"Jadi kamu mencurigai aku sebagai pelaku kecelakaan?" tanya Dion membuat Safitri justru terdiam, alisnya tertautkan ketika mendengar pertanyaan dari suaminya itu.Safitri berulang kali menelaah ucapannya. Dia memandang Dion benar-benar penuh curiga."Hm, maksudnya aku tuh kamu curiga ke Haris juga?" sambung Dion untuk menutupi kecurigaan Safitri. Dia sampai menahan napas saat melayangkan pertanyaan itu."Oh, iya, aku jelas mencurigai dia, karena semua itu tampak aneh dan seolah-olah kebetulan," jawab Safitri.Dion terdiam, dia menyandarkan tubuhnya ke bahu sofa. Sedangkan Safitri, dia terus meneliti sikap suaminya itu."Kamu tidak ikut-ikutan kan, Mas?" tanya Safitri menyelidik.Dion melotot seketika. Dia mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Respon yang diperlihatkan sangat kaget."Nggak, aku nggak tahu apa-apa, justru aku nyuruh Haris ke luar kota atas saran kamu, karena kita akan menyelinap ke rumahnya dan mencari bukti tes DNA yang asli," ujar Dion.Safitri menatapnya dengan tatapan
"Sumpah hanya di mulut, rasanya bukan sumpah, tapi sampah," umpat Tari.Dimas terdiam sambil menatap Tari yang tidak mungkin menatapnya. Dia menatapnya nanar, di hatinya berkata. 'Kamu itu berhasil membuatku benar-benar tak berdaya, awalnya memang ingin memiliki kamu karena harta, tapi kian hari, cinta dan rindu melebur hingga menjadi gundukan kasih sayang, bahkan aku ingin membantumu melihat dunia ini lagi,' batin Dimas."Bu, saya tidak berbohong apalagi membual. Semua yang saya katakan itu adalah kebenaran," ucap Dimas.Jingga hanya menyimak ketika mereka bicara. Dia tidak mau ikutan dalam obrolan mereka.Tari terdiam, dia masih meraba isi hati Dimas dengan menelaah kata demi kata yang telah Dimas ucapkan."Dimas, saya hanya ingin ingatkan kamu, bahwa masa lalu yang buruk itu bukan suatu aib jika kamu mau memperbaiki," ungkap Tari yang kemudian bangkit dari duduknya.Namun, tangan Dimas berhasil mencekal pergelangan tangan Tari."Bu, kalau saya keluar dari penjara ini, saya akan buk
Inggit langsung mengangkat teleponnya. Dia bicara dengan putrinya melalui sambungan telepon di seberang sana."Halo, Sayang, gimana?" tanya Inggit."Mah, aku baru saja pulang dari kantor polisi. Ini lagi berhenti di jalan sama Tante Tari, soalnya kebetulan penyadap suara lagi ngerekam pembicaraan pembantunya Tante Tari, ternyata memang mereka komplotan, ini kami rencananya mau pulang dan memberikan ultimatum ke orang itu," terang Jingga."Dia tahu kalau kamu anak Mama dan Papa?" tanya Inggit."Baru tahu lebih tepatnya, karena dia barusan bilang ke Haris, dan menyebutkan namaku, pasti Haris langsung bilang padanya bahwa aku orang yang dikenalnya," timpal Jingga."Sepertinya kamu harus lebih hati-hati, kalau Bibi udah mengetahui jati diri kamu, artinya dia akan melakukan sesuatu setelah ini, tentu atas perintah bos-nya," jelas Inggit.Jingga terdiam, dia menoleh ke arah Tari yang menunggu kabar darinya."Ya udah, nanti aku kabarin info berikutnya, kami mau pulang dulu, udah janjian deng
"Bi, keluargamu nih sama orang suruhanku," ungkap Jingga membuat Bibi tak berkutik lagi.Bibi terdiam sejenak, dia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Napasnya ditarik sampai menemukan sesuatu yang belum bisa dijawab oleh Jingga dan Tari."Baiklah, kalau saya mau, kira-kira apa itu tugas saya, Bu?" tanya bibi untuk yang kedua kalinya, sebab Jingga dan Tari sengaja tidak langsung menjawabnya. Jingga yang memberikan kode dengan membisikkan sesuatu di telinga Tari untuk menunda terlebih dahulu. "Saya ada di depan kalian, nggak usah bisik-bisik." Bibi terpancing emosi. Dia sudah mulai menekan saat bicara."Oke, saya akan katakan syaratnya, tapi kamu harus tanda tangan dulu di atas materai," jawab Jingga sambil melihat ke arah jarum jam yang melingkar di tangannya. "Tuh dia datang," celetuk Tari ketika mendengar suara klakson di depan rumah.Bibi tercenung, dia mulai gemetaran. Dadanya berdegup sangat kencang setelah raut wajah Tari terlihat sangat bahagia mendengar suara klakso
