juragan Agung.

Terdengar kunci diputar dari dalam lalu knop pintu meliuk kebawah.

"Kamu Num? Kirain gak datang!" jawab Rita Istri Juragan Agung, sembari menatapku datar.

"Maaf sedikit terlambat Juragan!" jawabku sambil menunduk.

"Ya sudah ayo masuk!" titahnya sambil melangkah masuk. Sementara aku mengekor dibelakangnya.

Aku segera mengerjakan tugasku seperti biasa.

"Num lain kali jangan terlambat lagi ya! Karena kalau kamu terlambat saya akan kurangi upah kamu!" ancamnya.

Aku terkejut mendengar ucapannya.

"Baik Juragan. Tapi saya mohon jangan potong gaji saya," jawabku memelas.

Namun tak ada tanggapan darinya, bahkan Juragan Rita melenggang dengan santainya meninggalkan ruang setrika.

Aku hanya mampu mengusap dada yang sedikit nyeri.

Tak terasa air mataku menitik, aku segera menghapusnya agar tak terlihat lemah dan rapuh.

'Sabar Num, ini semua ujian buatmu," bathinku berucap.

Aku segera menyelesaikan semua pekerjaanku, entah mengapa hati dan perasaanku akhir-akhir ini merasa tak tenang.

Ingin aku segera pulang untuk menemui Bang Hardi Suamiku.

(Bersambung)

Kira-kira apa yang akan terjadi pada Hanum? Jangan lupa like, follow dan dukungannya bundsay🙏

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status