Pagi-pagi sekali Rambe menerima telepon tidak mengenakkan. Yang menjadi fokus utamanya setelah satu nama disebut adalah ketiadaannya Ayana di sisinya. Tunggang langgang Rambe kenakan celananya yang bercecer tanpa peduli kaosnya. Kedua kakinya berlari menuruni tangga dan mengembuskan napas lega kala melihat sang calon istri ada di pinggir kolam.Duduk anteng dengan sinar mentari yang menyinari. Di temani alunan musik jazz kesukaannya. Ingin mendengus pada awalnya. Tapi tahu kalau itu buang-buang waktu, segera Rambe hampiri Ayana dan memeluk lehernya. “Bikin aku kuatir saja.” Rambe gigit bahu terbuka Ayana yang si empunya terkekeh. “Bisa, kan bangunin aku dulu.” Bibir Rambe bergerak liar mencari posisi kesukaannya. Menciumi leher jenjeng Ayana dan menerpakan napasnya di sana.“Geli papa.” Teriak Ayana dengan desahan yang tertahan.Sejak hari di mana Ayana beri jawaban atas persetujuan lamaran Rambe yang belum pernah terjawab. Panggilan Ayana berubah-ubah.“Ikut aku ke kantor yuk.”Jauh
Maha yang sudah menunggu Pulung dengan penuh kesabaran. Menanti dengan harapan yang melambung ke angkasa. Tidak peduli pada berapa banyak waktu yang telah terbuang. Terkadang, kita tak tahu apa yang diyakini orang namun nampak terasa benar bagi hati kita yang menjalani.Sejatinya, mulut-mulut yang sering melemparkan cibiran untuk seseorang yang sedang menunggu cinta bersemi tidak tahu arti sebuah harga sampai harus merasakan kehilangan lebih dulu. Mereka tidak tahu sebaik apa orang yang ditunggunya sebelum melihat kekurangan diri mereka sendiri. Maka, Maha meneguhkan hatinya. Karena takut jika sampai kehilangan yang memberi tahunya. Sekarang, napasnya bisa terasa lebih lega. Sudah melihat dan menjaga apa yang dirinya impikan. Hidup belum tentu bisa diputar ulang dengan kejadian yang sama.“Menu baru lagi?”Pulung mengangguk. Sejak pindah ke rumah baru, ekspreimen bersama dapur menjadi teman satu-satunya dalam membunuh kebosanan. Maha melarang dirinya bekerja dan fokus mengurus dirinya
Tuhan selalu tahu rasa sakit yang masing-masing manusia sembunyikan. Dan dengan caranya sendiri, Tuhan sembuhkan tiap luka yang mendera. Tuhan tahu dengan betapa seringnya kita menangis meski bibir terulas senyum. Tuhan tahu betapa sulitnya kita melewati semuanya. Tuhan sangat tahu kesulitan apa yang kita hadapi dalam hidup setiap harinya. Tuhan bahkan tahu bagiamana air mata datang ke mata lelah kita. Tapi selelah apa pun, selemah apa pun kita, Tuhan tahu dan tak akan pernah membiarkan kita sendirian. Tuhan selalu merangkul kita dengan bersandar pada-Nya. Tuhan yang akan menolong kita. Memang semuanya tampak sulit, tapi dengan mencoba percaya, ini akan selesai.Tak henti-hentinya Pulung usapi punggung tangan Maha yang nampak gugup. Turun dari pesawat yang membawa ketiganya di kota ini—jauh dari hiruk-pikuk ibu kota yang ternyata sama saja macetnya. Maha menegang di tempatnya, sesekali kaku meski senyumnya terus terukir agar Pulung tidak merasa terbebani.“Mas sudah lakuin hal yang b
