Setelah pertemuannya terakhirnya dengan Arthur berakhir tidak baik, Irish berharap tak akan pernah bertemu lelaki itu lagi. Ia juga sudah berencana untuk tidak menghadiri sidang perceraian mereka. Namun, sekarang lelaki itu malah berada di hadapannya. Sepersekian detik kemudian, Irish menyadari jika Arthur tidak sendirian. Lelaki itu bersama Elyza. Padahal sekarang masih berada dalam jam kerja dan tempat ini berada cukup jauh dari kawasan kantor Arthur. Sedangkan lelaki itu termasuk orang yang tak mau membuang waktu, apalagi hanya untuk jalan-jalan. Seharusnya Irish cukup bersikap seolah tak mengenal lelaki itu dan melanjutkan langkah. Tetapi, yang dirinya lakukan malah berbalik dan bergegas melangkah masuk ke butiknya lagi. Ia benar-benar tak ingin bertemu ataupun sekadar berpapasan dengan lelaki itu lagi. “Bu, ada apa? Apa ada orang yang mengganggu Ibu?” tanya salah seorang karyawannya yang kini menghampiri Irish. Kepanikan Irish yang terlihat jelas membuatnya khawatir.
Irish tidak berniat menghadiri pesta ulang tahun Elyza. Baginya perayaan tersebut tak penting sama sekali. Namun, akhirnya ia malah terjebak di sana. Di pesta ulang tahun Elyza. Bukan karena dirinya berubah pikiran, tetapi kaena Billy mengajaknya kemari. “Aku tidak tahu dia mantannya suamimu. Mau pulang saja?” tawar Billy, tampak tak enak hati pada Irish. Billy tidak mengetahui jika Elyza memiliki hubungan dengan Arthur. Lelaki itu hanya berniat mengajak Irish jalan-jalan sembari mendatangi pesta ulang tahun temannya. Irish yang tidak tahu ke mana tujuan mereka pun langsung menurut saja. Irish menggeleng samar. “Kita sudah sampai di sini. Setidaknya kita perlu menyapa pemilik acara. Sebenarnya aku ingin datang, tapi tidak ada teman. Sekarang aku bersamamu. Ayo masuk. Sepertinya sebentar lagi acaranya akan dimulai.” Irish berusaha meyakinkan Billy jika dirinya akan baik-baik saja. Ia juga tak ingin terlihat menyedihkan karena menghindari acara ini. Lagipula, tamu undangan ya
Ucapan Arthur membuat Irish membeku. Meskipun amat pelan, Irish dapat mendengar perkataan lelaki itu dengan jelas. Jantungnya mendadak berdetak dua kali lebih cepat. Tak menyangka kalimat seperti itu akan keluar dari mulut Arthur. “Apa maksudmu?” tanya Irish tajam. Aroma alkohol yang pekat membuat Irish akhirnya menyadari jika Arthur sedang mabuk. Ia kembali mendorong lelaki itu, namun tangannya malah dicekal. Dengan langkah agak sempoyongan Arthur menarik Irish menjauh dari sana. Seharusnya, Irish langsung meninggalkan Arthur di depan toilet tadi. Namun, sekarang dirinya malah berakhir berada di mobil lelaki itu. Bahkan, sengaja duduk di bangku kemudi karena sang pemiliknya mabuk berat dan tidak mungkin menyetir sendiri. Walau Irish belum memiliki niatan mengendarai mobil ini ke mana pun. Mereka masih berada di basement hotel tempat pesta Elyza terselenggara. Arthur yang menariknya kemari setelah tiba-tiba menciumnya tanpa permisi. Irish menoleh ke samping. Menatap Arthur yan
