Maha yang sudah menunggu Pulung dengan penuh kesabaran. Menanti dengan harapan yang melambung ke angkasa. Tidak peduli pada berapa banyak waktu yang telah terbuang. Terkadang, kita tak tahu apa yang diyakini orang namun nampak terasa benar bagi hati kita yang menjalani.Sejatinya, mulut-mulut yang sering melemparkan cibiran untuk seseorang yang sedang menunggu cinta bersemi tidak tahu arti sebuah harga sampai harus merasakan kehilangan lebih dulu. Mereka tidak tahu sebaik apa orang yang ditunggunya sebelum melihat kekurangan diri mereka sendiri. Maka, Maha meneguhkan hatinya. Karena takut jika sampai kehilangan yang memberi tahunya. Sekarang, napasnya bisa terasa lebih lega. Sudah melihat dan menjaga apa yang dirinya impikan. Hidup belum tentu bisa diputar ulang dengan kejadian yang sama.“Menu baru lagi?”Pulung mengangguk. Sejak pindah ke rumah baru, ekspreimen bersama dapur menjadi teman satu-satunya dalam membunuh kebosanan. Maha melarang dirinya bekerja dan fokus mengurus dirinya
Tuhan selalu tahu rasa sakit yang masing-masing manusia sembunyikan. Dan dengan caranya sendiri, Tuhan sembuhkan tiap luka yang mendera. Tuhan tahu dengan betapa seringnya kita menangis meski bibir terulas senyum. Tuhan tahu betapa sulitnya kita melewati semuanya. Tuhan sangat tahu kesulitan apa yang kita hadapi dalam hidup setiap harinya. Tuhan bahkan tahu bagiamana air mata datang ke mata lelah kita. Tapi selelah apa pun, selemah apa pun kita, Tuhan tahu dan tak akan pernah membiarkan kita sendirian. Tuhan selalu merangkul kita dengan bersandar pada-Nya. Tuhan yang akan menolong kita. Memang semuanya tampak sulit, tapi dengan mencoba percaya, ini akan selesai.Tak henti-hentinya Pulung usapi punggung tangan Maha yang nampak gugup. Turun dari pesawat yang membawa ketiganya di kota ini—jauh dari hiruk-pikuk ibu kota yang ternyata sama saja macetnya. Maha menegang di tempatnya, sesekali kaku meski senyumnya terus terukir agar Pulung tidak merasa terbebani.“Mas sudah lakuin hal yang b
Penyiksaannya baru di mulai sekarang. Dan semua itu, Rambe yang menanggungnya. Mulai dari mual muntah di pagi hari yang tidak terhitung lagi sampai lemas dan pucat yang terpasang di wajah tampannya. Ayana hanya bisa menepuki punggung sang kekasih dengan pelan. Membalurkan minyak kayu putih ke dada bidangnya agar hangat.“Masih mual?”Sejujurnya, tidak tega Ayana melihat pemandangan seperti ini tiap paginya. Bahkan kadang mual yang menyerang Rambe sangat tidak berakhlak. Namun ini semua bukan kehendak Ayana bukan juga keinginannya. Ini murni maunya si jabang bayi yang sengaja menyusahkan papanya. Ayana patut berbangga diri mendapat dukungan sedalam ini bahkan dari bayi yang belum dirinya lahirkan. “Nggak ngantor deh aku, Yang.” Kambuh manjanya. Ayana hendak protes tapi urung. Bertambahnya usia kandungan di perutnya dan bentuknya yang tidak rata lagi, kadar kecerewetan Ayana meningkat. Tahu bagaimana Rambe menyikapinya? Lelaki itu terlihat baik-baik saja. Tidak mengeluh. Mendebat ada
"Aku bingung.” Keluh Pulung begitu bangun pagi.“Apa?”“Kenapa kita pindah? Aku pikir itu cuma sekadar liburan karena kamu cuti setelah nikah.”“Oh itu.” Maha menggaruk rahangnya yang mulai kasar di tumbuhi bulu-bulu halus. Dan merangkum pipi Pulung untuk ia kecupi. “Pengen ganti suasana, Yang.”“Benar?” Maha mengangguk. Tapi ada guratan lain di wajahnya. “Bukan karena ada masalah.”“Enak saja.” Maha ngegas. Yang selalu membuat Pulung heran jika suaminya sudah meninggikan suaranya. Tindakan Maha sulit di tebak. Itu sudah terbukti dengan adanya kejadian seperti hari kemarin.“Salah kamu, sih.”“Kok aku?!”Kan maen vokalnya Gusti. Bisa-bisanya berteriak di pagi hari yang cerah benderang. Semarang dalam kondisi sehat walafiat dan sinar mentari yang menerobos masuk lewat celah gorden sudah memberikan gambarannya.“Aku kan sudah bilang, kamu misterius. Kamu tertutup nggak mau ngomong apa pun ke aku. Tapi kamu tahu semuanya tentang aku. Nyebelin, kan! Coba bayangin kalau aku di posisi kamu.
