Ucapan Arthur membuat Irish membeku. Meskipun amat pelan, Irish dapat mendengar perkataan lelaki itu dengan jelas. Jantungnya mendadak berdetak dua kali lebih cepat. Tak menyangka kalimat seperti itu akan keluar dari mulut Arthur. “Apa maksudmu?” tanya Irish tajam. Aroma alkohol yang pekat membuat Irish akhirnya menyadari jika Arthur sedang mabuk. Ia kembali mendorong lelaki itu, namun tangannya malah dicekal. Dengan langkah agak sempoyongan Arthur menarik Irish menjauh dari sana. Seharusnya, Irish langsung meninggalkan Arthur di depan toilet tadi. Namun, sekarang dirinya malah berakhir berada di mobil lelaki itu. Bahkan, sengaja duduk di bangku kemudi karena sang pemiliknya mabuk berat dan tidak mungkin menyetir sendiri. Walau Irish belum memiliki niatan mengendarai mobil ini ke mana pun. Mereka masih berada di basement hotel tempat pesta Elyza terselenggara. Arthur yang menariknya kemari setelah tiba-tiba menciumnya tanpa permisi. Irish menoleh ke samping. Menatap Arthur yan
Arthur tak kalah terkejut dari Irish. Lelaki itu langsung berdiri dan menghampiri Irish yang membeku di ambang pintu. “Kenapa kamu ada di sini? Kamu pemilik butik ini?!” Irish sempat berpikir jika Arthur sengaja datang karena mengetahui dirinya adalah pemilik butik ini. Namun, melihat reaksi lelaki itu saat melihatnya. Ia tahu Arthur juga terkejut. Dari sekian banyak orang yang bisa menjadi customernya, malah Arthur yang mendatangi butiknya. “Butik kami belum buka. Kamu bisa datang lain kali,” usir Irish secara halus. Pantas saja customer yang menunggunya ini sangat tidak sabaran. Bahkan, sudah datang sebelum butiknya buka. Ternyata yang datang adalah mantan suaminya. Sangat khas dengan tabiat lelaki itu yang tak sabaran dan seenaknya sendiri. Irish selalu bersikap ramah pada customernya. Namun, Arthur adalah pengecualian. Ia terlalu malas berurusan dengan lelaki itu. Terlebih, belum tentu juga Arthur benar-benar berminat dengan desain buatannya. Lelaki itu terbiasa menggunakan
Irish spontan menegakkan tubuhnya. Pening hebat langsung menghantam kepalanya. Mengabaikan rasa tak nyaman itu, ia langsung mencuci mulutnya dan berbalik. Irish telah menutup pintu toilet sebelum memuntahkan isi perutnya dan sekarang Elyza malah masuk tanpa izin. “Aku baik-baik saja,” jawab Irish datar sebelum mengelap mulutnya yang basah menggunakan tisu. Irish lebih khawatir jika Arthur yang memergokinya. Lelaki itu pasti curiga dan itu tidak boleh terjadi. Dan sandiwara yang telah susah payah dirinya lakukan akhirnya akan terbongkar. Melihat hanya Elyza yang datang membuatnya lebih lega. Mual yang Irish rasakan sebelumnya masih terasa. Namun, ia berusaha menetralkan ekspresi juga menegakkan tubuhnya. Irish tak suka melihat cara Elyza menatapnya. Seolah-olah wanita itu sedang menilainya. Sesuatu yang sangat tidak pantas dilakukan. Elyza menatap Irish yang pucat pasi dengan sorot tak terbaca. Wanita itu melangkah maju, mempertipis jaraknya dengan Irish. “Kudengar kamu sempat
“Kamu tidak menggugurkannya, ‘kan?! Jawab!” Arthur merangsek maju dan berdiri tepat di belakang Irish. Jantung Irish berdebar dua kali lebih cepat. Wajahnya yang sudah pucat kini semakin pucat pasi. Ia terpaksa berbalik, membalas tatapan Arthur yang menatapnya dengan sorot berkobar. Irish ingin bersikap tenang. Namun, ekspresinya malah sebaliknya. “Apa yang kamu bicarakan? Jangan ngawur! Bukannya kamu sudah melihat buktinya waktu itu?” Meskipun sudah tertangkap basah, Irish masih berusaha beralibi. “Minggir! Aku mau keluar!” Menghindari tatapan Arthur, Irish hanya berani menatap lantai sembari mendorong tubuh lelaki itu yang menghalangi pintu keluar. Namun, tubuh Irish yang masih lemas malah spontan berpegangan pada Arthur alih-alih mendorong lelaki itu. Tampaknya anaknya tak menyetujui kebohongannya karena mualnya kembali datang. Membuat Irish tak bisa mengelak atas tuduhan Arthur. “Sudah seperti ini, masih bisa mengelak?” cerca Arthur lagi. Irish tidak langsung menjawab.
