"Seperti itu," jawab Safitri singkat. "Setelah kamu makan, kita sholat Maghrib ya," ajak Safitri.Ada kebahagiaan terpancar di mata Ronald. Tidak ada yang telat jika manusia ingin berubah menjadi lebih baik, sebelum napas berada di kandung badan, manusia masih memiliki kesempatan untuk insyaf.Mereka makan bersama-sama menjelang Maghrib. Meskipun mereka sempat bersedih karena harus mengantarkan Dion ke pihak kepolisian, tapi hati mereka berusaha untuk menerima kenyataan.Usai makan, mereka bersih-bersih badan terlebih dahulu, setelah itu, Pram mengajak para lelaki ke masjid dekat rumahnya. Sedangkan Inggit, dia mengajak para wanita salat jamaah di musholla rumah pribadinya.Sungguh pemandangan yang sangat indah ketika beda keluarga tapi berkumpul satu rumah, persahabatan mereka tanpa pamrih, apalagi Pram dan Inggit, mereka sosok yang ikhlas."Assalamualaikum!" Ucapan itu terdengar dari luar. Ronald yang mengucapkan saat datang kembali dari masjid. Biasanya dia tidak pernah mengucapkan
"Betul, saya yang sudah membeli rumah ini, rencananya mau renovasi," jawab Haris meskipun dalam kondisi ketakutan. Dia mencoba untuk tenang supaya tidak ketahuan bahwa dirinya tengah berbohong."Oh gitu," jawab warga tersebut tapi raut wajahnya agak berbeda.Pedagang menyerahkan sebungkus ketoprak pesanan Haris, dia langsung membawanya ke dalam dan menutup pintunya rapat-rapat.Haris lupa kalau di dalam tidak ada sumber mata air, stok minuman pun sudah habis karena dia hanya memiliki satu botol saja."Kalau dimakan seret nantinya, nggak dimakan gue lapar," ucap Haris bicara sendirian.Dia melihat di ujung jendela ada air mineral sisa setengah, tapi kelihatannya sudah lama berada di situ, sisa minuman orang lain."Masa iya gue entar minum bekas orang, kalau beracun gimana?" Haris menggerutu lagi.Akhirnya dia membuka sebungkus ketoprak tadi, sebab sudah sangat perih perutnya. Dengan lahap Haris memakan ketoprak yang dia beli. Dia coba menahan rasa keinginan untuk meminum air yang ada
"Maaf, Bu. Kami tidak bisa memberikan informasi mengenai itu, pendonor minta dirahasiakan identitasnya," jawabnya membuat Tari tercenung sebentar."Bagaimana saya mengucapkan terima kasih, ini indera penglihatan loh, kenapa orang itu minta dirahasiakan?" tanya Tari seraya mencecar. Inggit dan Safitri yang mendampinginya ikut penasaran melihat respon Tari yang cukup membuat sekeliling terkejut."Maaf, Bu, lebih baik Bu Tari langsung temui dokter aja untuk menentukan jadwal operasi, anastesi dan tes laboratorium," saran petugas di ujung telepon.Tadi tidak bisa memaksakan kehendak, apalagi orang tersebut hanya melaksanakan tugas sebagai pekerja di rumah sakit, mereka hanya bersikap amanah karena itu salah satu permintaan pendonor.Sambungan telepon pun tertutup dan raut wajah Tari yang tadinya berbinar kini malah jadi murung."Kenapa kecewa?" tanya Inggit."Barusan katanya ada yang ingin mendonorkan matanya, tapi minta dirahasiakan identitasnya," jelas Tari."Susah kalau gitu, Tirta jug
Akhirnya Haris yang buronan polisi kini tertangkap, dia sudah tidak bisa melarikan diri, tangannya diborgol setelah turun dari genteng sebuah rumah tua."Terima kasih Pak Wibowo atas kerjasamanya, akhirnya kami bisa menangkap buronan polisi," ucap seorang komandan."Sama-sama, Pak." Jawabannya disertai jabat tangan. Warga sekitar juga banyak yang menyaksikan penangkapan Haris. Ada wartawan yang meliput kejadian saat Haris turun."Huh! Ternyata buronan! Ngakunya pemilik rumah yang baru!" teriak salah seorang warga."Kemarin beli ketoprak jangan-jangan pakai duit haram!" teriak juga salah seorang pedagang ketoprak. Padahal uang yang diberikan oleh Haris, meskipun dia mencari dengan jalan haram, kalau sipedagang tidak mengetahui asal usul yang tersebut, tidaklah menjadi haram untuk pedagang tersebut. Uangnya akan tetap halal."Pak, uangmu tetap halal, karena kamu berjualan, tenang aja ya," celetuk tetangga yang membuka warung."Alhamdulillah," jawab pedagang tersebut.Apabila seseorang m
