Belum bisa Dante ungkapkan dengan rentetan kalimat. Hanya kata-kata yang baru terangkai untuk bisa di tuliskan. Dengan pelan, sebuah bolpoin Dante goreskan di atas kertas putih. Sejumput kata mulai terangkai membentuk kalimat yang sesungguhnya cukup mengiris hatinya. Namun tidak mengapa, karena Dante tahu risikonya. Dan ini yang sedang di tanggungnya. Maka cara ini jalannya untuk menikmati prosesnya. Mungkin masalah waktu yang bisa menjawab. Dan hanya menunggu yang bisa Dante lakukan alih-alih untuk mengeluh.Yang Dante inginkan hanyalah rindu yang jauh dari jarak. Dekat dengan pelukan dan kesiapan dirinya untuk menjadi seorang pendengar yang setia. Yang selalu berdiri dengan kokoh di sisi Ardika untuk lelaki itu yang hendak mencurahkan segala keluh kesahnya. Tawa dan senyum Dante berharap bisa menawarkan luka lelah di hati yang penuh tanggungan beban. Tidak banyak yang bisa Dante lakukan kecuali menawarkan kedua bahunya untuk Ardika sandari. Yang lelah menghadapi pekerjaannya yang m
Sementang anak-anak sekolah demam dengan musim ujian, kehidupan Maha dan Pulung juga sama-sama mendapat ujian. Yang mana dalam beberapa hari ke depan hendak melangsungkan pernikahan. Datang seorang wanita berkisar 40-an ke rumahnya. Masalahnya—yang membuat Pulung uring-uringan—adalah bayi dalam gendongan yang sialannya sangat cantik milik Maharaja Askara, katanya. Yang artinya itu putri Maha bersama dengan entah siapa nama wanita itu.Pagi hari yang cerah seketika redup. Oleh gulungan awan gelap di wajah Pulung Rinjani. Maha sampai-sampai takut untuk melirik. Perempuan itu menatapi secara tajam wanita di hadapannya tanpa berkedip sekali pun. Catat itu; TANPA BERKEDIP. Duh, perut Maha mulas. Sakitnya melilit seperti di pelintir-pelintir. Kepalanya juga pening maksimal. Air mineral yang sudah tawar kian hambar tak berasa di indera pencecapnya. Kopi hitam pekatnya yang tanpa gula terasa seperti racun sewaktu melewati kerongkongannya.“Jadi?” Begitu vokal Pulung terdengar, pasokan udara
Check up kedua Ayana dilalui seorang diri—ah, ralat—ada asisten Rambe yang mengemban amanat untuk menemaninya. Dari mulai menjemput ke unit apartemen sampai di sini tubuhnya berada. Namanya Natalie. Dan Ayana suka memanggilnya dengan ‘Nat’ karena terdengar unik dan lain dari lainnya. Seperti orang luar negeri kedengarannya. Padahal orangnya sangat Indonesia sekali.Berasal dari Padang. Di tanah jam gadang itu tanah kelahiran Natalie. Wajahnya cantik dan manis khas milik orang-orang Padang pada umumnya. Rambutnya hitam, di bagian atasnya. Karena bawahnya berwarna-warni—paduan hijau dan kuning menyala menghias di sana. Semakin mempercantik tampilannya yang kasual meski tipe pekerja kantoran. Asli, Ayana like sama cewek model begini. Fashion modenya bikin Ayana yang sedang mood swing melek seketika.Dan cara Natalie memperlakukan Ayana amatlah ramah. Tidak memandang siapa dirinya yang sebagai kekasih bosnya, Natalie melihat Ayana selayaknya teman dan sahabat. Jadi wajar jika bibir tipisn
Aksara tidak tahu dari mana cucunya mendapatkan sumber kesenangan berupa dua kucing kembar berjenis kelamin lelaki dan perempuan. Bentuknya lucu sekali. Bulu-bulunya yang baru tumbuh—karena kedua hewan itu memang baru lahir—terlihat menggemaskan. Ketika Aksara bertanya, dari mana asalnya, Naomi menjawab: dari om baik. Yang tentu tidak Aksara ketahui siapa orangnya dan bagaimana bentuknya. Ingin mengikuti bahasa gaul anak zaman sekarang, kepo, Aksara takut cucunya akan ngambek. Kadang-kadang Naomi sukar untuk di tebak. Entah dalam mood mau pun keinginan. Selalu berubah-ubah.“Namanya siapa?”“Cia sama Cio.”“Yang Cia mana, yang Cio mana?” Bodo amat lah semisal Naomi akan meledak-ledak. Bibir Aksara sangat gatal ingin bertanya. Makhluk dua itu pun sangat yahud di pandangi.“Cia yang ini opa, kalungnya pink muda dan pink tua. Dia cewek, opa jangan lupa. Kalau Cio yang kalungnya putih sama hitam. Dia cowok dan mereka saudara.”Innalilah. Aksara memasang wajah yang tidak enak meski seteng
