Selesai mandi dan berganti pakaian, Dirga turun dan berjalan menuju ruang makan, perutnya lapar sedari tadi dan minta di isi.
Dirga langsung menghenyakkan bobotnya di kursi makan dan menatap menu masakan yang di olah oleh Cahaya, mantan istrinya. Matanya memindai sekitar mencari keberadaan Cahaya, akan tetapi tidak ia temukan, "ck, kemana sih wanita itu," gerutu Dirga yang kemudian membalik piring yang tadinya tengkurap. "Cahayaaa!!" Dirga akhirnya berteriak memanggil mantan istrinya, dengan tergopoh gopoh Cahaya datang dan langsung menunduk. "Ya, Tuan," jawabnya masih dengan menunduk, "temani aku makan," titahnya yang langsung di jawab gelengan oleh Cahaya. "Kenapa?" Dirga mendesis marah karena penolakan mantan istrinya tangannya yang berada di atas meja terkepal kuat, 'karena dulu ibu anda selalu melarang saya makan bersama dengan suami saya, dan sampai saat ini saya tidak berani makan bersama anda,' sayang jawaban itu hanya terucap di dalam hati Cahaya. "Saya masih banyak pekerjaan di dapur," akhirnya alasan itu yang ia keluarkan, Dirga berdecih tidak percaya. "Duduk dan makan," suara Dirga yang dingin menginterupsi, "tapi, Tuan-" Brrakk, pyyarr. Suara meja di gebrak dan piring terlempar membuat Cahaya terjengit kaget. Namun, dirinya berusaha tetap tenang walau dalam hati dirinya benar benar ketakutan, takut jika mantan suaminya berbuat yang lebih, memukul misal, walau ia tahu itu tidak mungkin terjadi. Cahaya tahu, suaminya tidak suka bermain tangan atau memukul dirinya. Hanya saja jika marah selalu melempar dan membanting sesuatu yang berada di dalam jangkauan tangannya. "Bereskan," kata Dirga dingin yang kemudian melangkah ke dapur mengambil piring dan kembali duduk di kursi dimana dirinya tadi duduk. Cahaya mengambil sapu juga penyerok sampah, lalu menyapu piring mahal yang sudah terbagi menjadi beberapa bagian. Cahaya harus hati hati juga teliti, jika tidak nanti salah-salah kakinya atau kaki mantan suaminya terkena sisa pecahan kaca yang lembut. Dirga mengambil nasi serta sayur juga lauk lalu menyuapkan sendok berisi nasi dan sayur itu kedalam mulutnya, kemudian menggigit tahu yang di goreng kering sesuai kesukaannya, netranya melirik mantan istrinya yang tengah membersihkan pecahan piring itu dengan menyapunya. Di pandanginya tubuh wanita yang menjadi mantan istrinya yang kini memakai daster panjang menutupi lututnya, tubuh itu terlihat lebih berisi dari pada beberapa tahun lalu saat wanita itu menjadi istrinya. 'Apa dia bahagia lepas dariku, apa selingkuhannya bisa membuat dia bahagia, tapi jika dia bahagia kenapa dia bekerja jadi asisten rumah tangga?' Lagi, beribu pertanyaan tertanam di tempurung kepalanya. Dirga mulai acuh dan melanjutkan makan malamnya ketika dering ponselnya yang berada di kamarnya berbunyi, hingga beberapa detik berhenti kemudian berbunyi lagi. Cahaya yang sedang membuang pecahan piring itu sempat melirik kearah mantan suaminya, keningnya mengkerut heran, biasanya jika ada yang menghubungi dirinya, lelaki itu langsung mengangkat nya. Tapi, kenapa ini hanya di biarkan, gumam Cahaya dalam hati yang penuh dengan rasa penasaran. Cahaya terjengit kala dering telepon rumah berbunyi, dengan cepat ia berjalan kesana, "mbak Siti, bilang ke tuanmu kalau aku telepon. Memang lagi apa sih dia, kok telepon dari ku nggak di angkat," Cahaya langsung meletakkan gagang telepon itu di atas meja dengan posisi tengkurap tanpa bersuara, lalu