2. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku.
Kita Bisa Makan Enak Mak Sore Ini. Penulis : Lusia Sudarti. Aku merasakan ia berurai air mata. Aku sedikit mendongak untuk menatapnya. Benar saja, kedua netranya terlihat sembab. Dan masih ada jejak air yang menggenang. Part 2 Entah mengapa hari ini Bang Hardi seolah enggan jauh dariku dan Anak-anaknya. Senja menampakkan dirinya, menggantikan siang yang terik. Aku seperti biasa bekerja sebagai buruh cuci setrika di rumah tetangga yang tak jauh dari kediamanku. "Num, jangan lupa yang ini dicuci sampai putih lagi ya?" ujar Bude Ani sambil menyerahkan baju seragam SMA yang terlihat sangat dekil dan kotor. Aku mengamati seragam yang ada ditanganku. Aku bingung bagaimana caraku menghilangkan noda, yang sepertinya noda getah pohon pisang. "Juragan, tetapi ini sepertinya noda dari pohon atau daun pisang. Dan akan sangat sulit untuk dihilangkan. Kecuali dengan serbuk khusus atau cairan penghilang noda membandel," ujarku kepada Juragan Ani sambil meneliti seragam ditanganku. "Ah, masak sih Num!" ujar Juragan Ani lagi sambil memeriksa noda yang ada diseragam putih milik putrinya. "Iya Num kamu bener. Tapi kenapa seragam Ajeng sampai terkena getah pohon pisang!" ujar Juragan Ani sembari meletakkan seragam dalam ember yang berisi rendaman pakaian. Sedang beliau beranjak masuk kedalam rumah megahnya. Aku melanjutkan pekerjaanku hingga selesai. Juragan Ani meskipun kaya raya, namun beliau sama sekali tak pernah pelit. Satu hal yang aku suka bekerja pada Juragan Ani, jika pekerjaanku selesai beliau selalu membayar lebih. Bahkan sering kali beliau memberikan makanan ataupun sembako. Beda sekali sifatnya dengan Anak gadisnya yang masih SMA kelas tiga, yang namanya Ajeng. Ia suka seenaknya kalo bicara sama orang, bahkan yang lebih tua darinya. Karena hari ini tak terlalu banyak yang harus kucuci setrika makanya aku pulang cepat. "Num, ini gaji kamu! Dan ini ada sedikit lauk untuk Anak-anak kamu. Semoga Anak-anak kamu suka ya!" ujar beliau memberikan uang sebesar lima puluh ribu sebagai upahku. Aku terbelalak melihat selembar uang berwarna biru tersebut. "Ini kebanyakan Juragan, bukankah gaji saya hanya empat puluh ribu," ujarku sambil mengembalikannya kepada Juragan Ani. Namun Juragan Ani mendorong tanganku sembari berucap. "Itu tambahan buat kamu Num, saya tau kamu sangat membutuhkannya!" ujar Beliau dengan suara lembut. Aku menatap Beliau dengan terharu. "Terimakasih Juragan. Saya memang sangat membutuhkannya!" jawabku sendu. "Saya juga turut prihatin ya Num. Tapi percayalah, saya yakin suatu saat nanti kamu pasti hidup bahagia," ujarnya menasihati. Aku mengangguk. "Terimakasih banyak Juragan. Kalau begitu saya mohon pamit dahulu." "Iya Num, hati-hati di jalan ya!" Juragan Ani tersenyum. Aku membalas dengan anggukan lalu meninggalkan rumahnya. Dalam perjalanan aku tak berhenti mengucap syukur atas ni'mat yang Allah berikan pada hari ini. Aku melangkah dengan hati bahagia. Aku bisa menyisihkan sedikit uang yang aku dapat untuk beberapa hari. Aku membawa satu plastik berisi beras dan entah apa lagi. Aku berjalan melewati warung yang tak jauh dari gubukku. "Eh Hanum ... tumben banyak banget belanjaan kamu hari ini? Kamu sudah gajian ya ... bayar hutang kamu! Enak aja beli di warung lain, kalo ngutang kewarungku," hardik