Merasa di tanyai, Dirga yang tadinya menunduk sambil mendorong kursi roda sang ibunya duduki lalu mendongak dan menatap tajam Tiara, "memangnya kenapa?" tanya Dirga dengan dingin, Tiara cemberut mendengar ucapan Dirga yang tidak menjawab pertanyaannya tadi lalu menghentakkan kaki kesal. Sudah hampir 7 tahun mengenal Dirga, tak lantas bisa membuat lelaki itu jatuh cinta padanya. Malah lelaki itu cinta mati dengan wanita lain, sakit, kesal, marah rasanya.
Namun, dirinya tidak bisa memaksa rasa cinta yang sama dari Dirga untuk dirinya. Semenjak kepergian mantan istrinya, Tiara merasa sikap Dirga semakin dingin dan cuek. "Sejak kapan Cahaya ada di sini? Dan kenapa dia bisa ada di sini?" tanya ibu Dirga dengan terbata-bata, karena menderita stroke dan tidak bisa melakukan apapun sendiri, dan cara bicaranya pun tidak jelas. "Dia menggantikan mbak Siti, katanya anaknya nikah," sahut Dirga yang memahami ucapan ibunya walau cedal dan tidak begitu jelas, "dia sendiri saja?" kening Dirga mengernyit bingung, apa maksud ibunya bertanya seperti itu. Apa ibunya itu berharap agar kakaknya yang menjadi selingkuhan mantan istrinya tinggal di sini dan membuat hati serta hidupnya bertambah hancur, gumam Dirga dalam hati kesal dan jengkel mendengar pertanyaan ibunya malah seakan mengingatkan masalalu yang membuat terluka. Dan sayangnya luka itu belum terobati karena tidak akan ada yang mengobatinya. "Tuan, mau di masakan apa malam nanti?" Cahaya bertanya dalam posisi berdiri di depan pintu, saat tatapan matanya bertemu dengan wanita yang telah melahirkan mantan suaminya, Cahaya segera memalingkan wajahnya. Rasa sakit hati saat mengingat wanita itu menyuruhnya menanda tangani surat gugatan cerai itu masih jelas ada di ingatan nya. Apalagi saat dia mendoakan kematian putrinya yang saat itu belum berwujud sempurna. "Terserah, yang penting mama bisa makan," jawab Dirga yang membuyarkan lamunan Cahaya tentang masalalu nya, Cahaya mengangguk menanggapi ucapan Dirga. "Mas, kamu lupa? Tante itu baru sakit stroke, jadi dia tidak bisa makan sembarangan," ujar Tiara yang baru saja keluar dari kamar mandi, "hey, kamu. Buatkan mama mertuaku bubur," katanya memerintah sembari menatap angkuh pada Cahaya. *** "Hei, tunggu!!" Tiara berjalan cepat mengejar Cahaya yang pergi begitu mendengar perintah nya, "kamu tuli, ya!!" lagi Tiara meraung berteriak marah karena Cahaya tidak juga berhenti. Cahaya hampir terjungkal saat dengan paksa dan secara kasar Tiara menarik bahunya setelah berhasil menyusulnya, "denger, aku ini calon istri mas Dirga. Jadi kamu jangan macam-macam dan jangan coba-coba ngelawan aku!" seru Tiara kesal sembari menunjuk wajah Cahaya yang terlihat santai. Cahaya hanya tersenyum miring, kemudian melanjutkan langkahnya menuruni anak tangga. Saat baru menuruni dua anak tangga, tubuh Cahaya hampir terjelembab jika saja tidak segera memeluk pagar pembatas tangga ini karena di dorong dari belakang, Cahaya menoleh dan menatap tajam pada gadis yang tengah tersenyum mengejek padanya. "Makanya, kalau udah pincang, jalan hati-hati," ejek Tiara sembari menopang satu tangannya sambil memainkan kuku jarinya, 'tahan Cahaya, tahan. Dia hanya serangga yang harus dibasmi tanpa mengotori tangan,' gumam Cahaya dalam hati mencoba menguatkan diri. Tidak sengaja ekor mata Cahaya menangkap keberadaan Dirga yang sedang berdiri di depan pintu kamar yang di tempati mamanya dan sedang melihat kearah mereka. 