"Oh iya, berati saya sudah ingat perlahan Bu, artinya saya perlahan pulih, Alhamdulillah ya Allah, terima kasih atas semua ini," ungkap Dimas di hadapan Tari, dia sengaja berlebihan mengucapkan rasa syukurnya."Alhamdulillah, aku ikut senang, Dimas. Semoga kamu ingat semuanya," jawab Tari.Dimas menurunkan bahunya, dia merasa sudah lega, karena Tari biasa saja menanggapinya.'Aku pikir dia akan menjauh karena aku yang tidak pernah ingat Tuhan sewaktu kenal dengan dia,' batin Dimas.Tari senyam senyum ketika mendengar Dimas bicara. "Kamu udah banyak berubah ya, sekarang lebih mendekatkan diri pada Allah. Itu tandanya kecelakaan kemarin sebuah peringatan untukmu supaya menjadi lebih baik," tutur Tari."Iya kah, Bu? Saya malah nggak sadar kalau sekarang saya sudah menjadi lebih baik," timpal Dimas memang sengaja mencari perhatian."Yang aku tahu seperti itu, makanya aku juga sadar bahwa kematian itu lebih dekat, kemarin sempat lalai dan lebih mementingkan dunia," ungkap Tari. "Yang lebih
Dimas menurunkan bahunya. Dia menghela napas berat seraya merasa percuma sudah memberikan pembantu rumah tangga uang dua ratus ribu rupiah."Ayo ngaku, jujur!" tegas Tari sambil tersenyum. Dia tidak merasa dibohongi oleh Dimas. Justru saat ini Tari merasa berbunga-bunga."Maaf Bu, saya hanya ingin membuat ibu bahagia, bikin Ibu tersenyum, pokoknya saya ingin mengisi hari-hari ibu menjadi lebih indah," kata Dimas seakan membujuk.Tari yang tadinya tersenyum tiba-tiba melangkahkan kakinya. Dia mencari tempat duduk, saat itu Dimas pun segera menuntunnya. Lalu mereka duduk berdua di sofa. Masih ada Bibi yang menyaksikan mereka bicara."Aku nggak marah kok, memang dari tadi aku merasa kamu tuh lagi pengen menghibur aku, terima kasih ya," ucap Tari."Bagaimana kalau kita masak bertiga?" tanya Tari. "Belum pergi kan Bibi? Karena saya masih nyium baunya," tambah Tari."Belum, Bu. Iya saya siap bersedia untuk nemenin ibu masak," kata Bibi."Ya udah, kalau memang itu kemauan Ibu. Yang paling pe
Safitri hancur seketika ketika tahu bahwa suaminya menakut-nakuti dengan cara konyol seperti itu. Dia tidak menyangka bahwa dia akan melakukan hal yang menurutnya sangat mengesalkan.Akhirnya Safitri meletakkan ponsel itu kembali. Sebab dia tidak mendengar suara kucuran air lagi. Bukannya takut pada suami, tapi dia tidak mau kecurigaannya diketahui oleh suaminya.Firasat Safitri tambah kuat, bahwa sebenarnya ada sesuatu yang dirahasiakan oleh suaminya. Sebab sudah semakin terbuka, ulahnya semakin aneh dan membuat Safitri ingin cepat membongkarnya.Pintu kamar mandi sudah terbuka. Dian mengusap rambutnya dengan handuk, dia tersenyum ke arah Safitri yang tengah duduk merenung."Udah liburan masih aja mikirin, kamu tuh kenapa sih jadi orang pemikir banget? Hanya karena ucapan pemulung tadi, sampai bengong seperti itu?" Pertanyaan Dion spontan membuat mata Safitri menatapnya dengan tatapan tajam.'Entah kenapa, sosok suami yang aku kagumi, sudah tidak ada lagi dalam diri kamu, Mas. Kini a
