Share

Bab 2

2. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku.

Kita Bisa Makan Enak Mak Sore Ini.

Penulis : Lusia Sudarti.

Aku merasakan ia berurai air mata. Aku sedikit mendongak untuk menatapnya.

Benar saja, kedua netranya terlihat sembab. Dan masih ada jejak air yang menggenang.

Part 2

Entah mengapa hari ini Bang Hardi seolah enggan jauh dariku dan Anak-anaknya.

Senja menampakkan dirinya, menggantikan siang yang terik.

Aku seperti biasa bekerja sebagai buruh cuci setrika di rumah tetangga yang tak jauh dari kediamanku.

"Num, jangan lupa yang ini dicuci sampai putih lagi ya?" ujar Bude Ani sambil menyerahkan baju seragam SMA yang terlihat sangat dekil dan kotor. Aku mengamati seragam yang ada ditanganku. Aku bingung bagaimana caraku menghilangkan noda, yang sepertinya noda getah pohon pisang.

"Juragan, tetapi ini sepertinya noda dari pohon atau daun pisang. Dan akan sangat sulit untuk dihilangkan. Kecuali dengan serbuk khusus atau cairan penghilang noda membandel," ujarku kepada Juragan Ani sambil meneliti seragam ditanganku.

"Ah, masak sih Num!" ujar Juragan Ani lagi sambil memeriksa noda yang ada diseragam putih milik putrinya.

"Iya Num kamu bener. Tapi kenapa seragam Ajeng sampai terkena getah pohon pisang!" ujar Juragan Ani sembari meletakkan seragam dalam ember yang berisi rendaman pakaian.

Sedang beliau beranjak masuk kedalam rumah megahnya.

Aku melanjutkan pekerjaanku hingga selesai. Juragan Ani meskipun kaya raya, namun beliau sama sekali tak pernah pelit. Satu hal yang aku suka bekerja pada Juragan Ani, jika pekerjaanku selesai beliau selalu membayar lebih. Bahkan sering kali beliau memberikan makanan ataupun sembako.

Beda sekali sifatnya dengan Anak gadisnya yang masih SMA kelas tiga, yang namanya Ajeng. Ia suka seenaknya kalo bicara sama orang, bahkan yang lebih tua darinya.

Karena hari ini tak terlalu banyak yang harus kucuci setrika makanya aku pulang cepat.

"Num, ini gaji kamu! Dan ini ada sedikit lauk untuk Anak-anak kamu. Semoga Anak-anak kamu suka ya!" ujar beliau memberikan uang sebesar lima puluh ribu sebagai upahku. Aku terbelalak melihat selembar uang berwarna biru tersebut.

"Ini kebanyakan Juragan, bukankah gaji saya hanya empat puluh ribu," ujarku sambil mengembalikannya kepada Juragan Ani.

Namun Juragan Ani mendorong tanganku sembari berucap. "Itu tambahan buat kamu Num, saya tau kamu sangat membutuhkannya!" ujar Beliau dengan suara lembut.

Aku menatap Beliau dengan terharu.

"Terimakasih Juragan. Saya memang sangat membutuhkannya!" jawabku sendu.

"Saya juga turut prihatin ya Num. Tapi percayalah, saya yakin suatu saat nanti kamu pasti hidup bahagia," ujarnya menasihati. Aku mengangguk.

"Terimakasih banyak Juragan. Kalau begitu saya mohon pamit dahulu."

"Iya Num, hati-hati di jalan ya!" Juragan Ani tersenyum.

Aku membalas dengan anggukan lalu meninggalkan rumahnya.

Dalam perjalanan aku tak berhenti mengucap syukur atas ni'mat yang Allah berikan pada hari ini.

Aku melangkah dengan hati bahagia. Aku bisa menyisihkan sedikit uang yang aku dapat untuk beberapa hari. Aku membawa satu plastik berisi beras dan entah apa lagi.

Aku berjalan melewati warung yang tak jauh dari gubukku.

"Eh Hanum ... tumben banyak banget belanjaan kamu hari ini? Kamu sudah gajian ya ... bayar hutang kamu! Enak aja beli di warung lain, kalo ngutang kewarungku," hardik Bude Sinta ketika aku melintasi warungnya. Seketika aku berhenti lalu memutar tubuh.

Hatiku sedikit terluka mendengar ucapannya.

