“Aku minta maaf. Dugaanku membuat rumah tangga kalian berantakan,” sesal Billy karena selama ini bersikukuh jika Arthur ingin mencelakai Irish. Billy pun tak menduga jika Elyza se licik ini sampai bisa merencanakan semuanya dengan mulus dan menjadikan Arthur sebagai kambing hitam. Billy sampai terkecoh dan mengira Arthur adalah dalang dari semuanya karena seluruh bukti mengarah pada lelaki itu. “Tidak apa-apa. Hubungan kami memang sudah berantakan sejak lama,” jawab Irish dengan senyum kaku. “Aku mau lihat buktinya. Apa saja yang dia katakan?” Irish memilih mengalihkan pembicaraan. Tak ingin memperpanjang pembahasan tentang rumah tangganya. Billy membuka tas dan menyalakan laptopnya. Ia langsung membuka file berisi bukti-bukti tentang keterlibatan Elyza dalam insiden di butik Irish. Bukan itu saja. Namun, juga beberapa insiden yang menimpa Irish. Semuanya karena perbuatan Elyza. Bahkan, orang yang menabrak Irish dan berujung menabrak Arthur hingga membuat lelaki itu lumpuh. Pemil
Tangan Maudy nyaris mendarat di wajah Irish, namun Irish lebih dulu menangkis tangan wanita paruh baya itu. Ia dapat membaca pergerakan Maudy dan tentu saja ia tak akan membiarkan itu terjadi. Meskipun saat ini dirinya memang bersalah atas kecelakaan Arthur. “Kamu mulai berani, hah?!” bentak Maudy sembari menarik tangannya yang masih dipegang oleh Irish. “Mama tidak mau menyapaku dulu? Sudah lama kita tidak bertemu.” Irish menyunggingkan senyum tipis. Ia tetap bersikap santai, berbanding terbalik dengan Maudy yang tampak sangat murka. “Mama mau minum apa? Sudah sarapan atau belum? Mau sarapan bersamaku?” tawar Irish yang sebenarnya tak memiliki apa pun untuk disuguhkan pada Maudy. Irish melakukan ini hanya untuk basa-basi saja sekaligus mencairkan suasana. Walaupun tampaknya Maudy sudah tidak mau diajak berbasa-basi lagi. Apalagi dengan banyaknya orang yang wanita paruh baya itu bawa. Ini seperti penggerebekan. Irish sudah bisa menebak jika Maudy akan bersikap seperti ini saat me
“Elyza sudah kembali. Bersiaplah, sebentar lagi Arthur akan meninggalkanmu.”“Setelah dua tahun menikah, bahkan kamu tidak bisa memberinya anak. Benar-benar tidak berguna.”Bisikan sang ibu mertua membuat manik mata Irish semakin memerah dan berkaca-kaca. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya, menahan desakan air mata yang nyaris keluar. Tanpa memedulikan kata-katanya yang telah melukai menantunya, Maudy—mertua Irish langsung beranjak pergi dari sana. Irish masih membeku di posisi yang sama. Menatap lurus ke arah gerbang yang kini sudah kembali ditutup oleh security. Kemudian, tatapan beralih ke meja makan yang sedikit terlihat dari pintu utama. Meja yang masih penuh dengan berbagai menu masakannya yang belum tersentuh sama sekali. Arthur—suaminya terburu-buru pergi setelah menerima telepon entah dari siapa. Lelaki itu tak menjawab meski Irish sudah mencoba bertanya. Meninggalkan dirinya begitu saja padahal hari ini adalah anniversary pernikahan mereka yang kedua. Jangankan ing
