Selama kau mencintaikuAku tertekan Tujuh milyar orang di dunia berusaha selarasTerus bersamaWajahmu tersenyum meskipun hatimu kecutTapi kini kau tahuKita berdua tahu dunia ini kejam Tapi kan kuambil kesempatankuPulung bersenandung lirih. Lewat earphone dengan kepala yang sesekali terangguk. Nyanyian di atas menunjukkan bahwa si pemilik cinta tidak mendapatkan restu entah karena apa. Yang pasti, keduanya saling mencintai dan mau memperjuangkan satu sama lain. Rasanya sangat manis ketika apa yang menjadi impian kita bisa terwujud bersama orang tersayang.Cinta dan penderitaan selalu berdampingan. Entah karena apa. Heran saja. Zaman sekarang perkara memberi restu punya syarat sepanjang pembangunan tol baru. Bangun jalan saja jika izin resmi sudah turun, maka lekas segera di laksanakan. Nggak buang-buang waktu sampai berkelit sana-sini. Lah ini? Cuma perkara dua anak manusia yang saling suka, saling sayang, dan saling cinta. Ngasih restu apa masih susah? Kalau masalahnya cuma mad
Bagi Naomi, ini perjalanan terjauhnya. Untuk perdana, Aksara benar-benar melihat binar ceria yang tak bisa di jelaskan dengan kata-kata. Setelah sekian lama cahaya terangnya meredup, kini kembali muncul ke permukaan. Menyaksikan kemacetan kota Semarang yang tak jauh berbeda dengan Karawang. Decakan kagum berkali-kali Naomi gumamkan. Membuat Aksara terkekeh gemas. Cucunya sangat lucu. Mestinya, jika dirinya tahu hal ini bisa membuat cucunya senang, sering-sering saja mengajaknya liburan. “Oma pasti nyesal.” Naomi keluarkan kamera ponselnya. Membidik jajaran pohon yang tumbuh di sekitar laut sepanjang jalan menuju ke Lawang Sewu. “Nyari duwit harus sampai lupa sama diri sendiri, ya, opa?”Rute yang Aksara ambil menuju Semarang daerah kota terbilang memutar. Jalur pantura menjadi lebih jauh namun memberikan pemandangan yang beragam. Setelah macet keluar dari Kawasan Bandara, kini berganti dengan jajaran pabrik dan cerobong asapnya yang terus beroperasi. Pelabuhan Tanjung Emas juga mena
Mari menangis bersama. Bukan tangis tentang cerita sedih kita. Tapi tangis bahagia atas perjuangan kita bersama. Menangisi ‘jejak darah’ yang kita lewati untuk sampai pada puncak perjuangan ini. Menangis bahagia tentang cerita aku dan kamu yang bermetamorfosis menjadi kita.“Pernah dengar kata-kata ini nggak?” Maha pandangi pantulan Pulung di cermin. Yang cantik dan anggun dalam balutan kebaya. Putih dan bersih yang mengartikan sucinya pernikahan ini. “Istilahnya kamu adalah rumah buat aku. Tempat aku bisa pulang dan ngelihat kamu aku punya rumah yang sesungguhnya.”“Kalau gitu, aku nggak bakal pernah lepasin kamu buat singgah barang sejenak pun ke tempat lain,” jawab Pulung mantap. Terdengar lebih agresif yang menguarkan tawa di bibir Maha.“Kamu mainnya nggak kaleng-kaleng sekarang.” Ejek Maha.“Nggak mau kehilangan lagi.” Rajuk Pulung.“Aku nggak bakal pergi.”“Yang suka kamu banyak.”“Aku cintanya sama satu perempuan saja.”“Siapa?” Pura-pura tidak tahu menjadi keahlian Pulung ak