"Kalau aku tidak mau, gimana?" tanya Dion seakan menantang."Kamu akan kehilangan aku," jawab Safitri menanggapi tantangan suaminya.Awalnya Dion memang balas dendam, tapi perlahan perasaan itu mulai tumbuh, bahkan dia sangat menyayangi Safitri, meskipun kadang Dion agak dingin terhadapnya, tapi sebenarnya dia tidak ingin kehilangan Safitri."Kenapa kamu memberi pilihan seperti itu? Seberapa besar keyakinan kamu kalau Chika itu bukan adik kandungku?" tanya Dion."Aku tahu betul masa lalu Chika, dia menggunakan trik ini sudah lama, seolah-olah dia tuh ditelantarkan olehmu, sama ketika Chika datang ke Indonesia, dia menguasai almarhum papanya Pram, dan selalu berusaha menghasut papanya seolah-olah tidak adil, bukankah nyari sama?" tanya Safitri."Ini tidak masuk akal, bagaimana Chika bisa mengincar aku sebagai kakaknya? Sebelumnya kami tidak saling kenal," tutur Dion, dia masih tidak percaya dengan Safitri."Itu yang harus kamu selidiki, siapa yang pertama kali memperkenalkan kamu denga
Jingga melirik ke arah Ameer yang mengangkat kedua alisnya. Itu pertanda paksaan secara isyarat dari Ameer."Ya udah. Semoga Papa dan Mama mau terima kalian ya," timpal Jingga."Tenang, aku ini bukan mau bicara tentang kerjaan kok, tapi tentang seseorang yang orang tua kalian pasti kenal," terang Tirta.Jingga mengernyitkan dahinya. Dia semakin penasaran dibuatnya. Akhirnya Jingga kembali duduk di motor dan segera putar arah untuk kembali ke rumah."Tunggu, kayaknya enak nih kalau tukar posisi," pinta Ameer menghadap ke arah Ronald. Dia spontan duduk di belakangnya."Eh ide bagus, gas lah!" Ronald langsung menarik gas begitu saja. Tersisa Jingga yang kini bersama dengan Tirta. Dia melirik dengan wajah cemberut."Biar aku aja yang boncengin kamu," ucap Tirta.Jingga menoleh kasar. Alisnya tertautkan ketika menatap Tirta."Emang bisa naik motor?" Jingga bertanya dengan nada nyeleneh."Kamu turun, pindah ke belakang," perintah Tirta. Kemudian, Jingga menuruti perintahnya tanpa adanya p
"Ya, kami ke sini untuk minta bantuan Om dan Tante, soalnya Mama juga tidak ingin papa jadi berbuat kriminal karena pengaruh orang tersebut." Tirta coba menjelaskan tujuannya untuk ke rumah Pram.Dia bicara seperti itu karena Safitri tahu bahwa kedua sahabatnya tidak ingin dibilang ikut campur dengan urusan keluarganya. Hanya saja kali ini benar-benar membutuhkan bantuan mereka."Apa yang bisa kami bantu?" tanya Pram.Jingga menatap sang papa, dia memiringkan kepalanya. "Papa sungguhan mau bantu? Ini masalah intern keluarga loh, ngeri juga kalau Om Dion sampai tahu dan marah," tutur Jingga."Nggak, justru Papa berpikir, kita harus bantu karena ingin menyelamatkan Dion, dia ditipu oleh Chika, ini yang ingin diluruskan oleh Safitri," ungkap Pram."Betul, Om. Kami ke sini itu karena ingin membuktikan bahwa Chika bukan adik kandung papa, meskipun katanya sudah tes DNA, aku yakin pasti ada yang salah dengan tes itu, karena kalau memang Chika benar-benar adalah adik kandung papa, kenapa kel
"Papa yang terima pesan itu dan Papa yang hapus, kenapa?" tanya Dion seakan-akan menantang. "Ibu sambung tengah malam ke kamar anak tiri, itu seharusnya tidak kamu lakukan, Safitri!" tekan Dion.Masalah pun jadi bertambah gara-gara satu hal. Salahnya Safitri yang seharusnya membicarakan ini pilih keesokan harinya ketika Dion sudah berangkat bekerja. Bukan seperti ini yang membuat orang mengira ada sesuatu."Mas, kamu tahu aku 'kan? Kenapa kamu nuduh seperti itu?" tanya Safitri seakan menyanggah."Ya, aku tahu, tapi kalau Bibi lihat, bisa-bisa berprasangka lain," timpal Dion. "Sekarang masuk kamar! Bicarakan besok!" Dion langsung balik badan kemudian kembali ke kamarnya.Dion jalan dengan menyentakkan kakinya. Dia masih sangat kesal terhadap istrinya yang tengah malam ke kamar anak bujang.Tirta menyoroti Safitri, "Gimana ini, Mah?" tanya Tirta."Kita bicarakan besok ya, Mama susul Papa dulu," pesan Safitri yang kemudian menyusul suaminya.Mereka masih santai, padahal jelas-jelas Dion
