Seperti cerita hujan yang menghadirkan sejuta kenangan bagi orang-orang. Mereka yang berteduh di bawah payung mengembangkan senyumnya karena bahagia air turun dari langit. Membasahi bumi yang gersang. Rintik-rintiknya beragam ukuran. Ada yang besar dan ada yang kecil. Suaranya juga berbagai macam. Kadang keras dan kadang kalem. Begitu juga sama dengan yang tidak berada di bawah teduhan payung. Ada lelehan air yang turun dari sudut mata tanpa orang lain lihat. Mereka juga mengingat tentang kenangan-kenangan yang berkelebat.Sejatinya rintik dan senja saling menyatu. Hanya berbeda waktu kehadirannya. Kedatangan keduanya paling di nanti-nanti oleh beberapa umat pecinta rintik dan penikmat senja. Sembari duduk di balkon, menyeruput teh panasnya. Dengan mata yang menatap luas hamparan ciptaan Tuhan. Tidak ada yang memungkiri betapa damainya hidup ini kala pagi di sambut binaran mentari dan sore di tutup oleh senja jingga yang cantik.Sama halnya dengan Ayana. Perempuan hamil itu berdiri me
Selama kau mencintaikuAku tertekan Tujuh milyar orang di dunia berusaha selarasTerus bersamaWajahmu tersenyum meskipun hatimu kecutTapi kini kau tahuKita berdua tahu dunia ini kejam Tapi kan kuambil kesempatankuPulung bersenandung lirih. Lewat earphone dengan kepala yang sesekali terangguk. Nyanyian di atas menunjukkan bahwa si pemilik cinta tidak mendapatkan restu entah karena apa. Yang pasti, keduanya saling mencintai dan mau memperjuangkan satu sama lain. Rasanya sangat manis ketika apa yang menjadi impian kita bisa terwujud bersama orang tersayang.Cinta dan penderitaan selalu berdampingan. Entah karena apa. Heran saja. Zaman sekarang perkara memberi restu punya syarat sepanjang pembangunan tol baru. Bangun jalan saja jika izin resmi sudah turun, maka lekas segera di laksanakan. Nggak buang-buang waktu sampai berkelit sana-sini. Lah ini? Cuma perkara dua anak manusia yang saling suka, saling sayang, dan saling cinta. Ngasih restu apa masih susah? Kalau masalahnya cuma mad
Bagi Naomi, ini perjalanan terjauhnya. Untuk perdana, Aksara benar-benar melihat binar ceria yang tak bisa di jelaskan dengan kata-kata. Setelah sekian lama cahaya terangnya meredup, kini kembali muncul ke permukaan. Menyaksikan kemacetan kota Semarang yang tak jauh berbeda dengan Karawang. Decakan kagum berkali-kali Naomi gumamkan. Membuat Aksara terkekeh gemas. Cucunya sangat lucu. Mestinya, jika dirinya tahu hal ini bisa membuat cucunya senang, sering-sering saja mengajaknya liburan. “Oma pasti nyesal.” Naomi keluarkan kamera ponselnya. Membidik jajaran pohon yang tumbuh di sekitar laut sepanjang jalan menuju ke Lawang Sewu. “Nyari duwit harus sampai lupa sama diri sendiri, ya, opa?”Rute yang Aksara ambil menuju Semarang daerah kota terbilang memutar. Jalur pantura menjadi lebih jauh namun memberikan pemandangan yang beragam. Setelah macet keluar dari Kawasan Bandara, kini berganti dengan jajaran pabrik dan cerobong asapnya yang terus beroperasi. Pelabuhan Tanjung Emas juga mena
Mari menangis bersama. Bukan tangis tentang cerita sedih kita. Tapi tangis bahagia atas perjuangan kita bersama. Menangisi ‘jejak darah’ yang kita lewati untuk sampai pada puncak perjuangan ini. Menangis bahagia tentang cerita aku dan kamu yang bermetamorfosis menjadi kita.“Pernah dengar kata-kata ini nggak?” Maha pandangi pantulan Pulung di cermin. Yang cantik dan anggun dalam balutan kebaya. Putih dan bersih yang mengartikan sucinya pernikahan ini. “Istilahnya kamu adalah rumah buat aku. Tempat aku bisa pulang dan ngelihat kamu aku punya rumah yang sesungguhnya.”“Kalau gitu, aku nggak bakal pernah lepasin kamu buat singgah barang sejenak pun ke tempat lain,” jawab Pulung mantap. Terdengar lebih agresif yang menguarkan tawa di bibir Maha.“Kamu mainnya nggak kaleng-kaleng sekarang.” Ejek Maha.“Nggak mau kehilangan lagi.” Rajuk Pulung.“Aku nggak bakal pergi.”“Yang suka kamu banyak.”“Aku cintanya sama satu perempuan saja.”“Siapa?” Pura-pura tidak tahu menjadi keahlian Pulung ak