Ringisan pelan lolos dari bibir Irish karena cengkraman Arthur hingga membuat pergelangan tangannya terasa perih. “Sakit. Lepas!” Irish pikir Arthur akan mengabulkan permintaannya dengan mudah. Namun, yang dirinya dapati malahan ekspresi lelaki itu semakin gelap. Tanpa peduli dengan Irish yang meringis meminta dilepaskan, Arthur malah sengaja menarik Irish hingga menabrak tubuhnya. “Apa? Cerai?” desis Arthur sinis. “Beraninya kamu meminta cerai? Kamu bukan siapa-siapa tanpa diriku!” sembur Arthur penuh penekanan. Sekuat tenaga Irish mendorong Arthur hingga akhirnya cekalan lelaki itu terlepas dari tangannya. Menyisakan rasa perih hingga berdenyut-denyut. Namun, ia mempertahankan ekspresinya tetap datar. Wanita itu mengangkat kepala membalas tatapan Arthur tak kalah sengit. “Aku ingin kita berpisah secepatnya. Dia sudah kembali. Kurasa sudah waktunya pernikahan ini berakhir,” jawab Irish tanpa ragu. Ekspresinya memang tampak sangat meyakinkan. Seolah-olah inilah yang di
Usapan lembut di kepalanya membuat Irish terbangun. Namun, ketika membuka mata, pemandangan pertama yang dilihatnya adalah tatapan tajam suaminya. Ia spontan mengalihkan pandangan dan mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Saat itu pula Irish menyadari dirinya sedang berada di rumah sakit. Dan sudah pasti Arthur telah mengetahui kehamilannya. Lelaki itu tampak marah besar. Entah karena Irish menyembunyikan kehamilannya atau karena kabar kehamilan Irish bukanlah kabar yang menyenangkan bagi lelaki itu. Sepertinya opsi kedua lah yang paling tepat. Irish yakin Arthur pasti merasa jika kehamilannya hanya akan menjadi penghalang hubungan lelaki itu dengan Elyza. Ia menyentuh perutnya, khawatir Arthur gelap mata dan melakukan sesuatu yang buruk pada janinnya. “Kamu tidak bisa membawa anakku pergi,” ucap Arthur dingin. Suara dingin itu terasa amat menusuk hingga Irish bergidik ngeri. Ia berdeham pelan dan berkata, “Dia bukan anakmu. Tenang saja, aku tidak akan meminta pertanggung
Penjelasan pria paruh baya di sampingnya membuat Irish berkaca-kaca. Tadinya ia tidak langsung mempercayai cerita pria itu. Namun, setelah melihat semua bukti yang Prayoga bawa, akhirnya Irish percaya jika pria paruh baya itu adalah kakeknya. Ayah kandung ibunya. Irish tidak pernah mengenal keluarga ibunya sebelumnya. Sebab, ibunya meninggal dunia saat melahirkannya. Dan yang merawatnya selama ini adalah ibu tirinya. Tak pernah ada yang menceritakan tentang keluar mendiang ibu kandungnya. Tidak ada juga yang menemuinya selama ini. “Irish, Kakek tahu kamu pasti terkejut dan belum mempercayai Kakek sepenuhnya. Tapi, Kakek tidak berbohong. Kakek mencarimu selama ini. Maaf, Kakek terlambat menemukanmu,” tutur Prayoga sembari menggenggam tangan Irish yang berada di atas meja. “Harusnya Kakek menemuimu lebih awal. Sebelum mereka membuatmu menderita. Mereka benar-benar pandai menyembunyikan kebusukan mereka di depan umum,” lanjut Prayoga dengan alis menukik tajam, menunjukkan amarah terta
[“Berani-beraninya kamu mengirim surat gugat cerai padaku!”][“Di mana kamu?! Jangan bersembunyi!”]Mendengar bentakan Arthur membuat sebelah sudut bibir Irish terangkat. Setelah beberapa hari sebagai mematikan ponselnya, ia tak menyangka akan mendapati banyak panggilan tak terjawab dari Arthur. Dan akhirnya ia memilih mengangkat telepon dari Arthur ketika lelaki itu menghubunginya lagi. Irish sengaja menonaktifkan ponselnya selama beberapa hari agar tidak diganggu oleh siapa pun. Waktu tersebut ia gunakan untuk menenangkan pikirannya. Dan begitu ponselnya menyala, gangguan itu kembali datang tanpa bisa dicegah. Sebelumnya, Arthur tak pernah sekalipun menghubunginya lebih dulu. Bahkan, lelaki itu selalu membalas singkat pesan darinya dan lebih banyak yang tidak dibalas. Apalagi jika ditelepon, Arthur selalu menolak telepon dari Irish. Seolah itu sangat mengganggu. “Kenapa aku harus takut? Aku tidak membuat kesalahan. Bukankah harusnya kamu senang? Setelah perceraian kita selesai, k