Kantuknya menghilang. Irish mengerjapkan mata. Khawatir ada yang salah dengan penglihatannya. Lelaki yang berbaring di sampingnya benar-benar Arthur. Irish spontan menarik tangannya yang sejak kapan bertengger di dada lelaki itu. Arthur masih memakai pakaian yang sama dengan beberapa jam lalu. Namun, hanya kemeja hitam lelaki itu saja yang tersisa. Dengan seluruh kancing yang sengaja dibuka. Dan tadi, tanpa Irish sadari jemarinya malah bertengger di sana. Seakan memeluk tubuh lelaki itu. “Jangan berisik, aku mau tidur.” Arthur malah sengaja memeluk Irish dengan mata yang masih terpejam. Irish langsung memberontak, melepaskan diri dari rengkuhan Arthur. “Apa yang kamu lakukan di sini? Bagaimana bisa kamu masuk ke kamarku?!” Irish ingat betul jika sebelum tidur ia telah mengunci pintu. Entah bagaimana caranya Arthur masuk ke kamarnya. Sepersekian detik kemudian Irish menyadari sesuatu. Ibu atau kakak tirinya pasti sengaja memberikan kunci cadangan kamarnya pada Arthur. “Siapa
Cekalan Arthur pada tangan Irish terasa menguat meski tidak menyakiti. Irish menyadari perubahan yang signifikan dari ekspresi lelaki itu. Namun, ia juga tidak berbohong. Semalam, Billy mengajaknya berangkat bersama dan dirinya langsung setuju. “Billy sudah menungguku. Bisa lepas tanganku?” pinta Irish sembari menunjukkan pesan dari Billy yang masuk ke notifikasi ponselnya. Billy berkata sudah sampai dan menunggu Irish di depan. Sebenarnya Irish yang meminta lelaki itu datang lebih awal. Namun, tak berharap keinginan terwujud karena ia baru mengirim pesan pada Billy 30 menit lalu. Ternyata lelaki itu benar-benar datang lebih awal. Untuk beberapa saat, Irish menikmati ekspresi marah Arthur. Ia tak mengerti mengapa lelaki itu harus marah. Padahal selama ini Arthur tidak pernah memedulikan ke mana pun dirinya dan bersama siapa pun itu. Bahkan, di saat Irish meminta izin selalu berakhir diabaikan. “Kamu berangkat bersamaku!” tegas Arthur setelah ekspresinya berubah datar. “Kamu
Arthur melepaskan tautan bibir mereka karena Irish terus memukul dadanya. Irish langsung mendorong Arthur setelah lelaki itu sedikit menjauh. Wanita itu mengubah posisi menjadi duduk dan bergegas bersingkut mundur dengan tatapan penuh perhitungan. Jantung Irish berdetak dua kali lebih cepat. Deru napasnya memburu dengan wajah merah padam. Perpaduan antara malu dan kesal. Irish tak menyangka Arthur akan menciumnya. Seharusnya, ia bergerak lebih sigap untuk melindungi dirinya. “Tadi kamu jatuh. Sakit?” tanya Arthur sembari sedikit menyingkap dress yang Irish pakai untuk melihat kaki wanita itu. Irish pikir Arthur akan melanjutkan perbuatan tak senonoh padanya. Tak menyangka Arthur malah memedulikan kakinya yang sebenarnya tidak sakit apalagi terluka. Tadi dirinya hanya terkejut dan tak bisa menjaga keseimbangan hingga terjatuh di ranjang. “Tidak. Aku baik-baik saja.” Irish langsung menarik kakinya dan kembali merapikan dress yang melekat di tubuhnya. Tak ingin membuat Arthur mem
Pertanyaannya sangat menyinggung Arthur dan Irish tahu itu. Ia sengaja melakukannya demi menghentikan aksi gila lelaki itu. Sebab, pengendalian dirinya pun masih sangat tipis. Jika tidak dihentikan secepatnya, Irish akan menyesalinya nanti. Seperti yang Irish inginkan, pertanyaannya membuat Arthur berhenti menyentuhnya. Ia memang belum melihat ekspresi Arthur karena posisinya lelaki itu. Namun, Irish tahu Arthur pasti marah besar. Terlebih, lelaki itu menjunjung harga diri di atas segalanya. “Apa maksudmu bertanya begitu?” tanya Arthur pelan, namun penuh penekanan. Setelah Arthur melepas rengkuhan pada perutnya, Irish langsung mengubah posisi menjadi berhadapan dengan lelaki itu. Rahang Arthur mengeras, sorot mata lelaki itu juga berubah tajam. Alih-alih merasa takut, Irish malah menikmatinya. Irish tak bermaksud melakukan ini jika saja Arthur tidak lebih dulu memulainya. Lelaki itu tahu hubungan mereka tak seperti dulu lagi. Di saat Arthur bisa menyentuhnya kapan pun lelaki i
