"Saudara Dion, ada yang ingin bertemu!" Untungnya suara petugas memecahkan amarah Dion yang meradang, dia menurunkan bahunya ketika dipanggil untuk menemui tamu.Dion berjalan menuju ruangan yang telah ditentukan. Awalnya dia tidak mengetahui bahwa yang menemui adalah anak-anaknya. Sampai ketika melihat sosok Ronald dan Tirta tengah duduk bersebelahan dengan Jingga, Dion spontan tersenyum bahagia."Tirta, Ronald," sapa Dion yang kemudian memeluk mereka. Jingga sangat terharu menyaksikan anak dan ayahnya tengah melampiaskan rindunya."Aku sangat bahagia lihat Papa. Kangen banget baru dua hari nggak ketemu," ungkap Ronald.Kemudian mereka duduk saling berhadapan. Tak lupa Jingga meraih punggung tangan Dion untuk menghormatinya sebagai orang tua."Jingga, Om sangat berterima kasih karena kamu sudah mengantarkan anak-anak Om ke sini," kata Dion."Sama-sama, Om. Tadi aku pulang dari kantor agak cepat, jadi lihat mereka banyak melamun di rumah langsung Jingga aja ke sini," ungkap Jingga."
"Sudahlah, jangan terlalu dipikirin, tadi bisik-bisik hanya karena khawatir dengan kondisi kamu, Tari," ucap Inggit.Tari mengangguk. Inggit berhasil meyakinkan Tari yang sempat curiga."Bagaimana kalau kita video call, Jingga dan yang lainnya pasti lagi kumpul di rumah, soalnya tadi mereka ke kantor polisi, sekarang kemungkinan udah sampai," usul Safitri."Benarkah itu?" tanya Tari. "Mereka sangat peduli dengan papanya, so sweet banget," celetuk Tari."Tapi nggak papa kan kalau kami video call? Maksudnya kamu kan belum bisa melihat, kamu jangan tersinggung ya," ucap Safitri."Nggak dong, justru aku senang, karena dengan video call kalian jadi bahagia berhubungan dengan anak-anak," tutur Tari.Jari Safitri mengusap layar ponselnya. Dia mencari kontak Jingga. Wanita yang bergelar ibu pasti tahu, bagaimana rasanya menghubungi anak laki-laki yang sudah dewasa, mereka agak susah untuk diajak video call, biasanya lebih suka panggilan telepon biasa, itupun kalau kondisi darurat. Jika hanya
"Jadi, lebih baik kita bersyukur ya, begitu juga dengan kamu, alangkah baiknya fokus dalam menjalani operasi nanti, tidak usah memikirkan siapa yang mendonorkan, kelak setelah bisa melihat lagi, kamu bisa mencari tahu sendiri," saran Inggit sambil melepaskan mukena."Iya, tadi katanya suster akan dipindahkan ke ruangan operasi setelah salat Maghrib, sini aku bantu lepasin mukenanya," sambung Safitri.Pemandangan yang sangat indah untuk keharmonisan mereka. Ketiganya benar-benar menganggap satu sama lainnya saudara. Mungkin karena di antara mereka sudah tidak memiliki saudara lagi, terutama orang tua, mereka jadi sangat penyayang terhadap siapapun. Ketiganya juga merupakan anak tunggal. Ada kemiripan dari sikap dan perilakunya.Usai melipat mukena, Safitri membantu merapikan rambut Tari yang sedikit berantakan. Dia mengikatnya dengan sebuah pita. "Aku jadi nggak sabar untuk berkaca lagi," ucap Tari tersenyum. "Eh iya, sebelumnya aku minta maaf jika memiliki salah, katanya kalau orang
"Tari, jangan gugup ya, kamu harus bahagia akan melihat dunia dan makam suamimu," pinta Inggit sebelum Tari dibawa ke ruangan operasi."Iya, aku akan bahagia, bismillah, semoga lancar," jawab Tari.Kemudian, suster pun datang menghampiri Tari. Dia akan dibawa ke ruangan operasi sekarang. Safitri dan Inggit pun mengikuti kereta Tari dari belakang. Mereka berjalan gandengan tangan menuju ruangan operasi.Setelah Tari masuk, pintu ditutup terlebih dahulu. Sedangkan Safitri dan Inggit masih setia menunggu di depan ruangan operasi.Selang beberapa menit kemudian, gantian Dimas yang dibawa oleh suster dari ruangan. Dia meminta berhenti sejenak di hadapan Safitri dan Inggit sejenak."Safitri, ada yang aku lupa, tolong sampaikan salamku pada Ronald, setelah operasi berhasil, tolong pertemukan kami, jangan lupa izin dulu ya pada Dion," pesan Dimas membuat Safitri terenyuh, dia hanya bisa mengangguk karena tak tahan jika bicara, pasti akan keluar air matanya.Dimas didorong lagi dan bersiap men
