“Mau cerita sama mama?”Pertama kalinya dalam sejarah, Naomi tersangkut masalah. Di lingkungan sekolah. Namun baik Maha maupun Pulung, alih-alih marah, kedua orangtua itu justru mendekap Naomi yang terdiam di sofa ruang kerja Maha. Matanya sesekali melirik-lirik ke arah papanya yang terus tersenyum dengan tenang.“Mama nggak marah,” kata Pulung. “Kalau Omi diam, mama yang ngerasa paling salah.”“Kenapa gitu?” jawabnya bertanya. Naomi lepas pelukan mamanya dan melihatnya dengan saksama. “Mama jadi gagal ngedidik Omi—”“Enggak!” Bentaknya keras. Naomi hendak menangis dan Maha melihat semua ekspresi lain yang tak biasa di tampakkan oleh putri sulungnya. “Mereka yang salah. Mereka bilang mama gini lah, gitu lah. Padahal nggak tahu yang sebenarnya. Mereka ngatain mama begini dan begitu. Padahal Omi yang jadi anak mama.” Napasnya terengah-engah. Buliran bening menetes tanpa bisa di cegah.“Begini dan begitu itu gimana, Sayang?” Kali ini Maha yang bersuara. Lelaki yang akan menyambut kelahi
Pulung antarkan Naomi ke sekolahnya yang baru. Sebelum melepas untuk masuk ke dalam kelasnya yang baru, Pulung jajarkan lututnya di lantai. Menatapi wajah Naomi dengan kedua tangan meraba wajah mungilnya. Bibirnya tersenyum segaris. Dan bahagia melambung di dadanya. Entah bagaimana dengan Ayana yang sudah melahirkan Naomi kedunia ini. Satu saja bisikannya; terima kasih.Ah, ya, bagaimana bisa Pulung mengenal Ayana? Ingat soal pertemuan mereka ke Lombok dulu? Di mana mama Lira hendak menemui putra angkatnya. Itu Rambe dan Ayana calon istrinya—waktu itu. Pertemuan pertama setelah sekian tahun membuat Ayana menangis kencang sampai sesenggukan. Beruntungnya Naomi tidak terguncang dan tenang saja melihat tangisan wanita asing di hadapannya.“Mama bangga banget kakak hadir di sini.”“Kakak juga bangga punya mama.”Keduanya saling tertawa dan Pulung sematkan kecupan di seluruh wajah Naomi.“Bedak kakak hilang mama.” Keluh Naomi.“Mama bawa kalau kakak mau pakai.”“Bedak baby warna biru itu
“Kalian minum apa?” Pulung horor sendiri menatapi kedua anaknya. “Kok minum ini?! Siapa yang ajarin.”“Papa.” Serentak di jawab. Dan tersangka utama dalam kasus sore ini muncul.Wajahnya polos tanpa dosa membuat Pulung berang menatapnya.“Apa?” Maha bertanya dan duduk di samping Baraja serta Naomi. “Mama baru pulang? Kok nggak ngabarin?”“Papa yang ajarin mereka minum kopi?”Salah tingkah Maha. Nyengir dan menggaruk tengkuknya. “Ini nggak banyak kok, ma. Ada krimnya jadi nggak kerasa kopinya.”“Papa pikir sedikit itu nggak ada takarannya, ya? Pa… Kan sudah dibilang jangan samain minuman papa sama anak-anak. Kopi ada kafeinnya. Kalau mereka kecanduan—”“Mama cerewet banget, ih,” seru Baraja. “Dedeknya nggak asik lah. Nggak like abang.”Makin-makin menjadi pelototan di mata Pulung. Sejak kapan putranya bisa berkata demikian? Rasanya tidak pernah Pulung ajarkan untuk Baraja berlaku demikian.“Abang nyebelin!” Entah pengaruh hormon kehamilan atau Pulung yang terlalu terbawa suasana. Moodn
Maharaja Askara jadi punya hobi baru; nyanyi. Yang menurut Pulung, boleh juga. Suaranya berat dan serak-serak gimana gitu. Ketika di dengarkan—apa lagi ketika Pulung letakkan kepalanya di dada Maha—uwah sensasinya nggak kaleng-kaleng.Dugun-dugun di jantung Maha terdengar sangat jelas. Dan Pulung suka sekali mendengar detakannya. Iramanya selaras dengan nyanyian yang terlantun dari mulut Maha. Malam ini, begitu Bara dan Naomi memasuki kamarnya masing-masing. Terlelap setelah berdebat mengenai tugas sekolah. Maha dan Pulung bergelung malas di depan ruang televisi. Ada kasur lipat yang biasa Maha gunakan untuk rebahan malas-malasan di sana. Pulung ikut saja. Dengan daster hamilnya, rambutnya yang tak berbentuk lagi dan manja-manja time bersama suami di mulai.“Semua ini pasti akan musnah. Tetapi tidak cintaku padamu. Karena aku sang pangeran cinta.” Lirik yang Maha senandungkan mengikuti penyanyi aslinya di televisi. Once Mekel masih saja tampan sejak Pulung duduk di bangku Sekolah Da