“Maaf, aku tidak bisa,” tolak Irish di saat dirinya dan Arthur sudah sangat berantakan. Sedari tadi Irish berusaha mengumpulkan sisa-sisa kewarasannya. Sebesar apa pun keinginannya, ia tak ingin terlena lagi. Untungnya, kalimat itu sempat terucap sebelum mereka benar-benar melakukannya. Meskipun sudah sangat terlambat. Irish menyadari seharusnya sejak awal dirinya menolak. Bukan malah diam saja dan membiarkan Arthur menyentuhnya. Sayangnya, ia perlu mengumpulkan sisa kewarasannya sebelum benar-benar menghilang. Dan akhirnya membiarkan Arthur melakukan apa pun. Arthur memang tidak memaksakan, sejak awal pernikahan mereka pun begitu. Tentunya dulu Irish senang karena merasa dianggap oleh lelaki itu. Namun, entah kenapa sekarang ada saja yang mengganjal di benaknya dan membuatnya tak nyaman melakukan itu.Meskipun Arthur masih berstatus sebagai suaminya dan melakukan ini bukanlah yang pertama bagi mereka. “Oke,” jawab Arthur setelah terdiam cukup lama. Kekecewaan itu tampak sangat j
“Bengkel mengatakan mobilmu sudah usang. Kemungkinan mogok di tengah jalan sangat besar. Jadi, aku akan membelikan yang baru untukmu,” ucap Arthur seraya membuka seatbelt yang terpasang di tubuhnya. “Ayo turun. Kita sudah ditunggu.”Arthur mencondongkan tubuhnya dan membukakan seatbelt Irish. Mencuri satu kecupan di bibir wanita itu sekilas sebelum turun lebih dulu dari mobil. Memanfaatkan kesempatan saat Irish masih terperangah akibat perbuatannya. Lalu, langsung turun dari mobil sebelum Irish tersadar. Irish baru tersadar setelah Arthur keluar dari mobil. Ia berdecak samar sembari menatap showroom mobil di hadapannya. Tempat ini seharusnya sudah tutup sejak jam lima sore tadi. Sedangkan sekarang sudah jam tujuh malam. Jelas saja, Arthur sengaja meminta mereka menunggu. Mobil pemberian kakeknya tentu saja masih bagus. Belum sampai setengah tahun Irish menggunakan mobil tersebut. Sedikit masalah tentu tidak terlalu berpengaruh pada kinerja mobil tersebut. Bahkan, tadi pagi Arthur ya
Ketika mengurai pelukan mereka, Irish dapat melihat perubahan signifikan dari ekspresi Elyza. Namun, Irish sudah tidak terkejut lagi melihat ekspresi tersebut. Ia membalas ekspresi itu dengan senyum lebar. Dirinya lebih suka Elyza mengeluarkan sifat asli seperti ini. Sayangnya, Elyza hanya menunjukkan tabiat asli saat bersamanya. Benar-benar bermuka dua. Sedangkan di hadapan orang lain, wanita itu selalu bersikap manis. Mungkin karena pekerjaannya di dunia hiburan. Jadi, wanita itu terlatih menjaga image. “Tenang saja. Aku tidak mudah mengubah keputusan. Aku hanya perlu waktu untuk menuntaskannya,” jawab Irish dengan suara lembut, namun penuh penekanan. Irish tahu apa yang Elyza maksud. Berulang kali Elyza mengingatkannya setiap kali mereka bertemu. Padahal Irish tak mungkin lupa. Sebab, hingga saat ini rencananya masih belum berubah. Dan ia berharap apa pun yang terjadi, dirinya tetap tidak goyah. Elyza kembali menyunggingkan senyum. “Senang bertemu denganmu. Semoga lekas sembuh.
