Bahkan Safitri berhasil memegang bahu pria tersebut. Lalu dia menulis dan menatap Safitri penuh."Maaf, saya pikir teman saya," kata Safitri dengan mimik malu. Ternyata hanya mirip dari belakang saja, tapi kenyataannya bukan Dimas yang dia maksud.Safitri kembali ke tempat duduknya dan melanjutkan makannya. Meskipun dalam hati Safitri masih sangat penasaran dengan orang yang tadi dia lihat, tapi dia hanya membatin saja."Padahal tadi udah yakin banget kalau tadi adalah Dimas, tapi ternyata bukan, kenapa aku tiba-tiba mikirin dia?" Ucapan Safitri disertai dengan menggelengkan kepalanya.Kemudian dia mempercepat makannya supaya bisa segera mengantarkan Tari ke tempat dia harus istirahat.Pesan singkat pun diterima oleh Safitri, dari seorang sahabat, yaitu Inggit.[Tadi suster sudah membersihkan kamar VVIP yang kamu pesan, 15 menit lagi kita akan menuju kamar inap.]Pesan singkat dari Inggit membuat Safitri langsung meneguk air mineral yang ada di hadapannya. Lalu menyudahi makan nasi da
Dimas terkekeh mendengar pertanyaan dari Safitri, dia tahu betul mantan istri istrinya itu bukan maksud bertanya tapi tidak mempercayainya."Kenapa kalian menanyakan hal itu? Bukankah sudah dipastikan tidak akan mempercayai apa yang aku katakan?" sindir Dimas.Safitri kembali menoleh ke arah Inggit. Keduanya saling bertatap wajah dan enggan berkomentar apapun. Mereka hanya diam saat disindir oleh mantan suaminya itu."Kenapa kalian diam? Masih mau tahu jawabannya? Terus kalau aku bilang iya, apa kalian percaya?" tanya Dimas sekali lagi. "Jadi benar kamu yang mau mendonorkan matamu? Boleh tahu alasannya?" tanya Safitri memberanikan diri. Rasa penasarannya yang membuat dia ingin tahu jawaban dari Dimas."Ya, aku yang akan mendonorkan mata untuk Tari, seorang wanita yang kaya raya, memiliki perusahaan warisan suaminya, dan aku hanya seorang sopir yang akan menyerahkan indera penglihatanku untuknya," terang Dimas lengkap. Seolah-olah penjelasannya itu menyindir kedua perempuan yang ada d
"Saudara Dion, ada yang ingin bertemu!" Untungnya suara petugas memecahkan amarah Dion yang meradang, dia menurunkan bahunya ketika dipanggil untuk menemui tamu.Dion berjalan menuju ruangan yang telah ditentukan. Awalnya dia tidak mengetahui bahwa yang menemui adalah anak-anaknya. Sampai ketika melihat sosok Ronald dan Tirta tengah duduk bersebelahan dengan Jingga, Dion spontan tersenyum bahagia."Tirta, Ronald," sapa Dion yang kemudian memeluk mereka. Jingga sangat terharu menyaksikan anak dan ayahnya tengah melampiaskan rindunya."Aku sangat bahagia lihat Papa. Kangen banget baru dua hari nggak ketemu," ungkap Ronald.Kemudian mereka duduk saling berhadapan. Tak lupa Jingga meraih punggung tangan Dion untuk menghormatinya sebagai orang tua."Jingga, Om sangat berterima kasih karena kamu sudah mengantarkan anak-anak Om ke sini," kata Dion."Sama-sama, Om. Tadi aku pulang dari kantor agak cepat, jadi lihat mereka banyak melamun di rumah langsung Jingga aja ke sini," ungkap Jingga."