Penyiksaannya baru di mulai sekarang. Dan semua itu, Rambe yang menanggungnya. Mulai dari mual muntah di pagi hari yang tidak terhitung lagi sampai lemas dan pucat yang terpasang di wajah tampannya. Ayana hanya bisa menepuki punggung sang kekasih dengan pelan. Membalurkan minyak kayu putih ke dada bidangnya agar hangat.“Masih mual?”Sejujurnya, tidak tega Ayana melihat pemandangan seperti ini tiap paginya. Bahkan kadang mual yang menyerang Rambe sangat tidak berakhlak. Namun ini semua bukan kehendak Ayana bukan juga keinginannya. Ini murni maunya si jabang bayi yang sengaja menyusahkan papanya. Ayana patut berbangga diri mendapat dukungan sedalam ini bahkan dari bayi yang belum dirinya lahirkan. “Nggak ngantor deh aku, Yang.” Kambuh manjanya. Ayana hendak protes tapi urung. Bertambahnya usia kandungan di perutnya dan bentuknya yang tidak rata lagi, kadar kecerewetan Ayana meningkat. Tahu bagaimana Rambe menyikapinya? Lelaki itu terlihat baik-baik saja. Tidak mengeluh. Mendebat ada
"Aku bingung.” Keluh Pulung begitu bangun pagi.“Apa?”“Kenapa kita pindah? Aku pikir itu cuma sekadar liburan karena kamu cuti setelah nikah.”“Oh itu.” Maha menggaruk rahangnya yang mulai kasar di tumbuhi bulu-bulu halus. Dan merangkum pipi Pulung untuk ia kecupi. “Pengen ganti suasana, Yang.”“Benar?” Maha mengangguk. Tapi ada guratan lain di wajahnya. “Bukan karena ada masalah.”“Enak saja.” Maha ngegas. Yang selalu membuat Pulung heran jika suaminya sudah meninggikan suaranya. Tindakan Maha sulit di tebak. Itu sudah terbukti dengan adanya kejadian seperti hari kemarin.“Salah kamu, sih.”“Kok aku?!”Kan maen vokalnya Gusti. Bisa-bisanya berteriak di pagi hari yang cerah benderang. Semarang dalam kondisi sehat walafiat dan sinar mentari yang menerobos masuk lewat celah gorden sudah memberikan gambarannya.“Aku kan sudah bilang, kamu misterius. Kamu tertutup nggak mau ngomong apa pun ke aku. Tapi kamu tahu semuanya tentang aku. Nyebelin, kan! Coba bayangin kalau aku di posisi kamu.
"Terima kasih! Lo harus bilang gitu. Tanpa bantahan apa lagi singkatan ‘makasih’.” Paksa Maha selalu seperti biasanya. Damage sikapnya yang bossy dan jiwa otoriternya nggak akan dilupain sama orang sekitar. Termasuk yang di seberang. Pagi-pagi—karena waktu yang berselisih—tentu Rambe mencak-mencak. Jika di Jakarta pukul dua belas malam, maka berbeda dengan tempatnya. Jarum pendek menunjukkan angka satu dan Rambe baru terlelap setengah jam setelah Ayana yang merengek lantaran pinggangnya yang sakit.Semakin hari, bertambah usia kandungan Ayana, ada saja keluhan yang calon istrinya keluarkan. Tidak itu saja. Sikap manjanya berkali-kali lipat mengerikan. Dan Rambe menikmati perannya sebagai calon papa yang gesit dan tanggap darurat.“Oke terima kasih.” Ikuti saja. Mendebat Maha sama saja memasukkan diri ke liang lahat. Lelaki itu susah di ajak kompromi apa lagi bernegosiasi. “Tapi njir …” Sadar Rambe melebarkan matanya. “Ngapain lo nelepon gue di dini hari buta gini? Lo kesambet setan a
Malam ini, usai makan malam yang berlangsung dengan khidmat—tidak untuk Pulung. Perempuan itu blingsatan tidak karuan. Makannya tidak nikmat, seleranya tidak ada. Tatapan matanya nyaris kosong dan hanya memandang Omi diam-diam. Diam-diam menahan tangis. Diam-diam menahan sesak. Dan diam-diam berserapah dalam hati. Maha yang melihatnya hanya diam. Tidak banyak yang bisa dirinya lakukan. Pikirnya, jika hati seorang ibu sudah terluka karena anaknya yang di sakiti, tamat sudah dunia. Dan kini, tidak ada yang bisa membantah arti tatapan Pulung yang nyalang menghujam Aksara.“Papa juga nggak tahu.” Tutur Aksara. “Papa kira semuanya baik-baik saja karena Naomi nggak pernah nunjukin gelagat apa pun dan Dante memang secuek itu.”“Papa nggak tahu atau pura-pura bungkam. Papa orangtua bukan, sih?”Mendengar cercaan Pulung, Aksara diam. Hendak melawan bukan waktu yang tepat. Bahkan jika di beri kesempatan untuk menjelaskan secara rinci juga percuma. Emosi tengah menguasai Pulung. Bersama kebenc