Bibi diam sejenak, dia memicingkan matanya mengarah ke Jingga. Kemudian dia menganggukkan kepalanya. Jingga spontan memukul pahanya sendiri ketika mendengar jawaban dari orang yang diduga orang bayaran."Jadi benar kalau sebenarnya itu Chika adalah adiknya Haris?" tanya Tari. Sebab dia tidak melihat Bibi mengangguk, yang didengarnya hanya suara pukulan dari Jingga, dan decakan kesal yang bersumber dari mulut Jingga."Iya, Bu, Chika adalah adiknya Pak Haris, saya tahu itu, karena saya tahu betul Pak Haris seperti apa. Semenjak dia bekerja dengan Pak Dion, ambisinya semakin menggebu," jawab Bibi.Decakan kesal kini terdengar dari mulut Jingga dan Tari. Mereka kompak sangat menyayangkan baru mengetahui hal ini."Chika, dia itu pendendam, jadi Haris dihasut untuk membalaskan dendam semuanya, termasuk ke Mas Lian," tutur Tari."Aku tidak tahu kalau Chika memiliki seorang kakak macam Haris, memang umurnya Haris berapa? Kalau misalnya dia kakak kandung, harusnya sewaktu Chika divonis hukuman
"Stop dulu, kita lanjutkan nanti, Tante mau menuju rumah Haris," ucap Safitri menyuruh Jingga untuk berhenti bicara. Padahal tadi dia yang melontarkan pertanyaan untuknya. Namun, tiba-tiba Safitri mengurungkan niatnya untuk banyak bicara setelah melihat respon suaminya yang terkejut ketika mendengar pertanyaan darinya kepada Jingga."Baiklah, Tante, kalau ke sana, Bibi akan ada di sana, tapi santai, dia hanya orang suruhan Haris yang kini ada di pihak kita," ungkap Jingga."Oke, Tante tutup dulu ya," timpal Safitri.Mereka sudah menutup panggilan telepon. Safitri menatap suaminya penuh curiga."Apa kamu di balik ini semua?" tanya Safitri.Dion terdiam, dia mengalihkan pandangannya ke sembarang tempat. Pertanyaan Safitri tidak dijawab olehnya, bukan karena enggan menjawab, tapi Dion dalam kondisi terhimpit, dia bingung harus jujur atau bohong. Jika bohong, alasan apa lagi yang harus dia berikan ke Safitri?"Mas," sapa Safitri lagi.Tiba-tiba Tirta dan Ronald menghampiri mereka. Padahal
Dion menggelengkan kepalanya, dia tidak mau diajak ke rumah Tari."Tari pasti marah besar, kecelakaan yang menyebabkan suaminya meninggal dunia, itu semua adalah perbuatanku, rencana yang sudah lama disusun akhirnya kami laksanakan setelah adanya Dimas," ungkap Dion. Dia terduduk sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.Safitri memegang bahunya sambil mengelus-ngelus."Aku udah curiga, makanya menghentikan semuanya sebelum terlambat," kata Safitri.Dion menoleh lirih, matanya berkaca-kaca menghadap ke arah Safitri."Pernikahan kita, itu juga berawal dari balas dendam," celetuk Dion.Safitri menyunggingkan senyuman, dia memejamkan matanya sambil menghela napas."Aku tahu itu, makanya berusaha mencari kebenarannya, aku yakin bahwa suamiku sebenarnya orang baik," timpal Safitri.Mereka terdiam sejenak, kemudian tangan Dion ditumpuk di atas telapak tangan Safitri."Maafkan aku, dendam melupakan segalanya, cinta dan kasih sayang terlupakan begitu saja karena hasutan orang yang mengak
"Coba angkat aja," pinta Safitri. Dia bicara sambil melirik ke arah Pram dan Inggit.Akhirnya Dion mengangkat sambungan teleponnya. Dia mengaktifkan speaker supaya semua yang ada di hadapannya bisa mendengarkan percakapan mereka."Halo," ucap Dion."Pak, sudahkah ketemu Chika hari ini?" tanya Haris seketika mengingatkan Dion akan kebiasaannya."Belum, udah sore, besok aja ya," timpal Dion."Chika pasti nungguin Pak Dion, dia pasti ingin menanyakan kondisi dan situasi saat ini," ucap Haris."Ya, besok aja," jawab Dion agak malas."Pak, kenapa baru saya tinggalkan sehari sudah agak berubah?" tanya Haris mulai curiga."Berubah gimana?" "Biasanya Pak Dion lebih aktif tanya-tanya ke saya, tapi tidak untuk kali ini, seperti cuek," tukas Haris."Itu perasaan kamu aja, saya itu sambil cek kondisi rumah, khawatir Safitri curiga," jawab Dion. "Besok saya kabari kalau udah ketemu Chika," imbuhnya lagi.Kemudian sambungan telepon pun terputus, Dion menghela napas sambil menatap istrinya.Dion ma