"Sudahlah, jangan terlalu dipikirin, tadi bisik-bisik hanya karena khawatir dengan kondisi kamu, Tari," ucap Inggit.Tari mengangguk. Inggit berhasil meyakinkan Tari yang sempat curiga."Bagaimana kalau kita video call, Jingga dan yang lainnya pasti lagi kumpul di rumah, soalnya tadi mereka ke kantor polisi, sekarang kemungkinan udah sampai," usul Safitri."Benarkah itu?" tanya Tari. "Mereka sangat peduli dengan papanya, so sweet banget," celetuk Tari."Tapi nggak papa kan kalau kami video call? Maksudnya kamu kan belum bisa melihat, kamu jangan tersinggung ya," ucap Safitri."Nggak dong, justru aku senang, karena dengan video call kalian jadi bahagia berhubungan dengan anak-anak," tutur Tari.Jari Safitri mengusap layar ponselnya. Dia mencari kontak Jingga. Wanita yang bergelar ibu pasti tahu, bagaimana rasanya menghubungi anak laki-laki yang sudah dewasa, mereka agak susah untuk diajak video call, biasanya lebih suka panggilan telepon biasa, itupun kalau kondisi darurat. Jika hanya
"Jadi, lebih baik kita bersyukur ya, begitu juga dengan kamu, alangkah baiknya fokus dalam menjalani operasi nanti, tidak usah memikirkan siapa yang mendonorkan, kelak setelah bisa melihat lagi, kamu bisa mencari tahu sendiri," saran Inggit sambil melepaskan mukena."Iya, tadi katanya suster akan dipindahkan ke ruangan operasi setelah salat Maghrib, sini aku bantu lepasin mukenanya," sambung Safitri.Pemandangan yang sangat indah untuk keharmonisan mereka. Ketiganya benar-benar menganggap satu sama lainnya saudara. Mungkin karena di antara mereka sudah tidak memiliki saudara lagi, terutama orang tua, mereka jadi sangat penyayang terhadap siapapun. Ketiganya juga merupakan anak tunggal. Ada kemiripan dari sikap dan perilakunya.Usai melipat mukena, Safitri membantu merapikan rambut Tari yang sedikit berantakan. Dia mengikatnya dengan sebuah pita. "Aku jadi nggak sabar untuk berkaca lagi," ucap Tari tersenyum. "Eh iya, sebelumnya aku minta maaf jika memiliki salah, katanya kalau orang
"Tari, jangan gugup ya, kamu harus bahagia akan melihat dunia dan makam suamimu," pinta Inggit sebelum Tari dibawa ke ruangan operasi."Iya, aku akan bahagia, bismillah, semoga lancar," jawab Tari.Kemudian, suster pun datang menghampiri Tari. Dia akan dibawa ke ruangan operasi sekarang. Safitri dan Inggit pun mengikuti kereta Tari dari belakang. Mereka berjalan gandengan tangan menuju ruangan operasi.Setelah Tari masuk, pintu ditutup terlebih dahulu. Sedangkan Safitri dan Inggit masih setia menunggu di depan ruangan operasi.Selang beberapa menit kemudian, gantian Dimas yang dibawa oleh suster dari ruangan. Dia meminta berhenti sejenak di hadapan Safitri dan Inggit sejenak."Safitri, ada yang aku lupa, tolong sampaikan salamku pada Ronald, setelah operasi berhasil, tolong pertemukan kami, jangan lupa izin dulu ya pada Dion," pesan Dimas membuat Safitri terenyuh, dia hanya bisa mengangguk karena tak tahan jika bicara, pasti akan keluar air matanya.Dimas didorong lagi dan bersiap men
Bersyukur operasi berjalan dengan lancar. Suster pun keluar dan bilang pada Inggit dan Safitri bahwa dokter mengusulkan tetap di ruangan observasi tapi dihalangi dengan tirai.Kenapa mereka khawatir Tari tahu? Karena biasanya pasca bius sudah hilang, rasa nyeri akan terasa, di situlah suara Dimas akan terdengar di telinga Tari, ini yang dikhawatirkan oleh Inggit dan Safitri.Safitri dan Inggit masih menunggu mereka yang ada di ruangan observasi selama satu jam."Sus, usahakan jangan dibarengi mengeluarkan keduanya," pesan Inggit."Baik, Ibu," jawab suster.Kemudian mereka bersabar menunggu Tari keluar dari ruangan observasi. Keduanya menunggu dengan sukarela. Setelah satu jam berlalu, yang lebih dulu sadar itu Tari. Suster buru-buru memindahkan dirinya ke ruangan rawat inap atas izin dokter.Safitri dan Tari mengekor dari belakang ke arah ruangan rawat inap tempat Tari menjalani perawatan."Akhirnya kamu akan bisa melihat dunia, kapan kata dokter buka perban?" tanya Safitri ketika su
Pram datang, dia tercengang ketika melihat sang istri tengah berada di hadapan Dimas.Inggit pun langsung menghampiri Pram yang baru saja datang."Aku akan jelaskan," ucap Inggit.Dengan sabar Pram pun mendengar penjelasan sang istri dari awal hingga akhir. Pram yang tadinya marah, kini dia mulai terharu dibuatnya. Mereka ikut menghampiri Dimas. Sekarang Pram sudah ada di hadapannya."Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Tapi aku sangat salut dengan pengorbanan kamu untuk Tari," tutur Pram.Semua orang memuji kebaikan Dimas yang luar biasa. "Aku sendiri belum tentu bisa seperti kamu, Dimas," tambah Pram."Demi semuanya, aku ingin menebus semua kesalahanku yang telah banyak merugikan orang lain," ucap Dimas."Padahal kamu nggak melakukan kejahatan yang merugikan Tari dalam kecelakaan itu," timpal Pram."Tapi anakku masih menginginkan Dion bisa bebas dari hukuman, minimal dikurangi," jawab Dion lagi-lagi berhasil membuat air mata Ronald meleleh.Semua sudah dipikirkan secara matang-m