Dimas membuka pintunya dan ternyata pihak kepolisian yang datang. Dia cukup terkejut ketika melihat kedatangan dua orang pria berseragam coklat itu."Ada apa ini, Pak?" tanya Dimas dengan tatapan menyipit. Kedua matanya pindah menyoroti satu persatu dua orang yang datang."Kami ingin memberikan surat penangkapan untuk saudara Dimas, ini surat penangkapannya," ucap polisi sambil menyerahkan sebuah amplop coklat yang berisikan kertas."Penangkapan dalam tuduhan apa? Saya nggak ngerti? Apa yang telah saya perbuat hingga ditangkap polisi?" tanya Dimas. Dia benar-benar syok saat mendengar surat penangkapan."Baca saja laporannya tertera dalam surat penangkapan tersebut," ucap polisi.Dimas membuka dan membacanya dengan tangan bergetar. Dia tidak menyangka bakal terjerat hukum lagi, padahal Dimas baru saja menghirup udara luar beberapa tahun.Setelah membaca dengan teliti, Dimas menggelengkan kepalanya dan menyerahkan surat itu kembali kepada pihak yang berwajib."Tuduhan ini salah, saya ti
"Iya, nanti dibicarakan dulu pada Pram dan Inggit ya," ucap Dion supaya anaknya berhenti merengek."Tirta, pernikahan itu bukan buat mainan, kamu harus mantapkan diri dulu, jangan karena cinta yang menggebu, kamu langsung minta lamaran," tutur Safitri menasihati."Iya, aku udah yakin. Ini pertama kali aku jatuh cinta, tolong, Mah," lirih Tirta lagi.Mereka diam sejenak."Mama sarankan kamu salat istikharah, oke," ucap Safitri sambil beranjak pergi, dia tidak meladeni anaknya lagi.Safitri masuk ke kamar. Dia mengetik pesan pada sahabatnya. Safitri mengajak Inggit berjumpa di satu cafe.Inggit kebetulan ada waktu luang besok, dia menyetujui dan menentukan waktu yang dikirimkan ke Safitri. Ya, mereka berencana akan bertemu di cafe besok. Kenapa tidak bicara melalui chat atau telepon? Urusan pernikahan adalah hal yang sakral, lagi pula Safitri ingin memastikan dulu apakah Inggit menerima jika anaknya menyukai Jingga.Mereka sudah saling kenal dan sangat dekat, jadi tidak ingin persahabat
"Tari, saya minta maaf atas kesalahan adik saya, Lian begitu berarti untuknya," ucap Haris. "Dan satu lagi yang ingin saya katakan padamu, I love you so much," terang Haris membuat Tari seketika terkejut. Kan bukan hanya Tari, tapi Dimas yang mendengarnya pun mencari sumber suara tersebut.'Haris dengan berani mengatakan hal itu di hadapan umum?' batin Dimas.Kemudian Haris berlalu pergi darinya. Dia diboyong ke sel tahanan oleh pihak yang berwajib.Semua telah selesai, keadilan telah ditegakkan. Yang jelas-jelas bersalah akan menjalani hukumannya. Lalu orang yang hanya menjadi boneka terbebaskan.Dion diminta menemui wartawan untuk sekadar bicara di depan khalayak ramai. "Saya hanya ingin mengatakan bahwa keputusan hakim tadi mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, sesuai pertimbangan dan saksi, jadi saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk para saksi dan keluarga yang telah mendampingi saya. Semoga para vendor dan rekan kerja lainnya, tetap akan menjalani kerjasama dengan
