"Loh, bukannya polisi juga udah bergerak mencari keberadaan Haris ya, Tante?" tanya Jingga balik."Justru itu, karena Haris mengetahui tengah diintai kepolisian, dia jadi tahu dan langsung mengintimidasi Mas Dion, ancamannya bukan kaleng-kaleng, nyawa kami jadi taruhannya," jelas Safitri."Jadi enak gimana, Tante?" tanya Jingga balik."Kalian pulang dulu, jangan menjelaskan mengenai pengakuan Mas Dion, ini Tante lagi di jalan untuk ketemu beberapa pengacara," timpal Safitri.Akhirnya Jingga dan Tari menutup sambungan teleponnya dan mengurungkan niat untuk menemui pihak yang berwajib, kali ini demi keselamatan Safitri dan keluarganya.Tari pun menyetujui, dia sangat bijaksana dalam mengambil keputusan. Untuk menemui Dimas juga dia tunda sementara waktu karena ingin semuanya baik-baik saja.'Walau keluargaku jadi korban, tapi rasa perikemanusiaan harus selalu ada untuk orang lain, terlebih banyak yang membutuhkan sosok Dion nantinya,' batin Tari ketika sudah berada di mobil.Jingga yang
"Kita berhenti aja," usul Ronald. Dia langsung membuka kancing bajunya, sosok jagoan terlihat ketika satu kancing terbuka."Hm, jagoan dah mulai meradang nih," ledek Tirta. Dia bicara sambil bercanda. Kemudian, Tirta menepi, kebetulan jalanan pun sangat sepi. Keduanya melihat ke arah motor yang tadi mengikutinya. Ternyata benar mereka tadi tengah membuntuti Tirta dan Ronald.Pintu mobil tidak langsung dibuka, mereka melihat reaksi kedua orang yang mengikutinya terlebih dahulu. Tangan Tirta yang mencegah Ronald untuk diam terlebih dahulu, padahal telapak tangan Ronald tadinya sudah berada di handle pintu mobil."Kita lihat dulu, mereka nyari masalah atau enggak, kalau mereka berhenti karena disuruh oleh kedua orang tua kita gimana? Maksudnya siapa tahu mereka itu bodyguard dari Papa dan Mama," jelas Tirta."Kayaknya nggak mungkin deh, itu mereka buka helm, tapi masker dan topi tidak dibuka, begitu sudah sangat mencurigakan, seseram-seramnya bodyguard, pasti akan menunjukkan jati diri
"Halo, Ameer, apa Tirta dan Ronald sudah sampai ke rumah?" tanya Inggit."Belum, Mah, belum ada yang datang ke rumah," jawab Ameer.Mata Inggit spontan menyoroti Safitri. Kemudian mematikan sambungan teleponnya setelah mengucapkan salam kepada anaknya."Nggak ada," ucap Inggit singkat. Dia tidak ingin membuat Safitri khawatir, tapi jawaban dari Ameer semakin membuat Safitri berprasangka buruk."Ada apa dengan mereka ya? Handphone mati dua-duanya, tadi juga aku sempat gemetar secara tiba-tiba dan menjatuhkan gelas, aku takut ini suatu pertanda," tutur Safitri jadi menduga-duga."Nggak usah berpikiran macam-macam, lebih baik kita segera ke kantor polisi sekarang," ajak Pram.Orang tua mana yang bisa tenang saat anaknya tidak bisa dihubungi, pikirannya kacau, yang ada di kepalanya hanya anaknya.Namun akhirnya, Safitri dan Dion mengesampingkan perasaan tersebut, mereka bergegas ke kantor polisi.Mereka saling beriringan, mobil Pram dan Inggit jalan lebih dulu. Dion dan Safitri berada di
"Ya Allah, kamu bikin khawatir dan cemas sejagat raya, aku udah hubungi Mama untuk mengerahkan orang-orangnya, sampai menyalahkan satpam dan bodyguard yang ada di depan," cerocos Jingga ketika melihat mimik wajah asisten rumah tangga yang datar dan seakan tak merasa bersalah.Tari terkekeh meskipun tak melihat mimik wajah bibi yang datar. Dia menertawakan Jingga yang kedengaran panik di telinganya. Meskipun Tari sendiri sangat cemas, karena pembantunya adalah saksi utama untuk meringankan hukuman Dion."Jingga, kamu minum air putih dulu deh biar nggak panik lagi," suruh Tari. "Bi, ambilin air putih," tambah Tari.Jingga menarik napas, meskipun begitu, dia merasa bersyukur karena akhirnya orang yang sangat dibutuhkan masih ada di hadapannya."Aku tuh dah mikir macam-macam, takut aja Bibi jadi incaran Haris," ucap Jingga setelah meneguk segelas air putih."Iya, maaf, Bu. Tadi emang ada yang mencurigakan, makanya Bibi keluar, tenang aja urusan Pak Haris, dia nggak tahu soal ini, jadi ama
"Stop, Pak! Jangan bikin saya menyesal telah mengkhianati Haris! Saya melakukan ini karena Haris tidak menepati janjinya, dia ingkar duluan, saya minta dinikahi, tapi dia undur terus, saya geram, dan berpikir tidak akan mungkin dinikahi karena jika berhasil memfitnah Dimas, tentu dia akan menjadi orang kaya raya, seleranya akan berbeda," terang Bibi membuka semuanya.Jadi Bibi adalah wanita yang dijanjikan oleh Haris akan dinikahi jika menuruti semua perintahnya. Licik memang, bahkan semuanya dikendalikan oleh Haris."Jadi kamu tahu asal usul Haris menjadi orang kepercayaannya Pak Dion?" cecar polisi lagi."Iya, Pak, memang sudah ditargetkan oleh Pak Haris, sejak adiknya masuk penjara, Haris seperti itu, pendendam dan ambisius," kata Bibi lagi."Bisa nggak kamu memperlihatkan bukti selain yang ditemukan oleh Pak Dion? Dan kira-kira benar atau hanya sandiwara bahwa Pak Dion ini tidak tahu apa-apa?"Bibi menelan ludah sambil menarik napas. Begitu banyak pertanyaan yang diterima olehnya.