Tatapan tajam Arthur kian menusuk. “Kamu pikir bisa membodohiku?” “Kamu tidak percaya? Buktikan saja!” jawab Irish santai. Senyum manis menghiasi wajahnya yang menawan. Akhirnya, persidangan tersebut ditunda dan Arthur langsung menyeret Irish menuju ke mobilnya. Lelaki itu tak membiarkan Irish mengendarai mobil sendiri. Sebab, tak ingin memberi kesempatan wanita itu untuk melarikan diri lagi. “Aku tidak mau meninggalkan mobilku di sini!” tolak Irish yang berusaha melepas cekalan Arthur dan hendak memasuki mobilnya sendiri. Secara kebetulan, mobil Irish dan Arthur terparkir bersebelahan. Tadi, Irish tidak menyadari itu karena terburu-buru. Ia hanya asal memarkirkan mobilnya di tempat yang kosong. Kemudian, langsung buru-buru masuk ke ruang persidangan. “Aku tidak akan kabur! Kalau perlu, kamu bisa mengikuti mobilku dari belakang!” Irish tak ingin satu mobil dengan Arthur meski hanya beberapa menit saja. Irish sudah benar-benar menyerah dan malas berurusan dengan Arthur. Jika
Tangan Maudy nyaris mendarat di wajah Irish, namun Irish lebih dulu menangkis tangan wanita paruh baya itu. Ia dapat membaca pergerakan Maudy dan tentu saja ia tak akan membiarkan itu terjadi. Meskipun saat ini dirinya memang bersalah atas kecelakaan Arthur. “Kamu mulai berani, hah?!” bentak Maudy sembari menarik tangannya yang masih dipegang oleh Irish. “Mama tidak mau menyapaku dulu? Sudah lama kita tidak bertemu.” Irish menyunggingkan senyum tipis. Ia tetap bersikap santai, berbanding terbalik dengan Maudy yang tampak sangat murka. “Mama mau minum apa? Sudah sarapan atau belum? Mau sarapan bersamaku?” tawar Irish yang sebenarnya tak memiliki apa pun untuk disuguhkan pada Maudy. Irish melakukan ini hanya untuk basa-basi saja sekaligus mencairkan suasana. Walaupun tampaknya Maudy sudah tidak mau diajak berbasa-basi lagi. Apalagi dengan banyaknya orang yang wanita paruh baya itu bawa. Ini seperti penggerebekan. Irish sudah bisa menebak jika Maudy akan bersikap seperti ini saat me
“Aku minta maaf. Dugaanku membuat rumah tangga kalian berantakan,” sesal Billy karena selama ini bersikukuh jika Arthur ingin mencelakai Irish. Billy pun tak menduga jika Elyza se licik ini sampai bisa merencanakan semuanya dengan mulus dan menjadikan Arthur sebagai kambing hitam. Billy sampai terkecoh dan mengira Arthur adalah dalang dari semuanya karena seluruh bukti mengarah pada lelaki itu. “Tidak apa-apa. Hubungan kami memang sudah berantakan sejak lama,” jawab Irish dengan senyum kaku. “Aku mau lihat buktinya. Apa saja yang dia katakan?” Irish memilih mengalihkan pembicaraan. Tak ingin memperpanjang pembahasan tentang rumah tangganya. Billy membuka tas dan menyalakan laptopnya. Ia langsung membuka file berisi bukti-bukti tentang keterlibatan Elyza dalam insiden di butik Irish. Bukan itu saja. Namun, juga beberapa insiden yang menimpa Irish. Semuanya karena perbuatan Elyza. Bahkan, orang yang menabrak Irish dan berujung menabrak Arthur hingga membuat lelaki itu lumpuh. Pemil