Safitri tiba di lapas tempat Chika ditahan. Dia langsung meminta izin untuk menemui Chika."Chika sedang proses pemeriksaan dokter ahli kejiwaan, kemarin dia sempat bunuh diri, lengannya sudah disayat-sayat," ucap salah seorang petugas.Safitri terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia bahkan tidak mengetahui berita ini.Kemudian, Safitri mencari kebenarannya. Dia bahkan rela mencari tahu ke rumah sakit tempat saat ini Chika ditangani oleh dokter spesialis. Safitri yang ditemani oleh Tirta dengan mudah menemui Chika yang memang tengah diberikan penangan.Tirta menemui beberapa dokter, dan ternyata selain mengalami gangguan jiwa, ada hal yang dialami oleh Chika."Chika memiliki penyakit serius, ternyata dia menderita sakit kanker," terang Tirta pada mamanya."Ya Allah, ternyata dia sakit, pantas Haris pun terlihat frustasi tadi," timpal Safitri."Semoga keputusan hakim besok benar-benar bisa membebaskan Papa dari hukuman," jawab Tirta.Kemudian mereka pun pulang untuk memberikan informasi pa
Jadi semuanya diperintahkan untuk diam oleh Tari, mereka tidak boleh bicara supaya Dimas tidak menghindar lagi. Jingga dan yang lainnya disuruh keluar diam-diam boleh Pram. Mereka sekarang berada di luar karena Tari ingin bicara empat mata dengan Dimas."Dimas," ucap Tari akhirnya mengeluarkan suara.Saat itu juga Dimas melangkahkan kakinya. Dia terburu-buru ingin meninggalkan Tari yang tiba-tiba datang di dekatnya.Namun tangan Tari mencekal pergelangan tangan Dimas yang hendak melangkah."Mau ke mana? Aku ingin bicara empat mata, tolong jangan pergi," tutur Tari agak merendahkan nada bicaranya.Dimas hanya bisa terdiam, kemudian dia mundur kembali, Tari menuntunnya untuk duduk."Ada apa? Aku tidak mau membicarakan masalah mata, biarkan itu menjadi ladang pahala untukku," pinta Dimas."Iya, aku paham, maaf kalau tadi sudah menyecar kamu." Tari merendahkan bicaranya lagi."Terus mau ngomong apa? Aku rasa tidak ada yang bisa diobrolkan, hubungan kerja pun tidak ada," timpal Dimas."Ak
Tiba-tiba Pram dan yang lainnya berkumpul. Mereka sama-sama datang dengan pura-pura tidak mengetahui pertemuan yang sebenarnya disengaja."Loh Dimas ke sini?" tanya Pram dan yang lainnya."Kalian juga di sini?" tanya Dimas balik."Iya, aku dan Inggit ajak Tari ke sini," jawab Pram.Tari masih belum mendapatkan jawaban dari apa yang ditanyakan olehnya."Dimas, kamu belum menjawab," tegas Tari. Kemudian dia melirik ke arah semua yang tiba-tiba muncul. "Apa kalian sudah tahu kalau Dimas buta?" Tari bertanya pada Pram, Inggit dan yang lainnya.Yang ditanya oleh Tari tidak ada yang jawab. Mereka menunggu aba-aba dari Pram yang memberikan usul untuk membongkar ini semua.Tiba-tiba Tari teringat saat dia bertemu dengan Dimas di rumah Pram. Dia memicingkan matanya ke arah Ronald."Apa kamu sudah tahu kondisi papamu seperti ini?" tanya Tari.Ronald mengangguk. Kemudian dia menunduk."Jadi jawabannya kalian itu membohongiku?" tanya Tari.Ini yang ditakutkan oleh Dimas. Dia takut dituduh memanfa
Tari sempat berhenti, dia membuka kaca mobilnya, pandangannya tertuju pada Dimas."Dimas, kamu udah akur dengan Ronald?" tanya Tari tidak berprasangka apa-apa."Iya, alhamdulilah, aku pamit dulu," jawab Dimas datar yang kemudian disusul oleh Ronald melambaikan tangannya. Kemudian mereka bergegas pergi.Pram dan Inggit benar-benar terkejut melihatnya. Safitri juga yang tadinya hendak berangkat ke kantor polisi ikut tercenung sebentar.Kemudian, Tari turun dari mobilnya. Dia masih belum engeh dengan penglihatan Dimas."Kok kalian nggak bilang kalau Dimas di sini?" tanya Tari."Nggak enak, kamu sangat membenci dia," jawab Tari ngasal.Tari mengerutkan keningnya."Sejak kapan aku membenci orang? Nggak ah, kamu ngada-ngada," jawab Tari.Jantung mereka itu berdetak tak beraturan. Saat pertanyaan mengenai Dimas dilontarkan oleh Tari."Katanya mau ke sini sore, tiba-tiba datang pagi, kamu sengaja ngerjain kami?" tanya Safitri."Nggak kok, tadi abis dari makam, langsung aja deh ke sini," timpa
