Pertama kalinya menginjak usia pernikahan ke dua bulan, perselisihan antara Ardika dan Pulung terjadi.Pagi itu, di lewati seperti biasa. Pulung siapkan air hangat untuk suaminya bebersih. Pulung sediakan kemeja serta dasi yang senada warna agar cocok di padu padankan. Tak lupa secangkir kopi tergeletak di samping nakas ranjang. Senyum Ardika ketika kelopak matanya terbuka mengiring menawan.Selesai dengan urusan suami, Pulung beralih ke putrinya. Benar, Pulung sudah menganggap begitu. Tidak ada istilah anak sambung tapi entah dengan Naomi ketika beranjak dewasa nanti. Apakah masih akan menganggap mama murni yang sebenar-benarnya dia ketahui atau berubah arti. Pulung enggan memusingkan hal itu. Baginya, hidup seperti ini sudah lebih dari cukup.Baik. Kita skip bagian itu.Putrinya selalu di sediakan susu. Itu baik untuk tulang. Jadi Pulung beri perhatian lebih pada pertumbuhan sang putri. Termasuk konsumsi makanan empat sehat lima sempurna. Sepintar Pulung mengelola agar Naomi tidak b
Sejak dulu, Pulung tidak pernah memercayai perihal tahayul maupun mitos dan sejenisnya. Baginya yang terlahir sebagai muslim, sudah sepatutnya percaya pada apa yang telah Allah tuliskan dalam lantunan-lantunan Alquran dan hadist. Jadi, ketika mendapati pagi harinya yang tidak selancar biasanya, tidak serta merta membuatnya percaya bahwa ini ada kaitannya dengan yang semalam dirinya rasa. Tidak ada firasat apapun yang muncul dalam benaknya bahwa pagi ini sungguh membuatnya kaget dengan fakta sang suami yang bertanduk.Biarlah. Biar semua menjadi rahasia Ilahi. Biar Tuhan yang tentukan ke mana jalan panjang ini membawa kakinya melangkah. Asal pondasi yang Pulung bentengi berdiri kokoh, semuanya akan mudah teratasi. Ya, Pulung percaya itu.Tapi mendapati sang putri yang diam murung bukan daftar dalam kamus untuk hari-harinya. Miris, begitu saja Pulung sematkan.Baik. Akan Pulung ceritakan kisah masa kecilnya yang terkenang indah dalam memori.Berasal dari keluarga pas-pasan, Pulung patut
Siapa bilang Maharaja akan kehilangan akalnya dalam berpikir. Itulah bedanya manusia dengan hewan. Di beri akal tidak hanya untuk berpetualang. Namun juga mengembangkan naluri dalam berburu. Entah apa yang menjadi buruanmu, pastikan untuk selalu membidiknya terlebih dahulu. Sebelum terserobot oleh hewan lain apalagi pemburu lain. Begitu prinsip Maha.Dalam diamnya usai berdebat dengan Rambe dan berakhir dengan lelaki itu yang hengkang. Peran-peran baru dalam tokoh lainnya Maha munculkan.Kalau tahu seasik ini menjadi sutradara, mestinya sejak dulu saja dirinya berkiprah di dunia perfilman. Tanpa susah payah berjuang mendapatkan warisan dari Aksara atau mengelola perusahaan yang papanya sediakan.Hidup memang seindah ini ketika menemukan tali kekang untuk di jadikan rantai pengikat.“Yakin?”“Nggak pernah sebelum ini.”Adalah Dante. Yang mengaku sebagai sepupu Pulung Rinjani. Pun perannya di sini amatlah penting. Ditunggangi sakit hati tak berkesudahan, Dante mempunyai kepentingan lain
Maharaja tidak pernah tahu kenapa tubuhnya di bawa ke masa kini. Setelah sekian tahun tidak pernah bertandang, dengan sadar, kedua tungkainya sudah berdiri tegap di sini. Di depan bangunan serupa kedai yang menampilkan keramaian pelanggan. Dan ketika kedua maniknya bersirobok dengan mata tua yang menyorotkan kerinduan mendalam, Maha tahu bahwa ini saatnya melepas topeng yang melekat di wajahnya.Rasanya seperti … entahlah. Sulit untuk Maha jabarkan. Tapi keinginan memeluk tubuh ringkih yang sedang menepuki punggungnya sangat ingin Maha lakukan. Tidak peduli pada ocehan yang keluar dari bibir keriputnya. Maha lebih dari tahu bahwa wanita tua ini amatlah mencintai dirinya.“Kenapa baru datang. Bocah nakal.”Mulut adalah sumber api dan ucapan adalah bara. Itu yang selalu Maha sematkan pada wanita ini. Umurnya boleh saja sudah berabad, tapi tenaganya, jangan di ragukan. Maha bisa mengeluhkan sakit akan tepukan-tepukan yang berubah menjadi pukulan.“Maha sibuk nenek.”Begitulah jati diri M
Sudah Ayana katakan. Bahwa apa yang dirinya inginkan tidak bisa di sentuh sembarang orang. Terlebih itu berharga, akan terus Ayana kejar sampai dapat.Susunan rencana versi dirinya sudah berjalan. Pun begitu dengan milik Maha yang menjalankan biduknya. Nilainya akan Ayana anggap imbang: 1:1. Tinggal melihat siapa yang unggul di akhir.“Jadi memang beneran ada neng?”Itu pertanyaan—memastikan—yang sudah ke berapa kalinya. Dan Ayana hanya bisa mengangguk sambil tersenyum. Merasa muak, jelas. Orang-orang di sini tak bisa di sepelekan tapi Ayana terus memompa adrenalinnya. Masih ingat penyebab Ardika menceraikannya?“Di kota bu, semuanya bisa jadi mungkin. Apa yang kita anggap—di sini—biasa saja, nyatanya merusak. Ya kaya itu tadi. Masalah teman saya itu. Teman loh bu, otomatis paling dekat sama kita tapi malah yang paling nyakitin kita. Apa namanya kalau nggak nusuk?”Semuanya tentu terpancing. Nggak ada yang nggak ke makan sama omongan Ayana. Sejatinya, perempuan cantik itu memang ular.
