Kantuknya menghilang. Irish mengerjapkan mata. Khawatir ada yang salah dengan penglihatannya. Lelaki yang berbaring di sampingnya benar-benar Arthur. Irish spontan menarik tangannya yang sejak kapan bertengger di dada lelaki itu. Arthur masih memakai pakaian yang sama dengan beberapa jam lalu. Namun, hanya kemeja hitam lelaki itu saja yang tersisa. Dengan seluruh kancing yang sengaja dibuka. Dan tadi, tanpa Irish sadari jemarinya malah bertengger di sana. Seakan memeluk tubuh lelaki itu. “Jangan berisik, aku mau tidur.” Arthur malah sengaja memeluk Irish dengan mata yang masih terpejam. Irish langsung memberontak, melepaskan diri dari rengkuhan Arthur. “Apa yang kamu lakukan di sini? Bagaimana bisa kamu masuk ke kamarku?!” Irish ingat betul jika sebelum tidur ia telah mengunci pintu. Entah bagaimana caranya Arthur masuk ke kamarnya. Sepersekian detik kemudian Irish menyadari sesuatu. Ibu atau kakak tirinya pasti sengaja memberikan kunci cadangan kamarnya pada Arthur. “Siapa
Cekalan Arthur pada tangan Irish terasa menguat meski tidak menyakiti. Irish menyadari perubahan yang signifikan dari ekspresi lelaki itu. Namun, ia juga tidak berbohong. Semalam, Billy mengajaknya berangkat bersama dan dirinya langsung setuju. “Billy sudah menungguku. Bisa lepas tanganku?” pinta Irish sembari menunjukkan pesan dari Billy yang masuk ke notifikasi ponselnya. Billy berkata sudah sampai dan menunggu Irish di depan. Sebenarnya Irish yang meminta lelaki itu datang lebih awal. Namun, tak berharap keinginan terwujud karena ia baru mengirim pesan pada Billy 30 menit lalu. Ternyata lelaki itu benar-benar datang lebih awal. Untuk beberapa saat, Irish menikmati ekspresi marah Arthur. Ia tak mengerti mengapa lelaki itu harus marah. Padahal selama ini Arthur tidak pernah memedulikan ke mana pun dirinya dan bersama siapa pun itu. Bahkan, di saat Irish meminta izin selalu berakhir diabaikan. “Kamu berangkat bersamaku!” tegas Arthur setelah ekspresinya berubah datar. “Kamu
Arthur melepaskan tautan bibir mereka karena Irish terus memukul dadanya. Irish langsung mendorong Arthur setelah lelaki itu sedikit menjauh. Wanita itu mengubah posisi menjadi duduk dan bergegas bersingkut mundur dengan tatapan penuh perhitungan. Jantung Irish berdetak dua kali lebih cepat. Deru napasnya memburu dengan wajah merah padam. Perpaduan antara malu dan kesal. Irish tak menyangka Arthur akan menciumnya. Seharusnya, ia bergerak lebih sigap untuk melindungi dirinya. “Tadi kamu jatuh. Sakit?” tanya Arthur sembari sedikit menyingkap dress yang Irish pakai untuk melihat kaki wanita itu. Irish pikir Arthur akan melanjutkan perbuatan tak senonoh padanya. Tak menyangka Arthur malah memedulikan kakinya yang sebenarnya tidak sakit apalagi terluka. Tadi dirinya hanya terkejut dan tak bisa menjaga keseimbangan hingga terjatuh di ranjang. “Tidak. Aku baik-baik saja.” Irish langsung menarik kakinya dan kembali merapikan dress yang melekat di tubuhnya. Tak ingin membuat Arthur mem
Pertanyaannya sangat menyinggung Arthur dan Irish tahu itu. Ia sengaja melakukannya demi menghentikan aksi gila lelaki itu. Sebab, pengendalian dirinya pun masih sangat tipis. Jika tidak dihentikan secepatnya, Irish akan menyesalinya nanti. Seperti yang Irish inginkan, pertanyaannya membuat Arthur berhenti menyentuhnya. Ia memang belum melihat ekspresi Arthur karena posisinya lelaki itu. Namun, Irish tahu Arthur pasti marah besar. Terlebih, lelaki itu menjunjung harga diri di atas segalanya. “Apa maksudmu bertanya begitu?” tanya Arthur pelan, namun penuh penekanan. Setelah Arthur melepas rengkuhan pada perutnya, Irish langsung mengubah posisi menjadi berhadapan dengan lelaki itu. Rahang Arthur mengeras, sorot mata lelaki itu juga berubah tajam. Alih-alih merasa takut, Irish malah menikmatinya. Irish tak bermaksud melakukan ini jika saja Arthur tidak lebih dulu memulainya. Lelaki itu tahu hubungan mereka tak seperti dulu lagi. Di saat Arthur bisa menyentuhnya kapan pun lelaki i