Bahkan Safitri berhasil memegang bahu pria tersebut. Lalu dia menulis dan menatap Safitri penuh."Maaf, saya pikir teman saya," kata Safitri dengan mimik malu. Ternyata hanya mirip dari belakang saja, tapi kenyataannya bukan Dimas yang dia maksud.Safitri kembali ke tempat duduknya dan melanjutkan makannya. Meskipun dalam hati Safitri masih sangat penasaran dengan orang yang tadi dia lihat, tapi dia hanya membatin saja."Padahal tadi udah yakin banget kalau tadi adalah Dimas, tapi ternyata bukan, kenapa aku tiba-tiba mikirin dia?" Ucapan Safitri disertai dengan menggelengkan kepalanya.Kemudian dia mempercepat makannya supaya bisa segera mengantarkan Tari ke tempat dia harus istirahat.Pesan singkat pun diterima oleh Safitri, dari seorang sahabat, yaitu Inggit.[Tadi suster sudah membersihkan kamar VVIP yang kamu pesan, 15 menit lagi kita akan menuju kamar inap.]Pesan singkat dari Inggit membuat Safitri langsung meneguk air mineral yang ada di hadapannya. Lalu menyudahi makan nasi da
Dimas terkekeh mendengar pertanyaan dari Safitri, dia tahu betul mantan istri istrinya itu bukan maksud bertanya tapi tidak mempercayainya."Kenapa kalian menanyakan hal itu? Bukankah sudah dipastikan tidak akan mempercayai apa yang aku katakan?" sindir Dimas.Safitri kembali menoleh ke arah Inggit. Keduanya saling bertatap wajah dan enggan berkomentar apapun. Mereka hanya diam saat disindir oleh mantan suaminya itu."Kenapa kalian diam? Masih mau tahu jawabannya? Terus kalau aku bilang iya, apa kalian percaya?" tanya Dimas sekali lagi. "Jadi benar kamu yang mau mendonorkan matamu? Boleh tahu alasannya?" tanya Safitri memberanikan diri. Rasa penasarannya yang membuat dia ingin tahu jawaban dari Dimas."Ya, aku yang akan mendonorkan mata untuk Tari, seorang wanita yang kaya raya, memiliki perusahaan warisan suaminya, dan aku hanya seorang sopir yang akan menyerahkan indera penglihatanku untuknya," terang Dimas lengkap. Seolah-olah penjelasannya itu menyindir kedua perempuan yang ada d
"Saudara Dion, ada yang ingin bertemu!" Untungnya suara petugas memecahkan amarah Dion yang meradang, dia menurunkan bahunya ketika dipanggil untuk menemui tamu.Dion berjalan menuju ruangan yang telah ditentukan. Awalnya dia tidak mengetahui bahwa yang menemui adalah anak-anaknya. Sampai ketika melihat sosok Ronald dan Tirta tengah duduk bersebelahan dengan Jingga, Dion spontan tersenyum bahagia."Tirta, Ronald," sapa Dion yang kemudian memeluk mereka. Jingga sangat terharu menyaksikan anak dan ayahnya tengah melampiaskan rindunya."Aku sangat bahagia lihat Papa. Kangen banget baru dua hari nggak ketemu," ungkap Ronald.Kemudian mereka duduk saling berhadapan. Tak lupa Jingga meraih punggung tangan Dion untuk menghormatinya sebagai orang tua."Jingga, Om sangat berterima kasih karena kamu sudah mengantarkan anak-anak Om ke sini," kata Dion."Sama-sama, Om. Tadi aku pulang dari kantor agak cepat, jadi lihat mereka banyak melamun di rumah langsung Jingga aja ke sini," ungkap Jingga."