Sebelumnya, sudah pernah Lira dengar kisah yang jauh mengerikan dari ini. Lewat seseorang yang telah Lira anggap sebagai putranya, yang menolong dirinya, memberikan perlindungan dari kehidupan kejam yang menyeret nasibnya pada keburukan.Aksara boleh saja berbicara panjang lebar. Poin di sini, Lira dendam. Ingin mendapatkan pria-nya lagi apa pun yang terjadi. Menyingkirkan wanita ular yang telah membuat cerita rekayasa belasan tahun lalu. Untuknya merasakan apa yang telah Lira lewati. Untuknya tahu seberapa hancur hidupnya terpisah dari separuh napas dan belahan jiwanya.Mija sungguh kejam. Tidak jauh berbeda dengan keluarganya yang mengagungkan uang dan kekuasaan. Sehingga nyawa orang lain akan selesai dengan nominal yang berjejer di selembar kertas. Jika bukan dalam kondisi yang mendesak, takkan Lira lakukan hal demikian. Tapi ini menyangkut keselamatan putranya yang masih bayi dan tidak tahu apa-apa.“Seharusnya Mija bisa berbagi suami.” Penuturan Lira tidak sepenuhnya salah. Tapi
Pada akhirnya telah Lira dapatkan keputusan yang sesuai. Sepadan dengan pengorbanannya di masa lalu. Yang sudah melepas kehidupannya hanya untuk bersembunyi seperti pengecut. Sekarang, tahu dengan sangat mudahnya menggapai hati Aksara, sesal tak berujung bercokol di lubuk hatinya.Tahu begini, tindakan yang selalu ingin kembali ke masa itu patutnya dirinya wujudkan. Karena apa pun yang terjadi, Aksara masih sangat menginginkan dirinya. Dan cinta yang Aksara persembahkan khusus untuknya, benar-benar murni dan tulus.Kini, pria itu ada dalam genggamannya. Dan ucapan serta janji yang telah Aksara sampaikan meyakinkan hati Lira untuk tidak lagi melepaskan. Bahkan, Mija tak ada apa-apanya di banding dengan dirinya. Benar. Cinta tak bisa di paksakan seperti apa jalannya. Meski sah secara agama dan hukum, Mija tak pernah di kucuri kasih sayang asli dari Aksara.“Kamu nggak mau pamitan sama anak angkatmu?”Ah, iya. Lira bertemu seorang lelaki muda yang jika di tafsir akan seumuran dengan putr
Pagi-pagi sekali Rambe menerima telepon tidak mengenakkan. Yang menjadi fokus utamanya setelah satu nama disebut adalah ketiadaannya Ayana di sisinya. Tunggang langgang Rambe kenakan celananya yang bercecer tanpa peduli kaosnya. Kedua kakinya berlari menuruni tangga dan mengembuskan napas lega kala melihat sang calon istri ada di pinggir kolam.Duduk anteng dengan sinar mentari yang menyinari. Di temani alunan musik jazz kesukaannya. Ingin mendengus pada awalnya. Tapi tahu kalau itu buang-buang waktu, segera Rambe hampiri Ayana dan memeluk lehernya. “Bikin aku kuatir saja.” Rambe gigit bahu terbuka Ayana yang si empunya terkekeh. “Bisa, kan bangunin aku dulu.” Bibir Rambe bergerak liar mencari posisi kesukaannya. Menciumi leher jenjeng Ayana dan menerpakan napasnya di sana.“Geli papa.” Teriak Ayana dengan desahan yang tertahan.Sejak hari di mana Ayana beri jawaban atas persetujuan lamaran Rambe yang belum pernah terjawab. Panggilan Ayana berubah-ubah.“Ikut aku ke kantor yuk.”Jauh
Maha yang sudah menunggu Pulung dengan penuh kesabaran. Menanti dengan harapan yang melambung ke angkasa. Tidak peduli pada berapa banyak waktu yang telah terbuang. Terkadang, kita tak tahu apa yang diyakini orang namun nampak terasa benar bagi hati kita yang menjalani.Sejatinya, mulut-mulut yang sering melemparkan cibiran untuk seseorang yang sedang menunggu cinta bersemi tidak tahu arti sebuah harga sampai harus merasakan kehilangan lebih dulu. Mereka tidak tahu sebaik apa orang yang ditunggunya sebelum melihat kekurangan diri mereka sendiri. Maka, Maha meneguhkan hatinya. Karena takut jika sampai kehilangan yang memberi tahunya. Sekarang, napasnya bisa terasa lebih lega. Sudah melihat dan menjaga apa yang dirinya impikan. Hidup belum tentu bisa diputar ulang dengan kejadian yang sama.“Menu baru lagi?”Pulung mengangguk. Sejak pindah ke rumah baru, ekspreimen bersama dapur menjadi teman satu-satunya dalam membunuh kebosanan. Maha melarang dirinya bekerja dan fokus mengurus dirinya
