Dirga yang baru pulang dari kantor dan kini tiba di rumah, kini menyeret langkah kakinya menuju kamarnya, seharian di kantor mengerjakan beberapa dokumen yang menumpuk juga ada beberapa meeting membuat dirinya merasa letih dan juga penat.
"Huft," lelaki yang memiliki alis tebal, hidung mancung, berperawakan tinggi namun kulitnya agak kecokelatan, dan memiliki rahang tegas tersebut menghembuskan nafas kasar. Membuka pintu lalu melempar tas kerjanya di sofa, kemudian dengan gerakan kasar melepas jas mahal yang melekat di badannya dan melemparnya ke sofa, dan yang terakhir berjalan kearah tempat tidurnya lalu menghempaskan bobotnya ke ranjang empuk miliknya. Netranya terpejam menikmati rasa lelah yang sengaja ia ciptakan agar bisa melupakan dan bisa membuktikan pada seseorang jika ia bisa hidup dengan baik selama ini, walau kenyataannya dirinya tetap saja hancur dan selalu merindukan orang itu. Dirga membuka matanya lalu merubah posisinya menjadi duduk, menopang bobotnya dengan meletakkan kedua telapak tangannya di atas ranjang dan memiringkan kepalanya dan meletakkan di atas bahunya. "Huft," sekali lagi Dirga membuang nafas kasar lalu mengendurkan dasi yang melilit lehernya, "Mbak Sitiii!!!" Dirga berteriak memanggil asisten rumah tangganya. Masih dengan posisinya badan bertumpu pada telapak tangannya yang berada di atas kasur, kini Dirga mendongak dan memejamkan kedua matanya, menunggu beberapa menit hingga terdengar suara pintu terbuka. "Kenapa kau lelet sekali hari ini, bukankah kau sudah tahu jika aku pulang kerja, harusnya kau-" "Maaf, Tuan. Tadi saya sedang memasak dan tidak mendengar kedatangan anda," Dirga menegang mendengar suara wanita itu, dengan sekali gerakan, Dirga sudah membuka mata dan benar-benar terkejut. "Mana Siti?" tanya Dirga dengan nada suara yang dingin, netranya menatap wanita yang kini berdiri di hadapannya dengan posisi menunduk, dan di tangannya membawa nampan di atasnya ada gelas berisi air putih hangat. "Mbak Siti pulang kampung, Tuan. Dan ibu yayasan meminta saya menggantikan Mbak Siti sampai dia kembali," ucap wanita itu tanpa menatap wajah Dirga, "sampai kapan dia di kampungnya?" cerca Dirga yang kemudian kembali duduk dan menatap sinis pada wanita itu. "Mungkin satu bulan, Tuan. Anaknya ada yang menikah," wanita itu menjawab lalu memberanikan diri menyeret langkahnya maju mendekati Dirga, kemudian menyodorkan nampan tersebut. Dengan malas, Dirga meraih gelas berisi air putih hangat itu dan membuka tutupnya lalu mendekatkan kebibirnya yang tebal dan meminum nya, wanita itu terkejut kala Dirga menyemburkan air minum itu kearahnya dan membasahi baju yang ia kenakan. "Kau mau membuat lidahku melepuh?!" sentak Dirga kesal, "maaf," hanya kalimat itu yang terucap dan keluar dari mulut wanita itu yang kemudian tangannya mengusap bajunya yang basah akibat semburan air itu. "Baru kerja sehari saja sudah tidak becus, bagaimana mau menggantikan Mbok Siti selama satu bulan," cibir Dirga sambil menarik sudut bibirnya keatas, wanita itu hanya diam, tidak ada bantahan. "Sudah lupakan, sekarang lepas sepatuku!" Dirga memerintah lalu mengangkat kakinya dengan angkuh, wanita itu mengangguk lalu berjongkok di hadapan Dirga, meletakkan nampan di sampingnya. Tangannya sibuk melepas sepatu serta kaus kaki yang lelaki itu pakai, sedang Dirga hanya menatap heran pada wanita ini. "Siapkan aku air untuk mandi," Dirga memerintah dengan nada dingin, wanita itu mengangguk patuh dan tanpa banyak bicara, ia berdiri meletakkan nampan tadi di atas meja lalu berjalan ke kamar mandi. Wanita itu menyalakan kran di bathup, tidak terlalu panas juga tidak terlalu dingin, sesuai dengan selera lelaki itu. Kemudian memasukkan sabun beraroma terapi