Bude Sinta ketika aku melintasi warungnya. Seketika aku berhenti lalu memutar tubuh. Hatiku sedikit terluka mendengar ucapannya. "Ya Allah Bude! Ini pemberian Juragan Ani!" ujarku sambil mengangkat kantong plastik ditanganku. "Alaaah, bohong kamu! Bilang aja gak mau bayar hutang!" sahutnya dengan tatapan sinis. Aku malu karena banyak pelanggan warungnya yang menatapku. Mereka berbisik-bisik sambil sesekali melirik kepadaku. Mungkin mereka tengah menggunjing aku. "Ayo bayar sekarang!" ia mendekatiku dengan menengadahkan tangannya. "Benar yang Hanum bilang. Hanum baru saja selesai bekerja di rumah saya!" Juragan Ani membalas ucapan Bude Sinta dengan nada tegas dan berwibawa. Aku memutar tubuh ketika mendengar suara Juragan Ani. Beliau menatapku dengan lembut. "Num, ini ketinggalan!" beliau memberikan plastik yang entah apa isinya. Dan Bude Sinta terdiam setelah mendengar langsung penjelasan dari Juragan Ani. "Alah, hidup miskin aja belagu!" umpatnya sambil berlalu dan melayani pelanggannya. "Sudah! Pulanglah Num, kasihan Anak-anak menunggu di rumah." "Terimakasih Juragan!" aku menundukkan kepalaku dan melangkah menuju kerumahku. Tak aku hiraukan cercaan mereka, setelah Juragan Ani putar balik kerumahnya. "Assalamu'alaikum!" aku mengucapkan salam dan masuk melalui pintu dapur. Di ruang tengah Fandi dan Kurnia sedang bermain. "Waalaikum salam, Emak bawa apa!" Songsong kedua Anakku ketika melihatku menaruh plastik dari Juragan Ani keatas meja makan. "Emak juga gak tau. Coba kalian periksa," titahku kepada mereka berdua. Mereka membuka plastik dan memeriksa isinya. "Waaahh Mak, ini ada kue Mak. Sama susu kotak Mak dua Mak ...!" seru Nia dengan girang dan bahagia, aku melihat ada beberapa potong kue dan susu juga makanan lainnya. "Ini ada ayam goreng empat iris sama sayur Mak, kita bisa makan enak Mak sore ini," ujar Fandi dengan raut wajah bahagia. "Alhamdulillah Nak, ini rezeqi buat kalian buat kita semua," sahutku sambil mengucap syukur dalam hati. "Bapak belum pulang ya?" tanyaku kepada mereka berdua. "Belum Mak." Aku segera menaruh beras dan yang lainnya ketempatnya. Lalu menyimpan lauk pauk dan kututup dengan tudung saji. "Mak, boleh Fandi minta kuenya ....," ujar Fandi sambil menatapku. "Nia juga ya Mak," sahut Kurnia. Aku meraih mereka dalam pelukan, aku terharu melihat mereka yang tak pernah mendapatkan yang mereka inginkan, meskipun hanya satu buah susu. "Itu buat kalian. Itu adalah rezeqi buat Anak-anak Soleh dan Soleha seperti kalian," ujarku sambil tersenyum menahan segala kepedihan. "Hooreee, Adek satu Abang satu nih!" Fandi dan Kurnia melonjak girang. Aku tersenyum kembali melihat mereka tersenyum. 'Ya Allah, terimakasih Engkau telah memberikan sedikit rezeqi untuk Anak-anakku, Amiin," lirih batinku. "Assalamu'alaikum.' Aku menoleh ke arah pintu. "Waalaikum salam. Abang baru pulang!" tanyaku sambil mencium punggung tangannya yang berlumuran tanah. "Bapak, Adek sama Abang diberi susu kotak!" teriak Kurnia dengan senyuman mengembang dari bibirnya. "Ohh, benarkah ...!" ujar Bang Hardi sambil berjongkok menyamai putri kecilnya. "Bapak mau!" ia menyodorkan pipet kearah bibir Bang Hardi. "Emm, enak ya susu kotak," ucapnya setelah menyesapnya sedikit. Aku tersenyum melihat keakraban Bang Hardi bersama Anak-anaknya. "Dapat rezeqi dari mana