Rambe kalang kabut. Kesiangan. Berkas-berkas rapat terpaksa dirinya cek ulang. Kemeja yang sudah di siapkan Ayana berubah lecek akibat ulahnya yang berlarian. Dasi yang sudah Ayana pasangkan miring ke kiri. Rambut yang sudah Ayana rapikan, amburadul. Serangan badai bella tiba di Lombok dan Rambe korban utama.Inginnya Ayana marahi. Tapi urung melihat bagaimana tersiksanya Rambe yang harus memuntahkan makanannya lantaran efek morning sickness. Berkali-kali Ayana usapi perut buncitnya untuk jangan rewel sejenak. Kasihan Rambe. “Besok lagi jangan bobok kemalaman.” Ayana berikan teh mint untuk Rambe seruput. Dan anggukan kepalanya membuat Ayana tersenyum. “Nanti mama ke sini.” Ayana mengangguk. Tahu bahwa mama angkat lelakinya akan datang bersama rombongan keluarga lainnya. “Kamu nggak perlu repot. Mama nggak mau kamu dan babynya kenapa-kenapa. Jangan capek-capek.”Ini rasanya luar biasa sekali. Dicintai dan mencintai Rambe membuat Ayana tidak menjadi orang lain. Segala kebaikan dan keb
Tiap orang punya rahasia yang tak bisa di ungkapkan secara gamblang. Dan tiap orang juga punya sisi lain yang disebut topeng untuk menutupi wujud keasliannya alih-alih yang terlihat di hari-harinya. Begitu juga dengan Pulung yang paham betul akan makna itu. Bahkan mungkin keberadaan dirinya yang ada di rumah ini selama hampir sepuluh tahun belum mengetahui sampai bagian terdalamnya. Karena memang ada tempat lain yang belum bisa Pulung jamah.Mungkin juga lewat sebuah rahasia yang tak bisa diucapkan lewat kata-kata, ada jiwa-jiwa lelah yang menghadapi sikap kekanak-kanakannya selama masa kehamilan ini. Bukan maunya Pulung, sungguh. Murni bawaan sang jabang bayi yang mengharuskan sikapnya berubah drastis. Mulai keluar dari jalur keaslian siapa dirinya sampai ke akar-akar sikapnya yang paling menyebalkan.Namun di atas itu semua yang paling membuat Pulung terkesan adalah Maharaja Askara yang dua puluh empat jam penuh mau mengurusi dirinya dengan telaten. Penuh kesabaran tanpa mengeluh a
Yang semalam tak bisa Ardika berikan jawaban.Pagi ini semuanya berjalan seolah memang tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak ada obrolan seputar perasaan Naomi Aksara dengan B.S Negara yang membuat Ardika penasaran setengah mati. Ingin searching pun rasanya belum sempat. Ardika betul-betul melupakan di mana letak ponselnya berada dan fokus menghabiskan waktu bersama ketiga anaknya.Usai sarapan, agenda yang sangat di tunggu oleh Baraja pun terkabulkan. Paralayang yang sudah di incarnya sejak masih dalam perjalanan. Dan selesai dengan itu, mereka akan segera turun untuk Ardika bawa ke rumah orangtua Pulung.Tentu yang bingung tidak hanya para krucil itu saja. Bahkan ibunya Pulung tertegun selama berdetik-detik sebelum memeluk Baraja seraya menghujani dengan ciuman.“Ada milik Pulung di sini. Matanya punya Pulung. Hidungnya punya Pulung. Sisanya dia cetakanmu.”Ardika tersenyum kikuk. Dan di persilakan untuk duduk di ruang tamu sederhananya. Sudah ada suguhan padahal Ardika tidak memberi