menenangkan, mengemricik sebentar hingga busanya keluar. Sedang Dirga yang masih duduk di ujung tempat tidurnya, mendesah gusar. "Apa tujuanmu kembali? Aku tahu ada maksud lain yang kau rencanakan, Cahaya," Dirga mendesis, Cahaya Prameswari, wanita itu adalah mantan istrinya yang dengan tega memilih meninggalkan dirinya dan memilih menjalani kariernya sebagai foto model. "Air mandinya sudah siap, Tuan," wanita yang bernama Cahaya tersebut keluar dari kamar mandi dan tangannya sibuk mengelap tangannya yang basah pada daster yang ia kenakan, tanpa kata Dirga berdiri lalu melangkah menuju kamar mandi, berjalan melewati Cahaya yang berdiri mematung di samping pintu yang terbuka itu. "Eh," Cahaya kaget dan hampir terjelembab jika di belakangnya tidak ada tembok, Dirga sengaja menyenggolkan bahunya yang besar pada bahu Cahaya. Cahaya mengusap dadanya dan mengucap kata sabar di dalam hati, lalu berjalan kearah almari guna mengambilkan pakaian ganti untuk Dirga, sesaat Cahaya mengumpat. "Kenapa kebiasaan belum hilang juga, selalu mandi tidak bawa handuk, waktunya selesai mandi teriak teriak minta handuk," Cahaya mendumel sambil menyiapkan piyama yang akan di pakai Dirga, dan meletakkan handuk kering di samping piyama tersebut. Kemudian Cahaya berdiri sambil menunggu Dirga selesai mandi di depan pintu, bukan pintu di depan kamar mandi, akan tetapi di depan pintu kamar masuk. Berjaga jaga jika majikannya membutuhkan dirinya. "Apa dia sudah makan? Biasanya jika malam kalau tak ada aku dia tak mau makan," gumam Cahaya gelisah, ingin sekali menghubungi seseorang di sana yang saat ini ia pikirkan. "Handukk!" teriakan Dirga meminta handuk membuyarkan lamunan Cahaya, dengan langkah lebar, Cahaya menyambar handuk yang tadi sudah ia siapkan. Cahaya segera masuk karena pintu itu tidak Dirga tutup, Cahaya merutuki kebodohan mantan suaminya, bagaimana jika ada perempuan ganjen ada di sini, pasti ia akan di goda. Cahaya menggeleng cepat, Dirga tidak akan mungkin tergoda. Selama menjadi istri Dirga, Cahaya sangat mengenal perilaku dan peringai lelaki itu. Walau terlihat sombong dan dingin, akan tetapi hatinya sangat baik, juga hangat pada orang yang dekat dengan Dirga. Mengingat itu, tiba-tiba Cahaya merindukan seseorang di sana, "woy, mana handuk yang aku minta!!" suara Dirga yang menggelegar kembali membuyarkan lamunan Cahaya akan masa lalu. "Ini," Cahaya mengulurkan tangan yang tadi membawa handuk, dengan kasar Dirga menyambar handuk itu, karena saking cepatnya, Dirga tidak sengaja ikut menarik tangan Cahaya yang membuat wanita itu tertarik dan jatuh kedalam bathup tersebut. "Aaa!" Cahaya berteriak kaget, Dirga yang masih berposisi duduk tersebut kaget, netranya menatap lekat wajah mantan istrinya yang sangat dekat dengan dirinya sekarang. Bohong jika debaran dan rasa itu sudah tidak ada di antara mereka berdua, "maaf," Cahaya yang sadar segera berusaha berdiri, sedang Dirga hanya diam dan kembali memejamkan kedua matanya. Sesuatu di bawah sana bangun, padahal selama ini jika ia dekat dengan wanita manapun tak akan ada reaksi apapun dengan tubuhnya. "Pakaian Tuan sudah saya letakkan di atas tempat tidur, saya permisi sebentar, baju saya basah," Cahaya berpamitan masih dengan posisi menunduk. Diam diam Dirga membuka matanya sedikit, ingin sekali dia mengumpat melihat daster Cahaya yang basah dan menempel pada tubuh itu, membuat lekuk tubuh wanita yang bergelar mantan istri tersebut terlihat. "Hmm," Dirga menjawab dengan gumaman, Cahaya berjalan dengan sedikit cepat, tangannya menarik dasternya bagian atas agar bajunya yang basah tidak menyiplak di aset miliknya. Setelah kepergian Cahaya, Dirga segera menyelesaikan ritual berendamnya. Kemudian memakai handuk