Sore itu, Pulung harus terkikik menahan tawa. Bagaimana tidak? Pulang-pulang suaminya minta di manja. Pulung sih tidak keberatan. Tapi di sore hari main raba sana raba sini, kok rasanya kaya agak ehm gitu ya.Maka dari itu, Ardika yang mengabaikan titahan Pulung untuk mandi, ciumannya justru menggebu-gebu. Sedikit terburu tidak seperti biasanya. Seolah sedang ada yang di kejar—tentu kenikmatan. Pun Pulung ikuti arusnya. Toh, kapan lagi menyenangkan suami.Kali ini ada pembeda yang tak bisa Pulung jabarkan. Buaian Ardika pada titik sensitif tubuhnya membuat mulutnya bungkam. Sudah tersumpal ciuman masih di buat menggelinjang. Lebur sudah pengakusisian Ardika pada tubuhnya.“Kenapa buru-buru, sih?” Pulung baru bisa meraup oksigen untuk bisa bersuara. Semua fungsi tubuhnya mati total terseret alur permainan. Sekarang, jari-jari Ardika sungguh nakal melesak di antara pangkal pahanya yang membasah.Dan tidak ada jawaban yang ingin Pulung dengar selain kekehan. Senyum Ardika sungguh menawan
"Lo punya pandangan apa dalam memandang dunia?”Adalah Rambe yang datang-datang berceramah. Mengganggu jam tidur Ayana yang lelah selama perjalanan.“Ada cerita yang bisa lo kuak sesuka hati. Ada yang bisa lo pendam biar orang nggak tahu. Ada bagian dari daftar isi yang mesti lo rusak karena pengen adanya sebuah perubahan. Tapi…” Terdiam. Rambe lebarkan matanya menatapi gedung-gedung pencakar langit dengan nuansa lampu kerlap-kerlip. Sensasi lain yang tak pernah dirinya dapatkan selama ini. Ternyata, Jakarta di malam hari menyapa dini hari bisa seesensial ini. “Gimana lo ngelihat dunia selama tiga puluh enam tahun ini?”Rasa-rasanya Ayana belum pernah menceritakan semelankolis apa seorang Rambe. Lelaki itu tahu betul dasar-dasar menyentuh sanubari manusia lain untuk menarik perhatian. Atau membawanya masuk ke dalam cerita yang hendak Rambe jabarkan. Ayana suka namun tetap saja di perpaduan kurangnya tidur dan kepala yang pening itu terdengar menyebalkan.“Lo cuma perlu tahu sebuah cer
'Jangan mengutuk apapun dari masa lalumu.’Dante berdecih membaca sepenggal kalimat yang berbaris. Kalau bisa, Dante sangat ingin mengutuk siapa pemilik pena dalam selembar kertas ini. Masa lalu di ambil menjadi bagian cerita. Ya kali!Masa lalu hadir memang untuk di sesali—itu Dante dan pikiran pendeknya. Meski seorang mahasiswa pun, Dante selalu menilai segala sesuatu dari segala arah. Dan bukan simpulan yang baik untuk ia terapkan. Paling banter menghujatnya. Dante paling suka hal itu.‘Barangkali Tuhan mengirimkan seseorang hanya untuk menguji seberapa hebat kamu menjadi penyabar.’Menyebalkan sekali rasanya. Kebodohan macam apa ini? Seharusnya di tuntut saja agar tidak menabur dusta.Pertanyaannya: Masih perlukah cinta di harapkan?Selanjutnya, ‘hati baik sepertimu, tidak akan pernah dibiarkan Tuhan dipeluk dan dicintai oleh orang yang salah.’Halah basi! Kalau memang tidak jodoh, ya Dante paksakan agar berjodoh. Dengan Ardika misalnya. Karena apa? Karena Dante nggak mau hidup su