“Apa maksudmu?” tanya Arthur dengan kening mengerut. “Aku akan ikut denganmu.” Tanpa menunggu respon Arthur, Irish langsung masuk ke bangku bagian belakang mobil lelaki itu. Irish sudah memikirkan ini matang-matang. Ia memang ingin merawat Arthur. Meskipun Arthur tinggal bersama Maudy, ia tetap akan tinggal di tempat lelaki itu berada. Ini sebagai bentuk tanggungjawab dan ungkapan terima kasihnya pada Arthur. Barusan, Irish menelepon kakeknya dan meminta izin untuk tinggal bersama Arthur selama proses pemulihan lelaki itu. Entah sampai kapan, ia belum tahu pasti. Yang jelas, untuk saat ini ia benar-benar ingin merawat Arthur dulu hingga keadaan lelaki itu membaik. Cukup sulit mendapat izin dari Paryoga. Oleh karena itu, Irish agak lama berada di toilet saat bertelepon. Namun, pada akhirnya izin yang dirinya inginkan tetap ia dapatkan. Saat keluar dari sana, ia malah hampir tertinggal. Sedangkan dirinya tak tahu di mana tempat tinggal Arthur sekarang. “Kenapa kalian sangat tidak s
“Itu yang membuatmu di sini sekarang?” tanya Arthur sembari terkekeh pelan. Irish yang hendak menyimpan baskom di toilet spontan kembali berbalik dan melangkah ke bangsal Arthur. Ia menggeleng samar. Dirinya berada di sini bukan karena keadaan Arthur, bukan karena rasa bersalahnya. Namun, karena dirinya memang ingin berada di sini. “Bukan karena itu. Aku memang ingin merawatmu,” jawab Irish yang sudah jatuh berlutut di samping bangsal Arthur. Ia menyentuh tangan lelaki itu yang terpasang infus. Arthur mendengus pelan. “Berarti aku memang lumpuh? Kenapa diam saja? Kamu takut?”Irish mengangkat kepalanya. Membalas tatapan Arthur dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ia dapat melihat dengan jelas kekecewaan di mata lelaki itu. Kondisi kaki lelaki itu pasti menjadi pukulan besar bagi Arthur dan akan menghambat banyak hal ke depannya. Sungguh, jika bisa bertukar posisi, Irish tak ingin Arthur menyelamatkannya hari itu. Biarlah dirinya yang celaka sebab tabrakan tersebut terjadi karena k
Saat menoleh ke belakang, Irish terbelalak melihat Arthur yang sudah membuka mata dan kini menggenggam tangannya. Ia mengerjapkan matanya, tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Namun, genggaman pada tangannya saat ini membuatnya tersadar jika ini nyata. “Apa sekarang wajahku menyeramkan?” tanya Arthur dengan suara serak dan satu alis terangkat. Irish spontan kembali melangkah ke arah Arthur dan memeluk lelaki itu. Air matanya menetes tanpa bisa dicegah. Lama-kelamaan isak tangisnya mulai terdengar. Ini benar-benar nyata, bukan bagian dari khayalannya. Bukan sekadar kelegaan yang dirinya rasakan. Perasaan menyiksa itu kini sepenuhnya hilang. “Akhirnya kamu sadar,” gumam Irish di sela isak tangisnya. Selama seminggu ini, Irish tak berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Apalagi melihat kondisi Arthur yang tak menunjukkan perubahan signifikan. Rasanya, ia ingin bertukar posisi dengan lelaki itu. Sebab, memang seharusnya dirinya yang celaka. Arthur mengangkat tangan kirinya
“Apa ini bagian dari rencanamu juga?” gumam Billy sembari menatap Arthur yang masih memejamkan mata. Billy berhasil memaksa Irish untuk pulang dan istirahat di rumah. Sebagai gantinya, ia yang menjaga Arthur di sini. Arthur sudah dipindahkan ke ruang perawatan VVIP. Namun, hingga saat ini lelaki itu belum sadarkan diri. Dan Irish sudah berulang kali menanyakan kondisi Arthur melalui whatsapp. Billy yang baru kembali dari kantin rumah sakit langsung menarik kursi di samping bangsal Arthur. Ia mengamati wajah dan tubuh Arthur. Bukan hanya patah kaki, tangan kanan Arthur juga patah. Wajah lelaki itu penuh luka dengan kening yang diperban. “Kamu sangat bodoh kalau ini bagian dari rencanamu juga. Kamu bisa mati dan belum tentu Irish bersedia kembali padamu,” monolog Billy pada Arthur yang masih tak sadarkan diri. Arthur terlalu sering membuat skenario untuk menarik perhatian Irish. Oleh karena itu, Billy sedikit curiga jika ini adalah bagian dari rencana Arthur juga. Sebab, lelaki itu