Arthur tak kalah terkejut dari Irish. Lelaki itu langsung berdiri dan menghampiri Irish yang membeku di ambang pintu. “Kenapa kamu ada di sini? Kamu pemilik butik ini?!” Irish sempat berpikir jika Arthur sengaja datang karena mengetahui dirinya adalah pemilik butik ini. Namun, melihat reaksi lelaki itu saat melihatnya. Ia tahu Arthur juga terkejut. Dari sekian banyak orang yang bisa menjadi customernya, malah Arthur yang mendatangi butiknya. “Butik kami belum buka. Kamu bisa datang lain kali,” usir Irish secara halus. Pantas saja customer yang menunggunya ini sangat tidak sabaran. Bahkan, sudah datang sebelum butiknya buka. Ternyata yang datang adalah mantan suaminya. Sangat khas dengan tabiat lelaki itu yang tak sabaran dan seenaknya sendiri. Irish selalu bersikap ramah pada customernya. Namun, Arthur adalah pengecualian. Ia terlalu malas berurusan dengan lelaki itu. Terlebih, belum tentu juga Arthur benar-benar berminat dengan desain buatannya. Lelaki itu terbiasa menggunakan
Irish spontan menegakkan tubuhnya. Pening hebat langsung menghantam kepalanya. Mengabaikan rasa tak nyaman itu, ia langsung mencuci mulutnya dan berbalik. Irish telah menutup pintu toilet sebelum memuntahkan isi perutnya dan sekarang Elyza malah masuk tanpa izin. “Aku baik-baik saja,” jawab Irish datar sebelum mengelap mulutnya yang basah menggunakan tisu. Irish lebih khawatir jika Arthur yang memergokinya. Lelaki itu pasti curiga dan itu tidak boleh terjadi. Dan sandiwara yang telah susah payah dirinya lakukan akhirnya akan terbongkar. Melihat hanya Elyza yang datang membuatnya lebih lega. Mual yang Irish rasakan sebelumnya masih terasa. Namun, ia berusaha menetralkan ekspresi juga menegakkan tubuhnya. Irish tak suka melihat cara Elyza menatapnya. Seolah-olah wanita itu sedang menilainya. Sesuatu yang sangat tidak pantas dilakukan. Elyza menatap Irish yang pucat pasi dengan sorot tak terbaca. Wanita itu melangkah maju, mempertipis jaraknya dengan Irish. “Kudengar kamu sempat
“Kamu tidak menggugurkannya, ‘kan?! Jawab!” Arthur merangsek maju dan berdiri tepat di belakang Irish. Jantung Irish berdebar dua kali lebih cepat. Wajahnya yang sudah pucat kini semakin pucat pasi. Ia terpaksa berbalik, membalas tatapan Arthur yang menatapnya dengan sorot berkobar. Irish ingin bersikap tenang. Namun, ekspresinya malah sebaliknya. “Apa yang kamu bicarakan? Jangan ngawur! Bukannya kamu sudah melihat buktinya waktu itu?” Meskipun sudah tertangkap basah, Irish masih berusaha beralibi. “Minggir! Aku mau keluar!” Menghindari tatapan Arthur, Irish hanya berani menatap lantai sembari mendorong tubuh lelaki itu yang menghalangi pintu keluar. Namun, tubuh Irish yang masih lemas malah spontan berpegangan pada Arthur alih-alih mendorong lelaki itu. Tampaknya anaknya tak menyetujui kebohongannya karena mualnya kembali datang. Membuat Irish tak bisa mengelak atas tuduhan Arthur. “Sudah seperti ini, masih bisa mengelak?” cerca Arthur lagi. Irish tidak langsung menjawab.