Dek?" tanyanya sambil melepas kaos yang basah oleh keringat. "Dari Juragan Ani Bang. Bukan hanya itu, juragan Ani juga memberikan sembako dan uang," jawabku bahagia. "Alhamdulilah, rezeqi dari mana aja datangnya. Tinggal kita yang harus selalu pandai bersyukur!" tukas Bang Hardi sambil duduk dibale-bale yang berada didapur. Dimana biasanya kami menghabiskan waktu. Atau beristirahat setelah pulang bekerja. π·π·π·π·π·π·π·π·π·π· Aku mengantarkan Fandi menuju kemasjid untuk belajar mengaji dengan berjalan kaki, karena memang tak terlalu jauh jaraknya dari kediamanku. Sementara Bang Hardi bermain bersama Kurnia dirumah. Matahari terlihat memerah diufuk barat, ia akan kembali keperaduannya. Gegas aku menyusuri jalan beraspal agar aku segera tiba di rumah. Kalo pulangnya, Fandi akan diantar oleh Guru mengajinya, karena searah dengan mereka. Mengaji pun tak terlalu lama, hanya sekitar satu jam setengah. Aku menyiapkan untuk makan malam sembari menanti adzan magrib. Fandi baru saja pulang dengan diantar guru mengajinya. Anak-anak bersantai sejenak dengan Bapaknya di ruang depan. Tepat sekali, aku selesai menyiapkan untuk makan malam, adzan magrib berkumandang. "Alhamdulilah, ayo kita sholat berjamaah!" titah Bang Hardi sembari bangkit untuk mengambil wudhu, aku dan Anak-anak mengekor dibelakangnya. Lalu kami melakukan sholat berjamaah di ruang sholat. Entah mengapa Bang Hardi sedikit lama dari biasanya melakukan dzikir. Setelah bersalaman dengan kedua Anaknya. Aku mencium punggung tangan Bang Hardi. Ia mencium keningku dengan lembut. Aku merasakan ia berurai air mata. Aku sedikit mendongak untuk menatapnya. Benar saja, kedua netranya terlihat sembab. Dan masih ada jejak air yang menggenang. "Yuk kita makan Dek!" ujar Bang Hardi. "Ayo Pak, Adek udah gak sabar mau makan ayam goreng dari juragan," sahut Kurnia, ia tersenyum dan menampakkan lesung pipinya. "Iya, Abang juga Dek," seru Fandi. Aku dan Bang Hardi hanya tersenyum melihat kebahagiaan mereka. Kami bergandengan tangan menuju dapur. "Mak, Adek mau ayam gorengnya," ujar Kurnia. "Abang juga Mak," sahut Fandi. Aku tersenyum mendengar ucapan antusias mereka. 'Ya Allah, terimakasih atas nikmat dan Rezeqi yang Engkau berikan untuk keluargaku, Amiin ...!" aku berdoa dalam hati. "Maafin Bapak ya Anak-anak, Bapak gak mampu memberikan makanan yang layak buat kalian," ujar Bang Hardi pilu, ia menunduk untuk menahan air mata agar tak jatuh. Suasana menjadi hening sesaat. "Ayo makan, jika kita bersyukur maka Allah senantiasa mendatangkan rezeqi entah dari mana saja datangnya," ujarku. "Iya Mak, begitu juga yang diucapkan oleh guru ngaji Abang," sahut Fandi dengan dengan suaranya yang khas penuh dengan nasi. Bang Hardi tersenyum mendengar ucapan Fandi. Ia mengusap pucuk kepala Anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Kami menyantap makan malam dengan suka cita. Anak-anak selepas makan mereka menuju ruang depan, yang tampak dari dapur. Kurnia menemani Abangnya belajar. Sedang aku dan Bang Hardi masih berada di meja makan. "Dek, gimana ya. Abang sudah berusaha untuk mencari pinjaman namun belum mendapatkannya. Juragan Hendra menolak untuk memberikan pinjaman kepada abang," ucapannya lirih, ia menghela nafas perlahan. Aku termenung mendengar ucapan Bang Hardi. 