Tuhan selalu tahu rasa sakit yang masing-masing manusia sembunyikan. Dan dengan caranya sendiri, Tuhan sembuhkan tiap luka yang mendera. Tuhan tahu dengan betapa seringnya kita menangis meski bibir terulas senyum. Tuhan tahu betapa sulitnya kita melewati semuanya. Tuhan sangat tahu kesulitan apa yang kita hadapi dalam hidup setiap harinya. Tuhan bahkan tahu bagiamana air mata datang ke mata lelah kita. Tapi selelah apa pun, selemah apa pun kita, Tuhan tahu dan tak akan pernah membiarkan kita sendirian. Tuhan selalu merangkul kita dengan bersandar pada-Nya. Tuhan yang akan menolong kita. Memang semuanya tampak sulit, tapi dengan mencoba percaya, ini akan selesai.Tak henti-hentinya Pulung usapi punggung tangan Maha yang nampak gugup. Turun dari pesawat yang membawa ketiganya di kota ini—jauh dari hiruk-pikuk ibu kota yang ternyata sama saja macetnya. Maha menegang di tempatnya, sesekali kaku meski senyumnya terus terukir agar Pulung tidak merasa terbebani.“Mas sudah lakuin hal yang b
Tiap orang punya rahasia yang tak bisa di ungkapkan secara gamblang. Dan tiap orang juga punya sisi lain yang disebut topeng untuk menutupi wujud keasliannya alih-alih yang terlihat di hari-harinya. Begitu juga dengan Pulung yang paham betul akan makna itu. Bahkan mungkin keberadaan dirinya yang ada di rumah ini selama hampir sepuluh tahun belum mengetahui sampai bagian terdalamnya. Karena memang ada tempat lain yang belum bisa Pulung jamah.Mungkin juga lewat sebuah rahasia yang tak bisa diucapkan lewat kata-kata, ada jiwa-jiwa lelah yang menghadapi sikap kekanak-kanakannya selama masa kehamilan ini. Bukan maunya Pulung, sungguh. Murni bawaan sang jabang bayi yang mengharuskan sikapnya berubah drastis. Mulai keluar dari jalur keaslian siapa dirinya sampai ke akar-akar sikapnya yang paling menyebalkan.Namun di atas itu semua yang paling membuat Pulung terkesan adalah Maharaja Askara yang dua puluh empat jam penuh mau mengurusi dirinya dengan telaten. Penuh kesabaran tanpa mengeluh a
Yang semalam tak bisa Ardika berikan jawaban.Pagi ini semuanya berjalan seolah memang tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak ada obrolan seputar perasaan Naomi Aksara dengan B.S Negara yang membuat Ardika penasaran setengah mati. Ingin searching pun rasanya belum sempat. Ardika betul-betul melupakan di mana letak ponselnya berada dan fokus menghabiskan waktu bersama ketiga anaknya.Usai sarapan, agenda yang sangat di tunggu oleh Baraja pun terkabulkan. Paralayang yang sudah di incarnya sejak masih dalam perjalanan. Dan selesai dengan itu, mereka akan segera turun untuk Ardika bawa ke rumah orangtua Pulung.Tentu yang bingung tidak hanya para krucil itu saja. Bahkan ibunya Pulung tertegun selama berdetik-detik sebelum memeluk Baraja seraya menghujani dengan ciuman.“Ada milik Pulung di sini. Matanya punya Pulung. Hidungnya punya Pulung. Sisanya dia cetakanmu.”Ardika tersenyum kikuk. Dan di persilakan untuk duduk di ruang tamu sederhananya. Sudah ada suguhan padahal Ardika tidak memberi
