"Kalau menurut Tante Safitri kemarin, dia akan menyuruh kita untuk menyelidiki Haris, tapi sepertinya Haris adalah orang licik, ada baiknya memang tes DNA untuk menentukan apakah Om Dion itu adik kakak dengan Chika," sambung Jingga."Sebenarnya kita terlalu jauh nggak sih?" tanya Inggit."Mau gimana lagi? Kita harus mengakhiri kesalahpahaman ini, dan Tante Safitri bilang, kalau Om Dion melakukan hal ini untuk balas dendam, dan salah satu target balas dendamnya adalah keluarga kita," jawab Jingga."Iya, yang dikatakan Jingga benar, kita harus menghentikan aksi balas dendamnya Dion, karena ini semua adalah di luar kendalinya, aku rasa dia pengaruh tekanan Chika," tambah Pram.Sepanjang jalan mereka membicarakan hal tersebut. Yang memang tidak ada ujungnya jika tidak diselidiki secara meneliti. Apa yang dilakukan Dion sudah teramat jauh, dan sangat merugikan keluarganya Pram.Mereka sekeluarga tidak ada yang tahu, jika Lian adalah mantan dari Chika yang pernah meninggalkan dirinya sewakt
"Kenapa kalian bisa tahu? Itu dulu calon istri yang gagal dinikahi mendiang suamiku, dan setelah gagal, barulah Mas Lian menikah dengan istrinya yang telah meninggal dunia, lalu aku dinikahi setelah lima tahun kepergiannya," terang Tari.Jingga mengangguk, dalam hatinya ada senyum terukir, dan dia berucap dalam hati. 'Oh ternyata begitu ceritanya, hebatnya almarhum menceritakan ini semua pada istri baru, padahal sebenarnya itu masa lalu,' batin Jingga tidak bisa nyeletuk langsung."Chika itu pernah mengaku anak Papa saya," terang Pram."Oh, saya tahu cerita itu, almarhum gagal menikah dengan Chika karena katanya pada saat itu istri pertama dari mamanya Chika meninggal, sampai akhirnya keluarga Mas Lian membatalkan pernikahan karena hal tersebut," jawab Tari.Hening, Inggit berpikir sejenak, begitu juga dengan Pram. Mereka mengolah ucapan Tari, lalu menelaah semua yang terjadi.Sekelebat pikiran Pram mengacu kecelakaan yang menimpa mereka dan menyambungkan dengan pertemuan Haris yang d
"Rencana apa, Bi?" tanya Tari sekali lagi. "Itu, Bu, anu, maaf, saya salah dengar," jawab bibi agak takut.Kemudian dia kembali ke dapur. Sedangkan Jingga dan Tari, berusaha untuk tidak terlalu memperlihatkan kecurigaannya.Mereka punya rencana untuk membuat bibi akhirnya mengatakan semuanya tanpa dicecar, dalam dua hari ke depan, Jingga dan Tari akan berusaha keras membuat bibi menceritakan semuanya."Kamu tidur di kamar Tante aja," ucap Tari sambil bangkit."Iya, Tante." Jawaban terlontar dari mulut Jingga ketika mencoba menuntun Tari.**Satu hari telah berlalu, aktivitas seorang pekerja dan pelajar dimulai dengan kemacetan lalu lintas. Hiruk pikuk kendaraan yang lalu lalang membuat Dion berangkat agak kesiangan.Setibanya di kantor, Dion duduk di depan tumpukan berkas yang sudah di atas meja.Dion bingung, dia ingin membuktikan kata-kata sang istri, tapi tidak mungkin juga untuk tes DNA ulang.Dion memiliki ide untuk memanggil Haris yang kebetulan juga baru datang."Kebetulan say
"Jadi kamu mencurigai aku sebagai pelaku kecelakaan?" tanya Dion membuat Safitri justru terdiam, alisnya tertautkan ketika mendengar pertanyaan dari suaminya itu.Safitri berulang kali menelaah ucapannya. Dia memandang Dion benar-benar penuh curiga."Hm, maksudnya aku tuh kamu curiga ke Haris juga?" sambung Dion untuk menutupi kecurigaan Safitri. Dia sampai menahan napas saat melayangkan pertanyaan itu."Oh, iya, aku jelas mencurigai dia, karena semua itu tampak aneh dan seolah-olah kebetulan," jawab Safitri.Dion terdiam, dia menyandarkan tubuhnya ke bahu sofa. Sedangkan Safitri, dia terus meneliti sikap suaminya itu."Kamu tidak ikut-ikutan kan, Mas?" tanya Safitri menyelidik.Dion melotot seketika. Dia mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Respon yang diperlihatkan sangat kaget."Nggak, aku nggak tahu apa-apa, justru aku nyuruh Haris ke luar kota atas saran kamu, karena kita akan menyelinap ke rumahnya dan mencari bukti tes DNA yang asli," ujar Dion.Safitri menatapnya dengan tatapan
