Dion menggelengkan kepalanya, dia tidak mau diajak ke rumah Tari."Tari pasti marah besar, kecelakaan yang menyebabkan suaminya meninggal dunia, itu semua adalah perbuatanku, rencana yang sudah lama disusun akhirnya kami laksanakan setelah adanya Dimas," ungkap Dion. Dia terduduk sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.Safitri memegang bahunya sambil mengelus-ngelus."Aku udah curiga, makanya menghentikan semuanya sebelum terlambat," kata Safitri.Dion menoleh lirih, matanya berkaca-kaca menghadap ke arah Safitri."Pernikahan kita, itu juga berawal dari balas dendam," celetuk Dion.Safitri menyunggingkan senyuman, dia memejamkan matanya sambil menghela napas."Aku tahu itu, makanya berusaha mencari kebenarannya, aku yakin bahwa suamiku sebenarnya orang baik," timpal Safitri.Mereka terdiam sejenak, kemudian tangan Dion ditumpuk di atas telapak tangan Safitri."Maafkan aku, dendam melupakan segalanya, cinta dan kasih sayang terlupakan begitu saja karena hasutan orang yang mengak
"Coba angkat aja," pinta Safitri. Dia bicara sambil melirik ke arah Pram dan Inggit.Akhirnya Dion mengangkat sambungan teleponnya. Dia mengaktifkan speaker supaya semua yang ada di hadapannya bisa mendengarkan percakapan mereka."Halo," ucap Dion."Pak, sudahkah ketemu Chika hari ini?" tanya Haris seketika mengingatkan Dion akan kebiasaannya."Belum, udah sore, besok aja ya," timpal Dion."Chika pasti nungguin Pak Dion, dia pasti ingin menanyakan kondisi dan situasi saat ini," ucap Haris."Ya, besok aja," jawab Dion agak malas."Pak, kenapa baru saya tinggalkan sehari sudah agak berubah?" tanya Haris mulai curiga."Berubah gimana?" "Biasanya Pak Dion lebih aktif tanya-tanya ke saya, tapi tidak untuk kali ini, seperti cuek," tukas Haris."Itu perasaan kamu aja, saya itu sambil cek kondisi rumah, khawatir Safitri curiga," jawab Dion. "Besok saya kabari kalau udah ketemu Chika," imbuhnya lagi.Kemudian sambungan telepon pun terputus, Dion menghela napas sambil menatap istrinya.Dion ma
"Udah, Ronald, biarkan kami yang handle, ini urusan orang dewasa," timpal Safitri agak kecewa."Mah, aku memang bukan orang dewasa, tapi aku tahu cara memperlakukan orang dan setan, Papa Dimas itu setan!" sentak RonaldDia membuang pandangannya ke sembarang tempat.Akhirnya Dion dan Safitri pun pamit pulang. Mereka malu karena kelakuan Ronald yang tidak bisa mengontrol emosinya. Peribahasa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, terasa sangat benar, ketika menyimak kelakuan Ronald dengan Dimas. Mereka banyak kemiripan, termasuk sikap dan tingkah laku.Kalau dipikir-pikir, semua yang terjadi saat ini, banyak hikmah yang tersembunyi. Yang terjadi hari ini, seolah-olah mencerminkan bahwa takdir Allah itu maha benar.**Diam-diam polisi telah menyelidiki, mereka mengetahui gerak-gerik Haris yang mencurigakan."Jauh-jauh kau bersembunyi, pasti akan tertangkap juga," kata pihak kepolisian menyamar di tempat Haris bersembunyi."Pak, kira-kira kapan kita menangkap Haris?" tanya anak buahnya."N
Dimas mulai menunjukkan jati dirinya, seorang laki-laki yang arogan, dan selalu mau menang sendiri. "Anda itu tidak pantas jadi orang tua, apalagi jadi suami, sikap Anda tidak mencerminkan," celetuk Ronald dengan berani.Dimas menarik napasnya, dia menelan ludah untuk meredam amarahnya.'Sial, dia mirip banget denganku, sebenarnya aku udah tahu kalau dia ini anak kandungku, tapi Tari lebih menguntungkan daripada mengaku dia sebagai anakku,' batin Dimas.Awalnya dia memang mau berubah demi Tari, tapi kalau kedatangan Ronald malah menyulitkan, dia bisa gagal mencuri perhatian dari Tari. Terlebih anaknya itu malah menginginkan sang papa kandungnya yang mendekam di penjara."Lebih baik kalian pulang, jangan sampai Tari ke sini dan tahu siapa kalian," ucap Dimas.Ronald tertawa, dia bangkit dari duduknya. "Aku akan kasih tahu ke Tante Tari," jawab Ronald. "Soal Papa mantan narapidana, dan mantan suami mamaku," sambung Ronald."Tari udah tahu bahwa aku ini adalah mantan narapidana, tapi un