"Terima kasih! Lo harus bilang gitu. Tanpa bantahan apa lagi singkatan ‘makasih’.” Paksa Maha selalu seperti biasanya. Damage sikapnya yang bossy dan jiwa otoriternya nggak akan dilupain sama orang sekitar. Termasuk yang di seberang. Pagi-pagi—karena waktu yang berselisih—tentu Rambe mencak-mencak. Jika di Jakarta pukul dua belas malam, maka berbeda dengan tempatnya. Jarum pendek menunjukkan angka satu dan Rambe baru terlelap setengah jam setelah Ayana yang merengek lantaran pinggangnya yang sakit.Semakin hari, bertambah usia kandungan Ayana, ada saja keluhan yang calon istrinya keluarkan. Tidak itu saja. Sikap manjanya berkali-kali lipat mengerikan. Dan Rambe menikmati perannya sebagai calon papa yang gesit dan tanggap darurat.“Oke terima kasih.” Ikuti saja. Mendebat Maha sama saja memasukkan diri ke liang lahat. Lelaki itu susah di ajak kompromi apa lagi bernegosiasi. “Tapi njir …” Sadar Rambe melebarkan matanya. “Ngapain lo nelepon gue di dini hari buta gini? Lo kesambet setan a
Malam ini, usai makan malam yang berlangsung dengan khidmat—tidak untuk Pulung. Perempuan itu blingsatan tidak karuan. Makannya tidak nikmat, seleranya tidak ada. Tatapan matanya nyaris kosong dan hanya memandang Omi diam-diam. Diam-diam menahan tangis. Diam-diam menahan sesak. Dan diam-diam berserapah dalam hati. Maha yang melihatnya hanya diam. Tidak banyak yang bisa dirinya lakukan. Pikirnya, jika hati seorang ibu sudah terluka karena anaknya yang di sakiti, tamat sudah dunia. Dan kini, tidak ada yang bisa membantah arti tatapan Pulung yang nyalang menghujam Aksara.“Papa juga nggak tahu.” Tutur Aksara. “Papa kira semuanya baik-baik saja karena Naomi nggak pernah nunjukin gelagat apa pun dan Dante memang secuek itu.”“Papa nggak tahu atau pura-pura bungkam. Papa orangtua bukan, sih?”Mendengar cercaan Pulung, Aksara diam. Hendak melawan bukan waktu yang tepat. Bahkan jika di beri kesempatan untuk menjelaskan secara rinci juga percuma. Emosi tengah menguasai Pulung. Bersama kebenc
Rambe kalang kabut. Kesiangan. Berkas-berkas rapat terpaksa dirinya cek ulang. Kemeja yang sudah di siapkan Ayana berubah lecek akibat ulahnya yang berlarian. Dasi yang sudah Ayana pasangkan miring ke kiri. Rambut yang sudah Ayana rapikan, amburadul. Serangan badai bella tiba di Lombok dan Rambe korban utama.Inginnya Ayana marahi. Tapi urung melihat bagaimana tersiksanya Rambe yang harus memuntahkan makanannya lantaran efek morning sickness. Berkali-kali Ayana usapi perut buncitnya untuk jangan rewel sejenak. Kasihan Rambe. “Besok lagi jangan bobok kemalaman.” Ayana berikan teh mint untuk Rambe seruput. Dan anggukan kepalanya membuat Ayana tersenyum. “Nanti mama ke sini.” Ayana mengangguk. Tahu bahwa mama angkat lelakinya akan datang bersama rombongan keluarga lainnya. “Kamu nggak perlu repot. Mama nggak mau kamu dan babynya kenapa-kenapa. Jangan capek-capek.”Ini rasanya luar biasa sekali. Dicintai dan mencintai Rambe membuat Ayana tidak menjadi orang lain. Segala kebaikan dan keb
Waktu berlalu. Hari berganti minggu dan seterusnya. Namun segala kehidupan yang terjadi tidak merubah tatanan yang telah Tuhan berikan. Semuanya masih sama hanya perubahan-perubahan yang tidak signifikan terjadi. Itu pun tidak seluruh umat manusia mengalaminya. Hanya yang mau merubahnya. Sisanya telah Tuhan berikan kesempatan lain untuk menentukan pilihannya.Sama halnya dengan keluarga Maharaja Askara. Melalui perubahan kecil yang terjadi pada keluarganya. Ada yang harus kepala keluarga itu syukuri banyak-banyak. Untuk istrinya yang selalu setia berada di sisinya membina rumah tangga selama hampir delapan tahun. Untuk putra-putrinya yang tumbuh dengan baik. Naomi yang cantik dan pintar. Baraja yang kian tidak bisa di kalahkan omongannya. Terakhir untuk calon anaknya bersama Pulung yang berusia delapan bulan.“Ayo bang minum dulu susunya.” Adalah Pulung Rinjani yang masih kekeuh dengan caranya untuk merawat putra-putrinya. Padahal Maha sudah sering mengejek perihal perut buncitnya. Y