“Mantanmu datang. Katanya ingin menjenguk Irish.”“Suruh dia pulang. Irish sudah sembuh,” jawab Arthur tanpa minat. “Dia ingin mengejukku, biarkan saja,” sahut Irish sembari menguap lebar. Tidur Irish sudah terusik sejak terdengar suara ketukan pintu. Mendengar Elyza datang, Irish pun akhirnya benar-benar terjaga. Ia heran mengapa Elyza selalu mengetahui jika terjadi sesuatu padanya. Padahal, wanita itu tak berada di lokasi yang sama. Jangan-jangan Arthur sendiri yang bercerita pada wanita itu. Sehingga Elyza dapat mengetahui apa pun yang terjadi padanya. Kemudian, karena tahu ketahuan, akhirnya Arthur mengusir Elyza. Agar wanita itu tak menceritakan apa pun pada Irish. Irish hendak bangkit dari ranjang, namun ia menyadari ada yang aneh dari penampilannya. Ia tidak tahu sejak kapan didinya terlelap, tetapi sepertinya sejak dalam perjalanan pulang. Saat itu tentu pakaiannya masih rapi. Akhirnya, Irish kembali mengeratkan selimutnya.“Mama akan menyuruhnya ke sini,” balas Karina ser
“Kenapa kamu tidak mengakuinya?” tanya Irish untuk kesekian kalinya dalam waktu kurang dari 24 jam. Waktu sudah menunjukkan jam dua pagi. Irish yang tidak bisa tidur nyenyak kembali merecoki Arthur dengan pertanyaan yang sama. Meskipun tahu lelaki itu tak akan membalas dengan benar. Apalagi sekarang Arthur sedang terlelap. Sejak tadi siang, sudah berulang kali Irish melontarkan pertanyaan yang sama. Namun, Arthur hanya mengatakan kalau itu tidak penting dan mengalihkan pembicaraan. Padahal ia hamya ingin memastikan apakah benar di antara lelaki itu dan Elyza tak pernah ada hubungan istimewa. “Kamu memang tega mempermainkan perasaan orang,” gumam Irish yang kembali bermonolog tanpa menatap Arthur yang berbaring di sampingnya. Irish tak mengerti mengapa Arthur mengatakan tak pernah memiliki hubungan apa pun dengan Elyza. Padahal jelas-jelas sejak bertahun-tahun lalu mereka sering bermesraan. Bahkan, Elyza sendiri yang mengatakan kalau wanita itu adalah mantan kekasih Arthur. Arthur
Maudy yang terkejut atas perbuatannya semakin dibuat terkejut oleh kedatangan putranya. Ia tak bermaksud mendorong Irish. “Arthur? Apa yang kamu lakukan di sini?!”Arthur membantu Irish berdiri dan merangkul pinggang wanita itu. “Harusnya aku yang bertanya, Ma. Kenapa Mama menyerang Irish? Sudah aku katakan berulang kali, jangan mengganggunya.”Irish berpegangan erat pada lengan Arthur. Ia syok bukan main. Tak menyangka Maudy sampai hati mendorongnya. Padahal wanita itu tahu dirinya sedang mengandung. Entah apa yang akan terjadi jika Arthur tidak datang dan menolongnya. Irish tahu Maudy tak menyukainya, bahkan membencinya. Namun, ia tak menyangka wanita itu sampai tega melakukan ini padanya. Keputusannya untuk berpisah dengan Arthur memang sudah benar. Tak ada gunanya bertahan jika tidak ada yang menginginkannya. Irish pernah ingin menganggap Maudy seperti ibu kandungnya. Namun, wanita paruh baya itu tidak lebih baik dari ibu tirinya. Yang Maudy inginkan hanyalah Elyza. Bahkan,
