Safitri menunggu balasan dari Inggit, namun ternyata malah dihubungi melalui sambungan telepon. Signal tidak cukup penuh, jadi dia agak menjauh dari kedua anaknya."Mama jangan jauh-jauh nanti hilang," pesan Tirta dengan nada bercanda."Iya, Sayang. Mama angkat telepon dari Tante Inggit dulu ya, jangan bilang Papa," pesan Inggit.Kedua anaknya pun mengangguk. Sementara Safitri mengusap layar ponselnya. Dia berdiri di bawah pohon sambil bersandar. Safitri sudah menyiapkan pembicaraan yang akan dia utarakan terhadap Inggit."Aku lagi liburan di Bogor, bareng-bareng dengan Mas Dion, tapi aku agak males, soalnya sebelum berangkat aku buntuti dia, dan ternyata dia ketemu dengan Chika, kesal kan aku?" Safitri mengeluhkan kekesalannya."Aneh sih sebenarnya, cuma aku juga mau bilang ke kamu, sebenarnya persoalan yang rincian keuangan itu sudah ketahuan, dan ternyata ada penyusup, namanya Willy, dia itu orang suruhannya Haris, itu artinya Dion yang memerintahkan, cuma anehnya katanya untuk per
"Oh iya, berati saya sudah ingat perlahan Bu, artinya saya perlahan pulih, Alhamdulillah ya Allah, terima kasih atas semua ini," ungkap Dimas di hadapan Tari, dia sengaja berlebihan mengucapkan rasa syukurnya."Alhamdulillah, aku ikut senang, Dimas. Semoga kamu ingat semuanya," jawab Tari.Dimas menurunkan bahunya, dia merasa sudah lega, karena Tari biasa saja menanggapinya.'Aku pikir dia akan menjauh karena aku yang tidak pernah ingat Tuhan sewaktu kenal dengan dia,' batin Dimas.Tari senyam senyum ketika mendengar Dimas bicara. "Kamu udah banyak berubah ya, sekarang lebih mendekatkan diri pada Allah. Itu tandanya kecelakaan kemarin sebuah peringatan untukmu supaya menjadi lebih baik," tutur Tari."Iya kah, Bu? Saya malah nggak sadar kalau sekarang saya sudah menjadi lebih baik," timpal Dimas memang sengaja mencari perhatian."Yang aku tahu seperti itu, makanya aku juga sadar bahwa kematian itu lebih dekat, kemarin sempat lalai dan lebih mementingkan dunia," ungkap Tari. "Yang lebih
Dimas menurunkan bahunya. Dia menghela napas berat seraya merasa percuma sudah memberikan pembantu rumah tangga uang dua ratus ribu rupiah."Ayo ngaku, jujur!" tegas Tari sambil tersenyum. Dia tidak merasa dibohongi oleh Dimas. Justru saat ini Tari merasa berbunga-bunga."Maaf Bu, saya hanya ingin membuat ibu bahagia, bikin Ibu tersenyum, pokoknya saya ingin mengisi hari-hari ibu menjadi lebih indah," kata Dimas seakan membujuk.Tari yang tadinya tersenyum tiba-tiba melangkahkan kakinya. Dia mencari tempat duduk, saat itu Dimas pun segera menuntunnya. Lalu mereka duduk berdua di sofa. Masih ada Bibi yang menyaksikan mereka bicara."Aku nggak marah kok, memang dari tadi aku merasa kamu tuh lagi pengen menghibur aku, terima kasih ya," ucap Tari."Bagaimana kalau kita masak bertiga?" tanya Tari. "Belum pergi kan Bibi? Karena saya masih nyium baunya," tambah Tari."Belum, Bu. Iya saya siap bersedia untuk nemenin ibu masak," kata Bibi."Ya udah, kalau memang itu kemauan Ibu. Yang paling pe
Safitri hancur seketika ketika tahu bahwa suaminya menakut-nakuti dengan cara konyol seperti itu. Dia tidak menyangka bahwa dia akan melakukan hal yang menurutnya sangat mengesalkan.Akhirnya Safitri meletakkan ponsel itu kembali. Sebab dia tidak mendengar suara kucuran air lagi. Bukannya takut pada suami, tapi dia tidak mau kecurigaannya diketahui oleh suaminya.Firasat Safitri tambah kuat, bahwa sebenarnya ada sesuatu yang dirahasiakan oleh suaminya. Sebab sudah semakin terbuka, ulahnya semakin aneh dan membuat Safitri ingin cepat membongkarnya.Pintu kamar mandi sudah terbuka. Dian mengusap rambutnya dengan handuk, dia tersenyum ke arah Safitri yang tengah duduk merenung."Udah liburan masih aja mikirin, kamu tuh kenapa sih jadi orang pemikir banget? Hanya karena ucapan pemulung tadi, sampai bengong seperti itu?" Pertanyaan Dion spontan membuat mata Safitri menatapnya dengan tatapan tajam.'Entah kenapa, sosok suami yang aku kagumi, sudah tidak ada lagi dalam diri kamu, Mas. Kini a