Tari menggelengkan kepalanya tanda tidak setuju dengan ajakan Dimas. "Nggak, aku mau ke rumah Inggit aja, udah lama nggak ketemu anaknya yang bernama Ameer," ucap Tari. "Oh ya, mulai sekarang kamu tidak saya pekerjakan lagi di rumah, saya telah memijat kamu secara sepihak, soal pesangon jangan khawatir, orang kepercayaan saya akan mengurusnya," tambah Tari. Yang dimaksud orang kepercayaannya adalah pengacaranya, Dirga."Bu, tapi--" Ucapannya menggantung karena Tari sudah membuka pintu mobilnya, dan akan ikut bersama dengan Jingga, juga Safitri."Oh ya, Bibi, lebih baik kamu ikut saya! Khawatir ada orang suruhan Haris yang mencari tahu keberadaanmu," sambung Tari sebelum akhirnya dia masuk ke dalam mobil."Argh!" Suara kekesalan Dimas terhadap kenyataan yang dialaminya. Bagaimana tidak, harapannya adalah mendapatkan simpati dari Tari, tapi kenyataannya malah hancur semua karena kata-katanya tadi.Dimas ditinggal sendirian di depan kantor polisi. Dia yang baru saja bebas sudah menghaya
"Seperti itu," jawab Safitri singkat. "Setelah kamu makan, kita sholat Maghrib ya," ajak Safitri.Ada kebahagiaan terpancar di mata Ronald. Tidak ada yang telat jika manusia ingin berubah menjadi lebih baik, sebelum napas berada di kandung badan, manusia masih memiliki kesempatan untuk insyaf.Mereka makan bersama-sama menjelang Maghrib. Meskipun mereka sempat bersedih karena harus mengantarkan Dion ke pihak kepolisian, tapi hati mereka berusaha untuk menerima kenyataan.Usai makan, mereka bersih-bersih badan terlebih dahulu, setelah itu, Pram mengajak para lelaki ke masjid dekat rumahnya. Sedangkan Inggit, dia mengajak para wanita salat jamaah di musholla rumah pribadinya.Sungguh pemandangan yang sangat indah ketika beda keluarga tapi berkumpul satu rumah, persahabatan mereka tanpa pamrih, apalagi Pram dan Inggit, mereka sosok yang ikhlas."Assalamualaikum!" Ucapan itu terdengar dari luar. Ronald yang mengucapkan saat datang kembali dari masjid. Biasanya dia tidak pernah mengucapkan
"Betul, saya yang sudah membeli rumah ini, rencananya mau renovasi," jawab Haris meskipun dalam kondisi ketakutan. Dia mencoba untuk tenang supaya tidak ketahuan bahwa dirinya tengah berbohong."Oh gitu," jawab warga tersebut tapi raut wajahnya agak berbeda.Pedagang menyerahkan sebungkus ketoprak pesanan Haris, dia langsung membawanya ke dalam dan menutup pintunya rapat-rapat.Haris lupa kalau di dalam tidak ada sumber mata air, stok minuman pun sudah habis karena dia hanya memiliki satu botol saja."Kalau dimakan seret nantinya, nggak dimakan gue lapar," ucap Haris bicara sendirian.Dia melihat di ujung jendela ada air mineral sisa setengah, tapi kelihatannya sudah lama berada di situ, sisa minuman orang lain."Masa iya gue entar minum bekas orang, kalau beracun gimana?" Haris menggerutu lagi.Akhirnya dia membuka sebungkus ketoprak tadi, sebab sudah sangat perih perutnya. Dengan lahap Haris memakan ketoprak yang dia beli. Dia coba menahan rasa keinginan untuk meminum air yang ada