'Waktunya bermain, aku akan membuatmu di benci olehnya, sama saat kalian menjebakku dengan lelaki brengsek itu,' Cahaya menyeringai, kemudian kembali berdiri dan dan kembali menapaki anak tangga. Dan saat sudah mencapai setengah anak tangga, Cahaya mendengar suara sandal berderap mendekat di belakangnya, saat Cahaya menoleh.... "Aaaa," Cahaya berteriak dan mencoba mencari pegangan, tapi terlambat tubuhnya berguling dan terakhir terhempas ke lantai yang dingin dengan pelipis yang mengeluarkan darah. "Ayaaaaaa!!!" Dirga yang melihat Cahaya jatuh segera berlari dan menuruni anak tangga dengan tergesa menyusul Cahaya yang jatuh terguling karena Tiara mendorongnya. Melihat Dirga berlari dan terlihat khawatir Tiara menjadi kesal, dan berharap wanita itu segera mati saja. "Ay, bangun," Dirga menepuk nepuk pipi Cahaya, sedang tangannya yang satu menopang kepala mantan istrinya dan meletakkan di pangkuanya. Dirga segera mengambil ponsel yang masih ada di saku celananya, menekan nomor temannya yang menjadi dokter pribadinya selama ini. "Halo-" "Cepat datang ke rumah gue, istri gue jatuh dari tangga," Dirga segera mematikan sambungan telepon itu dan menoleh keatas. Tubuh Tiara menegang di tatap sedemikian tajam oleh Dirga, keringat dingin mulai keluar dari kening dan telapak tangannya mulai terasa dingin juga. "Jika sesuatu terjadi padanya, aku tidak akan pernah memaafkanmu!" desis Dirga masih menatap tajam Tiara yang tiba-tiba mematung, dengan sigap, Dirga mengangkat tubuh Cahaya ke dalam kamar yang kini wanita itu tempati. Meletakkan secara perlahan tubuh itu di kasur lantai, netra Dirga menyisir ruangan di mana biasanya art nya tidur. Dirga mengusap lembut rambut Cahaya, seketika usapan itu berhenti kala menyadari pelipis itu mengeluarkan darah segar. Dirga segera berlari ke arah dapur, guna mencari kotak obat. Saat akan kembali ke kamar yang di tempati Cahaya, pintu rumah di ketuk. Dengan malas, Dirga menyeret langkahnya menuju ruang tamu dan membuka pintu. "Gila loe, Bro. Nikah ngga kasih kabar ke gue," sungut Arya, sahabat Dirga yang menjadi dokter, "mana istri barumu itu?" tanya Arya yang kemudian mendorong dada Dirga agar menyingkir dari pintu dan dia bisa masuk agar bisa mengobati wanita yang kini lebih penting bagi Dirga selain Cahaya. Ya, Arya sangat tahu jika sahabatnya ini sangat mencintai Cahaya, gadis biasa yang mampu membuat sosok Dirga yang angkuh, cuek dan dingin bertekuk lutut padanya. Jadi, sekarang Arya penasaran sosok wanita yang bisa menggantikan posisi Cahaya di hati sahabatnya ini. Saat Arya berjalan masuk dan melihat Tiara masih berdiri di tangga dan terdiam sambil menatap kearah Dirga, kening Arya saling bertautan. "Loe udah nikah sama dia, katanya dia sakit. Kok dia baik-baik saja?" Arya yang kemudian mundur lalu berbisik tanpa menoleh dan memutar tubuh untuk menghadap kearah Dirga. "Cahaya," Arya tak sengaja memanggil wanita yang baru keluar dari kamar mbak Siti, Dirga yang sedari tadi diam