yang ia lilitkan di pinggang kebawah, Dirga berdecak kesal. Karena Cahaya tadi jatuh kedalam air dan membuat handuk itu sedikit basah.Selesai mandi dan berganti pakaian, Dirga turun dan berjalan menuju ruang makan, perutnya lapar sedari tadi dan minta di isi.Dirga langsung menghenyakkan bobotnya di kursi makan dan menatap menu masakan yang di olah oleh Cahaya, mantan istrinya.Matanya memindai sekitar mencari keberadaan Cahaya, akan tetapi tidak ia temukan, "ck, kemana sih wanita itu," gerutu Dirga yang kemudian membalik piring yang tadinya tengkurap."Cahayaaa!!" Dirga akhirnya berteriak memanggil mantan istrinya, dengan tergopoh gopoh Cahaya datang dan langsung menunduk."Ya, Tuan," jawabnya masih dengan menunduk, "temani aku makan," titahnya yang langsung di jawab gelengan oleh Cahaya."Kenapa?" Dirga mendesis marah karena penolakan mantan istrinya tangannya yang berada di atas meja terkepal kuat, 'karena dulu ibu anda selalu melarang saya makan bersama dengan suami saya, dan sampai saat ini saya tidak berani makan bersama anda,' sayang jawaban itu hanya terucap di dalam hati Cahaya."Saya masih banyak pekerjaa
Pagi harinya, "aku harus meminta izin pada Tuan Dirga hari ini untuk bertemu dengannya," gumam Cahaya, tangannya sibuk memotong wortel yang akan ia olah nanti bersama kembang kol menjadi sayur sop."Apa dia juga mau ya? Ah, nanti selepas meminta izin aku akan membungkuskan sedikit sayur sop bakso kesukaan nya," lagi, Cahaya bergumam sembari tersenyum mengingat seseorang yang memiliki makanan kesukaan, memiliki kebiasaan yang sama dengan mantan suaminya.Di dalam kamar, "hari ini kamu tidak akan bisa bertemu dengan orang yang sudah membuat janji denganmu, karena hari ini aku akan membuatmu sibuk seharian denganku," Dirga menyeringai membayangkan wajah kecewa dua orang yang sudah membuatnya marah dan kecewa.Dirga keluar dari kamar dan berjalan menuruni anak tangga, tubuhnya membawa langkah kakinya menuju dapur karena sepagi ini Dirga yakin jika wanita itu pasti sedang ada di sana, seperti kebiasaannya dulu, selalu memasakkan sarapan untuk dirinya. Walau memiliki asisten rumah tangga,
Cahaya menolehkan kepalanya ke depan dan ke belakang mencari keberadaan Dirga, tidak mendapati keberadaan Dirga, Cahaya segera mengambil ponsel yang sedari tadi bergetar.(Kami melihatmu di swalayan ini, bisa bertemu di sini saja?) bunyi pesan yang Cahaya terima, Cahaya menolehkan kembali kepalanya dan tidak mendapati seseorang.(Di mana?) tanyanya lewat pesan balasan.(Kami di foodcourt) balasan pesan yang masuk, Cahaya mendesah gusar, mereka baru saja sarapan, masa harus beralasan lapar lagi agar Dirga mau masuk ke sana.Cahaya mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuknya, perempuan itu tampak sedang berpikir bagaimana dan alasan apa yang harus dia pakai."Bagaimana ini???" Cahaya membenturkan-mbenturkan pelan keningnya pada lengannya yang ia taruh di atas troli, Dirga yang melihat mantan istrinya terlihat gelisah, akhirnya tersenyum miring."Bingung mikir caranya bertemu?" seringai kecil muncul di bibirnya, kemudian dengan langkah percaya diri Dirga menghampiri Cahaya yang tengah mem
"Mama, Tasya mau sama mama juga papa," gadis kecil itu merengek dan berusaha mengangkat kepalanya dan menoleh pada mama juga papanya."Tasya anak pinter, pulang ya, kasihan si mbaknya thu," Cahaya menciumi kepala bagian belakang Anatasya, "Tasya mau sama papa," tangan kecil dan gemuk itu mencoba meraih bahu kokoh Dirga, namun dengan cepat Cahaya menekuknya dan menyembunyikan tangan itu di ketiak pengasuhnya."Nyonya, Tuan, kami pulang dulu," pamit sang pengasuh, yang di angguki oleh keduanya, "mbak tunggu," Cahaya memanggil mbak Sri kemudian mendekat dan menyerahkan tas plastik hitam yang berisi sop yang dia olah tadi dari dalam tas slempangnya, mata Dirga memincing menatap heran pada mantan istrinya.Dirga tercengang saat dari kejauhan netranya melihat wajah Tasya, mata itu, wajah itu, sepertinya dia familiar. Tapi wajah siapa? Tiba tiba tempurung kepalanya di penuhi pertanyaan siapa gadis kecil itu, kenapa dia mirip seseorang yang pernah dia lihat."Tuan," Dirga tersentak lalu menol