Sebelumnya, sudah pernah Lira dengar kisah yang jauh mengerikan dari ini. Lewat seseorang yang telah Lira anggap sebagai putranya, yang menolong dirinya, memberikan perlindungan dari kehidupan kejam yang menyeret nasibnya pada keburukan.Aksara boleh saja berbicara panjang lebar. Poin di sini, Lira dendam. Ingin mendapatkan pria-nya lagi apa pun yang terjadi. Menyingkirkan wanita ular yang telah membuat cerita rekayasa belasan tahun lalu. Untuknya merasakan apa yang telah Lira lewati. Untuknya tahu seberapa hancur hidupnya terpisah dari separuh napas dan belahan jiwanya.Mija sungguh kejam. Tidak jauh berbeda dengan keluarganya yang mengagungkan uang dan kekuasaan. Sehingga nyawa orang lain akan selesai dengan nominal yang berjejer di selembar kertas. Jika bukan dalam kondisi yang mendesak, takkan Lira lakukan hal demikian. Tapi ini menyangkut keselamatan putranya yang masih bayi dan tidak tahu apa-apa.“Seharusnya Mija bisa berbagi suami.” Penuturan Lira tidak sepenuhnya salah. Tapi
Pada akhirnya telah Lira dapatkan keputusan yang sesuai. Sepadan dengan pengorbanannya di masa lalu. Yang sudah melepas kehidupannya hanya untuk bersembunyi seperti pengecut. Sekarang, tahu dengan sangat mudahnya menggapai hati Aksara, sesal tak berujung bercokol di lubuk hatinya.Tahu begini, tindakan yang selalu ingin kembali ke masa itu patutnya dirinya wujudkan. Karena apa pun yang terjadi, Aksara masih sangat menginginkan dirinya. Dan cinta yang Aksara persembahkan khusus untuknya, benar-benar murni dan tulus.Kini, pria itu ada dalam genggamannya. Dan ucapan serta janji yang telah Aksara sampaikan meyakinkan hati Lira untuk tidak lagi melepaskan. Bahkan, Mija tak ada apa-apanya di banding dengan dirinya. Benar. Cinta tak bisa di paksakan seperti apa jalannya. Meski sah secara agama dan hukum, Mija tak pernah di kucuri kasih sayang asli dari Aksara.“Kamu nggak mau pamitan sama anak angkatmu?”Ah, iya. Lira bertemu seorang lelaki muda yang jika di tafsir akan seumuran dengan putr
Pagi-pagi sekali Rambe menerima telepon tidak mengenakkan. Yang menjadi fokus utamanya setelah satu nama disebut adalah ketiadaannya Ayana di sisinya. Tunggang langgang Rambe kenakan celananya yang bercecer tanpa peduli kaosnya. Kedua kakinya berlari menuruni tangga dan mengembuskan napas lega kala melihat sang calon istri ada di pinggir kolam.Duduk anteng dengan sinar mentari yang menyinari. Di temani alunan musik jazz kesukaannya. Ingin mendengus pada awalnya. Tapi tahu kalau itu buang-buang waktu, segera Rambe hampiri Ayana dan memeluk lehernya. “Bikin aku kuatir saja.” Rambe gigit bahu terbuka Ayana yang si empunya terkekeh. “Bisa, kan bangunin aku dulu.” Bibir Rambe bergerak liar mencari posisi kesukaannya. Menciumi leher jenjeng Ayana dan menerpakan napasnya di sana.“Geli papa.” Teriak Ayana dengan desahan yang tertahan.Sejak hari di mana Ayana beri jawaban atas persetujuan lamaran Rambe yang belum pernah terjawab. Panggilan Ayana berubah-ubah.“Ikut aku ke kantor yuk.”Jauh
Maha yang sudah menunggu Pulung dengan penuh kesabaran. Menanti dengan harapan yang melambung ke angkasa. Tidak peduli pada berapa banyak waktu yang telah terbuang. Terkadang, kita tak tahu apa yang diyakini orang namun nampak terasa benar bagi hati kita yang menjalani.Sejatinya, mulut-mulut yang sering melemparkan cibiran untuk seseorang yang sedang menunggu cinta bersemi tidak tahu arti sebuah harga sampai harus merasakan kehilangan lebih dulu. Mereka tidak tahu sebaik apa orang yang ditunggunya sebelum melihat kekurangan diri mereka sendiri. Maka, Maha meneguhkan hatinya. Karena takut jika sampai kehilangan yang memberi tahunya. Sekarang, napasnya bisa terasa lebih lega. Sudah melihat dan menjaga apa yang dirinya impikan. Hidup belum tentu bisa diputar ulang dengan kejadian yang sama.“Menu baru lagi?”Pulung mengangguk. Sejak pindah ke rumah baru, ekspreimen bersama dapur menjadi teman satu-satunya dalam membunuh kebosanan. Maha melarang dirinya bekerja dan fokus mengurus dirinya