Kantuknya menghilang. Irish mengerjapkan mata. Khawatir ada yang salah dengan penglihatannya. Lelaki yang berbaring di sampingnya benar-benar Arthur. Irish spontan menarik tangannya yang sejak kapan bertengger di dada lelaki itu. Arthur masih memakai pakaian yang sama dengan beberapa jam lalu. Namun, hanya kemeja hitam lelaki itu saja yang tersisa. Dengan seluruh kancing yang sengaja dibuka. Dan tadi, tanpa Irish sadari jemarinya malah bertengger di sana. Seakan memeluk tubuh lelaki itu. “Jangan berisik, aku mau tidur.” Arthur malah sengaja memeluk Irish dengan mata yang masih terpejam. Irish langsung memberontak, melepaskan diri dari rengkuhan Arthur. “Apa yang kamu lakukan di sini? Bagaimana bisa kamu masuk ke kamarku?!” Irish ingat betul jika sebelum tidur ia telah mengunci pintu. Entah bagaimana caranya Arthur masuk ke kamarnya. Sepersekian detik kemudian Irish menyadari sesuatu. Ibu atau kakak tirinya pasti sengaja memberikan kunci cadangan kamarnya pada Arthur. “Siapa
Cekalan Arthur pada tangan Irish terasa menguat meski tidak menyakiti. Irish menyadari perubahan yang signifikan dari ekspresi lelaki itu. Namun, ia juga tidak berbohong. Semalam, Billy mengajaknya berangkat bersama dan dirinya langsung setuju. “Billy sudah menungguku. Bisa lepas tanganku?” pinta Irish sembari menunjukkan pesan dari Billy yang masuk ke notifikasi ponselnya. Billy berkata sudah sampai dan menunggu Irish di depan. Sebenarnya Irish yang meminta lelaki itu datang lebih awal. Namun, tak berharap keinginan terwujud karena ia baru mengirim pesan pada Billy 30 menit lalu. Ternyata lelaki itu benar-benar datang lebih awal. Untuk beberapa saat, Irish menikmati ekspresi marah Arthur. Ia tak mengerti mengapa lelaki itu harus marah. Padahal selama ini Arthur tidak pernah memedulikan ke mana pun dirinya dan bersama siapa pun itu. Bahkan, di saat Irish meminta izin selalu berakhir diabaikan. “Kamu berangkat bersamaku!” tegas Arthur setelah ekspresinya berubah datar. “Kamu
“Selamat ulang tahun, Sayang.”Irish membeku selama beberapa saat. Hingga matahari benar-benar terbenam, Irish masih belum bereaksi sama sekali. Manik matanya berkaca-kaca. Hari ini dirinya yang ingin memberi kejutan dengan mengerjai Arthur. Namun, malah dirinya yang dibuat lebih terkejut lagi. Melihat Irish yang hanya diam saja membuat Arthur heran. “Kenapa? Kamu tidak suka?”“Ka-kamu tahu hari ulang tahunku?” tanya Irish terbata. Irish tak pernah merayakan ulang tahunnya sejak kecil. Ketika ayahnya masih ada pun hari ulang tahunnya selalu terlewatkan begitu saja. Irish mengira ayah dan ibunya terlalu sibuk hingga tak pernah mengingat hari ulang tahunnya. Kemudian, Irish tahu jika hari kelahirannya bersamaan dengan hari kepergian ibu kandungnya. Sejak saat itu, Irish tak pernah menganggap hari ulang tahunnya sebagai hari yang penting. Ia selalu ingat, namun tak pernah berniat merayakannya. Dan sekarang Arthur tiba-tiba membuat kejutan di hari ulang tahunnya. Kejutan yang tak perna
“Kamu sendirian? Di mana Arthur?” tanya Irish setelah memesan makanan. Irish mengedarkan pandangan, menelisik keberadaan Arthur. Sebab, biasanya lelaki itu selalu berdampingan dengan Carla—sekretarisnya. Namun, sekarang Irish mendapati Carla seorang diri. Tidak mungkin Carla makan siang sendiri di sini karena jaraknya agak jauh dari kantor Arthur. “Tadi kami meeting di sini dengan klien. Tapi, Pak Arthur sudah pergi lebih dulu. Karena ada urusan dengan ... urusan pribadi.” Carla tampak tak enak hati menyampaikannya pada Irish. Sebab, Arthur memang pergi karena dihubungi Elyza. Sebelah sudut bibir Irish terangkat membentuk senyum sinis. Ia tahu apa yang Carla maksud. Dirinya tak terkejut. Arthur memang selalu seperti itu terhadap apa pun yang berhubungan dengan Elyza. Dan bisa-bisanya kemarin lelaki itu sangat marah hanya karena dirinya berada di apartemen Billy. “Elyza? Tenang saja. Tidak perlu merasa tak enak hati,” jawab Irish seraya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