"Sudahlah, jangan terlalu dipikirin, tadi bisik-bisik hanya karena khawatir dengan kondisi kamu, Tari," ucap Inggit.Tari mengangguk. Inggit berhasil meyakinkan Tari yang sempat curiga."Bagaimana kalau kita video call, Jingga dan yang lainnya pasti lagi kumpul di rumah, soalnya tadi mereka ke kantor polisi, sekarang kemungkinan udah sampai," usul Safitri."Benarkah itu?" tanya Tari. "Mereka sangat peduli dengan papanya, so sweet banget," celetuk Tari."Tapi nggak papa kan kalau kami video call? Maksudnya kamu kan belum bisa melihat, kamu jangan tersinggung ya," ucap Safitri."Nggak dong, justru aku senang, karena dengan video call kalian jadi bahagia berhubungan dengan anak-anak," tutur Tari.Jari Safitri mengusap layar ponselnya. Dia mencari kontak Jingga. Wanita yang bergelar ibu pasti tahu, bagaimana rasanya menghubungi anak laki-laki yang sudah dewasa, mereka agak susah untuk diajak video call, biasanya lebih suka panggilan telepon biasa, itupun kalau kondisi darurat. Jika hanya
"Iya, nanti dibicarakan dulu pada Pram dan Inggit ya," ucap Dion supaya anaknya berhenti merengek."Tirta, pernikahan itu bukan buat mainan, kamu harus mantapkan diri dulu, jangan karena cinta yang menggebu, kamu langsung minta lamaran," tutur Safitri menasihati."Iya, aku udah yakin. Ini pertama kali aku jatuh cinta, tolong, Mah," lirih Tirta lagi.Mereka diam sejenak."Mama sarankan kamu salat istikharah, oke," ucap Safitri sambil beranjak pergi, dia tidak meladeni anaknya lagi.Safitri masuk ke kamar. Dia mengetik pesan pada sahabatnya. Safitri mengajak Inggit berjumpa di satu cafe.Inggit kebetulan ada waktu luang besok, dia menyetujui dan menentukan waktu yang dikirimkan ke Safitri. Ya, mereka berencana akan bertemu di cafe besok. Kenapa tidak bicara melalui chat atau telepon? Urusan pernikahan adalah hal yang sakral, lagi pula Safitri ingin memastikan dulu apakah Inggit menerima jika anaknya menyukai Jingga.Mereka sudah saling kenal dan sangat dekat, jadi tidak ingin persahabat
"Tari, saya minta maaf atas kesalahan adik saya, Lian begitu berarti untuknya," ucap Haris. "Dan satu lagi yang ingin saya katakan padamu, I love you so much," terang Haris membuat Tari seketika terkejut. Kan bukan hanya Tari, tapi Dimas yang mendengarnya pun mencari sumber suara tersebut.'Haris dengan berani mengatakan hal itu di hadapan umum?' batin Dimas.Kemudian Haris berlalu pergi darinya. Dia diboyong ke sel tahanan oleh pihak yang berwajib.Semua telah selesai, keadilan telah ditegakkan. Yang jelas-jelas bersalah akan menjalani hukumannya. Lalu orang yang hanya menjadi boneka terbebaskan.Dion diminta menemui wartawan untuk sekadar bicara di depan khalayak ramai. "Saya hanya ingin mengatakan bahwa keputusan hakim tadi mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, sesuai pertimbangan dan saksi, jadi saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk para saksi dan keluarga yang telah mendampingi saya. Semoga para vendor dan rekan kerja lainnya, tetap akan menjalani kerjasama dengan