"Ya Allah Bude! Ini pemberian Juragan Ani!" ujarku sambil mengangkat kantong plastik ditanganku.

"Alaaah, bohong kamu! Bilang aja gak mau bayar hutang!" sahutnya dengan tatapan sinis. Aku malu karena banyak pelanggan warungnya yang menatapku.

Mereka berbisik-bisik sambil sesekali melirik kepadaku. Mungkin mereka tengah menggunjing aku.

"Ayo bayar sekarang!" ia mendekatiku dengan menengadahkan tangannya.

"Benar yang Hanum bilang. Hanum baru saja selesai bekerja di rumah saya!" Juragan Ani membalas ucapan Bude Sinta dengan nada tegas dan berwibawa.

Aku memutar tubuh ketika mendengar suara Juragan Ani. Beliau menatapku dengan lembut. "Num, ini ketinggalan!" beliau memberikan plastik yang entah apa isinya.

Dan Bude Sinta terdiam setelah mendengar langsung penjelasan dari Juragan Ani.

"Alah, hidup miskin aja belagu!" umpatnya sambil berlalu dan melayani pelanggannya.

"Sudah! Pulanglah Num, kasihan Anak-anak menunggu di rumah."

"Terimakasih Juragan!" aku menundukkan kepalaku dan melangkah menuju kerumahku.

Tak aku hiraukan cercaan mereka, setelah Juragan Ani putar balik kerumahnya.

"Assalamu'alaikum!" aku mengucapkan salam dan masuk melalui pintu dapur.

Di ruang tengah Fandi dan Kurnia sedang bermain.

"Waalaikum salam, Emak bawa apa!" Songsong kedua Anakku ketika melihatku menaruh plastik dari Juragan Ani keatas meja makan.

"Emak juga gak tau. Coba kalian periksa," titahku kepada mereka berdua. Mereka membuka plastik dan memeriksa isinya.

"Waaahh Mak, ini ada kue Mak. Sama susu kotak Mak dua Mak ...!" seru Nia dengan girang dan bahagia, aku melihat ada beberapa potong kue dan susu juga makanan lainnya.

"Ini ada ayam goreng empat iris sama sayur Mak, kita bisa makan enak Mak sore ini," ujar Fandi dengan raut wajah bahagia.

"Alhamdulillah Nak, ini rezeqi buat kalian buat kita semua," sahutku sambil mengucap syukur dalam hati.

"Bapak belum pulang ya?" tanyaku kepada mereka berdua.

"Belum Mak."

Aku segera menaruh beras dan yang lainnya ketempatnya. Lalu menyimpan lauk pauk dan kututup dengan tudung saji.

"Mak, boleh Fandi minta kuenya ....," ujar Fandi sambil menatapku.

"Nia juga ya Mak," sahut Kurnia.

Aku meraih mereka dalam pelukan, aku terharu melihat mereka yang tak pernah mendapatkan yang mereka inginkan, meskipun hanya satu buah susu.

"Itu buat kalian. Itu adalah rezeqi buat Anak-anak Soleh dan Soleha seperti kalian," ujarku sambil tersenyum menahan segala kepedihan.

"Hooreee, Adek satu Abang satu nih!" Fandi dan Kurnia melonjak girang.

Aku tersenyum kembali melihat mereka tersenyum. 'Ya Allah, terimakasih Engkau telah memberikan sedikit rezeqi untuk Anak-anakku, Amiin," lirih batinku.

"Assalamu'alaikum.'

Aku menoleh ke arah pintu. "Waalaikum salam. Abang baru pulang!" tanyaku sambil mencium punggung tangannya yang berlumuran tanah.

"Bapak, Adek sama Abang diberi susu kotak!" teriak Kurnia dengan senyuman mengembang dari bibirnya.

"Ohh, benarkah ...!" ujar Bang Hardi sambil berjongkok menyamai putri kecilnya.

"Bapak mau!" ia menyodorkan pipet kearah bibir Bang Hardi.

"Emm, enak ya susu kotak," ucapnya setelah menyesapnya sedikit.

Aku tersenyum melihat keakraban Bang Hardi bersama Anak-anaknya.

"Dapat rezeqi dari mana Dek?" tanyanya sambil melepas kaos yang basah oleh keringat.

"Dari Juragan Ani Bang. Bukan hanya itu, juragan Ani juga memberikan sembako dan uang," jawabku bahagia.