menyeret kakinya menuju ruang makan di mana Dirga sudah menyelesaikan ritual makan malamnya dan sedang berdiri lalu melempar tissu yang tadi ia pakai untuk mengelap mulutnya. "Aku sudah selesai makan, kamu kalau mau makan, makan saja kalau ngga mau terserah," ucap Dirga dingin, Cahaya langsung mengangguk. "Nona Tiara menelepon, Tuan," kaki Dirga yang hendak melangkah menaiki anak tangga seketika terhenti, kepalanya memutar lalu matanya memincing. Ada rasa kesal saat wanita ini memanggil dirinya dengan panggilan 'Tuan'. Dengan langkah malas, Dirga menyeret kakinya kearah ruang tamu di mana dirinya memasang telepon rumah sejak rumah ini di bangun, sedang Cahaya entah pergi kemana. "Ada apa?" tanya Dirga dingin, "Kak, aku rindu," suara wanita yang bernama Tiara terdengar mendayu-dayu, Dirga memutar bola mata jengah. Dirga sudah tidak fokus pada Tiara yang sedang berceloteh di seberang sana, kini netranya menangkap tingkah mencurigakan dari mantan istrinya. Wanita itu memasukkan tangan kanannya ke kantong daster, sedang tangan kirinya melipat daster yang menghubungkan dengan kantong itu, seakan akan menutupi isi kantong daster tersebut. "Aku lelah, aku mau istirahat dulu," Dirga segera menutup sambungan telepon itu tanpa mendengar jawaban dari seberang, melepas sandal rumahan yang ia pakai lalu berjalan berjinjit agar tidak terdengar oleh Cahaya. Cahaya: "Iya sayang, malam ini tidak pulang," Penelepon:"-" Cahaya: "besok coba kalau bisa, kalau ngga bisa nanti dikabari kapan bisa ketemunya," Penelepon:"-" Cahaya: "iya, iya, maaf ya, Sayang. Jangan lupa makan dan istirahat," Penelepon: "-" Cahaya: "i Love You too, and i love you more, muuacch," Penelepon: "-" Sambungan telepon akhirnya terputus, Cahaya tersenyum melihat foto seseorang yang menjadi penyemangatnya ia jadikan wallpaper. Dirga yang mendengarkan dengan menempelkan daun telinganya pada daun pintu membuat tangannya terkepal kuat, hingga buku jarinya memutih. Ingin sekali Dirga mencaci wanita yang kini menjadi mantan istrinya, tapi harus dia tahan karena ingin mengetahui apa motif wanita ini kembali dan menjadi asisten rumah tangga di sini. Dirga segera meninggalkan kamar pembantu yang Cahaya tempati, wanita itu memilih tidur di bawah karena dirinya kini hanya menjadi asisten rumah tangga dari seorang Dirgantara Bagaskara. "Baru sehari, Aya, masih ada 30 hari lagi untuk membawa lelaki itu ke hadapannya," gumam Cahaya menyemangati dan meyakinkan dirinya sendiri, tangannya mengepal lalu terangkat ke udara. "Semangat, Aya," katanya yang kemudian keluar dan membereskan sisa makanan Dirga. Cahaya sudah di beritahu Mbak Siti jika memasak untuk makan malam cukup untuk Dirga dan dirinya. *** Di tempat lain, "jangan harap kau bisa membawa laki-laki itu kehadapannya lalu kalian kembali bersama, kau hanya milikku, Cahaya," desis lelaki yang memiliki rambut panjang dan selalu ia kuncir itu, kini menatap foto Cahaya yang ia curi kemudian ia cetak dalam ukuran besar dan ia bingai lalu dijadikan pajangan sebagai pelepas rindu, walau rasa rindu itu tetap ada untuk mantan istri adik iparnya. Gilang Bagaskara, kakak kandung dari Dirgantara Bagaskara yang juga tergila-gila pada sosok Cahaya Prameswari, dan akan terus berbuat apa saja agar mereka, Dirga-Cahaya berpisah untuk selamanya, sehingga ia bisa memiliki Cahaya sepenuhnya. Termasuk menjebak Cahaya agar seolah-olah pernah tidur dengan dirinya dalam satu selimut, dan Dirga