"Loh, bukannya polisi juga udah bergerak mencari keberadaan Haris ya, Tante?" tanya Jingga balik."Justru itu, karena Haris mengetahui tengah diintai kepolisian, dia jadi tahu dan langsung mengintimidasi Mas Dion, ancamannya bukan kaleng-kaleng, nyawa kami jadi taruhannya," jelas Safitri."Jadi enak gimana, Tante?" tanya Jingga balik."Kalian pulang dulu, jangan menjelaskan mengenai pengakuan Mas Dion, ini Tante lagi di jalan untuk ketemu beberapa pengacara," timpal Safitri.Akhirnya Jingga dan Tari menutup sambungan teleponnya dan mengurungkan niat untuk menemui pihak yang berwajib, kali ini demi keselamatan Safitri dan keluarganya.Tari pun menyetujui, dia sangat bijaksana dalam mengambil keputusan. Untuk menemui Dimas juga dia tunda sementara waktu karena ingin semuanya baik-baik saja.'Walau keluargaku jadi korban, tapi rasa perikemanusiaan harus selalu ada untuk orang lain, terlebih banyak yang membutuhkan sosok Dion nantinya,' batin Tari ketika sudah berada di mobil.Jingga yang
"Kita berhenti aja," usul Ronald. Dia langsung membuka kancing bajunya, sosok jagoan terlihat ketika satu kancing terbuka."Hm, jagoan dah mulai meradang nih," ledek Tirta. Dia bicara sambil bercanda. Kemudian, Tirta menepi, kebetulan jalanan pun sangat sepi. Keduanya melihat ke arah motor yang tadi mengikutinya. Ternyata benar mereka tadi tengah membuntuti Tirta dan Ronald.Pintu mobil tidak langsung dibuka, mereka melihat reaksi kedua orang yang mengikutinya terlebih dahulu. Tangan Tirta yang mencegah Ronald untuk diam terlebih dahulu, padahal telapak tangan Ronald tadinya sudah berada di handle pintu mobil."Kita lihat dulu, mereka nyari masalah atau enggak, kalau mereka berhenti karena disuruh oleh kedua orang tua kita gimana? Maksudnya siapa tahu mereka itu bodyguard dari Papa dan Mama," jelas Tirta."Kayaknya nggak mungkin deh, itu mereka buka helm, tapi masker dan topi tidak dibuka, begitu sudah sangat mencurigakan, seseram-seramnya bodyguard, pasti akan menunjukkan jati diri
"Halo, Ameer, apa Tirta dan Ronald sudah sampai ke rumah?" tanya Inggit."Belum, Mah, belum ada yang datang ke rumah," jawab Ameer.Mata Inggit spontan menyoroti Safitri. Kemudian mematikan sambungan teleponnya setelah mengucapkan salam kepada anaknya."Nggak ada," ucap Inggit singkat. Dia tidak ingin membuat Safitri khawatir, tapi jawaban dari Ameer semakin membuat Safitri berprasangka buruk."Ada apa dengan mereka ya? Handphone mati dua-duanya, tadi juga aku sempat gemetar secara tiba-tiba dan menjatuhkan gelas, aku takut ini suatu pertanda," tutur Safitri jadi menduga-duga."Nggak usah berpikiran macam-macam, lebih baik kita segera ke kantor polisi sekarang," ajak Pram.Orang tua mana yang bisa tenang saat anaknya tidak bisa dihubungi, pikirannya kacau, yang ada di kepalanya hanya anaknya.Namun akhirnya, Safitri dan Dion mengesampingkan perasaan tersebut, mereka bergegas ke kantor polisi.Mereka saling beriringan, mobil Pram dan Inggit jalan lebih dulu. Dion dan Safitri berada di
"Ya Allah, kamu bikin khawatir dan cemas sejagat raya, aku udah hubungi Mama untuk mengerahkan orang-orangnya, sampai menyalahkan satpam dan bodyguard yang ada di depan," cerocos Jingga ketika melihat mimik wajah asisten rumah tangga yang datar dan seakan tak merasa bersalah.Tari terkekeh meskipun tak melihat mimik wajah bibi yang datar. Dia menertawakan Jingga yang kedengaran panik di telinganya. Meskipun Tari sendiri sangat cemas, karena pembantunya adalah saksi utama untuk meringankan hukuman Dion."Jingga, kamu minum air putih dulu deh biar nggak panik lagi," suruh Tari. "Bi, ambilin air putih," tambah Tari.Jingga menarik napas, meskipun begitu, dia merasa bersyukur karena akhirnya orang yang sangat dibutuhkan masih ada di hadapannya."Aku tuh dah mikir macam-macam, takut aja Bibi jadi incaran Haris," ucap Jingga setelah meneguk segelas air putih."Iya, maaf, Bu. Tadi emang ada yang mencurigakan, makanya Bibi keluar, tenang aja urusan Pak Haris, dia nggak tahu soal ini, jadi ama