Tidak ada halangan apa pun untuk sampai ke puncak Gunung Putri. Suasana cukup ramai karena ini weekend. Dan semilir angin malam mulai menyapa. Sepoi-sepoi menerbangkan helaian rambut milik Naomi yang mencuat. Sejauh mata memandang, kerlipan lampu malam kota Garut tersaji dengan indah. Tidak ada suara bising di sini. Sunyi dan senyap namun menenangkan. Suara jangkrik malam menjadi pengiring semesta menunjukkan keunggulannya.Embusan napas Naomi terhela dengan teratur. Seulas senyum terbit dengan jari menyelipkan anak-anak rambut.“Kakak belum bobok?” Adalah Ardika yang menatapi putri sulungnya sejak 15 menit yang lalu. Ada gejolak aneh di dalam hatinya. Desirannya penuh kesakitan dan sesaknya kesakitan. Bergumul jadi satu menyumbat saluran pernapasannya.“Mau ngelukis bentar lagi.”“Malam-malam begini?” Naomi mengangguk. “Nggak bisa besok saja kak?”“Papa lihat deh.” Ardika baru sadar bahwa anaknya yang satu ini tidak suka banyak bicara dan lebih menyukai tindakan. “Aku suka kerlipan l
Membutuhkan waktu 3 jam 42 menit dengan jarak tempuh 217 km Jakarta-Garut via tol.Ardika kemudikan mobilnya sendiri di dampingi Baraja dan Naomi serta Armani di kursi belakang. Kedua kakak adik perempuan itu anteng bersama tablet soal edukasi mendaki bagi pemula. Sesekali canda tawa akan terkuar dan berebut channel untuk di play lebih dulu.Hati Ardika tenang melihatnya dan Baraja yang bermain rubrik di sampingnya kentara fokusnya. Anak ini persis dirinya di masa kecil dulu jika boleh Ardika katakan demikian. Pasti tidak akan adil bagi Maharaja kalau mendengar keegoisan hatinya tentang ini. Tapi memang kadang hati tak mau munafik juga enggan di tampik.“Papa … Garut.” Rengek Baraja yang sudah lelah dengan permainannya. Menagih janji yang kemarin Ardika cetuskan. “Oh, iya. Papa lupa.” Ardika tengok lewat spion tengahnya. Kedua putrinya sedang asik jadi tidak perlu di usik. “Kabupaten Garut. Ada tulisan Aksara Sundanya yang papa nggak tahu bacanya gimana. Adalah sebuah Kabupaten di pr
Sudah matang semua persiapan yang Ardika kumpulkan. Jadi satu di atas meja ruang tengah milik Maha. Ketiga anaknya sedang asik bercengkerama—lebih merecoki Naomi yang hendak membawa peralatan melukisnya. Ardika setujui. Memberi dukungan untuk putri sulungnya serta merta mengembangkan bakat di gunung.“Tapi pemandangan gunung lebih cocok dengan ini teteh.” Suara Armani tak mau kalah dengan Baraja yang terus melengkingkan ketinggiannya. Kepala Ardika menggeleng dengan senyum yang tak pudar sedikit pun.“Kan pepohonan hijau adek.” Naomi tetap kekeuh pada pendiriannya karena—yeah—menurutnya dia lah sang pelukis sejati. Aduh memang ya.“Sentuhan cokelat juga bagus kakak. Kaka kapa nggak tahu? Nih abang kasih lihat ya.” Tablet Baraja sudah memutar sebuah video dengan pemandangan pegunungan-pegunungan berbagai pilihan. “Dari jauh iya biru. Pas dekat itu malah cokelat kayak gini tahu. Jadi kak, warna cokelat pun berguna untuk kakak bawa.”Mulai dari sini terlihat wajah bimbang Naomi. Semula y
"Gitu ya sementang punya rumah sendiri.”“Nggak tahu saja yang nunggu sampai keroncongan.”“Ini sejak kapan tamu malah pesan delivery?”“Heran Gusti heran!”Sindiran demi sindiran yang tersentil ke rungu Maha maupun Pulung tak menjadi halangan bagi pasangan yang sedang menanti kelahiran sang buah hati terusik.“Pasangan budak cinta mah gitu.”“Gaes … Sudah punya masing-masing jangan ngeledek.”“Iri bilang bos!”Kan maen! Jawaban Maha lebih estetik dari mulut tetangga yang di sumpal lombok setan sepuluh kilo. “Ibu hamil apa kabar nih? Makin adem ayem saja kayaknya.” Adalah Ayana yang pertama kali menyapa.Perempuan itu pun sedang hamil muda. Dan menurut cerita Maha, Rambe di buat kelimpungan habis-habisan. Mulai dari terpangkasnya jatah waktu untuk berduaan sampai harus rela memomong putra pertamanya. Salut dengan Rambe yang berbesar hati.“Ih teteh mah jorok pisan. Masa tiga hari nggak mandi?” Dante ikut serta nimbrung. “Asli aku mau semaput di certain itu.”Pada akhirnya hubungan me