Melihat nama yang tertera di layar ponsel Arthur membuat Irish spontan mengalihkan pandangan. Berpura-pura tidak melihat nama itu dan kembali melanjutkan kegiatan makannya. Sedangkan Arthur langsung mengambil ponselnya dan mengangkat telepon tersebut. “Cepat sekali,” cibir Irish dalam hati. Irish yakin jika dirinya yang menelepon Arthur, meski dalam keadaan genting sekalipun, lelaki itu tak akan langsung menjawab. Seperti yang biasanya Arthur lakukan. Kalau tidak berujung diabaikan, telepon darinya akan diangkat di detik-detik terakhir sebelum terputus. Namun, itu tidak berlaku pada Elyza. Setiap kali wanita itu menghubungi Arthur, pasti langsung diangkat. Sama seperti di malam anniversary pernikahan Irish dan Arthur. Lelaki itu langsung pergi begitu saja karena Elyza membutuhkan bantuannya. “Ada apa, El?” tanya Arthur setelah mengangkat telepon dari Elyza. Irish mengira Arthur akan pergi. Setidaknya, tidak membuatnya tanpa sengaja menguping pembicaraan mereka. Namun, lelaki
Irish spontan menoleh dengan mata melebar sempurna. Ia bahkan melupakan jadwal check up nya ke dokter kandungan. Namun, Arthur malah mengetahui dan menyusul kemari. Atau jangan-jangan lelaki itu diam-diam mengikutinya. Arthur menghempas tangan Billy yang hendak menggandeng tangan Irish. Kemudian, langsung menggenggam tangan Irish dan memimpin langkah memasuki ruangan dokter. Ruangan dokter yang sama dengan dokter yang menyatakan Irish tidak hamil sebulan lalu. Melihat kedatangan Arthur, dokter itu tampak salah tingkah. Tak menyangka akan bertemu dengan Arthur lagi. Menyadari itu, Arthur langsung tersenyum sinis. Lelaki itu yakin Billy lah yang membayar dokter ini untuk mengelabuinya. “Kurasa hukum memberikan keterangan palsu di negri ini masih berlaku,” celetuk Arthur datar. “Arthur, stop!” desis Irish penuh penekanan. Jujur saja, Irish merasa malu luar biasa atas terbongkarnya kebohongannya. Ia sudah bersusah payah menyakinkan Arthur, namun belum apa-apa semuanya malah suda
Arthur dengan sigap menahan tubuh Irish sebelum wanita itu terjatuh. “Kamu kenapa?”“Perutku sakit!” jawab Irish sembari mencengkram lengan Arthur. Irish tak mengerti apa yang terjadi. Tiba-tiba nyeri tak tertahankan menghantam perutnya. Perutnya seperti diremas kuat hingga dirinya tak mampu berdiri. Padahal seharian ini ia baik-baik saja, bahkan tak merasa mual sama sekali sejak pagi hari. Kram perut yang sebelumnya pernah Irish rasakan pun tidak sampai seperti ini. Dan jika dirinya mengalami kram, biasanya hanya beberapa detik saja. Namun, sekarang nyeri di perutnya tak kunjung hilang. Malah kian bertambah setiap detiknya. “Ini pasti karena kamu makan sembarangan!” balas Arthur kesal dan khawatir di saat yang sama. Lelaki itu langsung menggendong Irish ala bridal style dan berdiri perlahan sembari menghindari pecahan piring yang menyebar di sekitar nya. “Bereskan semuanya dan bawakan air hangat ke kamarku!” titah lelaki itu pada pelayan sewaannya yang datang karena mendenga