Seharusnya Billy atau Irish yang bertanya seperti itu. Namun, pertanyaan tersebut malah meluncur dari tamu tak diundang yang kini menatap mereka dengan sorot mengintimidasi. Siapa lagi kalau bukan Arthur. Dan tanpa basa-basi, lelaki itu langsung menarik Irish ke sisinya. Tindakan Arthur tak menyakiti Irish. Lelaki itu hanya menarik pelan dan menggenggam tangan Irish. Namun, begitu saja sudah membuat Irish sangat terkejut. Irish tak menyangka Arthur akan menyusulnya ke sini. Ia sudah mengatakan jika dirinya berada di rumah Prayoga saat ini. Sebab, Irish yakin Arthur tak mungkin nekat ke sana. Ia curiga jangan-jangan Arthur memasang GPS di ponsel atau mobilnya. “Kamu tidak terlihat seperti orang sakit. Sengaja ingin mencari simpatik istriku?” sindir Arthur sinis. “Aku tidak berbohong. Aku hanya sakit, bukan sekarat. Dan aku tidak mencari simpatik Irish. Kalau kamu ingin marah, marah lah padaku. Irish sudah berniat baik menjenguk dan menemaniku. Kami tidak melakukan apa pun,” jawab B
“Kamu yakin ingin menginap di sini?” tanya Billy setelah Irish selesai bertelepon dengan Arthur. Irish mengangguk tanpa ragu sembari meletakkan ponselnya di tempat semula. “Tidak boleh ya? Ya sudah kalau begitu.”Tadinya Irish tidak berniat menginap. Namun, telepon dari Arthur membuatnya kesal. Belum sampai setengah jam dirinya berada di sini dan Arthur sudah bertanya kapan dirinya akan pulang. Sekalian saja ia bilang ingin menginap agar lelaki itu tak banyak bertanya lagi. “Bukan begitu. Aku tidak keberatan kamu menginap di sini. Ada kamar kosong di samping kamarku. Aku tidak yakin suamimu akan memberi izin. Dia tahu apartemen ini. Dia bisa datang kapan saja,” jawab Billy sembari mengangkat bahunya. “Tidak akan. Aku bilang kalau kamu ada di rumah kakek. Dia tidak mungkin berani datang. Lagi pula, sepertinya dia tidak tahu di mana rumah kakek,” jawab Irish sembari tertawa pelan. Sebelum berangkat kemari, Irish memang mengatakan pada Arthur jika dirinya akan mengunjungi rumah ‘kake
“Apa? Katakan saja,” balas Arthur seraya menyimpan minyak kayu putih di atas nakas. “Pertama, kamu tidak boleh menggangguku. Terutama saat aku sedang bekerja. Kecuali jika benar-benar penting.” Irish membuka matanya untuk melihat reaksi Arthur dan lelaki itu masih berekspresi tenang. “Kedua, kamu tidak boleh asal menemuiku saat aku bekerja. Kecuali, aku sudah memberi izin. Kalau aku menolak, kamu tidak bisa memaksa,” lanjut Irish. Arthur menatap Irish yang berbaring di sampingnya dengan sebelah alis terangkat. Namun, ekspresi lelaki itu tetap datar. Irish mengira Arthur akan melontarkan protes. Ternyata tidak. Atau mungkin belum. Protes dalam bentuk apa pun tak akan mengubah keputusannya. “Dan yang ketiga. Kamu harus siap saat aku membutuhkanmu. Kamu harus datang tepat waktu dan melakukan apa pun yang aku inginkan,” pungkas Irish dengan senyum puas. Tak ada yang lebih Irish inginkan selain kebebasan. Namun, ia juga ingin sedikit mengerjai Arthur. Mungkin saja dengan begitu lelaki