karena linglung dan menyadari kebodohannya dengan menyebut Cahaya sebagai istrinya akhirnya menoleh. "Kenapa kau bangun??!" Dirga berteriak marah, kali ini fokus Dirga pada cara berjalan Cahaya. "Tuan Arya," sapa Cahaya sambil meringis dan menutupi pelipisnya yang berdarah dengan tissue, Arya masih bingung dan heran hanya menatap heran pada pasangan ini. Beruntung tadi saat Cahaya di dorong keberadaan nya tidak terlalu tinggi, jadi Cahaya hanya kaget dan pingsan. Dirga segera membopong tubuh Cahaya dan kembali membawanya masuk, karena tindakan dadakan dari Dirga Cahaya memekik kaget, "Mas Dirga," menyadari kesalahannya memanggil, Cahaya segera menutup mulut dengan telapak tangannya. "Arya, cepat masuk!!!" Dirga berteriak karena Arya tak juga kelihatan, "hish," Arya yang baru masuk mendesis kesal. "Tuan, saya tidak apa-apa," Cahaya mencoba bangun saat Arya ikut duduk di kasur tempatnya berbaring, bukannya menjawab Dirga malah menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil menatap garang padanya. Cahaya yang hapal perilaku mantan suaminya pun akhirnya diam dan mengerucutkan bibirnya, "kenapa bisa begini?" Arya mengambil kain kasa dan menuang alkohol lantas tangannya terulur hendak membersihkan darah yang masih keluar walau tidak seberapa. "Ada yang mendorong saya," ujarnya tanpa mau menutupi apapun, "di dorong?" Arya menghentikan gerakan tangannya, netranya menatap Dirga dan Cahaya bergantian, seperti meminta penjelasan. "Saya sudah kebal jatuh seperti itu, tidak usah merasa kasihan pada saya," kata Cahaya yang membuat Dirga dan Arya kaget, 'bahkan karena ulah konyol dan sadis mereka, hampir saja aku kehilangan nyawa dan janinku. Dan gara-gara mereka pun aku juga kehilangan dirimu juga karierku,' akan tetapi kata kata itu hanya mampu ia ucapkan dalam hati.Dirga yang baru pulang dari kantor dan kini tiba di rumah, kini menyeret langkah kakinya menuju kamarnya, seharian di kantor mengerjakan beberapa dokumen yang menumpuk juga ada beberapa meeting membuat dirinya merasa letih dan juga penat."Huft," lelaki yang memiliki alis tebal, hidung mancung, berperawakan tinggi namun kulitnya agak kecokelatan, dan memiliki rahang tegas tersebut menghembuskan nafas kasar.Membuka pintu lalu melempar tas kerjanya di sofa, kemudian dengan gerakan kasar melepas jas mahal yang melekat di badannya dan melemparnya ke sofa, dan yang terakhir berjalan kearah tempat tidurnya lalu menghempaskan bobotnya ke ranjang empuk miliknya.Netranya terpejam menikmati rasa lelah yang sengaja ia ciptakan agar bisa melupakan dan bisa membuktikan pada seseorang jika ia bisa hidup dengan baik selama ini, walau kenyataannya dirinya tetap saja hancur dan selalu merindukan orang itu.Dirga membuka matanya lalu merubah posisinya menjadi duduk, menopang bobotnya dengan meletakka