Seperti cerita hujan yang menghadirkan sejuta kenangan bagi orang-orang. Mereka yang berteduh di bawah payung mengembangkan senyumnya karena bahagia air turun dari langit. Membasahi bumi yang gersang. Rintik-rintiknya beragam ukuran. Ada yang besar dan ada yang kecil. Suaranya juga berbagai macam. Kadang keras dan kadang kalem. Begitu juga sama dengan yang tidak berada di bawah teduhan payung. Ada lelehan air yang turun dari sudut mata tanpa orang lain lihat. Mereka juga mengingat tentang kenangan-kenangan yang berkelebat.Sejatinya rintik dan senja saling menyatu. Hanya berbeda waktu kehadirannya. Kedatangan keduanya paling di nanti-nanti oleh beberapa umat pecinta rintik dan penikmat senja. Sembari duduk di balkon, menyeruput teh panasnya. Dengan mata yang menatap luas hamparan ciptaan Tuhan. Tidak ada yang memungkiri betapa damainya hidup ini kala pagi di sambut binaran mentari dan sore di tutup oleh senja jingga yang cantik.Sama halnya dengan Ayana. Perempuan hamil itu berdiri me
Selama kau mencintaikuAku tertekan Tujuh milyar orang di dunia berusaha selarasTerus bersamaWajahmu tersenyum meskipun hatimu kecutTapi kini kau tahuKita berdua tahu dunia ini kejam Tapi kan kuambil kesempatankuPulung bersenandung lirih. Lewat earphone dengan kepala yang sesekali terangguk. Nyanyian di atas menunjukkan bahwa si pemilik cinta tidak mendapatkan restu entah karena apa. Yang pasti, keduanya saling mencintai dan mau memperjuangkan satu sama lain. Rasanya sangat manis ketika apa yang menjadi impian kita bisa terwujud bersama orang tersayang.Cinta dan penderitaan selalu berdampingan. Entah karena apa. Heran saja. Zaman sekarang perkara memberi restu punya syarat sepanjang pembangunan tol baru. Bangun jalan saja jika izin resmi sudah turun, maka lekas segera di laksanakan. Nggak buang-buang waktu sampai berkelit sana-sini. Lah ini? Cuma perkara dua anak manusia yang saling suka, saling sayang, dan saling cinta. Ngasih restu apa masih susah? Kalau masalahnya cuma mad
Bagi Naomi, ini perjalanan terjauhnya. Untuk perdana, Aksara benar-benar melihat binar ceria yang tak bisa di jelaskan dengan kata-kata. Setelah sekian lama cahaya terangnya meredup, kini kembali muncul ke permukaan. Menyaksikan kemacetan kota Semarang yang tak jauh berbeda dengan Karawang. Decakan kagum berkali-kali Naomi gumamkan. Membuat Aksara terkekeh gemas. Cucunya sangat lucu. Mestinya, jika dirinya tahu hal ini bisa membuat cucunya senang, sering-sering saja mengajaknya liburan. “Oma pasti nyesal.” Naomi keluarkan kamera ponselnya. Membidik jajaran pohon yang tumbuh di sekitar laut sepanjang jalan menuju ke Lawang Sewu. “Nyari duwit harus sampai lupa sama diri sendiri, ya, opa?”Rute yang Aksara ambil menuju Semarang daerah kota terbilang memutar. Jalur pantura menjadi lebih jauh namun memberikan pemandangan yang beragam. Setelah macet keluar dari Kawasan Bandara, kini berganti dengan jajaran pabrik dan cerobong asapnya yang terus beroperasi. Pelabuhan Tanjung Emas juga mena
Mari menangis bersama. Bukan tangis tentang cerita sedih kita. Tapi tangis bahagia atas perjuangan kita bersama. Menangisi ‘jejak darah’ yang kita lewati untuk sampai pada puncak perjuangan ini. Menangis bahagia tentang cerita aku dan kamu yang bermetamorfosis menjadi kita.“Pernah dengar kata-kata ini nggak?” Maha pandangi pantulan Pulung di cermin. Yang cantik dan anggun dalam balutan kebaya. Putih dan bersih yang mengartikan sucinya pernikahan ini. “Istilahnya kamu adalah rumah buat aku. Tempat aku bisa pulang dan ngelihat kamu aku punya rumah yang sesungguhnya.”“Kalau gitu, aku nggak bakal pernah lepasin kamu buat singgah barang sejenak pun ke tempat lain,” jawab Pulung mantap. Terdengar lebih agresif yang menguarkan tawa di bibir Maha.“Kamu mainnya nggak kaleng-kaleng sekarang.” Ejek Maha.“Nggak mau kehilangan lagi.” Rajuk Pulung.“Aku nggak bakal pergi.”“Yang suka kamu banyak.”“Aku cintanya sama satu perempuan saja.”“Siapa?” Pura-pura tidak tahu menjadi keahlian Pulung ak