"Kalau aku tidak mau, gimana?" tanya Dion seakan menantang."Kamu akan kehilangan aku," jawab Safitri menanggapi tantangan suaminya.Awalnya Dion memang balas dendam, tapi perlahan perasaan itu mulai tumbuh, bahkan dia sangat menyayangi Safitri, meskipun kadang Dion agak dingin terhadapnya, tapi sebenarnya dia tidak ingin kehilangan Safitri."Kenapa kamu memberi pilihan seperti itu? Seberapa besar keyakinan kamu kalau Chika itu bukan adik kandungku?" tanya Dion."Aku tahu betul masa lalu Chika, dia menggunakan trik ini sudah lama, seolah-olah dia tuh ditelantarkan olehmu, sama ketika Chika datang ke Indonesia, dia menguasai almarhum papanya Pram, dan selalu berusaha menghasut papanya seolah-olah tidak adil, bukankah nyari sama?" tanya Safitri."Ini tidak masuk akal, bagaimana Chika bisa mengincar aku sebagai kakaknya? Sebelumnya kami tidak saling kenal," tutur Dion, dia masih tidak percaya dengan Safitri."Itu yang harus kamu selidiki, siapa yang pertama kali memperkenalkan kamu denga
Jingga melirik ke arah Ameer yang mengangkat kedua alisnya. Itu pertanda paksaan secara isyarat dari Ameer."Ya udah. Semoga Papa dan Mama mau terima kalian ya," timpal Jingga."Tenang, aku ini bukan mau bicara tentang kerjaan kok, tapi tentang seseorang yang orang tua kalian pasti kenal," terang Tirta.Jingga mengernyitkan dahinya. Dia semakin penasaran dibuatnya. Akhirnya Jingga kembali duduk di motor dan segera putar arah untuk kembali ke rumah."Tunggu, kayaknya enak nih kalau tukar posisi," pinta Ameer menghadap ke arah Ronald. Dia spontan duduk di belakangnya."Eh ide bagus, gas lah!" Ronald langsung menarik gas begitu saja. Tersisa Jingga yang kini bersama dengan Tirta. Dia melirik dengan wajah cemberut."Biar aku aja yang boncengin kamu," ucap Tirta.Jingga menoleh kasar. Alisnya tertautkan ketika menatap Tirta."Emang bisa naik motor?" Jingga bertanya dengan nada nyeleneh."Kamu turun, pindah ke belakang," perintah Tirta. Kemudian, Jingga menuruti perintahnya tanpa adanya p
"Ya, kami ke sini untuk minta bantuan Om dan Tante, soalnya Mama juga tidak ingin papa jadi berbuat kriminal karena pengaruh orang tersebut." Tirta coba menjelaskan tujuannya untuk ke rumah Pram.Dia bicara seperti itu karena Safitri tahu bahwa kedua sahabatnya tidak ingin dibilang ikut campur dengan urusan keluarganya. Hanya saja kali ini benar-benar membutuhkan bantuan mereka."Apa yang bisa kami bantu?" tanya Pram.Jingga menatap sang papa, dia memiringkan kepalanya. "Papa sungguhan mau bantu? Ini masalah intern keluarga loh, ngeri juga kalau Om Dion sampai tahu dan marah," tutur Jingga."Nggak, justru Papa berpikir, kita harus bantu karena ingin menyelamatkan Dion, dia ditipu oleh Chika, ini yang ingin diluruskan oleh Safitri," ungkap Pram."Betul, Om. Kami ke sini itu karena ingin membuktikan bahwa Chika bukan adik kandung papa, meskipun katanya sudah tes DNA, aku yakin pasti ada yang salah dengan tes itu, karena kalau memang Chika benar-benar adalah adik kandung papa, kenapa kel
"Papa yang terima pesan itu dan Papa yang hapus, kenapa?" tanya Dion seakan-akan menantang. "Ibu sambung tengah malam ke kamar anak tiri, itu seharusnya tidak kamu lakukan, Safitri!" tekan Dion.Masalah pun jadi bertambah gara-gara satu hal. Salahnya Safitri yang seharusnya membicarakan ini pilih keesokan harinya ketika Dion sudah berangkat bekerja. Bukan seperti ini yang membuat orang mengira ada sesuatu."Mas, kamu tahu aku 'kan? Kenapa kamu nuduh seperti itu?" tanya Safitri seakan menyanggah."Ya, aku tahu, tapi kalau Bibi lihat, bisa-bisa berprasangka lain," timpal Dion. "Sekarang masuk kamar! Bicarakan besok!" Dion langsung balik badan kemudian kembali ke kamarnya.Dion jalan dengan menyentakkan kakinya. Dia masih sangat kesal terhadap istrinya yang tengah malam ke kamar anak bujang.Tirta menyoroti Safitri, "Gimana ini, Mah?" tanya Tirta."Kita bicarakan besok ya, Mama susul Papa dulu," pesan Safitri yang kemudian menyusul suaminya.Mereka masih santai, padahal jelas-jelas Dion