percaya akan tipu muslihat yang kakaknya ciptakan itu.Pagi harinya, "aku harus meminta izin pada Tuan Dirga hari ini untuk bertemu dengannya," gumam Cahaya, tangannya sibuk memotong wortel yang akan ia olah nanti bersama kembang kol menjadi sayur sop."Apa dia juga mau ya? Ah, nanti selepas meminta izin aku akan membungkuskan sedikit sayur sop bakso kesukaan nya," lagi, Cahaya bergumam sembari tersenyum mengingat seseorang yang memiliki makanan kesukaan, memiliki kebiasaan yang sama dengan mantan suaminya.Di dalam kamar, "hari ini kamu tidak akan bisa bertemu dengan orang yang sudah membuat janji denganmu, karena hari ini aku akan membuatmu sibuk seharian denganku," Dirga menyeringai membayangkan wajah kecewa dua orang yang sudah membuatnya marah dan kecewa.Dirga keluar dari kamar dan berjalan menuruni anak tangga, tubuhnya membawa langkah kakinya menuju dapur karena sepagi ini Dirga yakin jika wanita itu pasti sedang ada di sana, seperti kebiasaannya dulu, selalu memasakkan sarapan untuk dirinya. Walau memiliki asisten rumah tangga,
Cahaya menolehkan kepalanya ke depan dan ke belakang mencari keberadaan Dirga, tidak mendapati keberadaan Dirga, Cahaya segera mengambil ponsel yang sedari tadi bergetar.(Kami melihatmu di swalayan ini, bisa bertemu di sini saja?) bunyi pesan yang Cahaya terima, Cahaya menolehkan kembali kepalanya dan tidak mendapati seseorang.(Di mana?) tanyanya lewat pesan balasan.(Kami di foodcourt) balasan pesan yang masuk, Cahaya mendesah gusar, mereka baru saja sarapan, masa harus beralasan lapar lagi agar Dirga mau masuk ke sana.Cahaya mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuknya, perempuan itu tampak sedang berpikir bagaimana dan alasan apa yang harus dia pakai."Bagaimana ini???" Cahaya membenturkan-mbenturkan pelan keningnya pada lengannya yang ia taruh di atas troli, Dirga yang melihat mantan istrinya terlihat gelisah, akhirnya tersenyum miring."Bingung mikir caranya bertemu?" seringai kecil muncul di bibirnya, kemudian dengan langkah percaya diri Dirga menghampiri Cahaya yang tengah mem
"Mama, Tasya mau sama mama juga papa," gadis kecil itu merengek dan berusaha mengangkat kepalanya dan menoleh pada mama juga papanya."Tasya anak pinter, pulang ya, kasihan si mbaknya thu," Cahaya menciumi kepala bagian belakang Anatasya, "Tasya mau sama papa," tangan kecil dan gemuk itu mencoba meraih bahu kokoh Dirga, namun dengan cepat Cahaya menekuknya dan menyembunyikan tangan itu di ketiak pengasuhnya."Nyonya, Tuan, kami pulang dulu," pamit sang pengasuh, yang di angguki oleh keduanya, "mbak tunggu," Cahaya memanggil mbak Sri kemudian mendekat dan menyerahkan tas plastik hitam yang berisi sop yang dia olah tadi dari dalam tas slempangnya, mata Dirga memincing menatap heran pada mantan istrinya.Dirga tercengang saat dari kejauhan netranya melihat wajah Tasya, mata itu, wajah itu, sepertinya dia familiar. Tapi wajah siapa? Tiba tiba tempurung kepalanya di penuhi pertanyaan siapa gadis kecil itu, kenapa dia mirip seseorang yang pernah dia lihat."Tuan," Dirga tersentak lalu menol