"Alhamdulilah, rezeqi dari mana aja datangnya. Tinggal kita yang harus selalu pandai bersyukur!" tukas Bang Hardi sambil duduk dibale-bale yang berada didapur. Dimana biasanya kami menghabiskan waktu. Atau beristirahat setelah pulang bekerja.

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Aku mengantarkan Fandi menuju kemasjid untuk belajar mengaji dengan berjalan kaki, karena memang tak terlalu jauh jaraknya dari kediamanku.

Sementara Bang Hardi bermain bersama Kurnia dirumah. Matahari terlihat memerah diufuk barat, ia akan kembali keperaduannya.

Gegas aku menyusuri jalan beraspal agar aku segera tiba di rumah. Kalo pulangnya, Fandi akan diantar oleh Guru mengajinya, karena searah dengan mereka. Mengaji pun tak terlalu lama, hanya sekitar satu jam setengah.

Aku menyiapkan untuk makan malam sembari menanti adzan magrib. Fandi baru saja pulang dengan diantar guru mengajinya.

Anak-anak bersantai sejenak dengan Bapaknya di ruang depan. Tepat sekali, aku selesai menyiapkan untuk makan malam, adzan magrib berkumandang.

"Alhamdulilah, ayo kita sholat berjamaah!" titah Bang Hardi sembari bangkit untuk mengambil wudhu, aku dan Anak-anak mengekor dibelakangnya.

Lalu kami melakukan sholat berjamaah di ruang sholat.

Entah mengapa Bang Hardi sedikit lama dari biasanya melakukan dzikir.

Setelah bersalaman dengan kedua Anaknya.

Aku mencium punggung tangan Bang Hardi. Ia mencium keningku dengan lembut.

Aku merasakan ia berurai air mata. Aku sedikit mendongak untuk menatapnya.

Benar saja, kedua netranya terlihat sembab. Dan masih ada jejak air yang menggenang.

"Yuk kita makan Dek!" ujar Bang Hardi.

"Ayo Pak, Adek udah gak sabar mau makan ayam goreng dari juragan," sahut Kurnia, ia tersenyum dan menampakkan lesung pipinya.

"Iya, Abang juga Dek," seru Fandi. Aku dan Bang Hardi hanya tersenyum melihat kebahagiaan mereka. Kami bergandengan tangan menuju dapur.

"Mak, Adek mau ayam gorengnya," ujar Kurnia.

"Abang juga Mak," sahut Fandi. Aku tersenyum mendengar ucapan antusias mereka.

'Ya Allah, terimakasih atas nikmat dan Rezeqi yang Engkau berikan untuk keluargaku, Amiin ...!" aku berdoa dalam hati.

"Maafin Bapak ya Anak-anak, Bapak gak mampu memberikan makanan yang layak buat kalian," ujar Bang Hardi pilu, ia menunduk untuk menahan air mata agar tak jatuh.

Suasana menjadi hening sesaat.

"Ayo makan, jika kita bersyukur maka Allah senantiasa mendatangkan rezeqi entah dari mana saja datangnya," ujarku.

"Iya Mak, begitu juga yang diucapkan oleh guru ngaji Abang," sahut Fandi dengan dengan suaranya yang khas penuh dengan nasi.

Bang Hardi tersenyum mendengar ucapan Fandi. Ia mengusap pucuk kepala Anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Kami menyantap makan malam dengan suka cita.

Anak-anak selepas makan mereka menuju ruang depan, yang tampak dari dapur. Kurnia menemani Abangnya belajar. Sedang aku dan Bang Hardi masih berada di meja makan.

"Dek, gimana ya. Abang sudah berusaha untuk mencari pinjaman namun belum mendapatkannya. Juragan Hendra menolak untuk memberikan pinjaman kepada abang," ucapannya lirih, ia menghela nafas perlahan.

Aku termenung mendengar ucapan Bang Hardi. 'Kemana lagi aku harus mencari pinjaman."

Sejenak aku termenung ...!

"Besok akan kucoba meminjam kepada Juragan Ani Bang. Semoga beliau tak keberatan," ujarku. Bang Hardi menatapku sesaat, lalu ia tersenyum.

"Abang merasa tak berguna menjadi seorang Suami dan Bapak!" Bang Hardi meremas jemari tanganku. Aku menggenggamnya erat untuk memberikan sedikit kekuatan kepadanya.

(Bersambung)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status