Tidak ada halangan apa pun untuk sampai ke puncak Gunung Putri. Suasana cukup ramai karena ini weekend. Dan semilir angin malam mulai menyapa. Sepoi-sepoi menerbangkan helaian rambut milik Naomi yang mencuat. Sejauh mata memandang, kerlipan lampu malam kota Garut tersaji dengan indah. Tidak ada suara bising di sini. Sunyi dan senyap namun menenangkan. Suara jangkrik malam menjadi pengiring semesta menunjukkan keunggulannya.Embusan napas Naomi terhela dengan teratur. Seulas senyum terbit dengan jari menyelipkan anak-anak rambut.“Kakak belum bobok?” Adalah Ardika yang menatapi putri sulungnya sejak 15 menit yang lalu. Ada gejolak aneh di dalam hatinya. Desirannya penuh kesakitan dan sesaknya kesakitan. Bergumul jadi satu menyumbat saluran pernapasannya.“Mau ngelukis bentar lagi.”“Malam-malam begini?” Naomi mengangguk. “Nggak bisa besok saja kak?”“Papa lihat deh.” Ardika baru sadar bahwa anaknya yang satu ini tidak suka banyak bicara dan lebih menyukai tindakan. “Aku suka kerlipan l
Membutuhkan waktu 3 jam 42 menit dengan jarak tempuh 217 km Jakarta-Garut via tol.Ardika kemudikan mobilnya sendiri di dampingi Baraja dan Naomi serta Armani di kursi belakang. Kedua kakak adik perempuan itu anteng bersama tablet soal edukasi mendaki bagi pemula. Sesekali canda tawa akan terkuar dan berebut channel untuk di play lebih dulu.Hati Ardika tenang melihatnya dan Baraja yang bermain rubrik di sampingnya kentara fokusnya. Anak ini persis dirinya di masa kecil dulu jika boleh Ardika katakan demikian. Pasti tidak akan adil bagi Maharaja kalau mendengar keegoisan hatinya tentang ini. Tapi memang kadang hati tak mau munafik juga enggan di tampik.“Papa … Garut.” Rengek Baraja yang sudah lelah dengan permainannya. Menagih janji yang kemarin Ardika cetuskan. “Oh, iya. Papa lupa.” Ardika tengok lewat spion tengahnya. Kedua putrinya sedang asik jadi tidak perlu di usik. “Kabupaten Garut. Ada tulisan Aksara Sundanya yang papa nggak tahu bacanya gimana. Adalah sebuah Kabupaten di pr
Sudah matang semua persiapan yang Ardika kumpulkan. Jadi satu di atas meja ruang tengah milik Maha. Ketiga anaknya sedang asik bercengkerama—lebih merecoki Naomi yang hendak membawa peralatan melukisnya. Ardika setujui. Memberi dukungan untuk putri sulungnya serta merta mengembangkan bakat di gunung.“Tapi pemandangan gunung lebih cocok dengan ini teteh.” Suara Armani tak mau kalah dengan Baraja yang terus melengkingkan ketinggiannya. Kepala Ardika menggeleng dengan senyum yang tak pudar sedikit pun.“Kan pepohonan hijau adek.” Naomi tetap kekeuh pada pendiriannya karena—yeah—menurutnya dia lah sang pelukis sejati. Aduh memang ya.“Sentuhan cokelat juga bagus kakak. Kaka kapa nggak tahu? Nih abang kasih lihat ya.” Tablet Baraja sudah memutar sebuah video dengan pemandangan pegunungan-pegunungan berbagai pilihan. “Dari jauh iya biru. Pas dekat itu malah cokelat kayak gini tahu. Jadi kak, warna cokelat pun berguna untuk kakak bawa.”Mulai dari sini terlihat wajah bimbang Naomi. Semula y
"Gitu ya sementang punya rumah sendiri.”“Nggak tahu saja yang nunggu sampai keroncongan.”“Ini sejak kapan tamu malah pesan delivery?”“Heran Gusti heran!”Sindiran demi sindiran yang tersentil ke rungu Maha maupun Pulung tak menjadi halangan bagi pasangan yang sedang menanti kelahiran sang buah hati terusik.“Pasangan budak cinta mah gitu.”“Gaes … Sudah punya masing-masing jangan ngeledek.”“Iri bilang bos!”Kan maen! Jawaban Maha lebih estetik dari mulut tetangga yang di sumpal lombok setan sepuluh kilo. “Ibu hamil apa kabar nih? Makin adem ayem saja kayaknya.” Adalah Ayana yang pertama kali menyapa.Perempuan itu pun sedang hamil muda. Dan menurut cerita Maha, Rambe di buat kelimpungan habis-habisan. Mulai dari terpangkasnya jatah waktu untuk berduaan sampai harus rela memomong putra pertamanya. Salut dengan Rambe yang berbesar hati.“Ih teteh mah jorok pisan. Masa tiga hari nggak mandi?” Dante ikut serta nimbrung. “Asli aku mau semaput di certain itu.”Pada akhirnya hubungan me