Merasa di tanyai, Dirga yang tadinya menunduk sambil mendorong kursi roda sang ibunya duduki lalu mendongak dan menatap tajam Tiara, "memangnya kenapa?" tanya Dirga dengan dingin, Tiara cemberut mendengar ucapan Dirga yang tidak menjawab pertanyaannya tadi lalu menghentakkan kaki kesal. Sudah hampir 7 tahun mengenal Dirga, tak lantas bisa membuat lelaki itu jatuh cinta padanya. Malah lelaki itu cinta mati dengan wanita lain, sakit, kesal, marah rasanya.Namun, dirinya tidak bisa memaksa rasa cinta yang sama dari Dirga untuk dirinya. Semenjak kepergian mantan istrinya, Tiara merasa sikap Dirga semakin dingin dan cuek."Sejak kapan Cahaya ada di sini? Dan kenapa dia bisa ada di sini?" tanya ibu Dirga dengan terbata-bata, karena menderita stroke dan tidak bisa melakukan apapun sendiri, dan cara bicaranya pun tidak jelas."Dia menggantikan mbak Siti, katanya anaknya nikah," sahut Dirga yang memahami ucapan ibunya walau cedal dan tidak begitu jelas, "dia sendiri saja?" kening Dirga mengern
"Kapan kau kembali?" Arya bertanya sembari menatap wajah manis dihadapannya, tangan kirinya memegang rahang Cahaya, sedang tangan sebelah kiri memberi salep pereda perih. Arya tahu, walau luka itu tidak dalam dan lebar, pasti itu terasa sakit dan perih saat mandi nanti. "Memang saya dari mana?" Cahaya bertanya sok polos, Arya tertawa melihat ekpresi wanita di hadapannya. "Nggak nyadar udah ilang hampir bertahun-tahun?" tanya Arya sembari melirik kearah sahabatnya yang tengah menatap kearah mereka berdua, Cahaya terkekeh mendengar pertanyaan Arya. "Anda kehilangan saya?" tanya Cahaya tanpa bermaksud menggoda, tapi di telinga Dirga itu seperti sebuah godaan dan rayuan yang wanita itu tujukan untuk sahabatnya. "Oya, bukankah beberapa hari sebelum kau pergi, kau pergi ke rumah sakit? Siapa yang sakit?" Arya ingat benar, waktu itu beberapa tahun yang lalu dirinya pernah melihat Cahaya masuk kerumah sakit tempatnya magang, dan saat hendak mengejar ia kehilangan jejak Cahaya. Dan sek
Dirga segera berlari keluar, netranya mendapati Cahaya yang tengah kesulitan saat menaiki anak tangga, Dirga berdecak kesal. "Kenapa ngga lewat lift aja, Ay!?" desis Dirga tanpa sadar memanggil nama panggilan kesayangannya hanya untuk Cahaya, desisan yang terdengar antara geram bercampur kesal yang bisa di dengar Cahaya, wanita itu menggaruk keningnya sambil meringis. Di rumah Dirga walau hanya memiliki 3 lantai, lelaki itu memang sengaja memasang lift, agar mempermudah Cahaya naik dan turun saat dari bepergian menuju ke kamar saat kelelahan atau saat keberatan membawa barang yang berat. Dan semenjak mamanya duduk di kursi roda, lift itu sangat membantu. Cahaya kembali turun dan menekan tombol lift itu agar terbuka, setelah terbuka, Cahaya segera masuk. Pintu lift terbuka dan Cahaya segera keluar dan berjalan menuju kamar mantan mertuanya, di sana sudah ada Tiara dan Dirga yang tengah menolong mamanya Dirga. "Kau itu, lambat sekali?!" ketus Tiara, menekuk kedua tangannya di pi
Sesampainya di kamar, Dirga menghubungi salah satu asisten kepercayaannya. Lelaki itu mengambil ponselnya dan segera memencet nomer dia tuju. Hanya menunggu satu dering saja dan.... "Halo, selamat malam, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanya sang asisten, "Roni, apa kamu masih ingat dengan istri saya, Nyonya Cahaya?" tanya Dirga. "Masih, Tuan. Dan dari kabar yang saya dengar, beliau sudah kembali dari luar negeri." Dirga terkejut dengan penuturan asisten pribadinya. "Kamu, masih mengawasinya?" "Tidak sepenuhnya, hanya mendengar dari seseorang jika Nyonya sudah kembali setelah menghilang bertahun tahun," "Kau, tahu tempat tinggalnya sekarang?" tanya Dirga lagi, "tidak, Tuan. Apa anda membutuhkan sekarang?" tanya Roni, asisten pribadi Dirga. "Ya, cari tahu di mana dia tinggal sekarang. Dan... Dengan siapa dia tinggal," setelah Roni mengatakan menyanggupi perintah atasannya, Dirga mengakhiri panggilan tersebut. Setengah jam kemudian, ponsel Dirga berdering. Lelaki itu segera me