Irish diam-diam memperhatikan ekspresi Arthur. Lelaki itu menampilkan ekspresi kesal, entah apa penyebabnya. Bisa saja karena merasa terganggu oleh telepon dari Elyza. Atau karena Arthur harus repot-repot merawatnya. Namun, sepertinya kemungkinan kedua lebih masuk akal. Mana mungkin Arthur kesal hanya karena mendapat telepon dari Elyza?Irish kembali melanjutkan kegiatannya tanpa memedulikan Arthur. Jika ketahuan memperhatikan lelaki itu, ia pasti dianggap ingin tahu. Hanya saja, keberadaan Arthur di sini membuatnya secara tak sengaja mendengar pembicaraan lelaki itu dengan Elyza. “Katakan permintaan maafku. Kuharap kalian mengerti. Aku tidak mau meninggalkan Irish,” ucap Arthur lagi sebelum mengakhiri panggilan tersebut. Di seberang sana, Elyza menatap ponselnya yang sudah berubah menjadi hitam dengan umpatan samar. Akhir-akhir ini Arthur lebih sering mengabaikannya karena sibuk mengurus Irish. Seharusnya, lelaki itu tidak perlu mengetahui kalau Irish masih hamil. Kembali ke
“Billy? Apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu berpapasan dengan Arthur?”Irish yang baru keluar kamar dan hendak berbelok ke meja makan terkejut bukan main melihat Billy duduk manis di ruang tengah. Masalahnya, Arthur yang terburu-buru berangkat ke kantor baru berpamitan dengannya kurang dari 10 menit lalu. Namun, jika Arthur benar-benar berpapasan dengan Billy, tak mungkin lelaki itu masih duduk manis di sini. Arthur pasti langsung mengusir bahkan menyeret Billy keluar. Tak mungkin Arthur dan Billy tiba-tiba akur saat bertemu. Kecuali jika di depan umum. Itu pun bukan benar-benar akur. Biasanya Arthur dan Billy akan bersikap seolah tak saling mengenal ataupun menyapa. Kecuali jika ada hal penting yang terpaksa membuat mereka saling bicara. Namun, ketenangan itu tak mungkin terjadi jika mereka hanya berduaan. “Tentu saja tidak. Aku menunggu mobilnya pergi agak jauh sebelum masuk. Kamu se takut itu padanya? Apa dia selalu mengancammu?” tanya Billy seraya bangkit dari sofa dan meng
Gudang rumah ini bukan berisi barang-barang usang tak terpakai seperti yang Irish pikirkan. Mungkin lebih tepatnya tempat ini memang berisi barang bekas milik mendiang ibunya. Hingga foto-foto ibunya yang tak pernah Irish lihat pun terpajang di sini. “Aku yang menyimpan semuanya di sini. Aku memang jahat. Jangan terlalu terkejut,” celetuk Karina seraya membuka pintu lebih lebar. Irish tak menanggapi dan langsung melangkah masuk ke gudang tersebut. Gudang itu terlalu rapi untuk disebut gudang. Foto-foto ibunya terpajang di dinding. Bahkan, ada juga beberapa foto ibu dan ayahnya. Mereka tampak seperti pasangan yang bahagia. Ketika Irish masih kecil, ia sering dibuat penasaran dengan ruangan ini. Namun, tak pernah diizinkan masuk. Karina selalu mengatakan jika gudang itu kotor dan berantakan. Oleh karena itu, ia tidak pernah tahu isi dalam gudang ini sampai sekarang. Dan ternyata, apa yang Karina katakan dulu hanyalah kebohongan. Gudang ini tidak berantakan ataupun kotor. Ruangan ini
Pertanyaan itu membuat Irish terkesiap. Ia bingung harus memberi jawaban seperti apa dan mengatakan yang sebenarnya adalah opsi terakhirnya. Tak tahu harus menjawab apa, akhirnya Irish berpura-pura tidak mendengar dan fokus memilih pernak-pernik bayi di hadapannya. “Kalian mengunjungi makam orang tua Billy?” tebak Arthur sembari mendorong troli yang yang kosong dan mengikuti langkah Irish. Lorong ini cukup sepi. Hanya ada mereka saja di sini. Oleh karena itu, Arthur dapat bertanya dengan leluasa. Tebakan Arthur membuat Irish lebih terkejut lagi. Namun, tebakan itu akhirnya membuatnya memiliki alasan tanpa harus membongkar rahasianya. Irish berdeham pelan. “Iya. Kamu marah?” Meskipun hanya sebentar, Irish dan Billy memang sempat mengunjungi makam kedua orang tua lelaki itu sebelum pulang. Makam tersebut ternyata berada di tempat yang sama dengan lokasi makam Azura. Irish baru mengetahuinya kemarin. Orang tua Billy mengalami kecelakaan tunggal 5 tahun lalu dan meninggal di tempat.