'Aku sudah melewati banyak waktu untuk sembuh. Banyak hari untuk pulih. Banyak memori yang terkikis. Aku sudah jauh berjalan dalam gelap. Menyingsing lengan dan menggulung panjangnya hampara. Dari tajam menyayat yang kurasakan sepanjang jalan. Namun aku bertahan hingga akhirnya sakit itu tumbuh sendiri. Tatapan kelam. Kernyitan dahi karena silaunya putih di depan. Haruskah tertawa? Atau menangis? Sudah tak tampak lagi bagian belakang. Aku lupa bagaimana rasanya tertusuk duri.’Jadi begini para pemirsa dan saudara setanah air setumpah darah, ehm.Ada cerita tersembunyi kenapa Maharaja Askara harus berpuisi di tengah semua orang yang berkumpul. Di ruang keluarganya di mana mestinya terjadi acara liburan karena ini weekend. Juga sebagai libur pertama kedua anak-anaknya; Baraja dan Naomi.Tapi seolah nasib sial—boleh tidak mengatakan demikian? Takutnya ada setan lewat terus mampir. Tercatat sudah itu omongan untuk di jadikan karma kemudian hari. Kan berabe, Hyung!“Lagi, Sayang.”Ini sum
Kehamilan anak Maharaja yang pertama ini memanglah luar biasa. Mulai dari sikap manja Pulung yang tiada duanya (menggemaskan bagi Maha) namun terlihat menyebalkan bagi orang sekitar. Sampai hal-hal aneh yang tak terduga.Pagi ini misalnya.Tumben-tumbenan Pulung mager (malas gerak). Dan hanya gegulingan di atas kasur. Biasanya, usai salah subuh dan mengaji, aktivitas Pulung langsung yoga karena memang itu olahraga teraman rekomendasi dari dokter. Di samping memudahkan untuk kelahiran nanti, yoga mengurangi stres. Pulung tidak ke dapur. Memasak seperti biasanya. Tidak Maha hiraukan. Mencoba paham dengan kondisi sang istri yang di yakini bawaan anaknya.“Nggak mau mandi?” Maha elusi rambut Pulung. Tidur menyamping dan memegang ponsel dengan asik. Entah video apa yang di tonton hingga asik tanpa merasa terganggu sedikit pun. “Mau mas masakin sesuatu nggak?”Sejak Pulung hamil, Maha tidak bisa semena-mena. Urusan makan tak seleluasa request seperti saat awal-awal menikah. Meski dengan mu
Maharaja Askara jadi punya hobi baru; nyanyi. Yang menurut Pulung, boleh juga. Suaranya berat dan serak-serak gimana gitu. Ketika di dengarkan—apa lagi ketika Pulung letakkan kepalanya di dada Maha—uwah sensasinya nggak kaleng-kaleng.Dugun-dugun di jantung Maha terdengar sangat jelas. Dan Pulung suka sekali mendengar detakannya. Iramanya selaras dengan nyanyian yang terlantun dari mulut Maha. Malam ini, begitu Bara dan Naomi memasuki kamarnya masing-masing. Terlelap setelah berdebat mengenai tugas sekolah. Maha dan Pulung bergelung malas di depan ruang televisi. Ada kasur lipat yang biasa Maha gunakan untuk rebahan malas-malasan di sana. Pulung ikut saja. Dengan daster hamilnya, rambutnya yang tak berbentuk lagi dan manja-manja time bersama suami di mulai.“Semua ini pasti akan musnah. Tetapi tidak cintaku padamu. Karena aku sang pangeran cinta.” Lirik yang Maha senandungkan mengikuti penyanyi aslinya di televisi. Once Mekel masih saja tampan sejak Pulung duduk di bangku Sekolah Da