'Aku sudah melewati banyak waktu untuk sembuh. Banyak hari untuk pulih. Banyak memori yang terkikis. Aku sudah jauh berjalan dalam gelap. Menyingsing lengan dan menggulung panjangnya hampara. Dari tajam menyayat yang kurasakan sepanjang jalan. Namun aku bertahan hingga akhirnya sakit itu tumbuh sendiri. Tatapan kelam. Kernyitan dahi karena silaunya putih di depan. Haruskah tertawa? Atau menangis? Sudah tak tampak lagi bagian belakang. Aku lupa bagaimana rasanya tertusuk duri.’Jadi begini para pemirsa dan saudara setanah air setumpah darah, ehm.Ada cerita tersembunyi kenapa Maharaja Askara harus berpuisi di tengah semua orang yang berkumpul. Di ruang keluarganya di mana mestinya terjadi acara liburan karena ini weekend. Juga sebagai libur pertama kedua anak-anaknya; Baraja dan Naomi.Tapi seolah nasib sial—boleh tidak mengatakan demikian? Takutnya ada setan lewat terus mampir. Tercatat sudah itu omongan untuk di jadikan karma kemudian hari. Kan berabe, Hyung!“Lagi, Sayang.”Ini sum
Kehamilan anak Maharaja yang pertama ini memanglah luar biasa. Mulai dari sikap manja Pulung yang tiada duanya (menggemaskan bagi Maha) namun terlihat menyebalkan bagi orang sekitar. Sampai hal-hal aneh yang tak terduga.Pagi ini misalnya.Tumben-tumbenan Pulung mager (malas gerak). Dan hanya gegulingan di atas kasur. Biasanya, usai salah subuh dan mengaji, aktivitas Pulung langsung yoga karena memang itu olahraga teraman rekomendasi dari dokter. Di samping memudahkan untuk kelahiran nanti, yoga mengurangi stres. Pulung tidak ke dapur. Memasak seperti biasanya. Tidak Maha hiraukan. Mencoba paham dengan kondisi sang istri yang di yakini bawaan anaknya.“Nggak mau mandi?” Maha elusi rambut Pulung. Tidur menyamping dan memegang ponsel dengan asik. Entah video apa yang di tonton hingga asik tanpa merasa terganggu sedikit pun. “Mau mas masakin sesuatu nggak?”Sejak Pulung hamil, Maha tidak bisa semena-mena. Urusan makan tak seleluasa request seperti saat awal-awal menikah. Meski dengan mu
Maharaja Askara jadi punya hobi baru; nyanyi. Yang menurut Pulung, boleh juga. Suaranya berat dan serak-serak gimana gitu. Ketika di dengarkan—apa lagi ketika Pulung letakkan kepalanya di dada Maha—uwah sensasinya nggak kaleng-kaleng.Dugun-dugun di jantung Maha terdengar sangat jelas. Dan Pulung suka sekali mendengar detakannya. Iramanya selaras dengan nyanyian yang terlantun dari mulut Maha. Malam ini, begitu Bara dan Naomi memasuki kamarnya masing-masing. Terlelap setelah berdebat mengenai tugas sekolah. Maha dan Pulung bergelung malas di depan ruang televisi. Ada kasur lipat yang biasa Maha gunakan untuk rebahan malas-malasan di sana. Pulung ikut saja. Dengan daster hamilnya, rambutnya yang tak berbentuk lagi dan manja-manja time bersama suami di mulai.“Semua ini pasti akan musnah. Tetapi tidak cintaku padamu. Karena aku sang pangeran cinta.” Lirik yang Maha senandungkan mengikuti penyanyi aslinya di televisi. Once Mekel masih saja tampan sejak Pulung duduk di bangku Sekolah Da