“Kamu bersikukuh ingin cerai karena menyesal menikah denganku?” tanya Arthur tiba-tiba. Memecahkan kesunyian di antara mereka. Irish spontan kembali membuka matanya dan menoleh ke arah Arthur. Ia pernah mengatakan itu saat sedang emosi-emosinya. Padahal sebenarnya dirinya pun tidak tahu apakah penyesalan itu benar-benar ada atau tidak. Atau mungkin hanya sedikit saja. “Kamu sudah tahu, ‘kan? Kenapa masih bertanya?” sahut Irish yang tak berniat mengelak. Irish mengubah posisi telentangnya menjadi miring menghadap Arthur. Ia dapat melihat ekspresi lelaki itu menggelap. Menyiratkan amarah tertahan. Namun, Irish malah tersenyum miring sembari menopang kepalanya. Seolah sengaja menantang lelaki itu. “Karena harusnya kamu menikah dengan Ardian?” Arthur kembali melontarkan pertanyaan dengan nada datar. Irish menggeleng samar. “Dengan Ardian atau bukan, aku memang tidak sepatutnya menikah dengan orang yang belum selesai dengan masa lalunya. Seandainya aku menikah dengan Ardian dan dia ma
Irish mengerjapkan matanya. Tak menyangka Arthur dan Maudy malah membicarakannya di tengah malam begini. Pasti sengaja agar dirinya tak ikut menguping. Namun, semesta lebih berpihak padanya hingga akhirnya ia tetap mendengar pembicaraan mereka. Mendengar sepotong pembicaraan mereka membuat Irish yakin kalau Maudy sudah bercerita pada Arthur jika dirinya pergi dengan Billy tadi siang. Namun, entah kenapa Arthur masih bersikap santai. Seolah itu bukan masalah besar. Atau mungkin Arthur memang sudah tidak peduli lagi. “Jangan gila! Kamu ingin wanita itu terus memperalatmu?!” sembur Maudy dengan suara yang semakin meninggi. Seolah tak peduli jika ada yang mendengar ucapannya. “Irish tidak pernah memperalatku. Aku yang ingin seperti ini. Dan aku harap mama tidak mempersulitku,” jawab Arthur masih dengan suara pelan, namun menyiratkan ketegasan. “Justru, mama ingin mempermudah semuanya. Sekarang dia tidak punya pekerjaan. Dia pasti akan meminta segalanya padamu! Dia akan memanfaatkan an
“Apa? Elyza mengatakan itu pada mama?” tanya Irish dengan mata membulat sempurna. Irish berusaha menerima saat dirinya dibandingkan dengan Elyza. Ia tetap diam di saat Arthur mementingkan wanita itu. Namun, Irish tak bisa menerima tuduhan keji yang Elyza katakan tentangnya. Dirinya bukan wanita murahan yang menjajakan tubuhnya pada lelaki lain. Irish memang pernah mengatakan jika anak dalam kandungannya ini bukan darah daging Arthur. Namun, itu hanya bualan semata agar lelaki itu melepasnya. Elyza tak berhak menilainya terlalu jauh. Apalagi sampai mengatakan itu pada Maudy. “Kenapa? Kamu tidak terima?” Bukannya merasa bersalah atas perkataannya, Maudy malah kembali melontarkan balasan dengan nada tak kalah sinis. “Kamu pikir dengan kamu pergi diam-diam dengan lelaki lain tidak akan membuat orang berpikir macam-macam? Apalagi sudah berapa kali kamu melarikan diri bersamanya? Kamu pikir bisa mempermainkan putraku?!” sembur Maudy lagi. Irish akui dirinya memang salah karena menyembu