Selesai mandi dan berganti pakaian, Dirga turun dan berjalan menuju ruang makan, perutnya lapar sedari tadi dan minta di isi.Dirga langsung menghenyakkan bobotnya di kursi makan dan menatap menu masakan yang di olah oleh Cahaya, mantan istrinya.Matanya memindai sekitar mencari keberadaan Cahaya, akan tetapi tidak ia temukan, "ck, kemana sih wanita itu," gerutu Dirga yang kemudian membalik piring yang tadinya tengkurap."Cahayaaa!!" Dirga akhirnya berteriak memanggil mantan istrinya, dengan tergopoh gopoh Cahaya datang dan langsung menunduk."Ya, Tuan," jawabnya masih dengan menunduk, "temani aku makan," titahnya yang langsung di jawab gelengan oleh Cahaya."Kenapa?" Dirga mendesis marah karena penolakan mantan istrinya tangannya yang berada di atas meja terkepal kuat, 'karena dulu ibu anda selalu melarang saya makan bersama dengan suami saya, dan sampai saat ini saya tidak berani makan bersama anda,' sayang jawaban itu hanya terucap di dalam hati Cahaya."Saya masih banyak pekerjaa
Pagi harinya, "aku harus meminta izin pada Tuan Dirga hari ini untuk bertemu dengannya," gumam Cahaya, tangannya sibuk memotong wortel yang akan ia olah nanti bersama kembang kol menjadi sayur sop."Apa dia juga mau ya? Ah, nanti selepas meminta izin aku akan membungkuskan sedikit sayur sop bakso kesukaan nya," lagi, Cahaya bergumam sembari tersenyum mengingat seseorang yang memiliki makanan kesukaan, memiliki kebiasaan yang sama dengan mantan suaminya.Di dalam kamar, "hari ini kamu tidak akan bisa bertemu dengan orang yang sudah membuat janji denganmu, karena hari ini aku akan membuatmu sibuk seharian denganku," Dirga menyeringai membayangkan wajah kecewa dua orang yang sudah membuatnya marah dan kecewa.Dirga keluar dari kamar dan berjalan menuruni anak tangga, tubuhnya membawa langkah kakinya menuju dapur karena sepagi ini Dirga yakin jika wanita itu pasti sedang ada di sana, seperti kebiasaannya dulu, selalu memasakkan sarapan untuk dirinya. Walau memiliki asisten rumah tangga,
Cahaya menolehkan kepalanya ke depan dan ke belakang mencari keberadaan Dirga, tidak mendapati keberadaan Dirga, Cahaya segera mengambil ponsel yang sedari tadi bergetar.(Kami melihatmu di swalayan ini, bisa bertemu di sini saja?) bunyi pesan yang Cahaya terima, Cahaya menolehkan kembali kepalanya dan tidak mendapati seseorang.(Di mana?) tanyanya lewat pesan balasan.(Kami di foodcourt) balasan pesan yang masuk, Cahaya mendesah gusar, mereka baru saja sarapan, masa harus beralasan lapar lagi agar Dirga mau masuk ke sana.Cahaya mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuknya, perempuan itu tampak sedang berpikir bagaimana dan alasan apa yang harus dia pakai."Bagaimana ini???" Cahaya membenturkan-mbenturkan pelan keningnya pada lengannya yang ia taruh di atas troli, Dirga yang melihat mantan istrinya terlihat gelisah, akhirnya tersenyum miring."Bingung mikir caranya bertemu?" seringai kecil muncul di bibirnya, kemudian dengan langkah percaya diri Dirga menghampiri Cahaya yang tengah mem
"Mama, Tasya mau sama mama juga papa," gadis kecil itu merengek dan berusaha mengangkat kepalanya dan menoleh pada mama juga papanya."Tasya anak pinter, pulang ya, kasihan si mbaknya thu," Cahaya menciumi kepala bagian belakang Anatasya, "Tasya mau sama papa," tangan kecil dan gemuk itu mencoba meraih bahu kokoh Dirga, namun dengan cepat Cahaya menekuknya dan menyembunyikan tangan itu di ketiak pengasuhnya."Nyonya, Tuan, kami pulang dulu," pamit sang pengasuh, yang di angguki oleh keduanya, "mbak tunggu," Cahaya memanggil mbak Sri kemudian mendekat dan menyerahkan tas plastik hitam yang berisi sop yang dia olah tadi dari dalam tas slempangnya, mata Dirga memincing menatap heran pada mantan istrinya.Dirga tercengang saat dari kejauhan netranya melihat wajah Tasya, mata itu, wajah itu, sepertinya dia familiar. Tapi wajah siapa? Tiba tiba tempurung kepalanya di penuhi pertanyaan siapa gadis kecil itu, kenapa dia mirip seseorang yang pernah dia lihat."Tuan," Dirga tersentak lalu menol
