"Terima kasih! Lo harus bilang gitu. Tanpa bantahan apa lagi singkatan ‘makasih’.” Paksa Maha selalu seperti biasanya. Damage sikapnya yang bossy dan jiwa otoriternya nggak akan dilupain sama orang sekitar. Termasuk yang di seberang. Pagi-pagi—karena waktu yang berselisih—tentu Rambe mencak-mencak. Jika di Jakarta pukul dua belas malam, maka berbeda dengan tempatnya. Jarum pendek menunjukkan angka satu dan Rambe baru terlelap setengah jam setelah Ayana yang merengek lantaran pinggangnya yang sakit.Semakin hari, bertambah usia kandungan Ayana, ada saja keluhan yang calon istrinya keluarkan. Tidak itu saja. Sikap manjanya berkali-kali lipat mengerikan. Dan Rambe menikmati perannya sebagai calon papa yang gesit dan tanggap darurat.“Oke terima kasih.” Ikuti saja. Mendebat Maha sama saja memasukkan diri ke liang lahat. Lelaki itu susah di ajak kompromi apa lagi bernegosiasi. “Tapi njir …” Sadar Rambe melebarkan matanya. “Ngapain lo nelepon gue di dini hari buta gini? Lo kesambet setan a
Malam ini, usai makan malam yang berlangsung dengan khidmat—tidak untuk Pulung. Perempuan itu blingsatan tidak karuan. Makannya tidak nikmat, seleranya tidak ada. Tatapan matanya nyaris kosong dan hanya memandang Omi diam-diam. Diam-diam menahan tangis. Diam-diam menahan sesak. Dan diam-diam berserapah dalam hati. Maha yang melihatnya hanya diam. Tidak banyak yang bisa dirinya lakukan. Pikirnya, jika hati seorang ibu sudah terluka karena anaknya yang di sakiti, tamat sudah dunia. Dan kini, tidak ada yang bisa membantah arti tatapan Pulung yang nyalang menghujam Aksara.“Papa juga nggak tahu.” Tutur Aksara. “Papa kira semuanya baik-baik saja karena Naomi nggak pernah nunjukin gelagat apa pun dan Dante memang secuek itu.”“Papa nggak tahu atau pura-pura bungkam. Papa orangtua bukan, sih?”Mendengar cercaan Pulung, Aksara diam. Hendak melawan bukan waktu yang tepat. Bahkan jika di beri kesempatan untuk menjelaskan secara rinci juga percuma. Emosi tengah menguasai Pulung. Bersama kebenc
Rambe kalang kabut. Kesiangan. Berkas-berkas rapat terpaksa dirinya cek ulang. Kemeja yang sudah di siapkan Ayana berubah lecek akibat ulahnya yang berlarian. Dasi yang sudah Ayana pasangkan miring ke kiri. Rambut yang sudah Ayana rapikan, amburadul. Serangan badai bella tiba di Lombok dan Rambe korban utama.Inginnya Ayana marahi. Tapi urung melihat bagaimana tersiksanya Rambe yang harus memuntahkan makanannya lantaran efek morning sickness. Berkali-kali Ayana usapi perut buncitnya untuk jangan rewel sejenak. Kasihan Rambe. “Besok lagi jangan bobok kemalaman.” Ayana berikan teh mint untuk Rambe seruput. Dan anggukan kepalanya membuat Ayana tersenyum. “Nanti mama ke sini.” Ayana mengangguk. Tahu bahwa mama angkat lelakinya akan datang bersama rombongan keluarga lainnya. “Kamu nggak perlu repot. Mama nggak mau kamu dan babynya kenapa-kenapa. Jangan capek-capek.”Ini rasanya luar biasa sekali. Dicintai dan mencintai Rambe membuat Ayana tidak menjadi orang lain. Segala kebaikan dan keb
Waktu berlalu. Hari berganti minggu dan seterusnya. Namun segala kehidupan yang terjadi tidak merubah tatanan yang telah Tuhan berikan. Semuanya masih sama hanya perubahan-perubahan yang tidak signifikan terjadi. Itu pun tidak seluruh umat manusia mengalaminya. Hanya yang mau merubahnya. Sisanya telah Tuhan berikan kesempatan lain untuk menentukan pilihannya.Sama halnya dengan keluarga Maharaja Askara. Melalui perubahan kecil yang terjadi pada keluarganya. Ada yang harus kepala keluarga itu syukuri banyak-banyak. Untuk istrinya yang selalu setia berada di sisinya membina rumah tangga selama hampir delapan tahun. Untuk putra-putrinya yang tumbuh dengan baik. Naomi yang cantik dan pintar. Baraja yang kian tidak bisa di kalahkan omongannya. Terakhir untuk calon anaknya bersama Pulung yang berusia delapan bulan.“Ayo bang minum dulu susunya.” Adalah Pulung Rinjani yang masih kekeuh dengan caranya untuk merawat putra-putrinya. Padahal Maha sudah sering mengejek perihal perut buncitnya. Y