Di kantor Dirga. Pintu ruangan lelaki itu diketuk dari luar, "masuk!" Katanya dengan setengah berteriak. Pintu terbuka dan menampilkan sosok perempuan berpakaian seksi, "Pak, di luar ada tamu ingin bertemu," ujar wanita itu melaporkan. "Suruh masuk saja," suruh Dirga tanpa menatap sang sekretaris, wanita berpakaian seksi tersebut mengerucutkan bibir. Ternyata, atasannya itu masih saja tidak mau meliriknya. Setelah kepergian wanita itu, pintu kembali terbuka. Suara sepatu pantofel beradu dengan lantai keramik pun terdengar. "CK, sepertinya adik kesayanganku sedang sibuk. Lihat saja, kakaknya datang bukannya disambut malah diacuhkan," seorang lelaki melangkah mendekat kearah meja kerja Dirga, lalu menarik kursi dan menduduki nya. Dirga mengangkat wajah sebentar hanya untuk memastikan siapa yang datang dan kembali fokus pada berkas -berkasnya. Walau dari suaranya saja dia sudah tahu siapa yang tengah bertamu. "Sepertinya, adik kesayanganku ini sibuk sekali? Mau buat apa uangnya?
“Mas Dirga, menurutmu.. apa. kita bisa benar-benar hidup tenang mulai sekarang?” Cahaya bertanya dengan suara pelan, pandangannya menatap jauh ke luar jendela, seolah-olah mencari jawaban yang tersembunyi di antara langit yang cerah pagi itu. Dirga berdiri di sampingnya, mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Cahaya. Dirga tersenyum, menatap Cahaya dengan kelembutan yang terpancar dari matanya. “Ya, Cahaya. Aku yakin ini adalah awal yang baru untuk kita. Semua telah selesai. Semua luka dan rasa sakit itu... kita bisa mulai menyembuhkannya bersama.” Mereka berdua berdiri di ambang jendela, menikmati sinar matahari pagi yang terasa begitu hangat dan menenangkan. Di balik semua konflik dan perjuangan, hari ini terasa seperti pagi yang istimewa—sebuah permulaan dari hidup yang mereka idamkan. Di ruang tamu, suara tawa kecil Tasya terdengar, memecah keheningan yang menyelimuti mereka. Cahaya tersenyum, kemudian menoleh pada putri kecil mereka yang sedang bermain dengan bonekanya di
“Dirga, pernahkah kau benar-benar memahami rasa sakit yang kusimpan selama ini?” Cahaya bertanya dengan suara pelan, matanya menatap lurus ke arah Dirga yang duduk di sampingnya. Pertanyaan itu terdengar seperti beban yang terpendam bertahun-tahun, yang akhirnya terungkap dalam satu tarikan napas. Dirga terdiam, membiarkan kata-kata Cahaya memenuhi ruang di antara mereka. Hatinya mendadak berat, penuh penyesalan yang selama ini ia simpan. “Cahaya, aku tahu aku telah melakukan banyak kesalahan. Tapi... apakah kau bersedia memberiku kesempatan untuk menebus semuanya?” Cahaya menunduk sejenak, memandangi tangannya yang terlipat di pangkuan. Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan perasaan yang bercampur aduk dalam dadanya. “Dirga, bukan tentang memberimu kesempatan. Ini lebih kepada... rasa sakit yang terlalu lama kusimpan sendirian. Semua yang kuhadapi selama ini... seolah tidak ada yang benar-benar memahami atau bahkan ingin mendengarnya.” Dirga menatap Cahaya dengan penuh kesun