Safitri tiba di lapas tempat Chika ditahan. Dia langsung meminta izin untuk menemui Chika."Chika sedang proses pemeriksaan dokter ahli kejiwaan, kemarin dia sempat bunuh diri, lengannya sudah disayat-sayat," ucap salah seorang petugas.Safitri terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia bahkan tidak mengetahui berita ini.Kemudian, Safitri mencari kebenarannya. Dia bahkan rela mencari tahu ke rumah sakit tempat saat ini Chika ditangani oleh dokter spesialis. Safitri yang ditemani oleh Tirta dengan mudah menemui Chika yang memang tengah diberikan penangan.Tirta menemui beberapa dokter, dan ternyata selain mengalami gangguan jiwa, ada hal yang dialami oleh Chika."Chika memiliki penyakit serius, ternyata dia menderita sakit kanker," terang Tirta pada mamanya."Ya Allah, ternyata dia sakit, pantas Haris pun terlihat frustasi tadi," timpal Safitri."Semoga keputusan hakim besok benar-benar bisa membebaskan Papa dari hukuman," jawab Tirta.Kemudian mereka pun pulang untuk memberikan informasi pa
Jadi semuanya diperintahkan untuk diam oleh Tari, mereka tidak boleh bicara supaya Dimas tidak menghindar lagi. Jingga dan yang lainnya disuruh keluar diam-diam boleh Pram. Mereka sekarang berada di luar karena Tari ingin bicara empat mata dengan Dimas."Dimas," ucap Tari akhirnya mengeluarkan suara.Saat itu juga Dimas melangkahkan kakinya. Dia terburu-buru ingin meninggalkan Tari yang tiba-tiba datang di dekatnya.Namun tangan Tari mencekal pergelangan tangan Dimas yang hendak melangkah."Mau ke mana? Aku ingin bicara empat mata, tolong jangan pergi," tutur Tari agak merendahkan nada bicaranya.Dimas hanya bisa terdiam, kemudian dia mundur kembali, Tari menuntunnya untuk duduk."Ada apa? Aku tidak mau membicarakan masalah mata, biarkan itu menjadi ladang pahala untukku," pinta Dimas."Iya, aku paham, maaf kalau tadi sudah menyecar kamu." Tari merendahkan bicaranya lagi."Terus mau ngomong apa? Aku rasa tidak ada yang bisa diobrolkan, hubungan kerja pun tidak ada," timpal Dimas."Ak
Tiba-tiba Pram dan yang lainnya berkumpul. Mereka sama-sama datang dengan pura-pura tidak mengetahui pertemuan yang sebenarnya disengaja."Loh Dimas ke sini?" tanya Pram dan yang lainnya."Kalian juga di sini?" tanya Dimas balik."Iya, aku dan Inggit ajak Tari ke sini," jawab Pram.Tari masih belum mendapatkan jawaban dari apa yang ditanyakan olehnya."Dimas, kamu belum menjawab," tegas Tari. Kemudian dia melirik ke arah semua yang tiba-tiba muncul. "Apa kalian sudah tahu kalau Dimas buta?" Tari bertanya pada Pram, Inggit dan yang lainnya.Yang ditanya oleh Tari tidak ada yang jawab. Mereka menunggu aba-aba dari Pram yang memberikan usul untuk membongkar ini semua.Tiba-tiba Tari teringat saat dia bertemu dengan Dimas di rumah Pram. Dia memicingkan matanya ke arah Ronald."Apa kamu sudah tahu kondisi papamu seperti ini?" tanya Tari.Ronald mengangguk. Kemudian dia menunduk."Jadi jawabannya kalian itu membohongiku?" tanya Tari.Ini yang ditakutkan oleh Dimas. Dia takut dituduh memanfa
Tari sempat berhenti, dia membuka kaca mobilnya, pandangannya tertuju pada Dimas."Dimas, kamu udah akur dengan Ronald?" tanya Tari tidak berprasangka apa-apa."Iya, alhamdulilah, aku pamit dulu," jawab Dimas datar yang kemudian disusul oleh Ronald melambaikan tangannya. Kemudian mereka bergegas pergi.Pram dan Inggit benar-benar terkejut melihatnya. Safitri juga yang tadinya hendak berangkat ke kantor polisi ikut tercenung sebentar.Kemudian, Tari turun dari mobilnya. Dia masih belum engeh dengan penglihatan Dimas."Kok kalian nggak bilang kalau Dimas di sini?" tanya Tari."Nggak enak, kamu sangat membenci dia," jawab Tari ngasal.Tari mengerutkan keningnya."Sejak kapan aku membenci orang? Nggak ah, kamu ngada-ngada," jawab Tari.Jantung mereka itu berdetak tak beraturan. Saat pertanyaan mengenai Dimas dilontarkan oleh Tari."Katanya mau ke sini sore, tiba-tiba datang pagi, kamu sengaja ngerjain kami?" tanya Safitri."Nggak kok, tadi abis dari makam, langsung aja deh ke sini," timpa
