Sebelumnya, sudah pernah Lira dengar kisah yang jauh mengerikan dari ini. Lewat seseorang yang telah Lira anggap sebagai putranya, yang menolong dirinya, memberikan perlindungan dari kehidupan kejam yang menyeret nasibnya pada keburukan.Aksara boleh saja berbicara panjang lebar. Poin di sini, Lira dendam. Ingin mendapatkan pria-nya lagi apa pun yang terjadi. Menyingkirkan wanita ular yang telah membuat cerita rekayasa belasan tahun lalu. Untuknya merasakan apa yang telah Lira lewati. Untuknya tahu seberapa hancur hidupnya terpisah dari separuh napas dan belahan jiwanya.Mija sungguh kejam. Tidak jauh berbeda dengan keluarganya yang mengagungkan uang dan kekuasaan. Sehingga nyawa orang lain akan selesai dengan nominal yang berjejer di selembar kertas. Jika bukan dalam kondisi yang mendesak, takkan Lira lakukan hal demikian. Tapi ini menyangkut keselamatan putranya yang masih bayi dan tidak tahu apa-apa.“Seharusnya Mija bisa berbagi suami.” Penuturan Lira tidak sepenuhnya salah. Tapi
Pada akhirnya telah Lira dapatkan keputusan yang sesuai. Sepadan dengan pengorbanannya di masa lalu. Yang sudah melepas kehidupannya hanya untuk bersembunyi seperti pengecut. Sekarang, tahu dengan sangat mudahnya menggapai hati Aksara, sesal tak berujung bercokol di lubuk hatinya.Tahu begini, tindakan yang selalu ingin kembali ke masa itu patutnya dirinya wujudkan. Karena apa pun yang terjadi, Aksara masih sangat menginginkan dirinya. Dan cinta yang Aksara persembahkan khusus untuknya, benar-benar murni dan tulus.Kini, pria itu ada dalam genggamannya. Dan ucapan serta janji yang telah Aksara sampaikan meyakinkan hati Lira untuk tidak lagi melepaskan. Bahkan, Mija tak ada apa-apanya di banding dengan dirinya. Benar. Cinta tak bisa di paksakan seperti apa jalannya. Meski sah secara agama dan hukum, Mija tak pernah di kucuri kasih sayang asli dari Aksara.“Kamu nggak mau pamitan sama anak angkatmu?”Ah, iya. Lira bertemu seorang lelaki muda yang jika di tafsir akan seumuran dengan putr
Pagi-pagi sekali Rambe menerima telepon tidak mengenakkan. Yang menjadi fokus utamanya setelah satu nama disebut adalah ketiadaannya Ayana di sisinya. Tunggang langgang Rambe kenakan celananya yang bercecer tanpa peduli kaosnya. Kedua kakinya berlari menuruni tangga dan mengembuskan napas lega kala melihat sang calon istri ada di pinggir kolam.Duduk anteng dengan sinar mentari yang menyinari. Di temani alunan musik jazz kesukaannya. Ingin mendengus pada awalnya. Tapi tahu kalau itu buang-buang waktu, segera Rambe hampiri Ayana dan memeluk lehernya. “Bikin aku kuatir saja.” Rambe gigit bahu terbuka Ayana yang si empunya terkekeh. “Bisa, kan bangunin aku dulu.” Bibir Rambe bergerak liar mencari posisi kesukaannya. Menciumi leher jenjeng Ayana dan menerpakan napasnya di sana.“Geli papa.” Teriak Ayana dengan desahan yang tertahan.Sejak hari di mana Ayana beri jawaban atas persetujuan lamaran Rambe yang belum pernah terjawab. Panggilan Ayana berubah-ubah.“Ikut aku ke kantor yuk.”Jauh
Maha yang sudah menunggu Pulung dengan penuh kesabaran. Menanti dengan harapan yang melambung ke angkasa. Tidak peduli pada berapa banyak waktu yang telah terbuang. Terkadang, kita tak tahu apa yang diyakini orang namun nampak terasa benar bagi hati kita yang menjalani.Sejatinya, mulut-mulut yang sering melemparkan cibiran untuk seseorang yang sedang menunggu cinta bersemi tidak tahu arti sebuah harga sampai harus merasakan kehilangan lebih dulu. Mereka tidak tahu sebaik apa orang yang ditunggunya sebelum melihat kekurangan diri mereka sendiri. Maka, Maha meneguhkan hatinya. Karena takut jika sampai kehilangan yang memberi tahunya. Sekarang, napasnya bisa terasa lebih lega. Sudah melihat dan menjaga apa yang dirinya impikan. Hidup belum tentu bisa diputar ulang dengan kejadian yang sama.“Menu baru lagi?”Pulung mengangguk. Sejak pindah ke rumah baru, ekspreimen bersama dapur menjadi teman satu-satunya dalam membunuh kebosanan. Maha melarang dirinya bekerja dan fokus mengurus dirinya
