Safitri hancur seketika ketika tahu bahwa suaminya menakut-nakuti dengan cara konyol seperti itu. Dia tidak menyangka bahwa dia akan melakukan hal yang menurutnya sangat mengesalkan.Akhirnya Safitri meletakkan ponsel itu kembali. Sebab dia tidak mendengar suara kucuran air lagi. Bukannya takut pada suami, tapi dia tidak mau kecurigaannya diketahui oleh suaminya.Firasat Safitri tambah kuat, bahwa sebenarnya ada sesuatu yang dirahasiakan oleh suaminya. Sebab sudah semakin terbuka, ulahnya semakin aneh dan membuat Safitri ingin cepat membongkarnya.Pintu kamar mandi sudah terbuka. Dian mengusap rambutnya dengan handuk, dia tersenyum ke arah Safitri yang tengah duduk merenung."Udah liburan masih aja mikirin, kamu tuh kenapa sih jadi orang pemikir banget? Hanya karena ucapan pemulung tadi, sampai bengong seperti itu?" Pertanyaan Dion spontan membuat mata Safitri menatapnya dengan tatapan tajam.'Entah kenapa, sosok suami yang aku kagumi, sudah tidak ada lagi dalam diri kamu, Mas. Kini a
"Kalau aku tidak mau, gimana?" tanya Dion seakan menantang."Kamu akan kehilangan aku," jawab Safitri menanggapi tantangan suaminya.Awalnya Dion memang balas dendam, tapi perlahan perasaan itu mulai tumbuh, bahkan dia sangat menyayangi Safitri, meskipun kadang Dion agak dingin terhadapnya, tapi sebenarnya dia tidak ingin kehilangan Safitri."Kenapa kamu memberi pilihan seperti itu? Seberapa besar keyakinan kamu kalau Chika itu bukan adik kandungku?" tanya Dion."Aku tahu betul masa lalu Chika, dia menggunakan trik ini sudah lama, seolah-olah dia tuh ditelantarkan olehmu, sama ketika Chika datang ke Indonesia, dia menguasai almarhum papanya Pram, dan selalu berusaha menghasut papanya seolah-olah tidak adil, bukankah nyari sama?" tanya Safitri."Ini tidak masuk akal, bagaimana Chika bisa mengincar aku sebagai kakaknya? Sebelumnya kami tidak saling kenal," tutur Dion, dia masih tidak percaya dengan Safitri."Itu yang harus kamu selidiki, siapa yang pertama kali memperkenalkan kamu denga
Jingga melirik ke arah Ameer yang mengangkat kedua alisnya. Itu pertanda paksaan secara isyarat dari Ameer."Ya udah. Semoga Papa dan Mama mau terima kalian ya," timpal Jingga."Tenang, aku ini bukan mau bicara tentang kerjaan kok, tapi tentang seseorang yang orang tua kalian pasti kenal," terang Tirta.Jingga mengernyitkan dahinya. Dia semakin penasaran dibuatnya. Akhirnya Jingga kembali duduk di motor dan segera putar arah untuk kembali ke rumah."Tunggu, kayaknya enak nih kalau tukar posisi," pinta Ameer menghadap ke arah Ronald. Dia spontan duduk di belakangnya."Eh ide bagus, gas lah!" Ronald langsung menarik gas begitu saja. Tersisa Jingga yang kini bersama dengan Tirta. Dia melirik dengan wajah cemberut."Biar aku aja yang boncengin kamu," ucap Tirta.Jingga menoleh kasar. Alisnya tertautkan ketika menatap Tirta."Emang bisa naik motor?" Jingga bertanya dengan nada nyeleneh."Kamu turun, pindah ke belakang," perintah Tirta. Kemudian, Jingga menuruti perintahnya tanpa adanya p
"Ya, kami ke sini untuk minta bantuan Om dan Tante, soalnya Mama juga tidak ingin papa jadi berbuat kriminal karena pengaruh orang tersebut." Tirta coba menjelaskan tujuannya untuk ke rumah Pram.Dia bicara seperti itu karena Safitri tahu bahwa kedua sahabatnya tidak ingin dibilang ikut campur dengan urusan keluarganya. Hanya saja kali ini benar-benar membutuhkan bantuan mereka."Apa yang bisa kami bantu?" tanya Pram.Jingga menatap sang papa, dia memiringkan kepalanya. "Papa sungguhan mau bantu? Ini masalah intern keluarga loh, ngeri juga kalau Om Dion sampai tahu dan marah," tutur Jingga."Nggak, justru Papa berpikir, kita harus bantu karena ingin menyelamatkan Dion, dia ditipu oleh Chika, ini yang ingin diluruskan oleh Safitri," ungkap Pram."Betul, Om. Kami ke sini itu karena ingin membuktikan bahwa Chika bukan adik kandung papa, meskipun katanya sudah tes DNA, aku yakin pasti ada yang salah dengan tes itu, karena kalau memang Chika benar-benar adalah adik kandung papa, kenapa kel