'Kemana lagi aku harus mencari pinjaman." Sejenak aku termenung ...! "Besok akan kucoba meminjam kepada Juragan Ani Bang. Semoga beliau tak keberatan," ujarku. Bang Hardi menatapku sesaat, lalu ia tersenyum. "Abang merasa tak berguna menjadi seorang Suami dan Bapak!" Bang Hardi meremas jemari tanganku. Aku menggenggamnya erat untuk memberikan sedikit kekuatan kepadanya. (Bersambung)Mohon bijak dalam memilih bacaan Rate 21+++ 3. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Kenapa Suamiku Kedua Kakinya Tak Berpijak. Penulis : Lusia Sudarti. Part 3 "Abang merasa tak berguna menjadi seorang Suami dan Bapak!" Bang Hardi meremas jemari tanganku. Aku menggenggamnya erat untuk memberikan sedikit kekuatan kepadanya Bang Hardi akhir-akhir ini selalu melamun, bahkan ia sering kali bangun tengah malam untuk melakukan sholat malam, dan setelahnya ia tak langsung istirahat, ia berzikir begitu lama dan panjang. "Dek, Abang ingin menghabiskan waktu Abang bersama kalian, ayo kita kedepan sambil membantu Fandi belajar," Bang Hardi menarik lembut tanganku. "Abang duluan, Adek mau mencuci piring sebentar," tolakku dengan halus, aku tersenyum manis untuknya. "Oh ya sudah. Abang tunggu di depan ya!" ujar Bang Hardi sembari mencium pipiku, setelah itu ia meninggalkan aku di dapur seorang diri. Aku tertegun menerima perlakuan Bang Hardi, aku menatap punggungnya yang bergun
4. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku Mencoba Untuk Tegar Penulis : Lusia Sudarti Part 4 Dengan cekatan aku menyelesaikan pekerjaanku. Selepas dari sini aku harus kerumah Juragan Agung. Karena istri Juragan Agung yang terkenal judes. π₯π₯π₯π₯π₯π₯π₯ "Num, ini baju untuk Fandi Anakmu, untuk Kurnia gak ada karena Anak saya cowok!" ujar Juragan Sekar sembari menaruh sekantong plastik yang lumayan besar. Beliau menyunggingkan senyum ramah yang menyejukkan hatiku. "Terima kasih Juragan. Anak saya pasti suka ...!" jawabku sambil meraih sepotong kaos putih yang berbahan tebal dan bagus. "Maaf ya Num, jangan berprasangka buruk kepada saya karena memberi barang bekas, bukan saya menghina keluargamu!" juragan Sekar melipat kedua tangannya. "Enggak apa Juragan," jawabku tersenyum. "Justru saya sangat berterima kasih, Fandi pasti suka sekali," imbuhku lagi. "Oh iya Num, ini ada sayuran segar dan sayur mateng, dari pada gak ada yang makan lebih baik buat kamu aja. Karena nant
5. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku Penulis : Lusia Sudarti Part 5 Aku segera menyelesaikan semua pekerjaanku, entah mengapa hati dan perasaanku akhir-akhir ini merasa tak tenang. Ingin aku segera pulang untuk menemui Bang Hardi suamiku. πΉπΉπΉπΉπΉπΉπΉπΉπΉπΉ "Itu Emak Pak ...!" teriakan Fandi menyambut kedatanganku, ia berlarian kearahku bersama Kurnia dan Bang Hardi menyusul di belakang mereka. Senyum ceria Anak-anakku menjadi pengobat lelah yang aku rasakan saat ini. Bang Fandi tersenyum mesra ketika menatapku. "Capek dek ...!" Bang Hardi menyodorkan air minum kepadaku. "Terimakasih Bang!" aku menerima gelas berisi air lalu aku sesap hingga tandas. "Hari ini terik sekali Bang." "Mak, ini baju untuk Fandi?" seru Fandi sembari mengeluarkan isi plastik yang tadi aku taruh sepulang dari rumah Juragan Sekar. "Iya Sayang, itu buat Fandi. Itu pemberian Juragan Sekar. Untuk Kurnia gak ada, nanti Emak ngumpulin uang untuk beli baju baru buat kalian ya?"
6. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Mendapatkan Pekerjaan. Penulis : Lusia Sudarti Part 6"Bang ...," aku tak mampu lagi mengucapkan apa pun lagi. π₯π₯π₯π₯π₯π₯Malam menggantikan siang yang begitu terik, rembulan menyembul menampakkan diri dengan malu-malu. Ia mengintip dari sela-sela awan putih yang berarak mengikuti arah angin membawanya. Aku termenung seorang diri, sedang Bang Hardi menemani Anaknya tidur di dalam kamar mereka. "Assalamualaikum." Aku terperanjat saat ada seseorang bertamu kegubukku. "Waalaikumsalam. Eh Juragan Agung, silahkan duduk!" ujarku sembari beranjak untuk mempersilahkan Juragan Agung duduk diatas bale-bale. "Terima kasih Num. Oh iya, Hardinya ada?" tanyanya sambil menatapku dengan tatapan liar, ia memindai tubuhku dengan tatapan kedua bola matanya.Aku pun menjadi bergidik karenanya. Segera aku menjauh dari bale-bale. "Ada Juragan, sedang menemani Anak-anak tidur di kamarnya. Kalau boleh tau, ada keperluan apa hingga Juragan datang kemari?"
7. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Bang Hardi Pamit Untuk Bekerja. Penulis : Lusia SudartiPart 7Ia melambaikan tangannya, dikedua netranya nampak genangan air mata yang siap tumpah. "Bapaakk ... jangan pergiii, jangan tinggalin Adeekk ...!" Kurnia berteriak histeris sembari mengejar Bang Hardi, ia berlari sangat kencang setelah terlepas dari rengkuhanku. "Adeek, jangan dek. Bapak kerja Sayang!" Fandi berteriak seraya mengejar sang Adik, saat itu kesadaranku seolah menghilang. Aku berteriak saat telah menyadari kedua Anakku berlarian. "Adeeek ..!" teriakku dan segera menyusul kedua Anakku yang telah berdiri di tepi jalan raya sembari menangis menatap kepergian sang Bapak, yaitu Suamiku yang telah menjauh bersama mobil pick up yang menjemputnya. "Sayang ...!" aku pun mendekap mereka berdua dengan tangis yang tak dapat lagi aku bendung. "Mak, Bapak pergi meninggalkan kita Mak," isak Kurnia semakin membuat hatiku begitu pilu. Aku mengangguk dan mencoba tegar untuk memberi
8. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Lauk Nasi. Bertemu Mantan. Penulis : Lusia Sudarti Part 8 "Tunggu Num ..." Aku tak menghiraukan panggilannya.Karena aku tak ingin orang salah menilai yang kelak akan menimbulkan fitnah.Belum lagi aku harus segera bekerja. Aku setengah berlari untuk menghindari Indra, ia adalah teman semasa SMA dan ia adalah seseorang yang pernah hadir dalam hatiku. Kebaikannya tak pernah pudar meskipun aku dan dia telah mengakhiri hubungan diantara kami. "Eh Num kok jalan kamu kayak dikejar se*an gitu sih!" suara Siti sahabatku satu-satunya tiba-tiba muncul dihadapanku.Aku yang melangkah tergesa sangat terkejut di buatnya. "Astagfirullah Siti!" pekikku, aku sampai terlonjak karenanya. "Lho kok aku!" sungutnya sambil mengarahkan jari telunjuk kedadanya. "Habis kamu ngagetin aku," ujarku tak mau kalah. "Yee, kamunya yang gak fokus kali." "Oh maafkanlah aku. Sekarang aku mau melanjutkan perjalananku menuju ke kediaman Ani. Aku sudah terlambat." Aku menin
9. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Satu Minggu Berlalu, Namun Belum Ada Kabar Dari Bang Hardi. Penulis : Lusia Sudarti Part 9Beruntung tempat tinggal Juragan Darta tak terlalu jauh, hingga aku tak berlama-lama di bawah teriknya matahari. π₯π₯π₯π₯π₯π₯"Assalamualaikum," aku berdiri di teras Juragan Darta sambil menunggu pemilik rumah membuka pintu, peluhku masih terus membanjiri wajah dan tubuhku. Ceklek! "Waalaikumsalam, kamu Num.""Iya Juragan!" jawabku sambil mengekori langkahnya. Aku langsung menuju ruang pakaian dan segera melakukan pekerjaanku hingga selesai.Tak membutuhkan waktu lama aku mengerjakan semua, hanya butuh 40 menit untuk menyelesaikannya. Entah mengapa, hatiku benar-benar tak tenang dan kepikiran Bang Hardi yang baru saja merantau untuk bekerja di luar kota kecil kami, tepatnya di pinggiran kota. Desa Kali Sari ....!Aku pun tak ingin membuang waktu lama."Num, kilat sekali kamu bekerja. Dan sepertinya kamu seperti sedang memikirkan sesuatu?" tanya j
10. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Penderitaanku. Penulis : Lusia Sudarti Part 10"Num, keluar ...." Brakk! Dubraakk! Braakk! Suara pintu digedor-gedor dan digebrak-gebrak dengan keras. Ceklek! "Heh Num ... bayar hutang kamu! Enak saja kamu gak mau bayar-bayar! Emang modalku dari daun!" hardik bude Sinta sembari berdiri dengan angkuh sembari mengipas wajahnya. "Duduk dulu bude, gak baik bicara sambil berdiri!" aku mengajak bude Sinta untuk duduk di bale bambu. "Halah, gak sudi aku duduk di bale bambu, pastinya kotor dan penuh kuman hiiyyy," bude Sinta mencemooh tempat tinggalku. Aku hanya mampu beristigfar dalam hati. "Eh Hanum, gak usah berbelit-belit kamu! Cepat bayar hutang mu! Enak saja gak mau bayar hutang!" cibirnya sambil menengadahkan tangan di depan wajahku. "Maaf bude saya belum punya uang sekarang. Bang Hardi pun belum ada kabarnya, sedangkan saya hanya bekerja disatu orang," jawabku lirih sembari menunduk. "Halah alasan aja kamu! Mana sini biar aku y
103. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Terima Kasih Nasi Aking, Karena Telah Memberikan Kesuksesan. Penulis : Lusia Sudarti "Lho ... ada apa disana Mbak!" seru Mbak Murti sambil berlari keluar. Part 103(TAMAT) π₯π₯π₯π₯π₯π₯π₯ "Heehh, Hanum ... bicara apa kamu sama putriku haah!" Sungguh, aku sangat terkejut mendengar teriakan Rania yang membuat heboh suasana restaurant milikku yang semula begitu tenang dan tentram. Aku dan Mbak Murti saling tatap karena tak mengerti maksud kedatangan Rania dengan marah-marah.Para pengunjung terdiam menatap Rania yang sedang emosi. Mereka yang sedang menikmati makanan di meja masing-masing saling berbisik.Aku sangat merasa malu karena situasi diluar dugaan ini.Namun aku berusaha menghadapi sikap Rania, untuk menghindari kemungkinan yang lebih buruk lagi. "Ada apa Rania? Silahkan duduk, kita bicarakan dengan baik-baik. Maaf, tak enak disaksikan semua pengunjung disini!" ucapku lembut sambil menatap para pengunjung yang nampak terganggu
103. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Terima Kasih Nasi Aking, Karena Telah Memberikan Kesuksesan. Penulis : Lusia Sudarti "Lho ... ada apa disana Mbak!" seru Mbak Murti sambil berlari keluar. Part 103(TAMAT) π₯π₯π₯π₯π₯π₯π₯ "Heehh, Hanum ... bicara apa kamu sama putriku haah!" Sungguh, aku sangat terkejut mendengar teriakan Rania yang membuat heboh suasana restaurant milikku yang semula begitu tenang dan tentram. Aku dan Mbak Murti saling tatap karena tak mengerti maksud kedatangan Rania dengan marah-marah.Para pengunjung terdiam menatap Rania yang sedang emosi. Mereka yang sedang menikmati makanan di meja masing-masing saling berbisik.Aku sangat merasa malu karena situasi diluar dugaan ini.Namun aku berusaha menghadapi sikap Rania, untuk menghindari kemungkinan yang lebih buruk lagi. "Ada apa Rania? Silahkan duduk, kita bicarakan dengan baik-baik. Maaf, tak enak disaksikan semua pengunjung disini!" ucapku lembut sambil menatap para pengunjung yang nampak terganggu
102. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Mencari Pegawai Baru. Penulis : Lusia Sudarti"Alita ..." Baik aku dan Fandi sama-sama menyebut nama Alita.Part 102π₯π₯π₯π₯π₯π₯ Aku dan Fandi berfikiran sama, sama-sama menebak bahwa yang menjatuhkan vas bunga kristal milikku adalah Alita. Terdengar derap langkah kaki di tangga lantai atas. "Ada apa Dek, sepertinya ada suara benda terjatuh?" tanya Mas Indra, sembari melangkah menuju kearah kami dengan tatapan bingung. Aku hanya terdiam, namun tatapan aku arahkan ke lantai, dimana vas bunga kristal berhamburan di lantai. "Itu Ayah ..." Fandi menunjuk kearah lantai dengan telunjuknya. Mas Indra mengikuti arahanku dan Fandi. "Kenapa Bang, bisa jatuh?" tanya Mas Indra, kemudian menatapku meminta penjelasan. Aku hanya mengangkat bahu, karena memang aku tak tahu. "Abang enggak tahu Yah. Sebentar Abang ambil sapu dulu Yah!" seru Fandi sambil melangkah ke dapur mengambil sapu untuk membersihkan pecahan kristal. "Iya Bang. Panggil aja
101. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Kedatangan Alita, Putri Dari Rania. Penulis : Lusia Sudarti'Ya Allah, terima kasih tak terhingga hamba panjatkan kepada-Mu. Terima kasih atas semuanya," doaku dalam hati. "Ibu, kami memberikan hadiah untuk Ibu, terimalah Ibu!" ujar Fandi memberikan tiga buah amplop besar kepadaku.Part 101 π₯π₯π₯π₯π₯π₯π₯Keesokan harinya ..."Assalamualaikum Ibu, Ayah! Abang pulang nih!" seru Fandi yang tiba-tiba telah berada di dapur. "Waalaikum salam, Abang! Ba---ru pulang." Aku menjeda ucapanku saat baru menyadari jika ada seseorang dibelakang Fandi yang berdiri dengan malu-malu. "Lho, itu siapa Bang? Cantik sekali!" seruku. Aku tak dapat menyimpan rasa penasaranku tentang teman wanitanya. "Oh itu, namanya Alita Bu!" jawab Fandi sembari mencium punggung tanganku dan Mas Indra. "Nama yang cantik, secantik orang ..." Ucapanku terjeda, saat tiba-tiba teringat sesuatu tentang nama yang Fandi ucapkan. "Ibu ... Bu, kok bengong?" tanya Fandi sambil m
100. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Mas Indra Memberikan Kejutan Tak Terduga Di Hari Ultahku. Penulis : Lusia SudartiBrruughh Prannkkk Barang-barang di tanganku jatuh berhamburan di lantai, sementara aku hampir saja terjatuh. Namun sebuah tangan menangkap tubuhku dan .... Part 100.π₯π₯π₯π₯π₯π₯π₯Untuk beberapa detik, nyawaku seolah tidak berada dalam ragaku. Tanpa sadar aku menatap seseorang yang sedang memelukku dan juga menyelamatkan aku ketika aku hampir tersungkur. "Ohh ... ternyata begini kelakuan istri dari Pak Indra dibelakang suaminya! Sungguh tidak aku duga, hijabnya hanya untuk menutupi kedok busuknya." Plokk, plokk, plokk. Suara tepuk tangan dan ujaran penuh kebencian menyadarkan aku dari situasi yang tidak aku duga sebelumnya. Aku dan seorang lelaki yang telah menyelamatkan aku sama-sama terkejut dan sontak sama-sama melepas pelukan. "Maaf Mbak, saya tidak sengaja!" kata Pak Dewa dengan raut wajah bersalah.Aku pun demikian. "Saya juga minta maaf Pak."
99. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Terima Kasih Ya Allah Penulis : Lusia SudartiKarena sibuk dengan hati yang sedang meronta, aku tak menyadari kehadiran Mas Indra yang kini memelukku dan kemudian mengangkat tubuhku, dibaringkan diatas ranjang. Nafasku tercekat melihat tatapannya. Part 99π₯π₯π₯π₯π₯π₯π₯π₯π₯π₯Keesokan harinya ... "Pagi Mbak!" sapa Mbak Murti saat aku berada di warung. Aku tersenyum. "Pagi juga Mbak. DGimana warung kita selama aku punya banyak masalah?" tanyaku. Mbak Murti menatapku, senyum selalu terukir di wajahnya. "Alhamdulillah banyak perubahan Mbak, semakin laris dan ramai. Oh iya Mbak, aku ... aku!" kata-kata Mbak Murti terbata. Aku menatapnya dengan kening bertaut."Ada apa Mbak? Katakan?" desakku. Mbak Murti menunduk dengan wajah memerah. "Itu Mbak, aku mau menikah sama Mas Yusuf." Aku terbelalak mendengar pengakuannya."Oh iya ... bagus dong Mbak. Bisa sama-sama bekerja disini, selamat ya Mbak Murti. Jadi kapan rencana Mbak Murti akan meni
98. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Terima Kasih Ya Allah, Atas Nikmat Dari-Mu. Penulis : Lusia Sudarti"Enggak apa-apa Mbak, enggak usah takut," ujar Mas Indra memenangkan kami. Part 98 π₯π₯π₯π₯π₯π₯π₯π₯5 bulan kemudian ... "Mas lihat, putra kita semakin mont0k," seruku kepada Mas Indra sembari menggendong putraku yang kini berusia tiga bulan. Ya, aku telah melahirkan secara normal berjenis kel4min laki-laki dan aku beri nama Harry Dewantara.Aku bahagia hidup dengan Mas Indra, suami keduaku. Meskipun aku seorang janda, namun Mas Indra tetap mencintaiku dengan tulus tanpa syarat. Ujian dan cobaan telah aku lalui dan aku menjadi pemenangnya. Mas Indra tersenyum. "Sini putra Ayah." Aku melangkah menghampiri Mas Indra yang sedang sibuk dengan laptopnya. "Huumm, udah wangi sekali putra Ayah!" ucapnya sambil menciumi kedua pipi putranya dengan gemas. "Titip dulu ya Mas. Hanum mau bikin kopi buat Mas!" kataku sambil melangkah. "Iya Ibu, biar jagoan Ayah sama Ayah dulu."
97. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Rania Tetap Dengan Pendiriannya. Penulis : Lusia SudartiRania mengusap cairan merah dari bibirnya akibat tamparanku, kemudian dia pergi dengan menghentakkan kakinya dengan keras.Part 97π₯π₯π₯π₯π₯π₯Baru saja aku menjatuhkan bobotku di kursi dengan bantuan Mas Indra. Tiba-tiba Rania datang kembali dan kali ini dia membawa gunting untuk mengancam Mas Indra dan diriku. "Mas, aku menuntut hakku sebagai seorang istri yang telah lima tahun lamanya belum pernah mendapatkan nafkah bathin darimu!" ancam Rania sambil mengangkat tangan kirinya dan bersiap melukai dirinya sendiri. Aku terhenyak mendengar dan melihat ancaman dari Rania. Mas Indra panik melihatku yang mendadak lemas. Sementara aku melihat kilatan puas dari wajah dan tatapan Rania. Namun Mas Indra tetap tenang dan tidak terpengaruh sama sekali dengan ancamam Rania. Mas Indra panik melihatku yang tampak shock karena perbuatan Rania yang diluar akal sehat. Rania masih berdiri dengan
96. Setengah Kilo Nasi Aking Untuk Anakku. Separuh Bongkahan Hatiku Yang Tersisa Untuk Mu. Penulis : Lusia Sudarti Aku terdiam mendengarnya, entahlah percaya atau tidak percaya!Yang pasti aku akan mendengarkan semua ceritanya.Part 96Malam semakin beranjak, dan aku tak dapat memicingkan kedua mataku. Aku teringat kata terakhir yang membuatku semakin kecewa dan sakit hati. "Rania meminta waktu kepada Mas, agar tidak menceraikannya dalam waktu-waktu dekat ini Sayang! Karena dia masih belum mendapatkan pekerjaan." "Mas menyanggupinya?" tanyaku sedikit ketus. Mas Indra menatapku. "Ya, setidaknya sampai Mas dapat menghubungi ayah biologis anaknya." "Apa Mas yakin, jika itu bukan d4r4h daging Mas?" tanyaku penuh selidik. "Bukan Sayang. Mas dan juga Dipta yang membawa sample untuk tes DNA dan hasilnya negatif." "Baiklah Mas! Untuk saat ini, Hanum percaya sama Mas." Mas Indra memelukku dengan erat dan penuh kasih sayang. Namun aku tak membalasnya sama sekali, karena aku pun belum