Tuhan selalu tahu rasa sakit yang masing-masing manusia sembunyikan. Dan dengan caranya sendiri, Tuhan sembuhkan tiap luka yang mendera. Tuhan tahu dengan betapa seringnya kita menangis meski bibir terulas senyum. Tuhan tahu betapa sulitnya kita melewati semuanya. Tuhan sangat tahu kesulitan apa yang kita hadapi dalam hidup setiap harinya. Tuhan bahkan tahu bagiamana air mata datang ke mata lelah kita. Tapi selelah apa pun, selemah apa pun kita, Tuhan tahu dan tak akan pernah membiarkan kita sendirian. Tuhan selalu merangkul kita dengan bersandar pada-Nya. Tuhan yang akan menolong kita. Memang semuanya tampak sulit, tapi dengan mencoba percaya, ini akan selesai.Tak henti-hentinya Pulung usapi punggung tangan Maha yang nampak gugup. Turun dari pesawat yang membawa ketiganya di kota ini—jauh dari hiruk-pikuk ibu kota yang ternyata sama saja macetnya. Maha menegang di tempatnya, sesekali kaku meski senyumnya terus terukir agar Pulung tidak merasa terbebani.“Mas sudah lakuin hal yang b
Penyiksaannya baru di mulai sekarang. Dan semua itu, Rambe yang menanggungnya. Mulai dari mual muntah di pagi hari yang tidak terhitung lagi sampai lemas dan pucat yang terpasang di wajah tampannya. Ayana hanya bisa menepuki punggung sang kekasih dengan pelan. Membalurkan minyak kayu putih ke dada bidangnya agar hangat.“Masih mual?”Sejujurnya, tidak tega Ayana melihat pemandangan seperti ini tiap paginya. Bahkan kadang mual yang menyerang Rambe sangat tidak berakhlak. Namun ini semua bukan kehendak Ayana bukan juga keinginannya. Ini murni maunya si jabang bayi yang sengaja menyusahkan papanya. Ayana patut berbangga diri mendapat dukungan sedalam ini bahkan dari bayi yang belum dirinya lahirkan. “Nggak ngantor deh aku, Yang.” Kambuh manjanya. Ayana hendak protes tapi urung. Bertambahnya usia kandungan di perutnya dan bentuknya yang tidak rata lagi, kadar kecerewetan Ayana meningkat. Tahu bagaimana Rambe menyikapinya? Lelaki itu terlihat baik-baik saja. Tidak mengeluh. Mendebat ada
"Aku bingung.” Keluh Pulung begitu bangun pagi.“Apa?”“Kenapa kita pindah? Aku pikir itu cuma sekadar liburan karena kamu cuti setelah nikah.”“Oh itu.” Maha menggaruk rahangnya yang mulai kasar di tumbuhi bulu-bulu halus. Dan merangkum pipi Pulung untuk ia kecupi. “Pengen ganti suasana, Yang.”“Benar?” Maha mengangguk. Tapi ada guratan lain di wajahnya. “Bukan karena ada masalah.”“Enak saja.” Maha ngegas. Yang selalu membuat Pulung heran jika suaminya sudah meninggikan suaranya. Tindakan Maha sulit di tebak. Itu sudah terbukti dengan adanya kejadian seperti hari kemarin.“Salah kamu, sih.”“Kok aku?!”Kan maen vokalnya Gusti. Bisa-bisanya berteriak di pagi hari yang cerah benderang. Semarang dalam kondisi sehat walafiat dan sinar mentari yang menerobos masuk lewat celah gorden sudah memberikan gambarannya.“Aku kan sudah bilang, kamu misterius. Kamu tertutup nggak mau ngomong apa pun ke aku. Tapi kamu tahu semuanya tentang aku. Nyebelin, kan! Coba bayangin kalau aku di posisi kamu.
"Terima kasih! Lo harus bilang gitu. Tanpa bantahan apa lagi singkatan ‘makasih’.” Paksa Maha selalu seperti biasanya. Damage sikapnya yang bossy dan jiwa otoriternya nggak akan dilupain sama orang sekitar. Termasuk yang di seberang. Pagi-pagi—karena waktu yang berselisih—tentu Rambe mencak-mencak. Jika di Jakarta pukul dua belas malam, maka berbeda dengan tempatnya. Jarum pendek menunjukkan angka satu dan Rambe baru terlelap setengah jam setelah Ayana yang merengek lantaran pinggangnya yang sakit.Semakin hari, bertambah usia kandungan Ayana, ada saja keluhan yang calon istrinya keluarkan. Tidak itu saja. Sikap manjanya berkali-kali lipat mengerikan. Dan Rambe menikmati perannya sebagai calon papa yang gesit dan tanggap darurat.“Oke terima kasih.” Ikuti saja. Mendebat Maha sama saja memasukkan diri ke liang lahat. Lelaki itu susah di ajak kompromi apa lagi bernegosiasi. “Tapi njir …” Sadar Rambe melebarkan matanya. “Ngapain lo nelepon gue di dini hari buta gini? Lo kesambet setan a