Merasa di tanyai, Dirga yang tadinya menunduk sambil mendorong kursi roda sang ibunya duduki lalu mendongak dan menatap tajam Tiara, "memangnya kenapa?" tanya Dirga dengan dingin, Tiara cemberut mendengar ucapan Dirga yang tidak menjawab pertanyaannya tadi lalu menghentakkan kaki kesal. Sudah hampir 7 tahun mengenal Dirga, tak lantas bisa membuat lelaki itu jatuh cinta padanya. Malah lelaki itu cinta mati dengan wanita lain, sakit, kesal, marah rasanya.Namun, dirinya tidak bisa memaksa rasa cinta yang sama dari Dirga untuk dirinya. Semenjak kepergian mantan istrinya, Tiara merasa sikap Dirga semakin dingin dan cuek."Sejak kapan Cahaya ada di sini? Dan kenapa dia bisa ada di sini?" tanya ibu Dirga dengan terbata-bata, karena menderita stroke dan tidak bisa melakukan apapun sendiri, dan cara bicaranya pun tidak jelas."Dia menggantikan mbak Siti, katanya anaknya nikah," sahut Dirga yang memahami ucapan ibunya walau cedal dan tidak begitu jelas, "dia sendiri saja?" kening Dirga mengern
Merasa di tanyai, Dirga yang tadinya menunduk sambil mendorong kursi roda sang ibunya duduki lalu mendongak dan menatap tajam Tiara, "memangnya kenapa?" tanya Dirga dengan dingin, Tiara cemberut mendengar ucapan Dirga yang tidak menjawab pertanyaannya tadi lalu menghentakkan kaki kesal. Sudah hampir 7 tahun mengenal Dirga, tak lantas bisa membuat lelaki itu jatuh cinta padanya. Malah lelaki itu cinta mati dengan wanita lain, sakit, kesal, marah rasanya.Namun, dirinya tidak bisa memaksa rasa cinta yang sama dari Dirga untuk dirinya. Semenjak kepergian mantan istrinya, Tiara merasa sikap Dirga semakin dingin dan cuek."Sejak kapan Cahaya ada di sini? Dan kenapa dia bisa ada di sini?" tanya ibu Dirga dengan terbata-bata, karena menderita stroke dan tidak bisa melakukan apapun sendiri, dan cara bicaranya pun tidak jelas."Dia menggantikan mbak Siti, katanya anaknya nikah," sahut Dirga yang memahami ucapan ibunya walau cedal dan tidak begitu jelas, "dia sendiri saja?" kening Dirga mengern
"Mama, Tasya mau sama mama juga papa," gadis kecil itu merengek dan berusaha mengangkat kepalanya dan menoleh pada mama juga papanya."Tasya anak pinter, pulang ya, kasihan si mbaknya thu," Cahaya menciumi kepala bagian belakang Anatasya, "Tasya mau sama papa," tangan kecil dan gemuk itu mencoba meraih bahu kokoh Dirga, namun dengan cepat Cahaya menekuknya dan menyembunyikan tangan itu di ketiak pengasuhnya."Nyonya, Tuan, kami pulang dulu," pamit sang pengasuh, yang di angguki oleh keduanya, "mbak tunggu," Cahaya memanggil mbak Sri kemudian mendekat dan menyerahkan tas plastik hitam yang berisi sop yang dia olah tadi dari dalam tas slempangnya, mata Dirga memincing menatap heran pada mantan istrinya.Dirga tercengang saat dari kejauhan netranya melihat wajah Tasya, mata itu, wajah itu, sepertinya dia familiar. Tapi wajah siapa? Tiba tiba tempurung kepalanya di penuhi pertanyaan siapa gadis kecil itu, kenapa dia mirip seseorang yang pernah dia lihat."Tuan," Dirga tersentak lalu menol