Perlahan mata Tari dibuka, awalnya dia agak samar-samar melihat ruangan yang ditempati. Namun perlahan, matanya melihat jelas dokter yang ada di dekatnya."Masyaallah," ucap Tari merasa terharu dengan kondisinya saat ini."Kamu udah benar-benar melihat?" tanya Safitri.Tanpa basa-basi lagi Tari langsung menyergap tubuh Safitri."Ya Allah. Alhamdulillah aku bisa melihat lagi, ini suatu keajaiban, terima kasih Tuhan, terima kasih Dokter, Safitri, aku juga mengucapkan terima kasih pada kamu dari keluarga," ungkap Tari membuat suasana menjadi haru. Air matanya pun mulai menetes membasahi pipi."Selamat ya, Bu Tari." Ucapan dokter mengingatkan Tari untuk menanyakan siapa yang telah mendonorkan matanya."Dok, maaf, saya harus tahu siapa yang mendonorkan mata untuk saya," ucap Tari.Dokter diam seketika. Safitri juga seperti itu, dia menatap dokter yang tengah terkejut dengan pertanyaan dari Tari."Hm, Tari, tim dokter rumah sakit hanya menjalankan tugasnya, kalau kamu ingin tahu siapa orang
Pram datang, dia tercengang ketika melihat sang istri tengah berada di hadapan Dimas.Inggit pun langsung menghampiri Pram yang baru saja datang."Aku akan jelaskan," ucap Inggit.Dengan sabar Pram pun mendengar penjelasan sang istri dari awal hingga akhir. Pram yang tadinya marah, kini dia mulai terharu dibuatnya. Mereka ikut menghampiri Dimas. Sekarang Pram sudah ada di hadapannya."Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Tapi aku sangat salut dengan pengorbanan kamu untuk Tari," tutur Pram.Semua orang memuji kebaikan Dimas yang luar biasa. "Aku sendiri belum tentu bisa seperti kamu, Dimas," tambah Pram."Demi semuanya, aku ingin menebus semua kesalahanku yang telah banyak merugikan orang lain," ucap Dimas."Padahal kamu nggak melakukan kejahatan yang merugikan Tari dalam kecelakaan itu," timpal Pram."Tapi anakku masih menginginkan Dion bisa bebas dari hukuman, minimal dikurangi," jawab Dion lagi-lagi berhasil membuat air mata Ronald meleleh.Semua sudah dipikirkan secara matang-m
Bersyukur operasi berjalan dengan lancar. Suster pun keluar dan bilang pada Inggit dan Safitri bahwa dokter mengusulkan tetap di ruangan observasi tapi dihalangi dengan tirai.Kenapa mereka khawatir Tari tahu? Karena biasanya pasca bius sudah hilang, rasa nyeri akan terasa, di situlah suara Dimas akan terdengar di telinga Tari, ini yang dikhawatirkan oleh Inggit dan Safitri.Safitri dan Inggit masih menunggu mereka yang ada di ruangan observasi selama satu jam."Sus, usahakan jangan dibarengi mengeluarkan keduanya," pesan Inggit."Baik, Ibu," jawab suster.Kemudian mereka bersabar menunggu Tari keluar dari ruangan observasi. Keduanya menunggu dengan sukarela. Setelah satu jam berlalu, yang lebih dulu sadar itu Tari. Suster buru-buru memindahkan dirinya ke ruangan rawat inap atas izin dokter.Safitri dan Tari mengekor dari belakang ke arah ruangan rawat inap tempat Tari menjalani perawatan."Akhirnya kamu akan bisa melihat dunia, kapan kata dokter buka perban?" tanya Safitri ketika su