"Papa yang terima pesan itu dan Papa yang hapus, kenapa?" tanya Dion seakan-akan menantang. "Ibu sambung tengah malam ke kamar anak tiri, itu seharusnya tidak kamu lakukan, Safitri!" tekan Dion.Masalah pun jadi bertambah gara-gara satu hal. Salahnya Safitri yang seharusnya membicarakan ini pilih keesokan harinya ketika Dion sudah berangkat bekerja. Bukan seperti ini yang membuat orang mengira ada sesuatu."Mas, kamu tahu aku 'kan? Kenapa kamu nuduh seperti itu?" tanya Safitri seakan menyanggah."Ya, aku tahu, tapi kalau Bibi lihat, bisa-bisa berprasangka lain," timpal Dion. "Sekarang masuk kamar! Bicarakan besok!" Dion langsung balik badan kemudian kembali ke kamarnya.Dion jalan dengan menyentakkan kakinya. Dia masih sangat kesal terhadap istrinya yang tengah malam ke kamar anak bujang.Tirta menyoroti Safitri, "Gimana ini, Mah?" tanya Tirta."Kita bicarakan besok ya, Mama susul Papa dulu," pesan Safitri yang kemudian menyusul suaminya.Mereka masih santai, padahal jelas-jelas Dion
Dimas membuka pintunya dan ternyata pihak kepolisian yang datang. Dia cukup terkejut ketika melihat kedatangan dua orang pria berseragam coklat itu."Ada apa ini, Pak?" tanya Dimas dengan tatapan menyipit. Kedua matanya pindah menyoroti satu persatu dua orang yang datang."Kami ingin memberikan surat penangkapan untuk saudara Dimas, ini surat penangkapannya," ucap polisi sambil menyerahkan sebuah amplop coklat yang berisikan kertas."Penangkapan dalam tuduhan apa? Saya nggak ngerti? Apa yang telah saya perbuat hingga ditangkap polisi?" tanya Dimas. Dia benar-benar syok saat mendengar surat penangkapan."Baca saja laporannya tertera dalam surat penangkapan tersebut," ucap polisi.Dimas membuka dan membacanya dengan tangan bergetar. Dia tidak menyangka bakal terjerat hukum lagi, padahal Dimas baru saja menghirup udara luar beberapa tahun.Setelah membaca dengan teliti, Dimas menggelengkan kepalanya dan menyerahkan surat itu kembali kepada pihak yang berwajib."Tuduhan ini salah, saya ti
"Bi, maksudnya apa ngerekam percakapan kita?" sentak Tari."Maaf, Bu, saya cuma takut Bu Tari dimanfaatkan," jawab bibi yang kemudian mengantongi ponselnya.Dimas menatapnya dengan sinis, dia mencurigai bibi ada di balik ini semua."Jangan-jangan Bibi___" Belum selesai Dimas bicara, namun tiba-tiba petugas datang, dia mengingatkan bahwa jam besuk sudah selesai.Dimas menurunkan bahunya sambil menghela napas panjang."Bu, hati-hati sama Bibi ya," pesan Dimas.Tari dituntun oleh pembantunya. Dalam hati Tari timbul banyak pertanyaan yang tersimpan di dalam dada. 'Sebenarnya siapa yang perlu aku waspadai? Kenapa semua orang menyuruhku untuk hati-hati?' batin Tari.Sebelum Dimas masuk ke dalam penjara, justru bibi yang sering menghasut majikannya untuk hati-hati terhadap Dimas. Sekarang, semua itu terbalik, hal tersebut yang membuat mereka bingung."Ini kita pulang, Bu?" tanya bibi.Tari ingat pesan Dimas, dan tiba-tiba di benaknya berkeinginan ketemu dengan keluarganya Ameer."Bibi pulang
Namun, ketika Haris hendak menghampiri pria yang telah disuruh oleh Pram, ada mobil Dion terlihat dari kejauhan."Bi, balik cepetan, Bos datang," suruh Haris.Akhirnya mereka berpencar, Bibi langsung melangkah ke tukang ojek yang tengah mangkal. Sedangkan Haris, dia menunggu kedatangan Dion. Orang suruhan Pram pun menunggangi motornya dan buru-buru pergi dari rumah Haris.Dion yang sudah berada di depan rumah Haris pun penasaran kenapa dia ada di depan rumahnya."Itu, Bos, pembantunya Tari, baru laporan tentang Dimas," ucap Haris."Oh, kirain ada apa," jawab Dion yang memang tidak terlalu hapal dengan pembantunya Tari."Ada apa, Pak? Kok tumben ke sini nggak ngabarin?" tanya Haris."Iya, saya ingin ke rumah kamu tanpa ngabarin lagi," jawab Dion."Tapi, Pak, saya ada perlu, mau keluar," jawab Haris hanya alasan."Saya udah datang dari jauh loh, terus mau bicarakan tentang Dimas, kenapa nggak boleh masuk? Sepanjang saya menjadi bos kamu, saya belum pernah masuk ke dalam, kenapa?" cecar