“Mau cerita sama mama?”Pertama kalinya dalam sejarah, Naomi tersangkut masalah. Di lingkungan sekolah. Namun baik Maha maupun Pulung, alih-alih marah, kedua orangtua itu justru mendekap Naomi yang terdiam di sofa ruang kerja Maha. Matanya sesekali melirik-lirik ke arah papanya yang terus tersenyum dengan tenang.“Mama nggak marah,” kata Pulung. “Kalau Omi diam, mama yang ngerasa paling salah.”“Kenapa gitu?” jawabnya bertanya. Naomi lepas pelukan mamanya dan melihatnya dengan saksama. “Mama jadi gagal ngedidik Omi—”“Enggak!” Bentaknya keras. Naomi hendak menangis dan Maha melihat semua ekspresi lain yang tak biasa di tampakkan oleh putri sulungnya. “Mereka yang salah. Mereka bilang mama gini lah, gitu lah. Padahal nggak tahu yang sebenarnya. Mereka ngatain mama begini dan begitu. Padahal Omi yang jadi anak mama.” Napasnya terengah-engah. Buliran bening menetes tanpa bisa di cegah.“Begini dan begitu itu gimana, Sayang?” Kali ini Maha yang bersuara. Lelaki yang akan menyambut kelahi
Pulung antarkan Naomi ke sekolahnya yang baru. Sebelum melepas untuk masuk ke dalam kelasnya yang baru, Pulung jajarkan lututnya di lantai. Menatapi wajah Naomi dengan kedua tangan meraba wajah mungilnya. Bibirnya tersenyum segaris. Dan bahagia melambung di dadanya. Entah bagaimana dengan Ayana yang sudah melahirkan Naomi kedunia ini. Satu saja bisikannya; terima kasih.Ah, ya, bagaimana bisa Pulung mengenal Ayana? Ingat soal pertemuan mereka ke Lombok dulu? Di mana mama Lira hendak menemui putra angkatnya. Itu Rambe dan Ayana calon istrinya—waktu itu. Pertemuan pertama setelah sekian tahun membuat Ayana menangis kencang sampai sesenggukan. Beruntungnya Naomi tidak terguncang dan tenang saja melihat tangisan wanita asing di hadapannya.“Mama bangga banget kakak hadir di sini.”“Kakak juga bangga punya mama.”Keduanya saling tertawa dan Pulung sematkan kecupan di seluruh wajah Naomi.“Bedak kakak hilang mama.” Keluh Naomi.“Mama bawa kalau kakak mau pakai.”“Bedak baby warna biru itu
“Kalian minum apa?” Pulung horor sendiri menatapi kedua anaknya. “Kok minum ini?! Siapa yang ajarin.”“Papa.” Serentak di jawab. Dan tersangka utama dalam kasus sore ini muncul.Wajahnya polos tanpa dosa membuat Pulung berang menatapnya.“Apa?” Maha bertanya dan duduk di samping Baraja serta Naomi. “Mama baru pulang? Kok nggak ngabarin?”“Papa yang ajarin mereka minum kopi?”Salah tingkah Maha. Nyengir dan menggaruk tengkuknya. “Ini nggak banyak kok, ma. Ada krimnya jadi nggak kerasa kopinya.”“Papa pikir sedikit itu nggak ada takarannya, ya? Pa… Kan sudah dibilang jangan samain minuman papa sama anak-anak. Kopi ada kafeinnya. Kalau mereka kecanduan—”“Mama cerewet banget, ih,” seru Baraja. “Dedeknya nggak asik lah. Nggak like abang.”Makin-makin menjadi pelototan di mata Pulung. Sejak kapan putranya bisa berkata demikian? Rasanya tidak pernah Pulung ajarkan untuk Baraja berlaku demikian.“Abang nyebelin!” Entah pengaruh hormon kehamilan atau Pulung yang terlalu terbawa suasana. Moodn
Maharaja Askara jadi punya hobi baru; nyanyi. Yang menurut Pulung, boleh juga. Suaranya berat dan serak-serak gimana gitu. Ketika di dengarkan—apa lagi ketika Pulung letakkan kepalanya di dada Maha—uwah sensasinya nggak kaleng-kaleng.Dugun-dugun di jantung Maha terdengar sangat jelas. Dan Pulung suka sekali mendengar detakannya. Iramanya selaras dengan nyanyian yang terlantun dari mulut Maha. Malam ini, begitu Bara dan Naomi memasuki kamarnya masing-masing. Terlelap setelah berdebat mengenai tugas sekolah. Maha dan Pulung bergelung malas di depan ruang televisi. Ada kasur lipat yang biasa Maha gunakan untuk rebahan malas-malasan di sana. Pulung ikut saja. Dengan daster hamilnya, rambutnya yang tak berbentuk lagi dan manja-manja time bersama suami di mulai.“Semua ini pasti akan musnah. Tetapi tidak cintaku padamu. Karena aku sang pangeran cinta.” Lirik yang Maha senandungkan mengikuti penyanyi aslinya di televisi. Once Mekel masih saja tampan sejak Pulung duduk di bangku Sekolah Da