[“Oh, tidak apa-apa. Rapatnya sudah selesai. Kakakku mendapat suara terbanyak. Posisinya masih aman karena Billy ikut membantu.”] Mendengar Irish menyebut nama Billy menbuat langkah Arthur terhenti. Meskipun tahu sudah terlambat, tadinya ia ingin mengunjungi kantor kakak iparnya. Dan ternyata untuk kesekian kalinya Billy kembali mencuri start yang seharusnya menjadi miliknya. Tak ingin pembicaraannya dengan Irish didengar orang lain, akhirnya Arthur tetap melanjutkan langkah menuju mobilnya. “Kenapa kamu tidak meneleponku? Aku juga punya saham di sana. Aku bisa mendukung kakakmu.” Arthur tak suka Irish menyebut nama Billy dalam keadaan apa pun. Terlebih jika dalam keadaan genting. Irish bisa menghubunginya dan ia pasti datang. Bukan malah meminta bantuan pada orang lain. Seolah-olah hanya Billy yang dapat membantu. Di sisi lain. Irish pun sudah kembali memasuki mobilnya. Ia menyimpan makanan yang dirinya beli di bangku belakang. Tak berselera mencicipi makanan tersebut. Padahal
Keterkejutan tampak jelas di wajah Tristan. “Kenapa kamu merahasiakan inu darinya?” “Untuk apa aku mengatakan itu padanya? Apa dia peduli?” sahut Irish dengan senyum kecut. “Lagi pula, kami akan berpisah. Kurasa lebih baik dia tak perlu mengetahui hal-hal yang tidak penting.” Nyaris tak ada yang mengetahui jika Irish bukanlah anak kandung Karina. Sebab, sejak kecil wanita itulah yang merawatnya. Meskipun ia menyadari dirinya diperlakukan agak berbeda. Namun, itu hanya ketika mereka berada di rumah saja. Irish pun baru mengetahui jika dirinya bukanlah anak kandung Karina setelah ayahnya meninggalkan dunia. Saat itu dirinya dan ibu tirinya bertengkar hebat hingga akhirnya Karina tak sengaja mengatakan jika mereka tak memiliki hubungan darah. Kejadian itu juga yang membuat hubungan mereka renggang sampai sekarang. Walaupun tidak benar-benar bermusuhan. Apalagi, Karina juga cukup sering menyindirnya anak ‘pelakor' saat sedang marah. Irish tidak berbalik marah, sebab ia tahu ibunya
Ringisan Irish membuat Arthur yang sedang memejamkan mata menoleh. Menatap Irish yang menyentuh kakinya sendiri. Entah sejak kapan, kaki kanan Irish terluka dan mengeluarkan darah. Darah yang keluar cukup banyak karena terkena air dan sabun. Arthur lantas melompat turun dari bathup. Tak peduli dengan penampilannya, lelaki itu langsung menggendong Irish keluar dari toilet. “Kenapa tidak bilang kakimu terluka?” “Bisakah kamu berpakaian dulu?” balas Irish yang malah salah fokus dengan penampilan Arthur. Tadi sebagian tubuh lelaki itu tertutup air dan sabun. Sedangkan sekarang, Irish tak bisa mendeskripsikannya. Arthur seolah tanpa sengaja ingin mempertontonkan tubuhnya. Dan tanpa bisa dicegah, jantungnya kembali berdebar dengan wajah yang semakin merah padam. Arthur yang tersadar pun bergegas melangkah ke lemari dan mengambil pakaiannya asal. Irish merasa lebih tenang setelah lelaki itu berpakaian dengan benar. Ia pun khawatir ada yang datang dan berpikir macam-macam tentang mere