"Sumpah hanya di mulut, rasanya bukan sumpah, tapi sampah," umpat Tari.Dimas terdiam sambil menatap Tari yang tidak mungkin menatapnya. Dia menatapnya nanar, di hatinya berkata. 'Kamu itu berhasil membuatku benar-benar tak berdaya, awalnya memang ingin memiliki kamu karena harta, tapi kian hari, cinta dan rindu melebur hingga menjadi gundukan kasih sayang, bahkan aku ingin membantumu melihat dunia ini lagi,' batin Dimas."Bu, saya tidak berbohong apalagi membual. Semua yang saya katakan itu adalah kebenaran," ucap Dimas.Jingga hanya menyimak ketika mereka bicara. Dia tidak mau ikutan dalam obrolan mereka.Tari terdiam, dia masih meraba isi hati Dimas dengan menelaah kata demi kata yang telah Dimas ucapkan."Dimas, saya hanya ingin ingatkan kamu, bahwa masa lalu yang buruk itu bukan suatu aib jika kamu mau memperbaiki," ungkap Tari yang kemudian bangkit dari duduknya.Namun, tangan Dimas berhasil mencekal pergelangan tangan Tari."Bu, kalau saya keluar dari penjara ini, saya akan buk
Inggit langsung mengangkat teleponnya. Dia bicara dengan putrinya melalui sambungan telepon di seberang sana."Halo, Sayang, gimana?" tanya Inggit."Mah, aku baru saja pulang dari kantor polisi. Ini lagi berhenti di jalan sama Tante Tari, soalnya kebetulan penyadap suara lagi ngerekam pembicaraan pembantunya Tante Tari, ternyata memang mereka komplotan, ini kami rencananya mau pulang dan memberikan ultimatum ke orang itu," terang Jingga."Dia tahu kalau kamu anak Mama dan Papa?" tanya Inggit."Baru tahu lebih tepatnya, karena dia barusan bilang ke Haris, dan menyebutkan namaku, pasti Haris langsung bilang padanya bahwa aku orang yang dikenalnya," timpal Jingga."Sepertinya kamu harus lebih hati-hati, kalau Bibi udah mengetahui jati diri kamu, artinya dia akan melakukan sesuatu setelah ini, tentu atas perintah bos-nya," jelas Inggit.Jingga terdiam, dia menoleh ke arah Tari yang menunggu kabar darinya."Ya udah, nanti aku kabarin info berikutnya, kami mau pulang dulu, udah janjian deng
"Bi, keluargamu nih sama orang suruhanku," ungkap Jingga membuat Bibi tak berkutik lagi.Bibi terdiam sejenak, dia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Napasnya ditarik sampai menemukan sesuatu yang belum bisa dijawab oleh Jingga dan Tari."Baiklah, kalau saya mau, kira-kira apa itu tugas saya, Bu?" tanya bibi untuk yang kedua kalinya, sebab Jingga dan Tari sengaja tidak langsung menjawabnya. Jingga yang memberikan kode dengan membisikkan sesuatu di telinga Tari untuk menunda terlebih dahulu. "Saya ada di depan kalian, nggak usah bisik-bisik." Bibi terpancing emosi. Dia sudah mulai menekan saat bicara."Oke, saya akan katakan syaratnya, tapi kamu harus tanda tangan dulu di atas materai," jawab Jingga sambil melihat ke arah jarum jam yang melingkar di tangannya. "Tuh dia datang," celetuk Tari ketika mendengar suara klakson di depan rumah.Bibi tercenung, dia mulai gemetaran. Dadanya berdegup sangat kencang setelah raut wajah Tari terlihat sangat bahagia mendengar suara klakso
Bibi diam sejenak, dia memicingkan matanya mengarah ke Jingga. Kemudian dia menganggukkan kepalanya. Jingga spontan memukul pahanya sendiri ketika mendengar jawaban dari orang yang diduga orang bayaran."Jadi benar kalau sebenarnya itu Chika adalah adiknya Haris?" tanya Tari. Sebab dia tidak melihat Bibi mengangguk, yang didengarnya hanya suara pukulan dari Jingga, dan decakan kesal yang bersumber dari mulut Jingga."Iya, Bu, Chika adalah adiknya Pak Haris, saya tahu itu, karena saya tahu betul Pak Haris seperti apa. Semenjak dia bekerja dengan Pak Dion, ambisinya semakin menggebu," jawab Bibi.Decakan kesal kini terdengar dari mulut Jingga dan Tari. Mereka kompak sangat menyayangkan baru mengetahui hal ini."Chika, dia itu pendendam, jadi Haris dihasut untuk membalaskan dendam semuanya, termasuk ke Mas Lian," tutur Tari."Aku tidak tahu kalau Chika memiliki seorang kakak macam Haris, memang umurnya Haris berapa? Kalau misalnya dia kakak kandung, harusnya sewaktu Chika divonis hukuman