Perlahan mata Tari dibuka, awalnya dia agak samar-samar melihat ruangan yang ditempati. Namun perlahan, matanya melihat jelas dokter yang ada di dekatnya."Masyaallah," ucap Tari merasa terharu dengan kondisinya saat ini."Kamu udah benar-benar melihat?" tanya Safitri.Tanpa basa-basi lagi Tari langsung menyergap tubuh Safitri."Ya Allah. Alhamdulillah aku bisa melihat lagi, ini suatu keajaiban, terima kasih Tuhan, terima kasih Dokter, Safitri, aku juga mengucapkan terima kasih pada kamu dari keluarga," ungkap Tari membuat suasana menjadi haru. Air matanya pun mulai menetes membasahi pipi."Selamat ya, Bu Tari." Ucapan dokter mengingatkan Tari untuk menanyakan siapa yang telah mendonorkan matanya."Dok, maaf, saya harus tahu siapa yang mendonorkan mata untuk saya," ucap Tari.Dokter diam seketika. Safitri juga seperti itu, dia menatap dokter yang tengah terkejut dengan pertanyaan dari Tari."Hm, Tari, tim dokter rumah sakit hanya menjalankan tugasnya, kalau kamu ingin tahu siapa orang
Pram datang, dia tercengang ketika melihat sang istri tengah berada di hadapan Dimas.Inggit pun langsung menghampiri Pram yang baru saja datang."Aku akan jelaskan," ucap Inggit.Dengan sabar Pram pun mendengar penjelasan sang istri dari awal hingga akhir. Pram yang tadinya marah, kini dia mulai terharu dibuatnya. Mereka ikut menghampiri Dimas. Sekarang Pram sudah ada di hadapannya."Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Tapi aku sangat salut dengan pengorbanan kamu untuk Tari," tutur Pram.Semua orang memuji kebaikan Dimas yang luar biasa. "Aku sendiri belum tentu bisa seperti kamu, Dimas," tambah Pram."Demi semuanya, aku ingin menebus semua kesalahanku yang telah banyak merugikan orang lain," ucap Dimas."Padahal kamu nggak melakukan kejahatan yang merugikan Tari dalam kecelakaan itu," timpal Pram."Tapi anakku masih menginginkan Dion bisa bebas dari hukuman, minimal dikurangi," jawab Dion lagi-lagi berhasil membuat air mata Ronald meleleh.Semua sudah dipikirkan secara matang-m
Bersyukur operasi berjalan dengan lancar. Suster pun keluar dan bilang pada Inggit dan Safitri bahwa dokter mengusulkan tetap di ruangan observasi tapi dihalangi dengan tirai.Kenapa mereka khawatir Tari tahu? Karena biasanya pasca bius sudah hilang, rasa nyeri akan terasa, di situlah suara Dimas akan terdengar di telinga Tari, ini yang dikhawatirkan oleh Inggit dan Safitri.Safitri dan Inggit masih menunggu mereka yang ada di ruangan observasi selama satu jam."Sus, usahakan jangan dibarengi mengeluarkan keduanya," pesan Inggit."Baik, Ibu," jawab suster.Kemudian mereka bersabar menunggu Tari keluar dari ruangan observasi. Keduanya menunggu dengan sukarela. Setelah satu jam berlalu, yang lebih dulu sadar itu Tari. Suster buru-buru memindahkan dirinya ke ruangan rawat inap atas izin dokter.Safitri dan Tari mengekor dari belakang ke arah ruangan rawat inap tempat Tari menjalani perawatan."Akhirnya kamu akan bisa melihat dunia, kapan kata dokter buka perban?" tanya Safitri ketika su