Bersyukur operasi berjalan dengan lancar. Suster pun keluar dan bilang pada Inggit dan Safitri bahwa dokter mengusulkan tetap di ruangan observasi tapi dihalangi dengan tirai.Kenapa mereka khawatir Tari tahu? Karena biasanya pasca bius sudah hilang, rasa nyeri akan terasa, di situlah suara Dimas akan terdengar di telinga Tari, ini yang dikhawatirkan oleh Inggit dan Safitri.Safitri dan Inggit masih menunggu mereka yang ada di ruangan observasi selama satu jam."Sus, usahakan jangan dibarengi mengeluarkan keduanya," pesan Inggit."Baik, Ibu," jawab suster.Kemudian mereka bersabar menunggu Tari keluar dari ruangan observasi. Keduanya menunggu dengan sukarela. Setelah satu jam berlalu, yang lebih dulu sadar itu Tari. Suster buru-buru memindahkan dirinya ke ruangan rawat inap atas izin dokter.Safitri dan Tari mengekor dari belakang ke arah ruangan rawat inap tempat Tari menjalani perawatan."Akhirnya kamu akan bisa melihat dunia, kapan kata dokter buka perban?" tanya Safitri ketika su
Pram datang, dia tercengang ketika melihat sang istri tengah berada di hadapan Dimas.Inggit pun langsung menghampiri Pram yang baru saja datang."Aku akan jelaskan," ucap Inggit.Dengan sabar Pram pun mendengar penjelasan sang istri dari awal hingga akhir. Pram yang tadinya marah, kini dia mulai terharu dibuatnya. Mereka ikut menghampiri Dimas. Sekarang Pram sudah ada di hadapannya."Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Tapi aku sangat salut dengan pengorbanan kamu untuk Tari," tutur Pram.Semua orang memuji kebaikan Dimas yang luar biasa. "Aku sendiri belum tentu bisa seperti kamu, Dimas," tambah Pram."Demi semuanya, aku ingin menebus semua kesalahanku yang telah banyak merugikan orang lain," ucap Dimas."Padahal kamu nggak melakukan kejahatan yang merugikan Tari dalam kecelakaan itu," timpal Pram."Tapi anakku masih menginginkan Dion bisa bebas dari hukuman, minimal dikurangi," jawab Dion lagi-lagi berhasil membuat air mata Ronald meleleh.Semua sudah dipikirkan secara matang-m
Perlahan mata Tari dibuka, awalnya dia agak samar-samar melihat ruangan yang ditempati. Namun perlahan, matanya melihat jelas dokter yang ada di dekatnya."Masyaallah," ucap Tari merasa terharu dengan kondisinya saat ini."Kamu udah benar-benar melihat?" tanya Safitri.Tanpa basa-basi lagi Tari langsung menyergap tubuh Safitri."Ya Allah. Alhamdulillah aku bisa melihat lagi, ini suatu keajaiban, terima kasih Tuhan, terima kasih Dokter, Safitri, aku juga mengucapkan terima kasih pada kamu dari keluarga," ungkap Tari membuat suasana menjadi haru. Air matanya pun mulai menetes membasahi pipi."Selamat ya, Bu Tari." Ucapan dokter mengingatkan Tari untuk menanyakan siapa yang telah mendonorkan matanya."Dok, maaf, saya harus tahu siapa yang mendonorkan mata untuk saya," ucap Tari.Dokter diam seketika. Safitri juga seperti itu, dia menatap dokter yang tengah terkejut dengan pertanyaan dari Tari."Hm, Tari, tim dokter rumah sakit hanya menjalankan tugasnya, kalau kamu ingin tahu siapa orang
Tari sempat berhenti, dia membuka kaca mobilnya, pandangannya tertuju pada Dimas."Dimas, kamu udah akur dengan Ronald?" tanya Tari tidak berprasangka apa-apa."Iya, alhamdulilah, aku pamit dulu," jawab Dimas datar yang kemudian disusul oleh Ronald melambaikan tangannya. Kemudian mereka bergegas pergi.Pram dan Inggit benar-benar terkejut melihatnya. Safitri juga yang tadinya hendak berangkat ke kantor polisi ikut tercenung sebentar.Kemudian, Tari turun dari mobilnya. Dia masih belum engeh dengan penglihatan Dimas."Kok kalian nggak bilang kalau Dimas di sini?" tanya Tari."Nggak enak, kamu sangat membenci dia," jawab Tari ngasal.Tari mengerutkan keningnya."Sejak kapan aku membenci orang? Nggak ah, kamu ngada-ngada," jawab Tari.Jantung mereka itu berdetak tak beraturan. Saat pertanyaan mengenai Dimas dilontarkan oleh Tari."Katanya mau ke sini sore, tiba-tiba datang pagi, kamu sengaja ngerjain kami?" tanya Safitri."Nggak kok, tadi abis dari makam, langsung aja deh ke sini," timpa