“Kau sudah tahu apa yang terjadi dengan Gilang?” Dirga mendengar suara Roni di telepon, bernada serius dan tenang. Panggilan dari Roni ini terasa mendadak dan memunculkan perasaan yang bercampur aduk dalam hati Dirga. “Apa yang kau temukan, Roni?” Dirga mencoba menahan napas, tahu bahwa sahabatnya tidak akan menelepon jika tidak ada berita penting. Roni menarik napas panjang sebelum menjawab. “Aku berhasil menemukan bukti yang cukup kuat. Gilang terlibat dalam jaringan korupsi besar yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir. Bukti ini bisa menjatuhkannya sepenuhnya, Dirga.” Dirga terdiam, meresapi informasi itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Sebagai adik, ia merasa terkejut dan terluka, namun sebagai seorang pria yang telah melihat banyak tindakan manipulatif dari Gilang, ia menyadari bahwa ini adalah jalan keadilan yang akhirnya terungkap. “Dan pihak kepolisian sudah tahu semua ini?” Dirga bertanya, suaranya nyaris berbisik. “Ya. Aku sudah menyerahkan semua b
“Cahaya, kau pikir bisa terus bertahan? Kau tak lebih dari bayangan yang hanya membawa malapetaka,” ujar Tiara dingin, tatapannya tak beranjak dari sosok Cahaya yang berdiri di samping Dirga.Cahaya menahan napas, menatap lurus ke arah Tiara dengan tekad yang tak tergoyahkan. “Aku tidak akan mundur demi keluargaku, Tiara. Apa pun rencanamu, kau tak akan berhasil memisahkan aku dari Tasya dan Dirga.”Tiara hanya tersenyum sinis, lalu melangkah mundur. “Kita lihat saja seberapa kuat kau bertahan,” katanya sebelum pergi dengan langkah angkuh yang menusuk.---“Sudah cukup semua ini, Gilang!” Dirga menatap kakaknya yang berdiri tak jauh darinya, tatapan mata mereka saling berseteru dalam diam yang mencekam. Cahaya berdiri di samping Dirga, menggenggam tangan suaminya dengan erat, sementara Tasya berada dalam pelukannya.Gilang tertawa sinis, matanya menyiratkan kebencian yang selama ini tersembunyi di balik topeng saudara. “Kau pikir bisa hidup bahagia, Dirga? Kau kira akan bebas dari bay
"Cahaya, kau benar-benar percaya kita akan aman sekarang?" Dirga memandang ke arah Cahaya, matanya dipenuhi kekhawatiran. Dia mencoba menyembunyikannya, tetapi Cahaya dapat melihat bahwa ketakutan itu perlahan menggerogoti ketenangan suaminya.Cahaya menghela napas pelan, menatap Dirga dengan pandangan yang lembut namun penuh keyakinan. "Aku tidak tahu, Dirga. Tapi yang pasti, aku tidak akan biarkan siapa pun menyakiti kita lagi. Bukan Tiara, bukan Gilang, bukan siapa pun."Dirga meraih tangan Cahaya, menggenggamnya erat. "Kita sudah berjuang sejauh ini, Cahaya. Aku hanya ingin kita bisa hidup tenang, tanpa ancaman yang terus menghantui. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengganggu keluarga kita."Belum sempat Cahaya membalas, terdengar suara tawa riang Tasya dari ruang tamu, disusul langkah kaki kecil yang berlari mendekati mereka. "Mama, Papa! Lihat, aku membuat gambar kita bertiga!" serunya, menunjukkan kertas berisi gambar sederhana mereka dalam balutan warna-warni cerah.Cahaya
“Kau tidak akan mengabaikan ini lagi, Dirga,” kata Gilang dengan nada penuh penekanan. Semua mata tertuju padanya. Cahaya berhenti bergerak, piring di tangannya kini diletakkan di atas meja dengan pelan. Suasana di ruang makan itu berubah, ketegangan menggantung seperti awan gelap yang menutupi pagi. “Aku tidak mengerti maksudmu,” jawab Dirga, matanya menyipit, memandang Gilang dengan kewaspadaan yang semakin tajam. Cahaya merasakan aliran adrenalin di tubuhnya, jantungnya berdetak cepat namun ia berusaha tetap tenang. Di dalam pikirannya, rencana yang telah ia susun semalaman terasa semakin mendesak untuk diwujudkan. “Kau akan mengerti setelah ini.” Gilang melangkah maju, mengambil posisi di tengah ruangan, seakan ingin memastikan bahwa ia menjadi pusat perhatian. Cahaya menatapnya dengan hati-hati, berusaha membaca setiap gerakan dan ekspresi di wajah Gilang. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang lebih putus asa dan terdesak daripada biasanya. Di saat yang sama, Tiara melangkah