[Kamu di mana? Sudah siap? Aku menunggu di dekat pos satpam. Aku memakai mobil kakek.]Irish yang masih mengaplikasikan makeup di wajahnya melirik ponselnya yang menyala. Satu pesan masuk dari nomor Billy. Seperti biasa, lelaki itu akan datang lebih cepat dari waktu janjian mereka. Tak pernah membuatnya menunggu, malah dirinya yang membuat lelaki itu menunggu. “Sebentar lagi aku ke sana.” Irish pun langsung mengirim pesan balasan sebelum menyelesaikan kegiatan makeup-nya. Ia mempercepat pergerakannya agar Billy tidak menunggu terlalu lama. Setelah dirasa tak ada yang kurang, Irish bergegas keluar dari kamarnya. Irish meminta Billy mengantarnya pergi. Meskipun awalnya meminta diantar hari ini, Irish sempat meralat permintaannya dan mengatakan akan mengikuti waktu luang lelaki itu. Namun, Billy mengatakan memiliki waktu untuk mengantarnya hari ini juga. “Kamu mau ke mana?” Pertanyaan sinis itu membuat langkah Irish kontan terhenti. Sekarang sudah agak siang, ia mengira tak akan ada
Jawaban santai Arthur membuat Irish melongo. Ia tak membenci ibu mertuanya, namun setidaknya jika ingin pindah ke sini meskipun hanya sementara waktu, dirinya perlu tahu. Tahu sejak awal. Bukan tahu paling akhir, itu pun karena ketahuan. Irish curiga Arthur melarangnya pulang lebih cepat dari rumah sakit karena tak ingin rencananya terbongkar. Bukan karena lelaki itu masih mengkhawatirkan kondisinya. Menyebalkannya, Karina juga tidak bercerita jika Maudy pindah kemari untuk sementara waktu. “Kamu punya banyak waktu untuk bercerita. Kurasa di rumah ini tidak ada kamar lain yang bisa digunakan Mama,” balas Irish yang berusaha tampak santai. Meskipun Irish merasa tersinggung karena tak ada yang memberitahunya. Namun, ia tak ingin Arthur merasakan hal yang sama. Toh, sebenarnya ini wajar saja karena mereka memang masih berstatus sebagai keluarga. Walaupun tak mirip dengan keluarga. “Untuk sementara waktu aku memindahkan ruang kerjaku ke kamar kita. Jadi, Mama memakai ruangan itu. A
Penolakan Arthur membuat Irish mengingat apa yang pernah Billy sampaikan tentang kemungkinan Arthur juga tahu sesuatu. Sebenarnya ia tidak menaruh kecurigaan sama sekali pada lelaki itu. Dan sekarang kecurigaan itu mendadak muncul. Butik itu kini menjadi miliknya, Irish memiliki hak untuk melihat sehancur apa pun keadaannya. Bahkan, seharusnya ia sudah melihatnya dalam bentuk foto ataupun video. Namun, tak ada yang menunjukkan bagaimana keadaan butiknya sekarang padanya. Bahkan, pihak kepolisian yang kata Arthur akan memintai Irish keterangan pun tak datang sampai sekarang. Billy pun malah membahas kecurigaan aneh-aneh tentang orang-orang yang kemungkinan terlibat. Padahal untuk saat ini yang ingin Irish tahu adalah kondisi butiknya terlebih dahulu. “Apa maksudmu? Tahu apa? Kondisi butikmu hancur, apa yang mau kamu lihat? Puing-piungnya juga sudah dibereskan,” jawab Arthur yang kembali menoleh ke arah Irish. “Bagaimana pun kondisinya, aku ingin datang ke sana dan melihatnya sec