Cahaya menolehkan kepalanya ke depan dan ke belakang mencari keberadaan Dirga, tidak mendapati keberadaan Dirga, Cahaya segera mengambil ponsel yang sedari tadi bergetar.(Kami melihatmu di swalayan ini, bisa bertemu di sini saja?) bunyi pesan yang Cahaya terima, Cahaya menolehkan kembali kepalanya dan tidak mendapati seseorang.(Di mana?) tanyanya lewat pesan balasan.(Kami di foodcourt) balasan pesan yang masuk, Cahaya mendesah gusar, mereka baru saja sarapan, masa harus beralasan lapar lagi agar Dirga mau masuk ke sana.Cahaya mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuknya, perempuan itu tampak sedang berpikir bagaimana dan alasan apa yang harus dia pakai."Bagaimana ini???" Cahaya membenturkan-mbenturkan pelan keningnya pada lengannya yang ia taruh di atas troli, Dirga yang melihat mantan istrinya terlihat gelisah, akhirnya tersenyum miring."Bingung mikir caranya bertemu?" seringai kecil muncul di bibirnya, kemudian dengan langkah percaya diri Dirga menghampiri Cahaya yang tengah mem
Pagi harinya, "aku harus meminta izin pada Tuan Dirga hari ini untuk bertemu dengannya," gumam Cahaya, tangannya sibuk memotong wortel yang akan ia olah nanti bersama kembang kol menjadi sayur sop."Apa dia juga mau ya? Ah, nanti selepas meminta izin aku akan membungkuskan sedikit sayur sop bakso kesukaan nya," lagi, Cahaya bergumam sembari tersenyum mengingat seseorang yang memiliki makanan kesukaan, memiliki kebiasaan yang sama dengan mantan suaminya.Di dalam kamar, "hari ini kamu tidak akan bisa bertemu dengan orang yang sudah membuat janji denganmu, karena hari ini aku akan membuatmu sibuk seharian denganku," Dirga menyeringai membayangkan wajah kecewa dua orang yang sudah membuatnya marah dan kecewa.Dirga keluar dari kamar dan berjalan menuruni anak tangga, tubuhnya membawa langkah kakinya menuju dapur karena sepagi ini Dirga yakin jika wanita itu pasti sedang ada di sana, seperti kebiasaannya dulu, selalu memasakkan sarapan untuk dirinya. Walau memiliki asisten rumah tangga,
Selesai mandi dan berganti pakaian, Dirga turun dan berjalan menuju ruang makan, perutnya lapar sedari tadi dan minta di isi.Dirga langsung menghenyakkan bobotnya di kursi makan dan menatap menu masakan yang di olah oleh Cahaya, mantan istrinya.Matanya memindai sekitar mencari keberadaan Cahaya, akan tetapi tidak ia temukan, "ck, kemana sih wanita itu," gerutu Dirga yang kemudian membalik piring yang tadinya tengkurap."Cahayaaa!!" Dirga akhirnya berteriak memanggil mantan istrinya, dengan tergopoh gopoh Cahaya datang dan langsung menunduk."Ya, Tuan," jawabnya masih dengan menunduk, "temani aku makan," titahnya yang langsung di jawab gelengan oleh Cahaya."Kenapa?" Dirga mendesis marah karena penolakan mantan istrinya tangannya yang berada di atas meja terkepal kuat, 'karena dulu ibu anda selalu melarang saya makan bersama dengan suami saya, dan sampai saat ini saya tidak berani makan bersama anda,' sayang jawaban itu hanya terucap di dalam hati Cahaya."Saya masih banyak pekerjaa
Dirga yang baru pulang dari kantor dan kini tiba di rumah, kini menyeret langkah kakinya menuju kamarnya, seharian di kantor mengerjakan beberapa dokumen yang menumpuk juga ada beberapa meeting membuat dirinya merasa letih dan juga penat."Huft," lelaki yang memiliki alis tebal, hidung mancung, berperawakan tinggi namun kulitnya agak kecokelatan, dan memiliki rahang tegas tersebut menghembuskan nafas kasar.Membuka pintu lalu melempar tas kerjanya di sofa, kemudian dengan gerakan kasar melepas jas mahal yang melekat di badannya dan melemparnya ke sofa, dan yang terakhir berjalan kearah tempat tidurnya lalu menghempaskan bobotnya ke ranjang empuk miliknya.Netranya terpejam menikmati rasa lelah yang sengaja ia ciptakan agar bisa melupakan dan bisa membuktikan pada seseorang jika ia bisa hidup dengan baik selama ini, walau kenyataannya dirinya tetap saja hancur dan selalu merindukan orang itu.Dirga membuka matanya lalu merubah posisinya menjadi duduk, menopang bobotnya dengan meletakka