“Kau pikir aku akan diam saja menyaksikan semuanya berantakan?” Gilang berdiri di ujung ruangan, tangan terkepal di samping tubuhnya. Suaranya rendah tapi penuh ancaman. Tiara, yang duduk di sofa mewah dengan kaki disilangkan, hanya mengangkat alisnya. Ia tampak tak terpengaruh oleh amarah Gilang, namun kilatan matanya menunjukkan bahwa ia sama sekali tak lengah. “Gilang, apa kau benar-benar berpikir kau bisa mengontrol semuanya? Lihat sekelilingmu,” ucap Tiara, nada suaranya setengah mengejek. “Dirga tak lagi mempercayaimu. Cahaya... wanita itu mulai membuat langkah yang tak kau duga. Dan kau di sini, menggertakku, seolah aku yang menjadi ancaman terbesarmu.” Gilang melangkah maju, bayangan lampu chandelier memantulkan wajahnya yang tegang. “Kau tak tahu apa yang aku hadapi, Tiara. Kau hanya datang ke dalam hidup Dirga dengan satu tujuan—uangnya. Tapi ini lebih dari itu. Ini tentang kehormatanku. Keluarga ini adalah milikku, dan aku tak akan membiarkan Cahaya menghancurkan semua ya
Suara sirine memecah keheningan malam, menggema di sekitar rumah besar keluarga Bagaskara. Para pria berbadan tegap yang menahan Dirga dan Cahaya saling berpandangan panik, menyadari bahwa keadaan mulai berbalik. Gilang mengepalkan rahangnya, sorot matanya memancarkan amarah dan kecemasan. Dalam sekejap, ia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk melepaskan Dirga dan Cahaya. “Pergi sekarang!” perintah Gilang kepada kedua pria itu. Tanpa menunggu perintah kedua, mereka melepaskan cengkeraman mereka dan melarikan diri keluar rumah, menghilang di balik kegelapan malam. Gilang, dengan wajah penuh emosi, memandang Dirga yang masih tersungkur di lantai. Namun sebelum Gilang bisa bergerak lebih jauh, beberapa polisi muncul dan menyuruhnya berdiri dengan tangan diangkat. “Gilang Bagaskara, Anda ditahan atas tuduhan konspirasi dan percobaan penyerangan,” ujar seorang polisi tegas, suaranya menggema di ruangan yang kini dipenuhi ketegangan. Wajah Gilang pucat, tetapi ia hanya mengangguk ke
“Kamu benar-benar percaya padanya, Mas Dirga? Itu hanya trik murahan!” Tiara berteriak, suaranya menusuk malam yang sunyi. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda di wajah Dirga. Kebimbangan yang biasanya meliputi sorot matanya kini menghilang, digantikan oleh tekad yang kuat. “Cukup, Tiara,” ujar Dirga tegas. “Aku sudah cukup dibutakan oleh kebohongan selama bertahun-tahun. Aku ingin mendengar kebenaran, bukan kebohongan lagi.” Tiara terdiam, rahangnya mengeras saat ia menyadari bahwa Dirga tak lagi mudah dipengaruhi. Gilang, yang sejak tadi berdiri di sudut ruangan dengan tangan bersilang di dada, melangkah maju. Senyum sinis menghiasi bibirnya, seakan tidak gentar meski kenyataan mulai terbuka. “Kau pikir ini sudah selesai, Dirga?” Gilang berbisik rendah, namun cukup untuk membuat semua orang di ruangan itu mendengarnya. “Kau mungkin tahu tentang Tasya, tapi kau belum tahu seberapa dalam konspirasi ini berjalan.” Wajah Dirga menegang. Cahaya, yang tadinya hanya diam, mula