Perubahan yang signifikan terlihat jelas dari wajah Arthur. Irish tahu pertanyaannya pasti menyinggung lelaki itu. Ia sengaja bertanya sekarang agar Arthur tidak bisa langsung melampiaskan amarah. Bukankah menahan amarah sangat menyebalkan?Jujur saja, sampai sekarang Irish memang masih memikirkan ‘tanggung jawab' pada Elyza yang pernah Arthur katakan. Berbagai asumsi muncul di kepalanya, termasuk yang ini. Sebab, Arthur dan Elyza mungkin telah melakukan banyak hal bersama. Irish sudah menunggu jika Arthur akan melampiaskan amarah. Namun, setelah cukup lama terdiam, lelaki itu malah tertawa. Kening Irish mengerut. Tidak mengerti bagian mana yang lucu. Atau jangan-jangan dugaannya memang benar? “Kalau kamu menghamilinya, maka bertanggungjawab lah dengan benar. Jangan buat namanya semakin buruk di mata publik,” bisik Irish lagi. Perasaan campur aduk mulai menggerayangi dada Irish. Namun, ekspresinya tetap tenang. Seolah-olah dirinya tak merasakan apa pun. Ia tidak terlalu terkejut ji
“Eh, apa yang ingin kalian lakukan? Aku tidak mau!” protes Irish yang spontan bergerak mundur. Entah apa yang Arthur rencanakan. Kini di rumahnya ada beberapa make up artis yang sudah siap dengan peralatan lengkap. Melihat kedatangannya, Arthur langsung memerintah mereka untuk mendandaninya. Tentu saja ia menolak. Dirinya tak ingin pergi ke mana pun setelah ini. “Kita akan menghadiri resepsi pernikahan kolega bisnisku. Sudah agak terlambat, tapi tidak masalah. Acaranya sampai tengah malam. Kamu masih bisa mandi dan bersiap-siap. Mereka akan membantumu,” jelas Arthur yang menghampiri Irish. Irish menganga tak percaya. Ia mengetahui tentang pesta pernikahan salah satu kolega bisnis Arthur yanh berlangsung malam ini. Namun, dirinya tak mendapat undangan. Dan sekarang, tiba-tiba Arthur mengajaknya ke sana. Bahkan, setelah acara berlangsung. Padahal tadi siang mereka bertemu. “Aku tidak mau! Kamu tidak bisa seenaknya! Aku baru pulang dan belum istirahat!” Irish langsung menolak mentah-
Irish terkesiap dan spontan mundur selangkah. Ia membekap mulutnya yang nyaris memekik. Matanya melebar sempurna melihat guci besar setinggi kurang lebih satu meter yang tak sengaja dirinya pecahkan. Padahal, ia merasa berdiri agak jauh dari guci tersebut. Irish sengaja diam-diam berdiri di dekat pintu ruangan Arthur karena masih ingin menguping. Ia sangat penasaran dengan apa yang dibahas oleh Elyza dan Arthur. Namun, dirinya sangat ceroboh dan malah menghancurkan properti bernilai ratusan juta itu. Tak pernah mendengar Arthur berkata ketus pada Elyza sebelumnya membuat rasa penasaran Irish kian bertambah. Sebab, yang dirinya tahu lelaki itu selalu bersikap lembut pada Elyza. Kapan pun dan di mana pun itu. Bahkan, selalu mengabulkan permintaan wanita itu tanpa ragu. “Nyonya, Anda baik-baik saja?” tanya sekretaris Arthur yang langsung menghampiri Irish. “Maaf, aku tidak sengaja,” jawab Irish dengan perasaan campur aduk. Ceklek!Keributan yang terjadi tentu saja terdengar hingga k
“Maaf, aku tidak bisa,” tolak Irish di saat dirinya dan Arthur sudah sangat berantakan. Sedari tadi Irish berusaha mengumpulkan sisa-sisa kewarasannya. Sebesar apa pun keinginannya, ia tak ingin terlena lagi. Untungnya, kalimat itu sempat terucap sebelum mereka benar-benar melakukannya. Meskipun sudah sangat terlambat. Irish menyadari seharusnya sejak awal dirinya menolak. Bukan malah diam saja dan membiarkan Arthur menyentuhnya. Sayangnya, ia perlu mengumpulkan sisa kewarasannya sebelum benar-benar menghilang. Dan akhirnya membiarkan Arthur melakukan apa pun. Arthur memang tidak memaksakan, sejak awal pernikahan mereka pun begitu. Tentunya dulu Irish senang karena merasa dianggap oleh lelaki itu. Namun, entah kenapa sekarang ada saja yang mengganjal di benaknya dan membuatnya tak nyaman melakukan itu.Meskipun Arthur masih berstatus sebagai suaminya dan melakukan ini bukanlah yang pertama bagi mereka. “Oke,” jawab Arthur setelah terdiam cukup lama. Kekecewaan itu tampak sangat j