Merasa di tanyai, Dirga yang tadinya menunduk sambil mendorong kursi roda sang ibunya duduki lalu mendongak dan menatap tajam Tiara, "memangnya kenapa?" tanya Dirga dengan dingin, Tiara cemberut mendengar ucapan Dirga yang tidak menjawab pertanyaannya tadi lalu menghentakkan kaki kesal. Sudah hampir 7 tahun mengenal Dirga, tak lantas bisa membuat lelaki itu jatuh cinta padanya. Malah lelaki itu cinta mati dengan wanita lain, sakit, kesal, marah rasanya.Namun, dirinya tidak bisa memaksa rasa cinta yang sama dari Dirga untuk dirinya. Semenjak kepergian mantan istrinya, Tiara merasa sikap Dirga semakin dingin dan cuek."Sejak kapan Cahaya ada di sini? Dan kenapa dia bisa ada di sini?" tanya ibu Dirga dengan terbata-bata, karena menderita stroke dan tidak bisa melakukan apapun sendiri, dan cara bicaranya pun tidak jelas."Dia menggantikan mbak Siti, katanya anaknya nikah," sahut Dirga yang memahami ucapan ibunya walau cedal dan tidak begitu jelas, "dia sendiri saja?" kening Dirga mengern
"Mama, Tasya mau sama mama juga papa," gadis kecil itu merengek dan berusaha mengangkat kepalanya dan menoleh pada mama juga papanya."Tasya anak pinter, pulang ya, kasihan si mbaknya thu," Cahaya menciumi kepala bagian belakang Anatasya, "Tasya mau sama papa," tangan kecil dan gemuk itu mencoba meraih bahu kokoh Dirga, namun dengan cepat Cahaya menekuknya dan menyembunyikan tangan itu di ketiak pengasuhnya."Nyonya, Tuan, kami pulang dulu," pamit sang pengasuh, yang di angguki oleh keduanya, "mbak tunggu," Cahaya memanggil mbak Sri kemudian mendekat dan menyerahkan tas plastik hitam yang berisi sop yang dia olah tadi dari dalam tas slempangnya, mata Dirga memincing menatap heran pada mantan istrinya.Dirga tercengang saat dari kejauhan netranya melihat wajah Tasya, mata itu, wajah itu, sepertinya dia familiar. Tapi wajah siapa? Tiba tiba tempurung kepalanya di penuhi pertanyaan siapa gadis kecil itu, kenapa dia mirip seseorang yang pernah dia lihat."Tuan," Dirga tersentak lalu menol
Cahaya menolehkan kepalanya ke depan dan ke belakang mencari keberadaan Dirga, tidak mendapati keberadaan Dirga, Cahaya segera mengambil ponsel yang sedari tadi bergetar.(Kami melihatmu di swalayan ini, bisa bertemu di sini saja?) bunyi pesan yang Cahaya terima, Cahaya menolehkan kembali kepalanya dan tidak mendapati seseorang.(Di mana?) tanyanya lewat pesan balasan.(Kami di foodcourt) balasan pesan yang masuk, Cahaya mendesah gusar, mereka baru saja sarapan, masa harus beralasan lapar lagi agar Dirga mau masuk ke sana.Cahaya mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuknya, perempuan itu tampak sedang berpikir bagaimana dan alasan apa yang harus dia pakai."Bagaimana ini???" Cahaya membenturkan-mbenturkan pelan keningnya pada lengannya yang ia taruh di atas troli, Dirga yang melihat mantan istrinya terlihat gelisah, akhirnya tersenyum miring."Bingung mikir caranya bertemu?" seringai kecil muncul di bibirnya, kemudian dengan langkah percaya diri Dirga menghampiri Cahaya yang tengah mem