BRAK! CIITTT ....Irish tak tahu apa yang terjadi hingga seseorang mendorongnya sangat kuat. Wanita itu jatuh terjerembab dan belanjaannya berhamburan ke mana-mana. Di saat yang sama, terdengar suara tabrakan sangat kencang di belakangnya. “Arthur!” pekik Irish melihat Arthur yang kini sudah bersimbah darah di tengah jalan. Tanpa memedulikan luka pada kaki dan tangannya, Irish langsung berlari menghampiri Arthur. Tangannya gemetar bersamaan dengan air matanya yang bercucuran. Lelaki itu masih setengah sadar, namun tampak sudah sangat tak berdaya. “Apa yang kamu lakukan? Bodoh! Kenapa kamu menyelamatkan aku?” tanya Irish dengan suara bergetar di sela isak tangisnya. Arthur terkekeh pelan dengan mata setengah terpejam. “Aku lebih bodoh kalau membiarkan kamu celaka di depan mataku. Mungkin dengan cara ini kamu bisa memaafkaanku. Aku tidak akan bisa mengganggumu lagi setelah ini. Jangan khawatir.”“Kamu bicara apa?! Jangan pejamkan matamu!” Irish bergegas bangkit dan hendak mencari ba
Irish mengejapkan matanya. Ia ingat hari anniversary pernikahannya, namun tak memiliki niatan untuk merayakannya lagi. Irish malah mengantarkan surat gugat cerainya pada Arthur di hari anniversary pernikahan mereka. Tentunya, ia tak berharap Arthur akan mengingat hari itu juga. “Aku ingat. Tapi, baru sempat datang kemari. Aku ingin langsung memberikannya padamu, bukan melalui kurir,” jelas Arthur yang tak ingin Irish salah paham. “Oke, terima kasih.” Irish tetap menerima buket bunga dan paper bag tersebut. Anggap saja untuk menebus rasa bersalahnya karena membuat Arthur semalaman berada di sini. “Harusnya kamu tidak perlu repot-repot membelikan apa pun. Proses perceraian kita sedang berjalan. Tidak ada yang perlu dirayakan,” imbuh Irish datar. Irish meletakkan buket dan paper bag pemberian Arthur di bangku taman yang tersedia. Kemudian, duduk di sana tanpa menawari Arthur untuk duduk juga. Lelaki itu sudah kembali berlutut di depan stroller si kembar sembari mengajak keduanya meng
Mendengar pemberitahuan pelayan tersebut membuat ekspresi Irish berubah seketika. Ia nyaris tak percaya. Namun, ketika mengintip dari jendela di kamarnya yang terhubung dengan halaman depan rumah, Irish tak bisa menyangkal. Arthur benar-benar ada di sini. Arthur tahu dirinya dan anak-anak mereka berada di sini sejak melarikan diri dari rumah ayahnya. Selama itu juga, Arthur tak pernah sekali pun datang kemari. Dan sekarang, setelah lelaki itu mengacaukan sidang perceraian mereka, dia malah muncul di depan rumah kakeknya. “Apa dia ingin cari mati?” gerutu Irish sembari menatap Arthur yang bersandar di belakang pintu gerbang tinggi yang kini masih tertutup rapat. Dari kamarnya yang berada di lantai dua, Irish dapat melihat lelaki itu dengan jelas. Pintu gerbang yang tak dibuka padahal ada tamu menunjukkan jika Arthur tak boleh masuk. Seharusnya lelaki itu mengerti dan langsung pergi, bukan malah menunggu. Hari ini, kakeknya dan Billy memang sedang berada di luar kota. Seharusnya Iri