Kehamilan anak Maharaja yang pertama ini memanglah luar biasa. Mulai dari sikap manja Pulung yang tiada duanya (menggemaskan bagi Maha) namun terlihat menyebalkan bagi orang sekitar. Sampai hal-hal aneh yang tak terduga.Pagi ini misalnya.Tumben-tumbenan Pulung mager (malas gerak). Dan hanya gegulingan di atas kasur. Biasanya, usai salah subuh dan mengaji, aktivitas Pulung langsung yoga karena memang itu olahraga teraman rekomendasi dari dokter. Di samping memudahkan untuk kelahiran nanti, yoga mengurangi stres. Pulung tidak ke dapur. Memasak seperti biasanya. Tidak Maha hiraukan. Mencoba paham dengan kondisi sang istri yang di yakini bawaan anaknya.“Nggak mau mandi?” Maha elusi rambut Pulung. Tidur menyamping dan memegang ponsel dengan asik. Entah video apa yang di tonton hingga asik tanpa merasa terganggu sedikit pun. “Mau mas masakin sesuatu nggak?”Sejak Pulung hamil, Maha tidak bisa semena-mena. Urusan makan tak seleluasa request seperti saat awal-awal menikah. Meski dengan mu
'Aku sudah melewati banyak waktu untuk sembuh. Banyak hari untuk pulih. Banyak memori yang terkikis. Aku sudah jauh berjalan dalam gelap. Menyingsing lengan dan menggulung panjangnya hampara. Dari tajam menyayat yang kurasakan sepanjang jalan. Namun aku bertahan hingga akhirnya sakit itu tumbuh sendiri. Tatapan kelam. Kernyitan dahi karena silaunya putih di depan. Haruskah tertawa? Atau menangis? Sudah tak tampak lagi bagian belakang. Aku lupa bagaimana rasanya tertusuk duri.’Jadi begini para pemirsa dan saudara setanah air setumpah darah, ehm.Ada cerita tersembunyi kenapa Maharaja Askara harus berpuisi di tengah semua orang yang berkumpul. Di ruang keluarganya di mana mestinya terjadi acara liburan karena ini weekend. Juga sebagai libur pertama kedua anak-anaknya; Baraja dan Naomi.Tapi seolah nasib sial—boleh tidak mengatakan demikian? Takutnya ada setan lewat terus mampir. Tercatat sudah itu omongan untuk di jadikan karma kemudian hari. Kan berabe, Hyung!“Lagi, Sayang.”Ini sum
"Gitu ya sementang punya rumah sendiri.”“Nggak tahu saja yang nunggu sampai keroncongan.”“Ini sejak kapan tamu malah pesan delivery?”“Heran Gusti heran!”Sindiran demi sindiran yang tersentil ke rungu Maha maupun Pulung tak menjadi halangan bagi pasangan yang sedang menanti kelahiran sang buah hati terusik.“Pasangan budak cinta mah gitu.”“Gaes … Sudah punya masing-masing jangan ngeledek.”“Iri bilang bos!”Kan maen! Jawaban Maha lebih estetik dari mulut tetangga yang di sumpal lombok setan sepuluh kilo. “Ibu hamil apa kabar nih? Makin adem ayem saja kayaknya.” Adalah Ayana yang pertama kali menyapa.Perempuan itu pun sedang hamil muda. Dan menurut cerita Maha, Rambe di buat kelimpungan habis-habisan. Mulai dari terpangkasnya jatah waktu untuk berduaan sampai harus rela memomong putra pertamanya. Salut dengan Rambe yang berbesar hati.“Ih teteh mah jorok pisan. Masa tiga hari nggak mandi?” Dante ikut serta nimbrung. “Asli aku mau semaput di certain itu.”Pada akhirnya hubungan me
Sudah matang semua persiapan yang Ardika kumpulkan. Jadi satu di atas meja ruang tengah milik Maha. Ketiga anaknya sedang asik bercengkerama—lebih merecoki Naomi yang hendak membawa peralatan melukisnya. Ardika setujui. Memberi dukungan untuk putri sulungnya serta merta mengembangkan bakat di gunung.“Tapi pemandangan gunung lebih cocok dengan ini teteh.” Suara Armani tak mau kalah dengan Baraja yang terus melengkingkan ketinggiannya. Kepala Ardika menggeleng dengan senyum yang tak pudar sedikit pun.“Kan pepohonan hijau adek.” Naomi tetap kekeuh pada pendiriannya karena—yeah—menurutnya dia lah sang pelukis sejati. Aduh memang ya.“Sentuhan cokelat juga bagus kakak. Kaka kapa nggak tahu? Nih abang kasih lihat ya.” Tablet Baraja sudah memutar sebuah video dengan pemandangan pegunungan-pegunungan berbagai pilihan. “Dari jauh iya biru. Pas dekat itu malah cokelat kayak gini tahu. Jadi kak, warna cokelat pun berguna untuk kakak bawa.”Mulai dari sini terlihat wajah bimbang Naomi. Semula y