Pagi harinya, "aku harus meminta izin pada Tuan Dirga hari ini untuk bertemu dengannya," gumam Cahaya, tangannya sibuk memotong wortel yang akan ia olah nanti bersama kembang kol menjadi sayur sop."Apa dia juga mau ya? Ah, nanti selepas meminta izin aku akan membungkuskan sedikit sayur sop bakso kesukaan nya," lagi, Cahaya bergumam sembari tersenyum mengingat seseorang yang memiliki makanan kesukaan, memiliki kebiasaan yang sama dengan mantan suaminya.Di dalam kamar, "hari ini kamu tidak akan bisa bertemu dengan orang yang sudah membuat janji denganmu, karena hari ini aku akan membuatmu sibuk seharian denganku," Dirga menyeringai membayangkan wajah kecewa dua orang yang sudah membuatnya marah dan kecewa.Dirga keluar dari kamar dan berjalan menuruni anak tangga, tubuhnya membawa langkah kakinya menuju dapur karena sepagi ini Dirga yakin jika wanita itu pasti sedang ada di sana, seperti kebiasaannya dulu, selalu memasakkan sarapan untuk dirinya. Walau memiliki asisten rumah tangga,
Selesai mandi dan berganti pakaian, Dirga turun dan berjalan menuju ruang makan, perutnya lapar sedari tadi dan minta di isi.Dirga langsung menghenyakkan bobotnya di kursi makan dan menatap menu masakan yang di olah oleh Cahaya, mantan istrinya.Matanya memindai sekitar mencari keberadaan Cahaya, akan tetapi tidak ia temukan, "ck, kemana sih wanita itu," gerutu Dirga yang kemudian membalik piring yang tadinya tengkurap."Cahayaaa!!" Dirga akhirnya berteriak memanggil mantan istrinya, dengan tergopoh gopoh Cahaya datang dan langsung menunduk."Ya, Tuan," jawabnya masih dengan menunduk, "temani aku makan," titahnya yang langsung di jawab gelengan oleh Cahaya."Kenapa?" Dirga mendesis marah karena penolakan mantan istrinya tangannya yang berada di atas meja terkepal kuat, 'karena dulu ibu anda selalu melarang saya makan bersama dengan suami saya, dan sampai saat ini saya tidak berani makan bersama anda,' sayang jawaban itu hanya terucap di dalam hati Cahaya."Saya masih banyak pekerjaa
Dirga yang baru pulang dari kantor dan kini tiba di rumah, kini menyeret langkah kakinya menuju kamarnya, seharian di kantor mengerjakan beberapa dokumen yang menumpuk juga ada beberapa meeting membuat dirinya merasa letih dan juga penat."Huft," lelaki yang memiliki alis tebal, hidung mancung, berperawakan tinggi namun kulitnya agak kecokelatan, dan memiliki rahang tegas tersebut menghembuskan nafas kasar.Membuka pintu lalu melempar tas kerjanya di sofa, kemudian dengan gerakan kasar melepas jas mahal yang melekat di badannya dan melemparnya ke sofa, dan yang terakhir berjalan kearah tempat tidurnya lalu menghempaskan bobotnya ke ranjang empuk miliknya.Netranya terpejam menikmati rasa lelah yang sengaja ia ciptakan agar bisa melupakan dan bisa membuktikan pada seseorang jika ia bisa hidup dengan baik selama ini, walau kenyataannya dirinya tetap saja hancur dan selalu merindukan orang itu.Dirga membuka matanya lalu merubah posisinya menjadi duduk, menopang bobotnya dengan meletakka